Fosil dua tengkorak berusia sekitar 2 juta tahun ditemukan di dalam sebuah goa di lokasi penggalian arkeologi Malapa, dekat Johannesburg, Afrika Selatan. Satu fosil tengkorak perempuan dewasa berusia kira-kira 20-30 tahun dan satu lagi fosil tengkorak remaja laki-laki berusia 12 tahun.
Dua fosil dengan tinggi tubuh sama-sama 1,27 meter itu kemungkinan ibu dan anak. Penemuan ini diyakini sebagian ilmuwan sebagai mata rantai yang hilang yang bisa menjelaskan transisi dari spesies kera ke manusia modern Homo sapiens seperti kita.
Nama ”makhluk mirip manusia” yang ditemukan awal bulan ini, yaitu Australopithecus sediba atau Kera Mata Air dari Selatan (dalam bahasa Sesotho yang digunakan di Afrika Selatan, Sediba berarti Mata Air).
Kedua fosil itu ditemukan di kawasan yang dilindungi, Cradle of Humankind World Heritage, lokasi ini ditemukan melalui peranti lunak Google Earth. Di lokasi ini pula dalam beberapa tahun terakhir ditemukan fosil-fosil lain dengan kondisi beragam. Sebenarnya bagian-bagian kecil fosil tengkorak A. sediba sudah ditemukan sejak Agustus 2008. Tulang pertama, yakni tulang selangka tidak sengaja ditemukan Matthew (9), anak pemimpin tim peneliti dan ahli paleoantropologi Lee Berger dari University of the Witwatersrand, Afrika Selatan.
Kemudian di lokasi tersebut juga mulai dilakukan penggalian intensif dan ditemukanlah fosil tengkorak A. sediba kedua yang utuh itu di dalam reruntuhan goa. Tengkorak keduanya terpisah sejauh satu meter. Artinya, keduanya mungkin meninggal hampir bersamaan.
Lee Berger yakin, keduanya berhubungan darah ibu dan anak. Jika bukan, paling tidak keduanya saling kenal atau anggota dari kelompok yang sama. Dugaan para peneliti, keduanya tidak sengaja jatuh dan terjebak di dalam goa sedalam 30-45 meter kemudian terbawa arus hingga ke sungai bawah tanah ketika terjadi hujan badai.
Di sekitar lokasi penemuan kedua fosil tengkorak itu juga ditemukan fosil binatang seperti kucing hutan, tikus, kelinci, anjing liar, dan kuda.
”Sepertinya pada saat itu terjadi sesuatu yang dahsyat hingga menyatukan fosil-fosil ini di dalam goa yang sama. Mereka mungkin terjebak dan terkubur dalam goa,” kata anggota tim peneliti, Paul Dirks dari James Cook University, Queensland, Australia.
Perdebatan
Asal muasal A. sediba ini memicu perdebatan. Sebagian ilmuwan menilai A. sediba sebagai keturunan langsung spesies Homo. Sebagian lagi meyakini A. sediba masuk dalam pohon keluarga spesies kera. Satu hal yang disepakati bersama, A. sediba hidup sebelum spesies Homo muncul.
Bagi Berger penemuan kedua fosil itu membuka babak baru cerita evolusi manusia dan memberikan sedikit pencerahan tentang masa-masa penting ketika kera mengubah kebiasaan hidup yang semula di atas pohon menjadi menjejakkan kaki di darat.
”A. sediba ini bisa hidup di dua dunia. Memang keduanya belum menjadi Homo karena tidak memiliki bentuk utuh sebagai manusia,” ujarnya.
Hasil pemindaian dengan sinar X di European Synchrotron Radiation Facility (ESRF), Grenoble, Perancis, menunjukkan, kedua fosil itu memiliki gigi yang kecil-kecil, hidung mancung, rongga tulang pinggul yang maju, dan kaki yang panjang. Wajahnya pun lebih mirip manusia ketimbang kera. Dilihat dari struktur tubuhnya, bentuknya mirip manusia modern.
Namun, bentuk tubuhnya juga (masih) mirip kera dalam kelompok Australopithecine karena ukuran otaknya yang kecil dan tangan yang panjang dan kuat seperti orangutan. Jari-jarinya pun melengkung seperti biasa digunakan kera untuk memanjat pohon. Selain melengkung, jarinya juga pendek-pendek seperti jari manusia.
”Ukuran otak tengkorak yang laki-laki kecil, antara 420 dan 450 sentimeter kubik. Ukurannya lebih besar dibandingkan kelompok Australopithecines. Sementara ukuran otak manusia sekitar 1.196-1.605 sentimeter kubik,” demikian laporan penelitian tim peneliti.
Bukan keluarga Homo
Mempertimbangkan bentuk tubuh bagian atas dan ukuran otak itu, tim peneliti kemudian mengklasifikasikan kedua fosil itu ke dalam keluarga besar Australopithecus dan bukan keluarga Homo. Sebenarnya A. sediba memiliki mirip-mirip dengan kera dan manusia.
Colin Groves dari Australian National University menyimpulkan kedua fosil itu jelas bukan anggota keluarga besar Australopithecus, melainkan jenis baru dari keluarga Homo. ”Ada kesamaan bentuk dengan jenis Homo yang muncul pertama. Hanya ada sedikit kemiripan dengan Australopithecus. Tengkoraknya lebih mirip Homo floresiensis dari Indonesia,” ujarnya.
Direktur Proyek Asal Usul Manusia di National Museum of Natural History Smithsonian di Washington, AS, Richard Potts, mengakui, kombinasi dua keluarga spesies kera dan manusia seperti ini belum pernah ditemukan sebelumnya.
Apa pun posisi kedua fosil tengkorak itu, apakah di pohon keluarga kera atau pohon keluarga manusia, penemuan ini menarik karena seperti menemukan ”mesin waktu” yang bisa menjelaskan proses evolusi yang terjadi 1,8-2 juta tahun lalu.
Selama ini, garis silsilah manusia diyakini dimulai antara 1,8-2 juta tahun yang lalu. Namun, selama ini pula belum pernah ditemukan fosil yang berasal dari periode waktu itu. Karena itu, yang muncul hanya dugaan-dugaan dan perkiraan-perkiraan.
Hingga kini, periode waktu kemunculan spesies Homo masih misteri bagi kaum ilmuwan. Penemuan paling akhir ini diharapkan bisa sedikit menyibak misteri itu. Yang jelas, kini peneliti dan ilmuwan sepakat, penemuan ini membuktikan pohon keluarga manusia amat beragam.
(Luki aulia dari Berbagai Sumber)
17 April 2010
source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/17/0406419/mata.rantai..yang.hilang
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...
-
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk menghentikan masuknya produk kayu dari hasil p...
No comments:
Post a Comment