Cloud Computing diperkirakan akan mengubah TI di perusahaan besar karena memungkinkan enterprise dari berbagai ukuran untuk memanfaatkan skala ekonomi dan mendapat keuntungan dari hanya membayar sumber daya yang digunakan saja.
Sesungguhnya, banyak aspek komputansi yang sudah (atau akan) tersedia dalam bentuk layanan cloud: Infrastructure as a Service (IAAS) seperti Amazon Services, Microsoft Windows Azure, VMWare vCloud serta Eucalyptus dan Cloudera yang open-source menyediakan komputansi, jaringan serta kapasitas penyimpanan yang elastis.
Software as a Service (SAAS) merujuk pada aplikasi online, termasuk software produktivitas, database dan proses bisnis. Contoh SAAS termasuk Microsoft Business Productivity Online Suite (BPOS), Google Docs dan Gmail, Salesforce CRM dan Oracle CRM on Demand .
Sedangkan, Platform as a Service (PASS), memungkinkan pengembangan aplikasi (contoh, Google Apps dan Windows Azure), Desktop as a Service (DAAS), dan bahkan apa yang disebut sebagai XAAS atau EAAS, yaitu “Everything as a Service.”
Dengan cloud computing, heterogenitas telah menjadi sebuah karakteristik utama dari komputansi. Sumber daya di awan bisa jadi proprietary atau open-source atau campuran dari keduanya.
Contoh yang menarik bisa dilihat dari profil penawaran dari satu perusahaan berikut ini: Citrix menawarkan aplikasi proprietary seperti GoToMeetings untuk komunikasi desktop dan software konferensi, serta Desktops To Go untuk aplikasi remote desktop. Bersama itu, mereka juga menawarkan produk Open-source seperti server Xen dan XenDesktop, sebuah virtual desktop. Proyek open-source Xen, yang berada di Citrix, telah melahirkan insiatif bernama Xen Cloud Platform, didukung oleh Citrix, Hewlett-Packard, Intel, Oracle dan Novell. Dengan aplikasinya di Apple iPad, Corix Receiver, Citrix bisa menghadirkan desktop Windows pada iPad, sehingga fungsi desktop dan aplikasi Windows bisa diakses sepenuhnya. Ada tujuh produk Cloud baru, tergabung dalam Citrix Cloud Solutions, yang bersifat open-source dan bisa diperluas sesuai kehendak pengguna. Citrix menyebut Cloud Solutions ini sebagai framework yang memungkinkan interoperabilitas dengan software lain, termasuk virtualisasi pihak ketiga seperti VMWare, yang merupakan pesaingnya.
Bukan hanya bersifat heterogen –karena mencampurkan solusi proprietary dan open-source-- cloud computing juga bersifat global. Sebagai contoh, Windows Azure tersedia di 41 negara. Di cloud, pengguna bisa saja mengakses aplikasi yang di-hosting di Hong Kong dari kantornya di Korea Selatan. Datanya, bisa jadi disimpan di server yang ada di Polandia, routing-nya melalui Amerika Serikat.
Dari sudut pandang pengembang piranti lunak, sifat yang global dari cloud ini tak hanya ditentukan oleh perilaku jejaringnya, tapi juga struktur bisnis itu sendiri. Peneliti yang bekerja untuk perusahaan multinasional asal AS di Russia mungkin berkolaborasi dengan tim di Singapura. Produk akhirnya bisa jadi dirancang di AS dan Taiwan, dibuat di India, Malaysia dan Filipina untuk dijual di Amerika Selatan.
Peluang ekonomi ada bagi negara yang memiliki kebijakan publik dan hukum yang netral secara teknologi dan kompatibel. Contohnya, pemerintah Singapura yang sejak lama menyadari bahwa teknologi mendorong pertumbuhan ekonomi negara itu. Di 2008, pemerintahannya bekerjasama dengan Hewlett Packard, Intel dan Yahoo, serta lembaga penelitian di Russia, Jerman dan AS untuk membuat test bed open-source yang mendukung penelitian layanan cloud pada skala global. HP juga membuka Cloud Labs di Singapura.
Di saat yang sama, pemerintahannya memberi subsidi pada proyek yang bisa memberikan cloud computing pada eGovernment dan Usaha Kecil Menengah. Singapura adalah pemimpin dalam melihat cloud computing sebagai alat menumbuhkan ekonomi IT-nya serta menjaga perannya di pasar global. Memang masih di tahap awal, tapi jelas bahwa ini akan mengubah komputansi di enterprise, memenuhi kebutuhan pengguna dengan kelenturan yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Dengan makin tumbuhnya cloud computing, maka semakin penting bagi pembuat kebijakan untuk menjamin bahwa kebijakan domestiknya tidak berpihak pada teknologi tertentu. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan perdagangan global, hukum internasional dan kepentingan pertumbuhan ekonomi, hal ini juga memungkinkan perusahaan domestik untuk meraup keuntungan besar dari peluang yang dihasilkan cloud computing.
09 Desember 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/12/09/132758/1514376/319/cloud-computing-sensasi-masa-depan-dunia-ti/
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Monday, December 13, 2010
Microsoft dan Open Source: Integrasi, Interoperabilitas dan Hidup Bersama
Dalam tulisan sebelumnya, saya menjelaskan bagaimana teknologi open-source dan proprietary secara progresif telah bersatu demi keuntungan perusahaan besar masa kini.
Praktek tersebut sekarang semakin umum, namun seringnya membutuhkan penterjemah atau konverter. Salah satu pendekatan integrasi yang populer adalah Service Oriented Architecture (SOA) yang menggunakan middleware; pendekatan lainnya menggunakan virtualisasi. Penterjemah dan konverter juga bisa diterapkan secara spesifik pada tugas tertentu.
Service Oriented Architecture (SOA) menyusun proses bisnis di perusahaan besar sebagai layanan yang dijalankan pengguna akhir dan ini memungkinkan banyak aplikasi yang berbeda saling berbagi data untuk terlibat dalam layanan itu. Piranti lunak bernama middleware berperan sebagai adaptor antara berbagai lapisan piranti lunak. Contoh middleware SOA yang ditawarkan di pasaran mencakup Oracle Fusion Middleware, Microsoft .NET framework dan SAP Netweaver. Microsoft Biztalk Server dan IBM Websphere melakukan integrasi pada proses bisnis, sedangkan Redhat menawarkan sebuah middleware berasis Java bernama JBOSS yang sifatnya open-source dan lintas platform.
Sebagai contoh, pemerintahan Portugis menggunakan SOA untuk mengintegrasikan sistem IT open-source dan proprietary serta menjamin adanya akses pada sumber daya penting dari sistem yang lawas. Sistem yang digunakan lembaga pemerintahan termasuk IBM AS/400, sistem database proprietary Oracle dan open-source PostgreSQL, Java 2 Platform Enterprise Edition (J2EE), JBoss middleware dan empat jenis sistem operasi (Microsoft Windows, Linux, Unix versi proprietary dari IBM AIX dan Hewlett Packard HU/UX).
Sistem itu harus bisa berjalan pada skala kecil, 5 pada awalnya, hingga kini digunakan pada lebih dari 800 lembaga. Dan harus menghadirkan layanan dari pemerintahan secara seragam dari sudut pandang pengguna akhir. Portal bisnis dan layanan masyarakat umum menggunakan web services untuk menyediakan akses layanan bagi penduduk, baik lewat web, mobile atau SMS.
Penghematan biaya yang signifikan bisa dilakukan karena perangkat yang serupa tak perlu dibeli dua untuk dua sistem yang berbeda, selain itu lalu-lintas data antar titik jadi berkurang. Penghematan juga dicapai dengan memperbaiki manajemen informasi.
Dalam lingkungan masa kini, CIO mencari semua kesempatan untuk berhemat. Virtualisasi memungkinkan satu sistem operasi (misal, Linux) untuk berjalan secara virtual di atas sistem lain (misal, Windows atau Apple OS X).
Virtualisasi memungkinkan penggunaan bersama sumber daya hardware dan fasilitasi saling berbagi data antar aplikasi pada masing-masing sistem operasi. Virtualisasi pada server memungkinkan perusahaan besar untuk menggunakan berbagai sistem operasi server, seringkali ini termasuk open-source dan proprietary, pada perangkat server mereka. Hal ini akan meningkatkan efisiensi sistem dan mengurangi jumlah mesin yang dibutuhkan, dan oleh karena itu menurunkan biaya operasional dan konsumsi energi.
Mengapa baru belakangan ini virtualisasi skala besar banyak dilirik? Penyebabnya adalah baru sekarang tersedia prosesor dan memory dengan kapasitas yang mencukupi dan biaya yang semakin rendah..
Kita lihat saja contoh dari gedung wakil rakyat di AS (United States House of Representatives), yang kesulitan memenuhi kebutuhan listrik untuk mendinginkan sistem komputer terpusat dan federasi yang ada. Tim IT pun memilih untuk melakukan konsolidasi dengan virtualisasi, targetnya mengurangi dari 450 server ke 100 server saja. Tingkat penggunaan server pun dinaikkan dari 7% ke 60%, dengan penghematan energi diperkirakan mencapai 45% dan penurunan panas yang besar.
Memang, virtualisasi menimbulkan tantangan dalam hal melakukan pelatihan ulang, keamanan dan redundancy di lokasi lain. Tapi, hal ini memungkinkan manajemen server terpusat, pengawasan yang lebih efektif , perbaikan dan penyelesaian masalah yang lebih baik, serta manajemen audit dan ketaatan pada aturan. Hal ini juga memungkinkan diterapkannya solusi backup dan Disaster Recovery.
Beberapa penterjemah memiliki fungsi yang spesifik. TSRI JANUS menerjemahkan data dan kode lawas agar bisa dimengerti piranti lunak modern, baik proprietary maupun open-source. Banyak bisnis dan software produktivitas menggunakan penterjemah.
CIO di sektor pemerintahan dan swasta menggunakan teknologi proprietary dan open-source. Hal ini merupakan kebutuhan dari pasar TI yang heterogen. Untuk itu, industri TI pun selalu mengembangkan piranti pendukung interoperabilitas seperti middleware, virtualization, standar yang banyak digunakan, penterjemah dan konverter untuk menggabungkan teknologi tanpa peduli pada pendekatannya, apakah itu open-source atau proprietary.
Pada tulisan berikutnya, saya akan menyinggung soal teknologi yang 'mengubah segalanya' saat ini, yaitu Cloud.
01 Desember 2010
Penulis: Stacy Baird
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/12/01/104013/1506487/319/integrasi-interoperabilitas-dan-hidup-bersama
Praktek tersebut sekarang semakin umum, namun seringnya membutuhkan penterjemah atau konverter. Salah satu pendekatan integrasi yang populer adalah Service Oriented Architecture (SOA) yang menggunakan middleware; pendekatan lainnya menggunakan virtualisasi. Penterjemah dan konverter juga bisa diterapkan secara spesifik pada tugas tertentu.
Service Oriented Architecture (SOA) menyusun proses bisnis di perusahaan besar sebagai layanan yang dijalankan pengguna akhir dan ini memungkinkan banyak aplikasi yang berbeda saling berbagi data untuk terlibat dalam layanan itu. Piranti lunak bernama middleware berperan sebagai adaptor antara berbagai lapisan piranti lunak. Contoh middleware SOA yang ditawarkan di pasaran mencakup Oracle Fusion Middleware, Microsoft .NET framework dan SAP Netweaver. Microsoft Biztalk Server dan IBM Websphere melakukan integrasi pada proses bisnis, sedangkan Redhat menawarkan sebuah middleware berasis Java bernama JBOSS yang sifatnya open-source dan lintas platform.
Sebagai contoh, pemerintahan Portugis menggunakan SOA untuk mengintegrasikan sistem IT open-source dan proprietary serta menjamin adanya akses pada sumber daya penting dari sistem yang lawas. Sistem yang digunakan lembaga pemerintahan termasuk IBM AS/400, sistem database proprietary Oracle dan open-source PostgreSQL, Java 2 Platform Enterprise Edition (J2EE), JBoss middleware dan empat jenis sistem operasi (Microsoft Windows, Linux, Unix versi proprietary dari IBM AIX dan Hewlett Packard HU/UX).
Sistem itu harus bisa berjalan pada skala kecil, 5 pada awalnya, hingga kini digunakan pada lebih dari 800 lembaga. Dan harus menghadirkan layanan dari pemerintahan secara seragam dari sudut pandang pengguna akhir. Portal bisnis dan layanan masyarakat umum menggunakan web services untuk menyediakan akses layanan bagi penduduk, baik lewat web, mobile atau SMS.
Penghematan biaya yang signifikan bisa dilakukan karena perangkat yang serupa tak perlu dibeli dua untuk dua sistem yang berbeda, selain itu lalu-lintas data antar titik jadi berkurang. Penghematan juga dicapai dengan memperbaiki manajemen informasi.
Dalam lingkungan masa kini, CIO mencari semua kesempatan untuk berhemat. Virtualisasi memungkinkan satu sistem operasi (misal, Linux) untuk berjalan secara virtual di atas sistem lain (misal, Windows atau Apple OS X).
Virtualisasi memungkinkan penggunaan bersama sumber daya hardware dan fasilitasi saling berbagi data antar aplikasi pada masing-masing sistem operasi. Virtualisasi pada server memungkinkan perusahaan besar untuk menggunakan berbagai sistem operasi server, seringkali ini termasuk open-source dan proprietary, pada perangkat server mereka. Hal ini akan meningkatkan efisiensi sistem dan mengurangi jumlah mesin yang dibutuhkan, dan oleh karena itu menurunkan biaya operasional dan konsumsi energi.
Mengapa baru belakangan ini virtualisasi skala besar banyak dilirik? Penyebabnya adalah baru sekarang tersedia prosesor dan memory dengan kapasitas yang mencukupi dan biaya yang semakin rendah..
Kita lihat saja contoh dari gedung wakil rakyat di AS (United States House of Representatives), yang kesulitan memenuhi kebutuhan listrik untuk mendinginkan sistem komputer terpusat dan federasi yang ada. Tim IT pun memilih untuk melakukan konsolidasi dengan virtualisasi, targetnya mengurangi dari 450 server ke 100 server saja. Tingkat penggunaan server pun dinaikkan dari 7% ke 60%, dengan penghematan energi diperkirakan mencapai 45% dan penurunan panas yang besar.
Memang, virtualisasi menimbulkan tantangan dalam hal melakukan pelatihan ulang, keamanan dan redundancy di lokasi lain. Tapi, hal ini memungkinkan manajemen server terpusat, pengawasan yang lebih efektif , perbaikan dan penyelesaian masalah yang lebih baik, serta manajemen audit dan ketaatan pada aturan. Hal ini juga memungkinkan diterapkannya solusi backup dan Disaster Recovery.
Beberapa penterjemah memiliki fungsi yang spesifik. TSRI JANUS menerjemahkan data dan kode lawas agar bisa dimengerti piranti lunak modern, baik proprietary maupun open-source. Banyak bisnis dan software produktivitas menggunakan penterjemah.
CIO di sektor pemerintahan dan swasta menggunakan teknologi proprietary dan open-source. Hal ini merupakan kebutuhan dari pasar TI yang heterogen. Untuk itu, industri TI pun selalu mengembangkan piranti pendukung interoperabilitas seperti middleware, virtualization, standar yang banyak digunakan, penterjemah dan konverter untuk menggabungkan teknologi tanpa peduli pada pendekatannya, apakah itu open-source atau proprietary.
Pada tulisan berikutnya, saya akan menyinggung soal teknologi yang 'mengubah segalanya' saat ini, yaitu Cloud.
01 Desember 2010
Penulis: Stacy Baird
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/12/01/104013/1506487/319/integrasi-interoperabilitas-dan-hidup-bersama
Microsoft dan Open Source: Menikmati Indahnya Dua Dunia
Pada tulisan sebelumnya, saya berbicara panjang lebar soal semakin perlunya CIO memilih sebuah kombinasi antara software proprietary dan open-source untuk memenuhi kebutuhan mereka. Perusahaan software proprietary dan open-source juga melakukan evolusi model bisnis mereka untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Mari kita lihat kasus IBM. Sebuah sistem IBM saat ini, biasanya akan lebih banyak terdiri dari piranti lunak proprietary seperti: Websphere server, DB2 database dan juga Lotus Suite yang berjalan di server IBM. Tapi IBM juga pendukung komersial open-source yang terdepan, membiayai banyak proyek open-source, termasuk pengembangan awal Linux dan melepaskan cukup banyak kode berpaten mereka sebagai open-source. Dukungan mereka, dan juga dari Sun Microsystems, adalah sangat penting bagi pertumbuhan komunitas open-source di 1990-an. IBM juga telah menyediakan kode proprietary mereka agar berfungsi baik dengan proyek open-source (contoh, kode Lotus Notes bagi proyek OpenOffice).
Kemudian, kita bisa lihat juga Oracle yang terkenal dengan database kelas enterprise-nya yang bersifat proprietary. Meski begitu, Oracle adalah database enterprise pertama yang berjalan di Linux, dan mereka mengembangkan Fusion Middleware untuk menyediakan interoperabilitas antara J2EE dan .NET-nya Microsoft. Oracle mendukung Red Hat Enterprise Linux (RHEL) yang bahkan sudah tak didukung lagi oleh Red Hat, mereka pun menjual versi sendiri dari RHEL.
Belum lama ini, Oracle melakukan kesepakatan dengan Amazon Web Servixer untuk menyediakan layanan berbasis Linux. Sun, yang kini sudah jadi bagian dari Oracle, utamanya menjual server enterprise tapi juga menawarkan software enterprise yang beragam. Sun adalah pemain besar yang pindah dari proprietary ke open-source dan banyak mendukung proyek open-source. Lama kelamaan Sun mengalihkan banyak software-nya ke open-source. Salah satu produk utama Sun (kini Oracle) adalah Sun-MySQL, sebuah database kelas enterprise yang open-source yang bisa menggunakan lisensi GPL atau lisensi komersial biasa. Skema dua lisensi ini adalah evolusi lisensi open-source yang patut dicatat.
Nah, Microsoft, meski menjadikan software sebagai bisnis utamanya, juga menawarkan manfaat bagi pelanggannya yang menggunakan open-source dan menjembatani software-nya dengan open-source. Microsoft mencetuskan Shared Source Initiative untuk menyediakan source code dari Windows dan beberapa software lainnya ke partner, pelanggan tertentu (misalnya, pemerintahan) dan pihak akademisi. Perusahaan itu mendirikan Laboratorium Open Source untuk berpartisipasi dan mendukung komunitas open-source.
Pada 2008, Microsoft menerbitkan dokumen berjudul 'Interoperability Principles'. Tertuang di dalamnya sebuah komitmen untuk menjamin interoperabilitas dengan open-source dan platform TI lainnya. Sehingga memungkinkan perusahaan besar yang menjalankan server Windows dan Linux melakukannya pada satu lingkungan fisik yang sama. Microsoft menjalin kerjasama, awalnya dengan Novell, untuk mengembangkan virtualisasi berbasis standar sehingga SUSE Linux Enterprise Server bisa berjalan di server Microsoft sebagai Guest, begitupun sebaliknya. (Interoperabilitas antara piranti lunak produktivitas dengan Microsoft Office juga sedang dikerjakan). Dan yang paling baru, Microsoft bekerjasama dengan Red Hat untuk menjamin interoperabilitas masing-masing produk.
Perusahaan software proprietary dan open-source saling memahami pentingnya kedua pendekatan yang berbeda ini bagi pelanggan dan bisnis mereka.
03 Nov 2010
Source: http://www.detikinet.com/read/2010/11/03/113002/1483876/319/menikmati-indahnya-dua-dunia
Penulis: Stacy Baird, adalah mantan penasehat untuk anggota Senat AS pada isu-isu Teknologi dan Hak Milik Intelektual. Ia percaya, bahwa software open-source dan proprietary bisa hidup bersama, dan dengan demikian industri TI global bisa terus memperbaiki kualitas hidup banyak orang.
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari empat tulisan dalam satu seri. Pendapat yang disampaikan Stacy Baird adalah sepenuhnya pendapat pribadi.
( wsh / wsh )
Mari kita lihat kasus IBM. Sebuah sistem IBM saat ini, biasanya akan lebih banyak terdiri dari piranti lunak proprietary seperti: Websphere server, DB2 database dan juga Lotus Suite yang berjalan di server IBM. Tapi IBM juga pendukung komersial open-source yang terdepan, membiayai banyak proyek open-source, termasuk pengembangan awal Linux dan melepaskan cukup banyak kode berpaten mereka sebagai open-source. Dukungan mereka, dan juga dari Sun Microsystems, adalah sangat penting bagi pertumbuhan komunitas open-source di 1990-an. IBM juga telah menyediakan kode proprietary mereka agar berfungsi baik dengan proyek open-source (contoh, kode Lotus Notes bagi proyek OpenOffice).
Kemudian, kita bisa lihat juga Oracle yang terkenal dengan database kelas enterprise-nya yang bersifat proprietary. Meski begitu, Oracle adalah database enterprise pertama yang berjalan di Linux, dan mereka mengembangkan Fusion Middleware untuk menyediakan interoperabilitas antara J2EE dan .NET-nya Microsoft. Oracle mendukung Red Hat Enterprise Linux (RHEL) yang bahkan sudah tak didukung lagi oleh Red Hat, mereka pun menjual versi sendiri dari RHEL.
Belum lama ini, Oracle melakukan kesepakatan dengan Amazon Web Servixer untuk menyediakan layanan berbasis Linux. Sun, yang kini sudah jadi bagian dari Oracle, utamanya menjual server enterprise tapi juga menawarkan software enterprise yang beragam. Sun adalah pemain besar yang pindah dari proprietary ke open-source dan banyak mendukung proyek open-source. Lama kelamaan Sun mengalihkan banyak software-nya ke open-source. Salah satu produk utama Sun (kini Oracle) adalah Sun-MySQL, sebuah database kelas enterprise yang open-source yang bisa menggunakan lisensi GPL atau lisensi komersial biasa. Skema dua lisensi ini adalah evolusi lisensi open-source yang patut dicatat.
Nah, Microsoft, meski menjadikan software sebagai bisnis utamanya, juga menawarkan manfaat bagi pelanggannya yang menggunakan open-source dan menjembatani software-nya dengan open-source. Microsoft mencetuskan Shared Source Initiative untuk menyediakan source code dari Windows dan beberapa software lainnya ke partner, pelanggan tertentu (misalnya, pemerintahan) dan pihak akademisi. Perusahaan itu mendirikan Laboratorium Open Source untuk berpartisipasi dan mendukung komunitas open-source.
Pada 2008, Microsoft menerbitkan dokumen berjudul 'Interoperability Principles'. Tertuang di dalamnya sebuah komitmen untuk menjamin interoperabilitas dengan open-source dan platform TI lainnya. Sehingga memungkinkan perusahaan besar yang menjalankan server Windows dan Linux melakukannya pada satu lingkungan fisik yang sama. Microsoft menjalin kerjasama, awalnya dengan Novell, untuk mengembangkan virtualisasi berbasis standar sehingga SUSE Linux Enterprise Server bisa berjalan di server Microsoft sebagai Guest, begitupun sebaliknya. (Interoperabilitas antara piranti lunak produktivitas dengan Microsoft Office juga sedang dikerjakan). Dan yang paling baru, Microsoft bekerjasama dengan Red Hat untuk menjamin interoperabilitas masing-masing produk.
Perusahaan software proprietary dan open-source saling memahami pentingnya kedua pendekatan yang berbeda ini bagi pelanggan dan bisnis mereka.
- Oracle menawarkan keduanya, baik produk open-source maupun proprietary; mempromosikan open-source untuk berjualan hardware dan melengkapi tawaran proprietary mereka.
- IBM mendukung proyek open-source yang meningkatkan bisnis layanan dan konsultasi mereka serta melengkapi penawaran proprietary mereka.
- Microsoft bekerjasama dengan perusahaan open-source, terutama dalam hal interoperabilitas, untuk menjamin pelanggannya bisa membangun lingkungan IT yang heterogen sesuai keinginan.
- Novell dan Red Hat telah menerapkan teknik pengembangan proprietary dan melakukan kerjasama dengan pengembang proprietary untuk menjamin stabilitas dan interoperabilitas dari arsitektur enterprise mereka. Dengan virtualisasi yang kini sudah diterima secara luas, dan pengembang software harus memenuhi kebutuhan dari cloud computing, ada banyak bukti bahwa arsitektur IT yang heterogen akan senantiasa tumbuh.
03 Nov 2010
Source: http://www.detikinet.com/read/2010/11/03/113002/1483876/319/menikmati-indahnya-dua-dunia
Penulis: Stacy Baird, adalah mantan penasehat untuk anggota Senat AS pada isu-isu Teknologi dan Hak Milik Intelektual. Ia percaya, bahwa software open-source dan proprietary bisa hidup bersama, dan dengan demikian industri TI global bisa terus memperbaiki kualitas hidup banyak orang.
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari empat tulisan dalam satu seri. Pendapat yang disampaikan Stacy Baird adalah sepenuhnya pendapat pribadi.
( wsh / wsh )
Kapan Era Cloud Computing Marak di Indonesia?
NetApp Solution Daya 2010 yang diselenggarakan di Ritz Carlton, Kamis (28/10/2010), dihadiri oleh sejumlah perusahaan Teknologi Informasi (TI) ternama seperti Cisco, Citrix, Fujitsu atau pun VMware. Layanan berbasis cloud computing pun menjadi topik hangat para pelaku bisnis tersebut.
Meski bukan hal baru, namun layanan berbasis cloud yang banyak ditawarkan oleh sejumlah vendor dianggap sudah cukup pantas diadopsi, paling tidak itulah riset yang dibeberkan oleh Gartner.
"Cloud computing itu tidak bisa dihindari, dengan menggunakan layanan tersebut para pelaku industri akan lebih meningkatkan efisiensi perusahaannya, terutama untuk kelas UKM," jelas Phillip Sargeant, Research VP Gartner kepada sejumlah wartawan.
Lantas, jika sudah banyak vendor yang menyodorkan semua penawarannya, kapan era cloud computing di Indonesia akan dimulai?
"Itu semua tergantung kebutuhan, kalo hanya data yang tidak confidential hari ini pun bisa dimulai. Namun jika memerlukan sistem keamanan yang baik maka bisa dimulai beberapa tahun ke depan. Tergantung dari layanan yang dibutuhkan," pungkas Sargeant.
Cloud computing memang 'mainan' hangat para pelaku industri jaringan komputer. Bisnis berbasis internet itu pun percaya bakal semakin ramai seiring dengan murahnya harga bandwidth.
Menurut data Gartner, di tahun 2010 ini diperkirakan nilai bisnis dari pemanfaatan teknologi internet untuk menyediakan sumber komputing itu secara global mencapai USD 80 miliar dengan tingkat pertumbuhannya setiap tahun sebesar 25 persen dalam jangka waktu lima tahun mendatang. ( eno / ash )
28 Oktober 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/10/28/145642/1477667/319/kapan-era-cloud-computing-marak-di-indonesia
Meski bukan hal baru, namun layanan berbasis cloud yang banyak ditawarkan oleh sejumlah vendor dianggap sudah cukup pantas diadopsi, paling tidak itulah riset yang dibeberkan oleh Gartner.
"Cloud computing itu tidak bisa dihindari, dengan menggunakan layanan tersebut para pelaku industri akan lebih meningkatkan efisiensi perusahaannya, terutama untuk kelas UKM," jelas Phillip Sargeant, Research VP Gartner kepada sejumlah wartawan.
Lantas, jika sudah banyak vendor yang menyodorkan semua penawarannya, kapan era cloud computing di Indonesia akan dimulai?
"Itu semua tergantung kebutuhan, kalo hanya data yang tidak confidential hari ini pun bisa dimulai. Namun jika memerlukan sistem keamanan yang baik maka bisa dimulai beberapa tahun ke depan. Tergantung dari layanan yang dibutuhkan," pungkas Sargeant.
Cloud computing memang 'mainan' hangat para pelaku industri jaringan komputer. Bisnis berbasis internet itu pun percaya bakal semakin ramai seiring dengan murahnya harga bandwidth.
Menurut data Gartner, di tahun 2010 ini diperkirakan nilai bisnis dari pemanfaatan teknologi internet untuk menyediakan sumber komputing itu secara global mencapai USD 80 miliar dengan tingkat pertumbuhannya setiap tahun sebesar 25 persen dalam jangka waktu lima tahun mendatang. ( eno / ash )
28 Oktober 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/10/28/145642/1477667/319/kapan-era-cloud-computing-marak-di-indonesia
The year of APIs and the reshaping of the payment ecosystem
Hi all – Patrick Gauthier, head of market intelligence, here. I recently joined the PayPal team, and am responsible for identifying industry trends and providing insight into clients’ needs.
It has been over a year since PayPal shook the payment industry with the introduction of Adaptive Payments and the PayPal X platform, making it an opportune time to evaluate how open payment platforms may help further weave payments in the fabric of commerce.
With PayPal X we launched the era of “embedded payments,” potentially profoundly changing the network effects that have governed payment systems. Opening the payment flows enabled a number of transactions in the social and commercial spaces that were difficult if not downright impossible to complete over traditional payment engines. Giving access to account management function built an entirely new set of acquisition channels with application developers and service providers.
The significance of the event was not lost on the industry. In the months following the introduction of PayPal X, other payment networks launched innovation labs and other more or less open platforms. Beyond payments, Yodlee launched its FinApp store for developers; Facebook launched Facebook Credits, its virtual currency system for Facebook Apps. 2010 will go down in history as the year payment platforms burst to the front of the e-commerce scene. As Scott Thompson likes to tell us: “Payments are hot again!”
Why does it matter? The electronification of payments is a seminal trend that fueled the success of payment networks for several decades, and should generate an estimated $3.5 trillion in transactions this year in the U.S. alone. Yet this is a only a fraction of the addressable market, as long as we can extend payment functionality beyond its current reach at simple checkouts and Point of Sales. Much of today’s advanced commerce applications require a richer set of payment instructions, more varied transactions flows and support for many more data types than are used today by traditional retail commerce.
In today’s connected world, the distinction between commerce and payment is increasingly blurred. Already the notion of “checkout,” mimicking that of a physical store, is challenged: app stores and music stores for instance have substituted pre-registration and authentication for the act of approving an order and selecting a form of payment. Increasingly as buyers and sellers connect over mobile or internet connections, they exchange information in a string of activities that include payments as an embedded step.
Consider the not too hypothetical case of a consumer ordering a pizza on a mobile phone, after having received a targeted digital coupon tied to her loyalty card which she will redeem at the restaurant by flashing a 2D bar code while paying with an account linked to her mobile number. Think it is improbable? Think again. Already Domino’s Pizza has experienced serious sales lift from targeted mobile couponing, and the likes of Target and Starbucks are exploring 2D bar codes on smart phones used in the store. These programs are demonstrating that in the single flow from lead generation to post purchase service the consumer is better satisfied with a fully integrated experience. Such integration requires different applications – in this case targeted promotion, loyalty, payments, order management – to share data, potentially across the systems of different services providers. This can only be accomplished by opening up the various platforms involved.
This example shows not only the blurring of the lines between commerce enablement and financial transactions, but also between face-to-face transactions and online ones. There is no denying that our current payment infrastructure has been optimized for face-to-face transaction. Labeling online transactions “card not present” is the best demonstration of that. Buyers and sellers, but also peers involved in a casual transaction, need new tools to establish an account relationship and complete transactions. With its platform PayPal is excited to be at the heart of the creation of the future of money.
05 Desember 2010
source: https://www.thepaypalblog.com/2010/12/the-year-of-apis-and-the-reshaping-of-the-payment-ecosystem-part-1/
------------tulisan 2
In a recent post, we discussed the need for open payment platforms as the lines between commerce and payments continue to blur.
Integration with other online functionality is poised to drive transactions across a number of use cases: first in peer-to-peer payments, whether person to person or business to business, and eventually in buyer-to-seller transactions. Today’s traditional payment networks are essentially closed systems, conceived as “walled gardens” and these services fail to address the needs of the bulk of embedded commerce. Given the infrastructure construct, closed platforms limit the number of use cases serviced. By contrast open platforms will cover for an ever growing variety of clients and use cases by integrating applications and services from multiple providers. In a world where 50,000 developers can register with PayPal X, no single company will have the ability to remain competitive on its own. Of course we are only at the start of the era of open commerce platforms: few solutions exist today that, in addition to flexible payments, bring together the ability to integrate different service providers into a seamless user environment. To achieve such integration, a robust platform requires a combination of developer support, neutrality in the market, and transparency with ecosystem participants.
Developer support is more than documented APIs. The quality of the sandbox in which developers may create and test their applications is critical to the adoption of the platform. In the case where applications are co-hosted on a common platform and run as a service, the certification process of the application is equally important as every new combination of utility may affect the capacity of the platform owner to maintain a level of test coverage compatible with the risks that will be warranted against. Beyond these functional elements, engaging and maintaining the community; providing training but also generally diffusing technical knowledge amongst participants; encouraging and directing community contributions to core platform elements; are all differentiators between viable ecosystems and failed ones.
Market neutrality is essentially a business model issue pivoting around the ownership of intellectual property created around the platform. A platform provider that would protect its intellectual property while competing with the very developers and service providers it seeks to attract would likely affect the health of the ecosystem it seeks to foster. For instance, in 2006 I tested the potential of CardSpace, as a method for improving the risk profile of online transactions. The solution was promising, but it lacked traction in the marketplace possibly because of the relative success of Vista, certainly because of the concerns that followed the introduction of Passport a few years earlier.
Transparency relates to the rules imposed by the platform owner on its tenants (service providers) pertaining to the application certification requirements and the monetization options. We can all think of a number of platforms where the owner changed the rules in ways that clearly tipped the economic scale in their favor or in favor of its closest allies, only to see defection by the very developers it sought to control.
The success of the first generation of payment solutions came from the facilitation they provided between consumers and merchants: Consumer could more easily access their funds, merchants received a more reliable form of tender. Thus commerce grew.
Today’s consumers and retailers have far more evolved needs. To permit version 2.0 of commerce, new friction points have to be solved, which require a version 2.0 of payments. The potential for creating value by reinventing payments in concert with commerce is enormous.
In the first year, PayPal has seen thousands of applications built using the PayPal X platform, but this is just the beginning. The coming weeks and months will show how we help transform the application of payments.
12 Desember 2010
Source: https://www.thepaypalblog.com/2010/12/the-year-of-apis-and-the-reshaping-of-the-payment-ecosystem-part-2-2/
Penulis: Patrick Gauthier
It has been over a year since PayPal shook the payment industry with the introduction of Adaptive Payments and the PayPal X platform, making it an opportune time to evaluate how open payment platforms may help further weave payments in the fabric of commerce.
With PayPal X we launched the era of “embedded payments,” potentially profoundly changing the network effects that have governed payment systems. Opening the payment flows enabled a number of transactions in the social and commercial spaces that were difficult if not downright impossible to complete over traditional payment engines. Giving access to account management function built an entirely new set of acquisition channels with application developers and service providers.
The significance of the event was not lost on the industry. In the months following the introduction of PayPal X, other payment networks launched innovation labs and other more or less open platforms. Beyond payments, Yodlee launched its FinApp store for developers; Facebook launched Facebook Credits, its virtual currency system for Facebook Apps. 2010 will go down in history as the year payment platforms burst to the front of the e-commerce scene. As Scott Thompson likes to tell us: “Payments are hot again!”
Why does it matter? The electronification of payments is a seminal trend that fueled the success of payment networks for several decades, and should generate an estimated $3.5 trillion in transactions this year in the U.S. alone. Yet this is a only a fraction of the addressable market, as long as we can extend payment functionality beyond its current reach at simple checkouts and Point of Sales. Much of today’s advanced commerce applications require a richer set of payment instructions, more varied transactions flows and support for many more data types than are used today by traditional retail commerce.
In today’s connected world, the distinction between commerce and payment is increasingly blurred. Already the notion of “checkout,” mimicking that of a physical store, is challenged: app stores and music stores for instance have substituted pre-registration and authentication for the act of approving an order and selecting a form of payment. Increasingly as buyers and sellers connect over mobile or internet connections, they exchange information in a string of activities that include payments as an embedded step.
Consider the not too hypothetical case of a consumer ordering a pizza on a mobile phone, after having received a targeted digital coupon tied to her loyalty card which she will redeem at the restaurant by flashing a 2D bar code while paying with an account linked to her mobile number. Think it is improbable? Think again. Already Domino’s Pizza has experienced serious sales lift from targeted mobile couponing, and the likes of Target and Starbucks are exploring 2D bar codes on smart phones used in the store. These programs are demonstrating that in the single flow from lead generation to post purchase service the consumer is better satisfied with a fully integrated experience. Such integration requires different applications – in this case targeted promotion, loyalty, payments, order management – to share data, potentially across the systems of different services providers. This can only be accomplished by opening up the various platforms involved.
This example shows not only the blurring of the lines between commerce enablement and financial transactions, but also between face-to-face transactions and online ones. There is no denying that our current payment infrastructure has been optimized for face-to-face transaction. Labeling online transactions “card not present” is the best demonstration of that. Buyers and sellers, but also peers involved in a casual transaction, need new tools to establish an account relationship and complete transactions. With its platform PayPal is excited to be at the heart of the creation of the future of money.
05 Desember 2010
source: https://www.thepaypalblog.com/2010/12/the-year-of-apis-and-the-reshaping-of-the-payment-ecosystem-part-1/
------------tulisan 2
In a recent post, we discussed the need for open payment platforms as the lines between commerce and payments continue to blur.
Integration with other online functionality is poised to drive transactions across a number of use cases: first in peer-to-peer payments, whether person to person or business to business, and eventually in buyer-to-seller transactions. Today’s traditional payment networks are essentially closed systems, conceived as “walled gardens” and these services fail to address the needs of the bulk of embedded commerce. Given the infrastructure construct, closed platforms limit the number of use cases serviced. By contrast open platforms will cover for an ever growing variety of clients and use cases by integrating applications and services from multiple providers. In a world where 50,000 developers can register with PayPal X, no single company will have the ability to remain competitive on its own. Of course we are only at the start of the era of open commerce platforms: few solutions exist today that, in addition to flexible payments, bring together the ability to integrate different service providers into a seamless user environment. To achieve such integration, a robust platform requires a combination of developer support, neutrality in the market, and transparency with ecosystem participants.
Developer support is more than documented APIs. The quality of the sandbox in which developers may create and test their applications is critical to the adoption of the platform. In the case where applications are co-hosted on a common platform and run as a service, the certification process of the application is equally important as every new combination of utility may affect the capacity of the platform owner to maintain a level of test coverage compatible with the risks that will be warranted against. Beyond these functional elements, engaging and maintaining the community; providing training but also generally diffusing technical knowledge amongst participants; encouraging and directing community contributions to core platform elements; are all differentiators between viable ecosystems and failed ones.
Market neutrality is essentially a business model issue pivoting around the ownership of intellectual property created around the platform. A platform provider that would protect its intellectual property while competing with the very developers and service providers it seeks to attract would likely affect the health of the ecosystem it seeks to foster. For instance, in 2006 I tested the potential of CardSpace, as a method for improving the risk profile of online transactions. The solution was promising, but it lacked traction in the marketplace possibly because of the relative success of Vista, certainly because of the concerns that followed the introduction of Passport a few years earlier.
Transparency relates to the rules imposed by the platform owner on its tenants (service providers) pertaining to the application certification requirements and the monetization options. We can all think of a number of platforms where the owner changed the rules in ways that clearly tipped the economic scale in their favor or in favor of its closest allies, only to see defection by the very developers it sought to control.
The success of the first generation of payment solutions came from the facilitation they provided between consumers and merchants: Consumer could more easily access their funds, merchants received a more reliable form of tender. Thus commerce grew.
Today’s consumers and retailers have far more evolved needs. To permit version 2.0 of commerce, new friction points have to be solved, which require a version 2.0 of payments. The potential for creating value by reinventing payments in concert with commerce is enormous.
In the first year, PayPal has seen thousands of applications built using the PayPal X platform, but this is just the beginning. The coming weeks and months will show how we help transform the application of payments.
12 Desember 2010
Source: https://www.thepaypalblog.com/2010/12/the-year-of-apis-and-the-reshaping-of-the-payment-ecosystem-part-2-2/
Penulis: Patrick Gauthier
Subscribe to:
Posts (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
PT Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI) menggelar uji coba siaran televisi digital di wilayah Jabotabek. Siaran uji coba itu merupak...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...