Saturday, July 18, 2009

Total Emisi Karbon Indonesia 640 Giga Ton

Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) menyebutkan selama kurun waktu lima tahun (2003 - 2008) total sumber emisi karbondioksida (CO2) di Indonesia setara dengan 638,975 giga ton CO2.

Hal tersebut diungkapkan Deputi III Menteri Negara Lingkungan Hidup (MenLH) Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Masnellyarti Hilman, dalam pemaparannya pada acara pembahasan menuju Ekonomi Hijau (Green Economic) di Jakarta, Jumat (26/6).

Masnellyarti atau lebih akrab dipanggil Nelly menjelaskan total sumber emisi Indonesia tersebut terdiri atas konversi hutan dan lahan sebesar 36 persen, emisi penggunaan energi sebesar 36 persen, emisi limbah 16 persen, emisi pertanian 8 persen dan emisi dari proses industri 4 persen.

Sedangkan sumber utama emisi Gas Rumah Kaca (GRK) tersebut antara lain berasal dari kegiatan hutan dan konversi lahan; perubahan dalam hutan dan persediaan biomass lainnya, industri manufaktur dan konstruksi, transportasi, sumber aktifitas dan panas, pembuangan terbuka limbah padat, air limbah, pengerjaan lahan padi, dan rumah tangga.

Untuk mengurangi emisi GRK dan menghadapi perubahan iklim, lanjut Nelly, Indonesia telah membuat Rencana Aksi Nasional dalam menghadapi Perubahan Iklim (RAN PI) dengan strategi pembangunan pro-poor,pro-job, pro-growth, dan pro-environment.

Sedangkan target RAN PI dalam hal mitigasi memfokuskan pada dua hal yaitu pada sektor energi dan sektor konversi hutan dan lahan. Untuk sektor energi dengan kebijakan penggunaan energi bauran (mix energy) mempunyai target penggunaan energi terbarukan 15 persen, penggunaan energi panas bumi sebesar 20 persen, penggunaan Carbon Capture Storage (CCS) sebesar 37 persen dan penurunan emisi GRK pada 2025 sebesar 17 persen,

Untuk sektor konversi hutan dan lahan menargetkan dapat merehabilitasi 36, 31 juta hektare dari 53,8 juta hektare hutan terdegradasi pada 2025. (Ant/OL-03)

JAKARTA--MI:Jumat, 26 Juni 2009 22:08 WIB

22 Pasar Indonesia Mampu Produksi Lima Ton Kompos Sehari

Sebanyak 22 unit pasar di Indonesia mampu mengubah total 13 ton sampahnya menjadi lima ton kompos per hari untuk keperluan pupuk nasional.

"Kalau 13.450 pasar di Indonesia memiliki unit pengolahan kompos sendiri maka kebutuhan pupuk nasional bisa terpenuhi dan tidak diperlukan lagi dibangun pabrik pupuk besar-besar," kata Excecutive Director Danamon Peduli Risa Bhinekawati di Jakarta, Jumat (26/6).

Risa mengatakan, Danamon Peduli memberi sumbangan mesin pengolah sampah menjadi kompos, rumah kompos, modal kerja hingga pelatihan bagi 31 unit pasar di 31 kabupaten/kota senilai Rp100juta-Rp120 juta per pasar dalam program Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Danamon.

Dengan mengolah sampah di tempat, ujarnya, maka akan mengurangi ongkos angkut sampah ke Tempat Pembuangan Akhir dan mengurangi karbon akibat pembakaran sampah di TPA sekaligus mengurangi kebutuhan gas alam dalam pembuatan pupuk kimia.

"Pupuk organik juga lebih baik bagi tanaman," katanya sambil menambahkan bahwa mesin pengolah sampah menjadi kompos sudah dibuat sendiri oleh UKM di dalam negeri. (Ant/OL-04)

JAKARTA--MI:Jumat, 26 Juni 2009 23:04 WIB

Industri Pertambangan Sumbang Kerusakan Lingkungan

Industri pertambangan kerap membuat kerusakan lingkungan. Dari mulai hilangnya kawasan hutan hingga menyebab pencemaran.

Hal itu diungkapkan Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Indonesia (Jatam) Siti Maimunah.

Apalagi, kata Maimunah, industri tambang sangat rakus terhadap lahan dan air. Perusahaan pertambangan tergolong perusahaan jangka pendek yang tidak terbarukan. Kerusakan lingkungan akibat pertambangan tidak bisa dihindari.

"Misalnya, perusahaan tambang dibangun di sebuah pulau kecil. Selain mengganggu daerah resapa air, proses penambangan perusahaan itu menyumbang limbah (tailing) B3 (bahan beracun dan berbahaya) bagi lingkungan sekitarnya," jelasnya saat dihubungi Media Indonesia, Sabtu (20/6).

Menurutnya, terdapat tiga jenis pembuangan dari yang primitif hingga yang dikatakan modern. Pertama, pembuangan limbah langsung ke sungai, kedua, pembungan limbang ke laut (submarine tailing disposal), dan pembuangan dalam kolam (tailing dam).

"Untuk mendapat satu gram emas, industri membutuhkan 100 liter air untuk proses ekstraksi. Belum lagi untuk kebutuhan industri dan karyawannya," katanya.

Besarnya kebutuhan air dalam proses penambangan, ia menilai pertambangan dapat memicu krisis air. Tak hanya itu, tambang yang membuka kawasan hutan dapat mengganggu kehidupan keanekaragaman hayati. (Drd/OL-06)

JAKARTA--MI:20 Juni 2009 19:19 WIB

Deklarasi Bedugul Disepakati

Pelestarian Alam

Setelah proses rembuk sekitar satu jam, sebanyak 23 kepala daerah di Indonesia menyatakan komitmennya menjaga kelestarian alam lewat Deklarasi Bedugul, di Bali, Rabu (15/7).

Mereka terdiri dari, Gubernur Jambi, Gubernur Jawa Tengah, Gubernur Kalimantan Barat, Gubernur Sulawesi Selatan, Gubernur Nusa Tenggara Barat, Bupati Banyumas, Bupati Batanghari, Bupati Enrekang, Bupati Katingan, Bupati Kuningan, Bupati Lampung Barat dan Bupati Lombok Timur.

Disusul oleh Bupati Maros, Bupati Minahasa, Bupati Sambas, Bupati Samosir, Bupati Sanggau, Bupati Solok, Bupati Tebo, Walikota Balikpapan, Wali Kota Batam, dan Wali Kota Kendari.

Dalam deklarasi itu tertulis juga Ketua Otorita Batam, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, dan Kepala LIPI Umar Anggara Jenie.

Mereka menyadari keanekaragaman hayati adalah aset bangsa yang merupakan salah satu pilar utama pembangunan nasional berkelanjutan. Apalagi, laju degradasi keanekaragaman hayati di Indonesia semakin mengkhawatirkan.

Konservasi dengan membangun kebun raya di berbagai daerah tidak saja berfungsi strategis di bidang konservasi tumbuhan. "Tapi juga kepentingan nasional bahkan internasional," ucap Bupati Kuningan Aang Hamid Suganda, selaku juru bicara.

Ada empat poin yang disepakati. Pertama, 23 pemerintah daerah bertekad mempercepat pembangunan kebun raya di daerah masing-masing. Kedua, percepatan pembangunan kebun raya di berbagai daerah perlu sinergitas antara pemda dan pemerintah pusat yakni Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Departemen Pekerjaan Umum, sesuai kompetensinya.

Poin ketiga, menyepakati pengembangan dan pengelolaan kebun raya perlu diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Keempat, pemda bertekad membangun jejaring kerja dalam rangka pengembangan dan pengelolaan kebun raya, difasilitasi Departemen PU dan LIPI.

Saat ini Indonesia hanya memiliki 5 kebun raya yang terletak di Bogor, Cibodas, Purwodadi, Bali, dan Jambi. Sebanyak 13 master plan (rencana induk) kebun raya sudah dihasilkan, 3 master plan lainnya dalam tahap penyusunan, yaitu Kebun Raya Solok, Kebun Raya Minahasa, dan Kebun Raya Kendari.

Idealnya, menurut Koordinator Pembangunan Kebun Raya LIPI Sutrisno, Indonesia yang terkenal kaya dengan keanekaragaman hayati harus memiliki minimal 41-45 unit kebun raya. (Zhi/OL-03)
JAKARTA--MI: Rabu, 15 Juli 2009 20:45 WIB
Source:http://www.mediaindonesia.com/read/2009/07/07/85487/89/14/Deklarasi_Bedugul_Disepakati

Penanganan Dampak Perubahan Iklim Butuh Miliaran Dolar

Negara-negara berkembang membutuhkan setidaknya 150 miliar dolar AS per tahun untuk mengatasi dampak perubahan iklim serta untuk mengejar target pembangunan berbasis rendah karbon.

Siaran pers LSM Oxfam Internasional di Jakarta, Kamis (16/7) hal tersebut mesti dipenuhi negara maju yang dalam sejarah peningkatan emisi global memiliki kewajiban untuk mendanai usaha adaptasi di negara berkembang. Untuk itu, pertemuan pemimpin politik dunia di Kopenhagen pada Desember 2009 mendatang harus dicapai kepakatan bahwa puncak tertinggi emisi karbon global harus berhenti sebelum 2015.

Selain itu, negara-negara maju sebelum 2020 harus menunjukkan komitmen untuk menurunkan emisi karbon mereka setidaknya hingga 40 persen tingkat emisi tahun 1990. Sedangkan sebelum 2050, seluruh negara juga harus berbuat untuk mengurangi emisi karbon global setidaknya 80 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990.

Pekan lalu, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengemukakan inisiatif pendanaan untuk upaya penanggulangan perubahan iklim semakin bertambah menyusul meningkatnya kesadaran akan pentingnya isu penanggulangan perubahan iklim dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G8 di L'Aquila, Italia.

"Ada beberapa inisiatif untuk pendanaan upaya penanggulangan perubahan iklim seperti 'green fund' yang diusulkan Meksiko dan berbagai proposal lain untuk menciptakan pasar untuk emisi karbon, di samping peningkatan pendanaan dari donor maupun anggaran masing-masing negara," kata Rachmat Witoelar.

Selain itu, dalam forum G8 juga disepakati bahwa negara berkembang dapat tetap tumbuh dan mendapat akses dana serta teknologi baik untuk mitigasi emisi maupun adaptasi terhadap perubahan iklim. Pada pertemuan tersebut, Presiden AS Barack Obama yang mengetuai diskusi sesi perubahan iklim menyimpulkan pentingnya isu pendanaan dan teknologi untuk negara berkembang dan inisiatif spesifik dengan swasta seperti green fund dan pasar karbon yang efisien. (Ant/OL-06)

JAKARTA--MI: Jumat, 17 Juli 2009 06:19 WIB

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...