Monday, July 20, 2009

Toak, Bisa Disulap Jadi Energi Alternatif

Toak, selama ini dikenal sebagai minuman khas dari Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Selain dikenal sebagai minuman yang bisa memabukkan peminumnya, kini toak bisa di manfaatkan sebagai bahan bakar alternatif. Hasil percobaan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tuban, meski belum mencapai hasil memuaskan, namun temuan itu cukup bermanfaat sebagai bahan bakar pengganti minyak tanah.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tuban, Muji Slamet Kamis (16/7) menyatakan saat ini, timnya sedang melakukan penelitian akhir tentang bahan bakar alternatif berbahan baku toak. Hasil fermentasi sari bunga pohon siwalan ini, ternyata mampu m enghasilkan bahan ethanol bermutu tinggi.

Agar menghasilkan cairan ethanol yang bermutu tinggi harus menggunakan toak basi atau toak yang difermentasi mengunakan ragi. Lalu, toak yang telah disimpan di tempat tertutup selama tujuh hari disuling melalui pemanasan. Pemanasan toak ini di lakukan h ingga mendidih, kata Muji.

Hasil penguapan toak basi ini disalurkan melalui pipa yang di rendam ke dalam air dingin. Pendinginan disebut sebagai proses penyulingan menghasilkan ethanol yang dipakai sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah.

Kandungan ethanol dalam olahan toak ini cukup tinggi hingga mencapai 90 persen. Ethanol ini kemudian diuji kualitasnya dengan cara membakarnya. Hasilnya cukup luar biasa, ethanol yang di bakar mampu menghasilkan api dengan menyala biru dengan jangka wakt u yang lama, katanya.

Penelitian dan percobaan bahan bakar dari toak ini dilakukan sebanyak lima kali dalam kurun waktu selama satu bulan terakhir. Namun hasilnya masih perlu diuji untuk mencapai biaya produksi yang efisien untuk diproduksi oleh masyarakat. Meski telah berhasi l masih terus dilakukan pengembangan atas penemuan itu. Rencananya akan dilakukan penelitian dan percobaan penggunaan tenaga surya atau tenaga angin sebagai bahan pemanas tungku dalam proses penyulingan toak menjadi ethanol, kata Muji.

Menurut dia rutinitas memanjat pohon siwalan merupakan aktifitas yang tak asing lagi bagi masyarakat Kabupaten Tuban. Dari pohon siwalan ini tidak hanya bisa dimanfaatkan buahnya, sebagai bahan dawet atau dibuat legen siwalan. Sari bunga dari pohon ini ya ng biasa di sebut toak juga dapat dikonsumsi sebagai minuman layaknya minuman keras karena bisa memabukkan. Kini ditemukan toak bisa jadi bahan bakar cukup membanggakan, katanya.

TUBAN, KOMPAS.com - KAMIS, 16 JULI 2009 | 19:04 WIB

Laporan wartawan KOMPAS Adi Sucipto

Source:http://sains.kompas.com/read/xml/2009/07/16/19042888/toak.bisa.disulap.jadi.energi.alternatif.

RUU LINGKUNGAN: Amdal Perlu Diperkuat di Lapangan

Efektivitas dokumen analisis mengenai dampak lingkungan menjadi salah satu sorotan dalam pertemuan sejumlah unsur pimpinan perguruan tinggi dengan anggota Komisi VII DPR, Rabu (15/7). Masih ada kesempatan memperbaiki ketentuan dalam RUU Pengelolaan Lingkungan Hidup.

”Amdal selama ini tak dijadikan instrumen penting karena banyak hal. Mata rantai amdal perlu diperbaiki,” kata wakil dari Universitas Diponegoro, Sudharto P Hadi, dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi VII DPR di Jakarta, kemarin. Selain Undip, hadir wakil dari Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Padjajaran. Satu-satunya yang tidak datang adalah wakil dari Universitas Indonesia.

Menurut Sudharto, mata rantai tersebut mulai dari perencanaan, penyusunan, hingga pemantauan. Selama ini amdal berhenti pada dokumen dengan pemantauan lemah.

Pelanggaran fatal, yaitu mulai dari praktik menyalin amdal hingga tak menerapkannya, tidak ada sanksi. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan masif di seluruh Indonesia.

”Selama RUU PLH ini tak kuat mengaturnya, UU baru itu tak akan berbeda dengan UU No 23/1997,” kata Kepala Pusat Studi Lingkungan UGM Eko Sugiarto, yang belasan tahun menangani isu lingkungan di lapangan.

Ia mengusulkan perubahan kalimat ”wajib memiliki dokumen amdal untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan” pada Pasal 14 (1). Kata ”memiliki” tanpa penegasan mengharuskan penerapannya di lapangan dengan ancaman sanksi dipastikan tidak akan efektif, seperti selama ini.

Daya dukung terlampaui

Kajian lingkungan terbaru di bawah Menko Perekonomian menunjukkan, daya dukung lingkungan Pulau Jawa sudah terlampaui. Sebanyak 13 UU yang mengatur sumber daya alam tumpang tindih dan saling menegasikan.

”UU yang kuat sangat dibutuhkan melihat kondisi sekarang. Namun, jangan sampai waktu pembahasan yang terbatas justru jadi masalah pada kemudian hari,” kata Rektor IPB Herry Suhardiyanto.

Wakil dari ITS menilai saatnya ada UU lingkungan yang tak menakut-nakuti iklim investasi, tetapi bukan berarti lemah.(GSA)

Jakarta, Kompas - Kamis, 16 Juli 2009 | 04:25 WIB
Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/16/04254545/amdal.perlu.diperkuat.di.lapangan

ENERGI TERBARUKAN: Panas Bumi Masih Problematik

Sumber energi terbarukan panas bumi diprioritaskan untuk menunjang program pengembangan pembangkit listrik 10.000 megawatt tahap kedua pada 2009 hingga 2014. Namun, masih terjadi problematik pada tanggung jawab pengeboran dan penetapan harga jual listrik dari panas bumi yang dimintakan investor supaya lebih tinggi daripada harga listrik yang diproduksi dengan bahan bakar fosil.

”Tuntutan mereka, pengeboran sampai menjadi sumur panas bumi menjadi tanggung jawab pemerintah,” kata Direktur Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Arya Rezavidi, Senin (13/7) di Jakarta.

Arya mengatakan, tahap pengeboran panas bumi memiliki risiko ketidakpastian yang membuat swasta tidak tertarik untuk menanamkan investasi pada tahap ini. Padahal, pengembangan pembangkit listrik 10.000 MW merupakan program percepatan yang diharapkan didukung penuh swasta.

”BPPT mendorong supaya pemerintah yang mengambil peran dalam eksplorasi atau pengeboran sampai menjadi sumur panas bumi siap kelola,” kata Arya.

Mengenai harga jual listrik dari pembangkit listrik tenaga panas, menurut Arya, estimasi pihak swasta terhadap harga listrik panas bumi masih lebih tinggi daripada harga listrik PLN yang menggunakan sumber energi bahan bakar fosil.

”Produksi listrik dari panas bumi sekitar 6-8 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh), sedangkan produksi listrik PLN masih di bawahnya, berkisar 4-5 sen dollar AS pe kWh. Perbedaan harga ini membutuhkan kesepakatan dan pemerintah sudah menyerahkan kepada PLN untuk bernegosiasi dengan investor,” kata Arya.

48 persen panas bumi

Berdasarkan data yang dikemukakan Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Witoro Soelarno, program pengembangan pembangkit listrik 10.000 MW akan dipenuhi dengan tenaga panas bumi sebesar 48 persen atau 4.733 MW. Selebihnya, batu bara sebesar 40 persen dan tenaga hidro 12 persen.

Indonesia memiliki potensi panas bumi untuk membangkitkan listrik sebesar 27.000 MW dan potensi ini terbesar di dunia. Namun, yang dimanfaatkan baru sekitar 1.000 MW.

Untuk pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap kedua, Departemen ESDM sudah menetapkan 22 satuan wilayah kerja pertambangan panas bumi untuk persiapan lelang.

Sebanyak enam wilayah kerja pertambangan telah dilelang, yaitu meliputi wilayah kerja pertambangan Gunung Tampomas (Sumedang-Subang), Cisolok-Cisukarame (Sukabumi), Tangkuban Perahu (Subang-Bandung-Purwakarta), Jailolo (Halmahera Barat), Sokoria (Ende, Nusa Tenggara Timur), dan Jaboi (Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam).

Menurut Arya, setiap perusahaan swasta hanya berminat pada investasi pembangkit listrik tenaga panas bumi skala besar di atas 10 MW. ”Padahal, tidak sedikit panas bumi skala kecil yang harus dimanfaatkan pula,” kata Arya. (NAW)

Jakarta, Kompas - Selasa, 14 Juli 2009 | 05:09 WIB
Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/14/05091740/panas.bumi..masih.problematik

Dokumentasi Hasil Penelitian Diabaikan

Pencatatan yang sistematis terhadap peneliti di Indonesia, baik berupa karya-karya ilmiah, identifikasi personal, maupun pergerakan personalnya ke luar negeri, masih diabaikan. Pemerintah tidak mampu menangani dunia penelitian karena tidak menempatkan penelitian sebagai hal penting.

”Mind set atau pola pikir menempatkan penelitian guna mencari bukti dan kebenaran belum tumbuh,” kata Jossy P Moeis, peneliti di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, Senin (13/7) di Jakarta. Ia menanggapi pernyataan Direktur Kelembagaan Departemen Pendidikan Nasional Hendarman yang menyebut 600 peneliti Indonesia memilih bekerja di luar negeri. (Kompas, 13/7).

Hasil penelitian tidak digunakan untuk perbaikan pada masa depan, baik dari sisi kebijakan maupun sistem. Menurut Jossy, ketiadaan pola pikir menghargai pentingnya penelitian tersebut merembet pada kurangnya penyediaan dana, fasilitas, dan insentif untuk peneliti. Fasilitas dasar untuk pencarian literatur dan data, misalnya, sangat terbatas.

Secara terpisah, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal mengatakan, peneliti-peneliti Indonesia yang berada di luar negeri dan tidak kembali lagi untuk kurun waktu lama karena tahu apa yang hendak dilakukan dalam bidang penelitiannya di negara tersebut.

Untuk bisa membuat peneliti Indonesia itu bermanfaat bagi bangsa dan negara, mereka perlu diperhatikan dan diberi kesempatan untuk mengaplikasikan ilmunya di Tanah Air.

”Untuk peneliti dari perguruan tinggi yang kemudian menetap dan terlibat dalam kegiatan penelitian di luar negeri, Depdiknas sudah meminta setiap rektor perguruan tinggi mendesain cara kembali dan apa yang kemudian bisa dilakukan mereka,” kata Fasli Jalal.

Menurut Fasli, setidaknya enam bulan sebelum kembali lagi ke kampus, para rektor itu sudah mempersiapkan tugas dan pekerjaan bagi para peneliti yang akan kembali ke Tanah Air.

Indikator Iptek Nasional

Pada Indikator Iptek Nasional yang dibukukan terakhir oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2008 mengenai survei Penelitian dan Pengembangan Sektor Perguruan Tinggi 2007 juga tidak diperoleh pencatatan secara sistematis kondisi para peneliti. Lebih-lebih data para peneliti yang diberi kesempatan memperluas pengalaman dan keahlian ke luar dan tidak kembali lagi ke Tanah Air.

”Alasan para peneliti kita di luar negeri karena merasa jaminan terhadap diri peneliti sendiri dan keluarga di luar negeri jauh lebih dihargai sehingga mengalami kesulitan untuk menyesuaikan apabila harus kembali ke Tanah Air,” kata Siti Meiningsih dari Pusat Penelitian Perkembangan Iptek LIPI.

Menurut Meiningsih, rendahnya jaminan terhadap peneliti di Tanah Air juga diperlihatkan sedikitnya peneliti asing yang terlibat di perguruan tinggi negeri (PTN). PTN Indonesia saat ini memiliki 30.569 peneliti, tersebar sebanyak 7.611 peneliti di 144 fakultas, 13.281 peneliti di 33 lembaga penelitian, 8.164 peneliti di 36 lembaga pengabdian masyarakat, dan 1.513 peneliti di 14 politeknik.(INE/ELN/NAW)

Jakarta, Kompas - Selasa, 14 Juli 2009 | 04:48 WIB
Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/14/04484355/dokumentasi.hasil..penelitian.diabaikan

Hijaunya BNI Hijaunya Negeri

BNI go green? Wow..emangnya bisa? Inilah pertanyaan yang sering kita dengar baik disampaikan oleh kalangan pegawai sendiri maupun oleh orang luar. Jawabannya adalah mengapa tidak bisa? Dimulai sejak era Dirut Sigit Pramono, momen bersejarah dimulai ketika tanggal 15 Desember 2005, BNI menandatangani kesepakatan dengan UNEP-FI (salah satu organ PBB dengan singkatan United Nation Environment Programme for Finance Initiative) untuk menerapkan bisnis dan investasinya dengan memperhatikan keberlanjutan (sustainability) dan kelestarian lingkungan.

Bahkan setelah ini, pada Desember 2007 BNI juga dipercaya sebagai official bank dalam Konferensi Tingkat Tinggi PBB Perubahan Iklim (United Nations – Climate Change Conference), di Bali. Mengapa BNI perlu melakukan pendekatan bisnis berwawasan lingkungan? Karena ternyata di balik isu-isu lingkungan terpendam besarnya potensi pembiayaan bank dalam menghadapi isu ini. Beberapa isu besar dalam perubahan iklim, diantaranya emisi gas rumah kaca, peningkatan karbon, krisis energi dan peningkatan permukaan air laut. Selain berperan di UNCCC 2007, BNI juga ditunjuk lagi oleh PBB menjadi official bank pada Konferensi Kelautan Dunia (WOC) di Manado bulan Mei 2009. Apa yang diminta oleh PBB pada beberapa kali kesempatan dapat menjadi inspirasi lembaga lainnya dan tentunya masyarakat luas bahwa komitmen BNI telah diakui sebagai layaknya sebuah prestasi yang tidak diklaim oleh internal bank tapi mendapatkan pengakuan dari pihak luar bahkan internasional.

Bahkan pada tanggal 02 Juli 2009 lalu, BNI berkomitmen lagi menjadi satu-satunya bank dalam negeri yang akan mendukung proyek Clean Development Mechanism (CDM). CDM merupakan program yang diluncurkan pada Perjanjian Kyoto untuk memberikan insentif bagi perusahaan-perusahaan yang mampu menurunkan tingkat emisi karbon.

Inspirasi Hijau: Produk KPR

Mau bukti? Ini bisa kita lihat dari produk KPR BNI Griya yang menerapkan konsep hijau dan asri bagi perumahan-perumahan yang didanai oleh BNI. Konsep BNI Griya juga melibatkan partisipasi beberapa pihak seperti kalangan developer (jumlahnya mencapai 1.000 developer) dan ikatan arsitek Indonesia. BNI juga membuat Buku panduan hijau yang memuat kiat-kiat praktis dan sederhana dalam kehidupan sehari-hari yang bisa dilakukan dalam mengupayakan hidup lebih sehat dan nyaman, tetapi juga berdampak besar dalam mencegah perubahan iklim yang sedang terjadi.

Salah satu informasi dalam buku panduan hijau ini adalah bahwa ternyata perumahan dan berbagai bangunan lainnya merupakan sumber emisi gas rumah kaca. Bangunan menyumbang 7,9% emisi global gas rumah kaca dan jika faktor penggunaan listrik dimasukkan, angka ini membengkak menjadi 33% dari total emisi global pada tahun 2004. Ini disebabkan konsumsi energi bangunan begitu besar terutama untuk aktifitas operasional seperti penggunaan AC, penerangan, pemanas air atau peralatan berbasis listrik. Maka dari itu untuk menekan emisi gas rumah kaca ini adalah dengan meningkatkan efisiensi energi pada bangunan. Menurut UNEP Sustainable Construction and Building Initiative, bangunan mengkonsumsi sekitar 30-40% dari total energi global. Dengan menggunakan teknologi yang ada dan dalam waktu singkat, konsumsi energi bangunan baru maupun lama dapat dipotong 30-50% tanpa peningkatan biaya investasi yang nyata (Sumber: UNEP Sustainable Construction and Building Initiative).

Inspirasi Hijau: Layanan paperless e-billing BNI

Selain untuk perumahan dalam skema pembiayaan KPR, ternyata inspirasi hijau BNI juga menular kepada pemegang kartu kredit BNI. Melalui fasilitas e-billing (tagihan dikirimkan ke nasabah via e-mail dalam bentuk file pdf) dan billing two in one (tagihan visa dan master yang beralamat sama digabungkan dalam satu amplop) maka BNI juga melakukan efisiensi kertas dan mengurangi emisi karbon. Mengapa demikian? Karena BNI Card Center saja setiap bulan rata-rata mencetak sebanyak 600.000 kertas lembar tagihan atau sama dengan 1200 rim kertas A4 (1 rim = 500 lembar). Sementara 1 (satu) batang pohon berusia 5 tahun setara dengan 1 rim jenis kertas A4. Melalui e-billing dan billing two in one tersebut, BNI dapat menghemat secara total sebesar 80 rim kertas A4 per bulan (7% dari kebutuhan bulanan). Dengan kata lain, secara sustainability BNI telah menghemat sebanyak 80 pohon per bulan atau 960 pohon per tahun! Bahkan untuk billing two in one BNI juga mengurangi efek emisi karbon dari kendaraan kurir BNI karena mereka tidak harus bolak-balik mengirimkan lembar tagihan ke alamat yang sama.

Inspirasi untuk Hijaunya Negeri

Selain hal-hal di atas BNI juga terlibat aktif dalam penanaman pohon di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Oleh sebab itu bukankah karya-karya BNI demi lingkungan dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia dan bagi masyarakat khususnya nasabah BNI? Andalah yang berhak menilainya.

Penulis: Leonard Tiopan Panjaitan/NPP: 23348, email: leonardpanjaitan@gmail.com

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...