Saturday, September 12, 2009

Jembata SURAMADU: Dirancang Antigempa, Tahan 100 Tahun

Berdirinya Jembatan Suramadu merupakan tonggak sejarah baru dalam pembangunan konstruksi prasarana perhubungan di Indonesia. Jembatan antarpulau sepanjang 5.438 meter yang akan diresmikan besok (10/6) itu bukan hanya yang terpanjang di Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara. Ket.Foto: Warga menyusuri Selat Madura saat air surut untuk mengumpulkan kerang di sekitar proyek Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) di kawasan Tambak Wedi, Surabaya, Jawa Timur. Jembatan Suramadu yang menghabiskan dana sebesar Rp 4,5 triliun itu telah siap dioperasikan dengan membawa harapan baru terjadinya percepatan pembangunan di kawasan Madura.

Sebagai jembatan yang menghubungkan dua pulau, sesungguhnya Suramadu (Surabaya-Madura) merupakan jembatan kedua setelah rangkaian jembatan Barelang (Batam-Rempang-Galang) yang selesai dibangun tahun 1997. Enam jembatan dengan berbagai tipe yang menghubungkan tujuh pulau kecil di Provinsi Kepulauan Riau ini merupakan landmark keberhasilan dan kemandirian anak bangsa dalam membangun jembatan antarpulau.

Sebelum Suramadu dibangun, timbul keraguan, apakah mungkin membangun jembatan di daerah patahan dan gempa? Bagaimana dengan tiupan angin di laut Selat Madura yang terkenal kencang, apakah tidak akan memengaruhi konstruksi jembatan?

Penelitian pun akhirnya dilakukan secara mendalam selama 2003-2004. Penelitian yang lebih bersifat technical studydilakukan terhadap 12 item yang kebanyakan berupa parameter tanah.

Dari sisi seismic hazard analysis, misalnya, diperoleh kesimpulan, di sekitar lokasi jembatan tidak ditemukan suatu patahan aktif. Berdasarkan katalog gempa juga tidak ditemukan gempa dengan magnitude di atas 4 skala Richter sehingga kondisi di sekitar lokasi jembatan cukup stabil.

Kajian mendalam juga dilakukan terhadap kontur dasar laut, arus air laut, serta pengaruh pasang terhadap jembatan. Ternyata semuanya sangat memungkinkan untuk dibangun jembatan yang menghubungkan dua pulau. Adapun untuk angin, berdasarkan kajian, ternyata angin yang melintang kecepatannya sekitar 3,6 kilometer per jam sampai maksimal 65 kilometer per jam.

Tahan gempa

Jembatan Suramadu yang pemancangan tiang pertamanya dilakukan pada 20 Agustus 2003 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri saat ini bisa tahan terhadap guncangan gempa sampai 7 skala Richter. Jembatan ini pun dirancang dengan sistem antikorosi pada fondasi tiang baja.

Karena menghubungkan dua pulau, teknologi pembangunan Jembatan Suramadu didesain agar memungkinkan kapal-kapal dapat melintas di bawah jembatan. Itulah sebabnya, di bagian bentang tengah Suramadu disediakan ruang selebar 400 meter secara horizontal dengan tinggi sekitar 35 meter.

Untuk menciptakan ruang gerak yang lebih leluasa bagi kapal-kapal, di bagian bentang tengah Suramadu dibangun dua tower (pylon) setinggi masing-masing 140 meter dari atas air. Kedua tower ini ditopang sebanyak 144 buah kabel penopang (stayed cable) serta ditanam dengan fondasi sedalam 100 meter hingga 105 meter.

”Total panjang tower sekitar 240 meter. Ini sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya,” kata Direktur Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum Hermanto Dardak.

Kuat 100 tahun

Secara keseluruhan, pembangunan Suramadu menghabiskan sekitar 650.000 ton beton dan lebih kurang 50.000 ton besi baja. Tak heran, dinas pekerjaan umum mengklaim Suramadu sebagai megaproyek yang menghabiskan dana total mencapai Rp 4,5 triliun. Jembatan ini dirancang kuat bertahan hingga 100 tahun atau hampir menyamai standar Inggris yang mencapai 120 tahun.

Karena berada di tengah lautan, Suramadu berpotensi terkendala faktor angin besar yang potensial terjadi di tengah lautan. Untuk memastikan keamanan kendaraan yang melintas di atas Suramadu, Departemen Pekerjaan Umum akan membangun pusat monitoring kondisi cuaca, khususnya angin.

”Jika kecepatan angin sudah mencapai 11 meter per detik atau sekitar 40 kilometer per jam, jembatan harus ditutup untuk kendaraan roda dua demi keselamatan pengendara,” ujar Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto.

Jika kecepatan angin bertambah hingga 18 meter per detik atau sekitar 65 kilometer per jam, jalur untuk kendaraan roda empat akan ditutup. Langkah ini semata-mata untuk keselamatan dan kenyamanan pengendara. Adapun konstruksi jembatan akan tetap aman karena Jembatan Suramadu dirancang tetap kokoh meski ditempa angin berkecepatan lebih dari 200 kilometer per jam.

Bukan cuma kuat dari terpaan angin, Jembatan Suramadu juga didesain mampu menopang kendaraan sesuai standar as atau axle di daratan. Dengan demikian, Suramadu diperkirakan mampu menahan beban dengan berat satu as kendaraan sekitar 10 ton.

Cukup lima menit

Setelah diresmikan besok, diperkirakan Jembatan Suramadu akan dilintasi 8.000-9.000 sepeda motor per hari serta sekitar 4.000 kendaraan roda empat per hari.

Jumlah ini berdasarkan perhitungan sebelumnya, kendaraan yang melintasi Ujung-Kamal dengan menggunakan kapal feri sekitar 2,4 juta sepeda motor per tahun (62 persen) serta 1,5 juta kendaraan roda empat per tahun (38 persen).

Selain bakal padat, jembatan ini pun pasti akan sangat membantu masyarakat karena waktu tempuh Surabaya-Madura bisa dipersingkat. Jika sebelumnya menggunakan feri dibutuhkan waktu sekitar 30 menit, sekarang dengan menggunakan Suramadu cukup ditempuh lima menit.

Sempat tersendat

Pembangunan Suramadu dalam perjalanannya sempat menemui kendala dana. Terhambatnya pencairan dana menyebabkan pembangunan approach bridge atau jembatan pendekat sisi Surabaya sepanjang 672 meter tersendat September 2008. Pemerintah Provinsi Jawa Timur akhirnya menalangi dana pembangunan melalui Bank Jatim sebesar Rp 50 miliar sebelum dana pinjaman dari Bank Exim of China sebesar 68,9 juta dollar AS cair.

Studi pembangunan yang kurang sempurna menyebabkan perkiraan biaya pembangunan juga meleset, seperti tiang pancang jembatan yang awalnya hanya didesain setinggi 45 meter akhirnya bertambah menjadi sekitar 90 meter. Karena itu, dari estimasi awal nilai kontrak sebesar Rp 4,2 triliun, biaya pembangunan akhirnya membengkak hingga Rp 4,5 triliun.

Pembiayaan pembangunan Suramadu 55 persen ditanggung pemerintah dan 45 persen sisanya pinjaman dari China. Dari total biaya pembangunan Suramadu sebesar Rp 4,5 triliun, sekitar Rp 2,1 triliun di antaranya berutang kepada China. Mahalnya pemikiran dan biaya pembangunan Suramadu diharapkan mampu menumbuhkan geliat ekonomi Tanah Air, terutama Jawa Timur.

SELASA, 9 JUNI 2009 | 10:32 WIB

Penulis: AB Kuniawan/Try Hariyono

KOMPAS.com — http://properti.kompas.com/read/xml/2009/06/09/1032308/dirancang.antigempa.tahan.100.tahun

Rumah Tahan Gempa dari Sengkang Benar

Betapa banyak rumah masyarakat yang rusak akibat gempa. Menilik musibah gempa Tasikmalaya pada 2 September 2009, Badan Nasional Penanggulangan Bencana melaporkan, 67.760 rumah rusak berat dan 150.839 rumah rusak ringan hanya di beberapa wilayah Jawa Barat.

Hengki Wibowo Ashadi, pengajar di Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Kamis (10/9), mengatakan, membangun rumah tahan gempa tidak rumit, hanya menuntut pembentukan detail yang tepat di bagian-bagian tertentu.

”Membangun rumah tahan gempa tidak pula mahal. Pemilihan material bisa dimulai dari pemanfaatan reruntuhan batu bata bekas hingga penggunaan material ringan, seperti papan gabus untuk lapisan bagian dalam dinding dengan permukaannya dilapisi beton tipis,” kata Hengki, Kamis (10/9) di ruang kerjanya di Jakarta.

Hengki mengatakan, sebagian besar korban tewas akibat gempa adalah korban yang tertimpa bangunan. Untuk mengurangi risiko tersebut pada masa-masa mendatang, masyarakat yang tinggal di daerah rawan gempa patut mempertimbangkan metode-metode pembangunan rumah tahan gempa.

Berkaca dari gempa Tasikmalaya, sesuai laporan terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana, terdapat 80 orang tewas dan 47 orang dinyatakan hilang. Kemudian sebanyak 1.142 orang terluka. Ini sangat tragis. Andai saja bangunan rumah mereka tahan gempa.

Dari jumlah ribuan rumah penduduk yang rusak akibat gempa, ternyata masih ada data tambahan 1.193 unit bangunan sekolah rusak berat dan 1.664 unit sekolah rusak ringan. Ini menunjukkan, kalangan dunia pendidikan pun masih abai terhadap bangunan tahan gempa.

Sengkang yang benar

Hengki menuturkan, membuat rumah tahan gempa dengan bentuk yang lazim dibuat penduduk seperti sekarang itu mudah dan murah. Kuncinya pada detail penempatan dan pembuatan sengkang (ring pada balok) yang harus benar.

”Saya pernah menyurvei toko-toko bangunan yang menjual kerangka besi untuk balok-balok beton. Rata-rata penempatan posisi sengkang salah semua,” kata Hengki.

Posisi sengkang yang benar bertujuan supaya rumah yang dibangun nantinya tahan gempa. Sengkang yang benar mencermati kerapatan posisi sengkang di ujung-ujung setiap balok beton. Sengkang pada kedua ujung balok itu harus rapat.

Jarak kerapatan sengkang satu sama lain bisa sekitar 5 sentimeter. Namun, patokan yang benar, batu untuk campuran beton yang dipergunakan harus tak bisa lolos. Kalau ukuran kerikil batu sekitar 2 sentimeter, mau tak mau kerapatan sengkang tak lebih dari 2 sentimeter.

Untuk ketinggian rangkaian, posisi sengkang yang rapat itu ditetapkan dua kali lebar balok yang ingin dibentuk. Kalau lebar balok 20 sentimeter, rangkaian sengkang yang merapat di kedua ujung balok tersebut panjangnya harus 40 sentimeter.

”Posisi sengkang yang merapat di kedua ujung balok menjadi penahan gerakan gempa. Bentuk detail sengkang pada ujung balok beton ini yang paling penting, tetapi masih banyak diabaikan,” kata Hengki.

Berdasarkan survei ke toko-toko bangunan yang menjual sengkang, menurut Hengki, bentuk sengkang yang dijual di toko-toko bangunan itu rata-rata salah. ”Ujung besi sengkang yang salah itu posisinya tak dibelokkan ke tengah-tengah diagonal sengkang,” kata Hengki.

Ujung besi sengkang yang dibelokkan ke tengah diagonal berfungsi memberi kekuatan yang lebih untuk menahan gaya gempa.

Terkait dengan penguatan struktur tulang lainnya yang sering diabaikan masyarakat, lanjut Hengki, yaitu tidak ada penjangkaran pada sambungan balok beton vertikal dengan horizontal.

Penjangkaran atau pembelokan ujung besi balok horizontal ke bawah menempel besi balok vertikal itu memiliki rumus panjang 20 kali diameter besi yang digunakan. Kalau besi yang digunakan berdiameter 10 milimeter, penjangkarannya cukup dengan 200 milimeter.

Balok beton fleksibel

Metode lain membuat rumah tahan gempa adalah dengan pembentukan balok beton fleksibel. Balok beton fleksibel tidak menyatu dengan lapisan dinding, tetapi hanya dihubungkan dengan pelat baja.

”Ketika terjadi gempa, struktur balok beton fleksibel itu dibebaskan bergerak. Namun, lapisan dinding dipertahankan tidak bergerak supaya terhindar dari keretakan,” kata Hengki.

Pada prinsipnya, bangunan atau rumah tahan gempa itu menggunakan material yang ringan, tetapi kuat. Logikanya, ketika terpaksa harus runtuh akibat gempa, struktur bangunan dari material ringan itu tidak akan sampai mematikan.

”Di sinilah letak penting untuk kembali menengok cara-cara tradisional kita dalam mendirikan bangunan atau rumah dengan kayu dan bambu. Kemudian, atapnya berupa ijuk, dan sebagainya,” kata Hengki.

Pemilihan material seperti kayu dan bambu memenuhi unsur ringan dan kuat, seperti pembuatan dinding dengan gedek atau rajutan bilah bambu itu jelas akan membentuk lapisan dinding yang ringan dan ramah terhadap gempa.

Untuk menempuh kembali metode tradisional tersebut, Hengki mengatakan, langkah terpenting adalah membuat material yang lebih kuat dan tahan lama, seperti melapisi bambu dengan polimer.

Indonesia Mendata Kebutuhan HCFC

LAPISAN OZON

Indonesia mendata kebutuhan ideal hydrochlorofluorocarbon—senyawa kimia yang banyak dimanfaatkan pada alat pendingin ruangan—di tingkat nasional pada 2009-2010. Angka kebutuhan nasional harus diperoleh sebelum penerapan pembatasan kuota pada tahun 2013.

Pembatasan hydrochlorofluorocarbon (HCFC) pengganti chlorofluorocarbon (CFC) dipercepat karena ternyata masih berpotensi menyebabkan pemanasan global hampir 2.000 kali lipat dari karbon dioksida. ”Ketentuan internasional, tahun 2013 harus sudah ada data di dunia tentang kebutuhan HCFC global,” kata Tri Widayati dari Unit Ozon Nasional di Jakarta, Jumat (11/9).

Setelah ada data global, penggunaan dunia akan diturunkan 10 persen pada awal 2015 dan 35 persen pada 2020.

Tahun 2030 HCFC hanya boleh digunakan untuk proses produksi. Tahun 2030-2040 hanya untuk servis. Selain pendingin ruangan, HCFC banyak digunakan pada produksi busa, alat pemadam, aerosol, serta bahan pelarut dan pembersih (solvent).

Refrigerant R-22 terus diimpor, menggantikan R-12 yang dihentikan impornya per 1 Januari 2008. China merupakan salah satu produsen sekaligus importir besar refrigerant R-22.

Kini dunia menghadapi tantangan ketersediaan refrigerant pengganti HCFC yang tak menipiskan lapisan ozon sekaligus tak berpotensi sebabkan pemanasan global, di antaranya hidrokarbon.

Asisten Deputi Urusan Pengendalian Dampak Perubahan Iklim Kementerian Negara Lingkungan Hidup Sulistyowati menyebutkan, saat ini tersedia refrigerant berbasis hidrokarbon. Pihak KNLH telah menggunakannya untuk pendingin ruangan skala kecil. (GSA)

Selat Sunda dan Jembatan

KEGEMPAAN

Seusai gempa tektonik yang menerjang selatan Jawa Barat (Rabu, 2/9), kepanikan justru melanda penduduk pesisir Banten beberapa hari sesudahnya, akibat beredarnya isu tsunami. Kepanikan mungkin tidak akan terjadi jika masyarakat setempat memahami perilaku geologi Selat Sunda.

Belakangan ini perhatian banyak orang tengah mengarah ke Selat Sunda. Bukan hanya karena akan ada rencana pembangunan jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Namun, perhatian menjadi kian kuat setelah terungkap potensi kegempaan berkekuatan lebih dari 8 skala Richter yang berdasarkan pada data sejarah kegempaan tahun 1908.

Melihat intensitas gempa sebesar itu, kemudian muncul pertanyaan apa dan di manakah sumber gempa tersebut?

Untuk menemukan jawabannya, beberapa penelitian telah dilakukan sejak tahun 1983. Pada tahun itu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan survei geologi bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Perancis (CNRS).

”Penelitian itu mencakup daratan dan lautan hingga ke Samudra Hindia,” urai Deputi Ilmu Kebumian LIPI Hery Haryono, yang saat itu menjadi ketua tim peneliti dari Indonesia.

Kerja sama Indonesia-Perancis bidang riset geologi-geofisika di Selat Sunda tersebut memakan waktu 10 tahun (1983-1993). Promotornya adalah Prof MT Zen—guru besar ITB, yang saat itu juga adalah Deputi Kepala BPPT dan Asisten Menneg Ristek—dan Prof X Le Pichon, ilmuwan Perancis yang terkenal dengan bukunya, Plate Tectonics.

Kerja sama riset ini juga melibatkan BPPT, Lemigas, PPGL-ESDM, ITB, UGM, Institut Kelautan Perancis (CNEXO), Lembaga Riset Seberang Lautan (ORSTOM), CNRS, dan beberapa universitas di Perancis.

Penelitian ini untuk pertama kalinya menggunakan kapal riset Indonesia, yaitu KR Baruna Jaya 3. Ekspedisi di laut mencakup survei seismik, aliran arus panas air laut, gaya berat bumi, medan magnetik, dan pemetaan dasar laut. Adapun di darat dilakukan penelitian tektonik aktif dengan pendekatan geologi ataupun seismologi.

Fokus penelitian kegempaan diarahkan pada segmen Semangko di Lampung. Dari data seismologi kemudian dibuat jejaring seismik yang melingkari Selat Sunda. Selain itu, dilakukan penelitian terumbu karang, untuk melihat jejak tsunami pada masa lalu.

Riset di Selat Sunda berangkat dari hipotesis bahwa kawasan itu berada di zona transisi subduksi normal Jawa ke subduksi miring Sumatera sehingga menghasilkan Selat Sunda dengan rezim tektonik ekstensi atau melebar. ”Terbukanya” Selat Sunda ini bersamaan dengan terbukanya Laut Andaman. Keduanya dihubungkan oleh Patahan Sumatera, jelas Hery yang juga menjadi Wakil Ketua International Union Geodesy dan Geology (IUGG) untuk Indonesia.

Hipotesis lain adalah Patahan Sumatera menerus ke Selat Sunda dan menerus hingga Palung Jawa. Selat Sunda terbuka akibat pergerakan lempeng busur luar Sumatera (Sumatera forearc plate) ke arah barat laut.

Lempeng mikro ini di timur dibatasi Patahan Sumatera, di barat oleh Palung Sumatera. Paper ini ditulis oleh Huchon dan X Le Pichon serta dimuat di jurnal Geology pada tahun 1984.

Hasil penelitian

Dari penelitian seismik tersebut tampak jelas bahwa Selat Sunda mengalami penurunan. Selain itu, tampak rezim ekstensi–sesuai hipotesis-dengan arah barat laut–tenggara.

Dari model gravitasi dilakukan rekonstruksi pembukaan Selat Sunda yang dimulai sejak 13 juta tahun yang lalu, kemudian makin cepat 10 juta tahun lalu, dan makin cepat lagi sekitar 5 juta tahun lalu.

Pergerakan atau perpindahan maksimum yang terjadi sejak 5 juta tahun lalu mencapai 50 km hingga 70 km. Jika diambil rata-rata pergerakan itu, kecepatannya sekitar 7 cm per tahun.

Dari studi perambatan gelombang gempa diketahui adanya beberapa kantong magma di kedalaman 3 km-9 km dan terdapat reservoir yang terletak lebih dalam, yaitu 20 km lebih.

”Kini studi semacam ini bisa dilakukan secara lebih detail dengan menggunakan teknik tomografi. Saya ingin ini bisa dilakukan lagi,” urai Hery, mantan Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI.

Dari gravitasi, khususnya di kompleks Krakatau, diperoleh model kaldera kolaps yang bisa jadi memicu tsunami tahun 1883. Menurut peneliti paleogeologi kelautan LIPI, Wahjoe S Hantoro, saat itu terjadi tsunami setinggi 30 meter di Merak, sedangkan di Jakarta mencapai ketinggian 2 meter.

Penelitian ini juga mengonfirmasi hipotesis tentang adanya terusan Patahan Semangko hingga ke palung atau subduksi di selatan Jawa Barat.

Penemuan Yusuf Surachman dari Pusat Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam BPPT pada tahun 2002 menguatkan temuan ini.

Busur luar Sumatera

Dari Selat Sunda penelitian bergeser ke busur luar Sumatera, tempat pulau-pulau Enggano, Mentawai, dan Nias berada. Pada pelayaran tahun 1991 inilah ditemukan Patahan Mentawai.

Sementara itu, penelitian pergerakan daratan di Selat Sunda menggunakan jejaring stasiun global positioning system (GPS), baik di Lampung, Banten, maupun Jawa Barat, yang dilakukan Kepala Pusat Geodinamika Bakosurtanal Cecep Subarya memperjelas adanya pembukaan selat tersebut di wilayah selatan.

Bagian utara Sesar Semangko berputar searah jarum jam, sedangkan di sisi Banten berputar melawan jarum jam. Bagian selatan Sesar Semangko, yaitu
di daerah Krui Lampung, terkunci.

Hal ini bisa memberi sedikit gambaran pola kegempaan yang kompleks di kawasan Selat Sunda. Hal ini mestinya dapat menjadi patokan dalam pembangunan infrastruktur, termasuk jembatan, yang rencananya akan dibangun untuk menghubungkan dua pulau: Jawa dan Sumatera.

Penulis: Yuni Ikawati
Sabtu, 12 September 2009 | 03:44 WIB

KESIAPSIAGAAN BENCANA: Integrasi Data Ditargetkan Selesai pada Tahun 2011

Integrasi data untuk menunjang kesiapsiagaan bencana, terutama gempa bumi dan tsunami, ditargetkan selesai 2011. Sumber data berasal dari tiga instansi, yaitu Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.

”Selama ini data terintegrasi didapat dari Japan Meteorological Agency dan Pasific Tsunami Warning Center,” kata Kepala Intergovernment Coordination Group for The Indian Ocean Tsunami Warning and Mitigation System Jan Sopaheluwakan, Jumat (11/9) di Jakarta.

Dari ketiga instansi itu tersedia data pasang-surut berbagai pantai dari Bakosurtanal. Data berikutnya adalah data pemantauan perilaku laut, terutama tsunami, melalui buoy oleh BPPT.

Kemudian data kegempaan dari BMKG. Jan mengakui, untuk mewujudkan integrasi data tersebut butuh kooordinasi yang tidak mudah. Dicontohkan, data batimetri atau data tiga dimensi lapisan tanah bawah laut yang mestinya disediakan Bakosurtanal selama ini belum terwujud sepenuhnya. Data batimetri ini berperan menetapkan simulasi potensi tsunami akibat gempa.

Seperti dikemukakan Kepala Program Buoy Tsunami Indonesia Ridwan Djamaluddin dari BPPT, data perilaku laut yang direkam melalui sistem buoy tak dapat memberikan suplai data peringatan dini tsunami karena rusak akibat gejala alam atau pencurian komponennya. (NAW)

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...