Seusai gempa tektonik yang menerjang selatan Jawa Barat (Rabu, 2/9), kepanikan justru melanda penduduk pesisir Banten beberapa hari sesudahnya, akibat beredarnya isu tsunami. Kepanikan mungkin tidak akan terjadi jika masyarakat setempat memahami perilaku geologi Selat Sunda.
Belakangan ini perhatian banyak orang tengah mengarah ke Selat Sunda. Bukan hanya karena akan ada rencana pembangunan jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Namun, perhatian menjadi kian kuat setelah terungkap potensi kegempaan berkekuatan lebih dari 8 skala Richter yang berdasarkan pada data sejarah kegempaan tahun 1908.
Melihat intensitas gempa sebesar itu, kemudian muncul pertanyaan apa dan di manakah sumber gempa tersebut?
Untuk menemukan jawabannya, beberapa penelitian telah dilakukan sejak tahun 1983. Pada tahun itu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan survei geologi bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Perancis (CNRS).
”Penelitian itu mencakup daratan dan lautan hingga ke Samudra Hindia,” urai Deputi Ilmu Kebumian LIPI Hery Haryono, yang saat itu menjadi ketua tim peneliti dari Indonesia.
Kerja sama Indonesia-Perancis bidang riset geologi-geofisika di Selat Sunda tersebut memakan waktu 10 tahun (1983-1993). Promotornya adalah Prof MT Zen—guru besar ITB, yang saat itu juga adalah Deputi Kepala BPPT dan Asisten Menneg Ristek—dan Prof X Le Pichon, ilmuwan Perancis yang terkenal dengan bukunya, Plate Tectonics.
Kerja sama riset ini juga melibatkan BPPT, Lemigas, PPGL-ESDM, ITB, UGM, Institut Kelautan Perancis (CNEXO), Lembaga Riset Seberang Lautan (ORSTOM), CNRS, dan beberapa universitas di Perancis.
Penelitian ini untuk pertama kalinya menggunakan kapal riset Indonesia, yaitu KR Baruna Jaya 3. Ekspedisi di laut mencakup survei seismik, aliran arus panas air laut, gaya berat bumi, medan magnetik, dan pemetaan dasar laut. Adapun di darat dilakukan penelitian tektonik aktif dengan pendekatan geologi ataupun seismologi.
Fokus penelitian kegempaan diarahkan pada segmen Semangko di Lampung. Dari data seismologi kemudian dibuat jejaring seismik yang melingkari Selat Sunda. Selain itu, dilakukan penelitian terumbu karang, untuk melihat jejak tsunami pada masa lalu.
Riset di Selat Sunda berangkat dari hipotesis bahwa kawasan itu berada di zona transisi subduksi normal Jawa ke subduksi miring Sumatera sehingga menghasilkan Selat Sunda dengan rezim tektonik ekstensi atau melebar. ”Terbukanya” Selat Sunda ini bersamaan dengan terbukanya Laut Andaman. Keduanya dihubungkan oleh Patahan Sumatera, jelas Hery yang juga menjadi Wakil Ketua International Union Geodesy dan Geology (IUGG) untuk Indonesia.
Hipotesis lain adalah Patahan Sumatera menerus ke Selat Sunda dan menerus hingga Palung Jawa. Selat Sunda terbuka akibat pergerakan lempeng busur luar Sumatera (Sumatera forearc plate) ke arah barat laut.
Lempeng mikro ini di timur dibatasi Patahan Sumatera, di barat oleh Palung Sumatera. Paper ini ditulis oleh Huchon dan X Le Pichon serta dimuat di jurnal Geology pada tahun 1984.
Hasil penelitian
Dari penelitian seismik tersebut tampak jelas bahwa Selat Sunda mengalami penurunan. Selain itu, tampak rezim ekstensi–sesuai hipotesis-dengan arah barat laut–tenggara.
Dari model gravitasi dilakukan rekonstruksi pembukaan Selat Sunda yang dimulai sejak 13 juta tahun yang lalu, kemudian makin cepat 10 juta tahun lalu, dan makin cepat lagi sekitar 5 juta tahun lalu.
Pergerakan atau perpindahan maksimum yang terjadi sejak 5 juta tahun lalu mencapai 50 km hingga 70 km. Jika diambil rata-rata pergerakan itu, kecepatannya sekitar 7 cm per tahun.
Dari studi perambatan gelombang gempa diketahui adanya beberapa kantong magma di kedalaman 3 km-9 km dan terdapat reservoir yang terletak lebih dalam, yaitu 20 km lebih.
”Kini studi semacam ini bisa dilakukan secara lebih detail dengan menggunakan teknik tomografi. Saya ingin ini bisa dilakukan lagi,” urai Hery, mantan Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI.
Dari gravitasi, khususnya di kompleks Krakatau, diperoleh model kaldera kolaps yang bisa jadi memicu tsunami tahun 1883. Menurut peneliti paleogeologi kelautan LIPI, Wahjoe S Hantoro, saat itu terjadi tsunami setinggi 30 meter di Merak, sedangkan di Jakarta mencapai ketinggian 2 meter.
Penelitian ini juga mengonfirmasi hipotesis tentang adanya terusan Patahan Semangko hingga ke palung atau subduksi di selatan Jawa Barat.
Penemuan Yusuf Surachman dari Pusat Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam BPPT pada tahun 2002 menguatkan temuan ini.
Busur luar Sumatera
Dari Selat Sunda penelitian bergeser ke busur luar Sumatera, tempat pulau-pulau Enggano, Mentawai, dan Nias berada. Pada pelayaran tahun 1991 inilah ditemukan Patahan Mentawai.
Sementara itu, penelitian pergerakan daratan di Selat Sunda menggunakan jejaring stasiun global positioning system (GPS), baik di Lampung, Banten, maupun Jawa Barat, yang dilakukan Kepala Pusat Geodinamika Bakosurtanal Cecep Subarya memperjelas adanya pembukaan selat tersebut di wilayah selatan.
Bagian utara Sesar Semangko berputar searah jarum jam, sedangkan di sisi Banten berputar melawan jarum jam. Bagian selatan Sesar Semangko, yaitu
di daerah Krui Lampung, terkunci.
Hal ini bisa memberi sedikit gambaran pola kegempaan yang kompleks di kawasan Selat Sunda. Hal ini mestinya dapat menjadi patokan dalam pembangunan infrastruktur, termasuk jembatan, yang rencananya akan dibangun untuk menghubungkan dua pulau: Jawa dan Sumatera.
Penulis: Yuni Ikawati
Sabtu, 12 September 2009 | 03:44 WIB
No comments:
Post a Comment