Monday, October 5, 2009

Laut RI Serap 3.000 Juta Ton CO2

Laut Indonesia diperkirakan mampu menyerap sekitar 3.000 juta ton CO2 per tahun. Dari jumlah itu, sekitar tiga juta ton di antaranya diendapkan di dasar laut. ”Indonesia memiliki peranan yang vital untuk mengubah paradigma dunia bahwa peran laut sangat penting di dalam upaya mengurangi emisi karbon dunia. Di IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), Desember 2007 di Bali, bicara tentang perubahan iklim, sebelumnya orang tidak pernah menyinggung soal laut,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi di Bandung, Jawa Barat, akhir pekan lalu. 

Indonesia, menurutnya, memiliki peran yang strategis di dalam upaya global mengurangi emisi karbon. Luas areal terumbu karang di Indonesia mencakup 18 persen dari total koral dunia. Atau, mencakup 54 persen di wilayah Asia Tenggara. Sebagian ahli, termasuk dirinya, meyakini bahwa laut yang berisi karang mampu menyerap karbon dalam jumlah besar. Kemampuan laut Indonesia menyerap CO2 ini diperkirakan mencapai 3.000 juta ton per tahun. Secara terpisah, Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim dari Bangkok mengkritik materi proposal yang diajukan Pemerintah RI dalam pertemuan internasional ini. Ia melihat, pemerintah tidak ubahnya ”mengiklankan” laut Indonesia untuk mencari ladang keuangan baru melalui skema iklim. (BEN)

Senin, 5 Oktober 2009 | 04:18 WIB

PERUBAHAN IKLIM: Indonesia Harap Alih Teknologi Konkret

Delegasi Indonesia dalam negosiasi iklim di Bangkok, Thailand, mendesak negara-negara maju mengonkretkan komitmen bantuan pengembangan kapasitas, termasuk alih teknologi. Nyatanya, pembahasan alih teknologi diliputi perdebatan panjang di ruang negosiasi.

”Negara berkembang menilai hak kekayaan intelektual (HKI) menghambat implementasi alih teknologi,” kata anggota delegasi Indonesia, yang juga anggota Kelompok Produksi Bersih Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widiatmini Sih Winanti, di Bangkok, Sabtu (3/10). Konsekuensi HKI, di antaranya, membuat alih teknologi ke negara berkembang menjadi mahal yang berujung pada beban finansial.

Sementara itu, negara maju tetap bersikukuh bahwa penerapan HKI pada proses alih teknologi mengatasi perubahan iklim. Alasannya, HKI mendorong inovasi teknologi.

Serangkaian negosiasi iklim di bawah Protokol Kyoto menegaskan bahwa mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, khususnya bagi negara miskin dan berkembang, mutlak membutuhkan bantuan pendanaan dan alih teknologi dari negara maju. Tanpa itu, perubahan iklim akan berdampak sangat buruk bagi negara-negara miskin dan berkembang.

Perdebatan HKI dalam isu alih teknologi sudah bergulir sejak dua tahun lalu. Belum adanya kesepakatan membuat pembicaraan mengenai alih teknologi tidak dapat terfokus.

Oleh karena itu, Indonesia juga mengusulkan agar persoalan HKI dibahas terpisah secara paralel. ”Kami juga menginginkan adanya mekanisme bantuan alih teknologi yang jelas disesuaikan kebutuhan serta prioritas negara berkembang,” kata anggota delegasi RI yang lain, Sidik Boedoyo.

Tersisa 10 hari

Secara terbuka, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menyatakan, terhitung sejak Sabtu itu negosiasi iklim menyisakan sepuluh hari negosiasi, yakni enam hari pada pertemuan Bangkok, yang akan berakhir 9 Oktober 2009, dan pertemuan terakhir di Barcelona, Spanyol, 2-6 November 2009.

Selanjutnya adalah Pertemuan Para Pihak (COP) Ke-15 di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009 mendatang. Di sana secara khusus akan dibahas masa depan penanganan perubahan iklim di bawah protokol baru, setelah masa berlaku Protokol Kyoto habis pada tahun 2012.

”Dalam 10 hari itu, apa yang harus dikerjakan demi masa depan harus sudah diputuskan,” kata Ki-moon dalam pidatonya di Universitas Kopenhagen, Minggu. Secara khusus, ia meminta agar semua negara tidak hanya memandang kepentingan negara masing-masing, tetapi kepentingan global yang terancam.

Berkaca pada alotnya negosiasi di Bangkok, ia memperkirakan pembahasan proposal terkait pembiayaan dan persetujuan penanganan iklim lainnya akan sangat berat di Barcelona. ”Namun, semua harus menunggu dulu apa yang dapat dicapai di Bangkok.”

Sebelumnya, Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia, yang juga Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Rachmat Witoelar mengatakan, mengingat negosiasi iklim yang alot, Major Economic Forum (MEF) yang terdiri atas belasan negara maju dan berkembang menjadwalkan pertemuan baru pada 17-18 September 2009 di London, Inggris.

Rencana pertemuan tersebut digagas mendadak sebagai forum tambahan demi persiapan pembahasan pasca-Protokol Kyoto yang lebih baik.(*/Antara/Reuters/GSA)

FORMAT: Dipaksa Cerdas

Maraknya komputer netbook yang menerobos dengan harga jual di bawah Rp 5 juta, kehadiran teknologi pita lebar menggunakan serat optik maupun seluler, serta luasnya opsi konsumen memilih teknologi komunikasi informasi, tidak hanya mengubah paradigma baru yang akan mengubah keseluruhan kehidupan modern kita, tapi juga menata ulang lanskap bisnis baru di bidang ini.

Kita mulai melihat adanya pergeseran penting peran operator seluler di seluruh dunia yang mulai bergerak tidak hanya melayani penjualan dan menjalankan bisnis seluler dengan paket-paket akses turunannya, tapi merambah produk teknologi komputer yang selama ini menjadi bidang yang tidak pernah disentuh oleh operator seluler.

Kita akan menyaksikan netbook dengan logo depan Telkom Flash sebagai produk baru yang dibungkus dengan layanan akses kecepatan tinggi 3,5 G.

Lanskap bisnis komputer akan berubah total, ketika para distributor harus berhadapan dengan operator seluler yang memiliki modal besar dan mampu menawarkan produk-produk teknologi komunikasi informasi dengan bentuk penjualan yang berbeda, seperti kredit dengan bunga nol persen.

Fenomena ini bertambah marak ketika Qualcomm, produsen chipset kenamaan, membuat teknologi 3G dan GPS, memperkenalkan produk terbarunya yang disebut sebagai Snapdragon, teknologi chipset yang akan menggabungkan keseluruhan kemampuan teknologi komunikasi informasi menjadi apa yang disebut sebagai smartbook.

Cip prosesor Snapdragon berkecepatan komputasi 1 GHz ini memungkinkan keseluruhan fitur yang sekarang terpisah-pisah menjadi kesatuan saling terkoneksi seperti 3G mobile broadband, WiFi, Bluetooth, dan GPS menjadi satu. Bahasa mudahnya adalah notebook yang menjadi ponsel dengan kemampuan energi baterai sepanjang hari. Kita pun dipaksa menjadi semakin cerdas untuk berbisnis, berteknologi, berjualan, berkomputer, dan lainnya.

Senin, 5 Oktober 2009 | 02:45 WIB 
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/0245071/dipaksa.cerdas

Sentra Penyimpanan Multimedia

Ketika digitalisasi berbagai ragam isi mulai dari teks, musik, hingga video, dan lainnya, terasa ada kebutuhan mendesak untuk mengumpulkan semua isi multimedia ini menjadi kesatuan yang mudah diakses, dicari, dan digunakan. Kebutuhan ini juga menjadi mendesak ketika akses untuk memperoleh berbagai isi multimedia ini menjadi semakin mudah dan cepat.

Pilihan yang tersedia di pasaran juga semakin banyak dengan beragam harga ataupun merek yang menjamin, sesuai dengan kebutuhan konsumen. Produk yang bisa menampung isi multimedia yang ingin disimpan ini pun beragam, mulai dari NAS (network area storage) sampai Media Tank yang mencerminkan sebagai tangki media yang bisa menyimpan berbagai hal.

Salah satu produk yang sekarang tersedia adalah HD Media Tank buatan Shenzhen Egreat Technology Co Ltd yang tidak hanya berfungsi sebagai NAS untuk mengakses isi multimedia melalui komputer, tapi juga mampu menayangkannya di kaca layar televisi. Egreat sendiri didirikan pada tahun 2006 dan terfokus memanufaktur dan mengembangkan produk-produk yang berkaitan dengan penyimpanan digital.

Salah satu produknya adalah EG-M34A, media penyimpan digital yang memiliki beragam macam format penyimpanan audio dan video, sebagai sebuah solusi multimedia yang kaya. Bentuknya sederhana, sebuah kotak hitam dengan menempatkan penyimpan hard disk pada bagian luar sehingga memudahkan untuk memilih kapasitas penyimpanan yang dibutuhkan.

Sebagai medium penyimpanan multimedia, EG-M34A termasuk memiliki fitur kompresi codec paling lengkap, termasuk H.264, VC-1, dan MKV Matroska untuk menayangkan film atau video dalam definisi tinggi yang disimpan dar format HD ataupun Bluray. Demikian juga dengan codec untuk audio mulai dari AAC, Flac, maupun Vorbis yang menghasilkan kualitas suara yang sangat jernih.

Kualitas tayangan yang dihasilkan EG-M34A pada layar kaca televisi definisi tinggi 1080p dengan ukuran 42 inci (diagonal 106,6 cm) sangat impresif. Selain memiliki koneksi Composite, optikal, dan Component (Y/Pb/Pr), produk Egreat ini juga menyediakan koneksi HDMI 1.3 yang menyediakan bandwith yang sangat lebar untuk menayangkan video dan audio dalam format tinggi.

Mereka yang gemar dengan teknologi peer-to-peer memanfaatkan torrent untuk berbagai data (sharing file), EG-M34A menyediakan rongga LAN serta aplikasi yang secara otomatis bisa mencari dan tukar-menukar data digital. Harganya yang terjangkau serta desainnya yang menempatkan hard disk terpisah dari perangkat utama menjadikan produk Egreat ini menarik untuk dijadikan sentra multimedia. (rlp)

Senin, 5 Oktober 2009 | 02:42 WIB 
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/02423955/sentra.penyimpanan.multimedia

PANGGILAN VIDEO: Menerobos Teknologi 3G

Ketika akses kecepatan tinggi nirkabel seluler dalam teknologi 3G (baca triji) berkembang dengan pesat, memang masih menjadi pertanyaan bagi kita apakah momentum untuk mulai percakapan teleponi video jarak jauh akan berkembang pesat setara penggunaan akses kecepatan tinggi untuk keperluan teks dan jelajah internet.

Salah satu daya pikat yang ditawarkan teknologi 3G dan berbagai turunannya, termasuk high-speed downlink packet access (HSDPA), adalah kemampuan untuk melakukan panggilan teleponi video yang akan mengubah lanskap teleponi menuju masa depan digitalisasi yang lebih luas.

Daya pikat ini tidak menjadi kenyataan, dan meninggalkan kesan teleponi video sebagai sesuatu yang terlalu muluk. Teknologi 3G masih menyisakan banyak persoalan, terutama berkaitan dengan kapasitas jaringan yang tidak hanya melulu persoalan sambungan turun, tetapi juga sambungan naik.

Ini yang menjadikan panggilan teleponi video menjadi bayang-bayang film layar lebar dan sulit berpijak di tanah sebagai teknologi pilihan masa depan. Kenyataannya, teknologi 3G hanyalah pipa lebar yang tetap diperebutkan oleh pengguna pada saat kapasitas terbatas, dan persoalan jejaring yang digelar menjadi biaya yang tidak seimbang bagi penyelenggara operator seluler.

Teleponi video

Perusahaan telekomunikasi asal China, ZTE Corporation (di China disebut Zhong Xing), mungkin memiliki pandangan yang berbeda ketika memperkenalkan produk yang disebut MF68 Mobile Cam. Produk ini memiliki berat sekitar 263 gram dan resolusi kamera 300.000 piksel dengan kemampuan kamera yang bisa berotasi.

Produk MF68 Mobile Cam ini memang mungkin tidak dimaksudkan untuk menjadi terminal teleponi video walaupun bisa melakukan koneksi dua arah, tetapi condong menjadi teleponi kamera pengindra jarak jauh memanfaatkan teknologi 3G. Tergantung kondisi jaringan 3G yang tersedia, produk ini dimaksudkan memonitor situasi tempat MF68 diletakkan.

Pengguna tinggal mengendalikan kamera yang bisa bergerak ke kiri-kanan atas bawah serta mendengar suasana di mana Mobile Cam ini ditempatkan. MF68 Mobile Cam buatan ZTE ini bisa dijadikan solusi memadai yang terjangkau.

Kendala yang dihadapi oleh MF68 di Indonesia adalah tidak merata dan stabilnya jaringan 3G, apalagi kalau harus melakukan percakapan dengan orang yang ada di depan perangkat ini.

Untuk bisa mengakses MF68 melalui saluran 3G pada panggilan video di perangkat ponsel, ini sudah menjadi kendala tersendiri karena buruknya kualitas jaringan. Dan ini hanya menjadi satu-satunya kendala dan menjadi penghambat serius perkembangan teknologi 3G dalam mengejawantahkan panggilan teleponi video. (RLP)

Senin, 5 Oktober 2009 | 02:40 WIB 
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/02403622/menerobos.teknologi.3g

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...