Seiring kian banyaknya pengguna internet di Indonesia, layanan belanja ritel secara online juga ikut tumbuh pesat mengikuti tingginya minat belanja online. Tren pertumbuhannya di tahun 2010 ini terbilang signifkan.
"Pertumbuhan ritel e-commerce akan terus mengalami peningkatan. Peningkatannya cukup tinggi, tahun ini bisa mencapai 50%," kata Direktur Retail Service Nielsen Yongky Susilo dalam keterangan pers, Senin (13/12/2010).
Kehadiran toko online menjadi pesaing bagi peritel lainya yang sudah eksis seperti hipermarket, supermarket, minimarket, dan peritel tradisional. Namun Yongky tak melihat itu sebagai ancaman serius sebab perkembangan ritel bergantung pada minat konsumen. "Konsumenlah yang menentukan," ujarnya.
Jumlah toko online yang terdaftar di indoshopguide.com hingga tahun lalu mencapai 139 unit yang terbagi dalam 12 kategori toko online sesuai dengan barang yang dijual. Yongky menambahkan saat ini, memang pebisnis yang terjun di bidang online shopping adalah pelaku bisnis ritel yang memiliki dana minim, mengingat biaya untuk membuka gerai tak banyak.
"Kalangan dari mahasiswa juga kemungkinan banyak yang menggelutinya, pasarnya juga cukup potensial yakni di kalangan mahasiswa sendiri," ucapnya. Yongky mengakui konsumen ritel online memiliki segmen terbatas, lebih banyak konsumen yang berbelanja online dari kelas menengah ke atas dan yang melek lnternet.
Pertumbuhan toko online yang didukung oleh pertumbuhan jumlah pengguna Internet masuk akal karena penggunanya terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna Internet di Indonesia mencapai 45 juta.
Adapun, data dari Telkomsel pengguna internet tahun ini akan mencapai 57,8 juta pengguna dan menurut data internet-worldstats.com pengguna Internet di Indonesia pada tahun lalu mencapai 12,5% dari total populasi penduduk Indonesia atau setara dengan 30 juta pengguna.
Kendati akan tumbuh, lanjutnya, ketersediaan barang terbatas, mengingat barang yang diperjualbelikan terbatas juga. "Lebih banyak barang jenis pakaian bayi, anak-anak, maupun dewasa," katanya.
Untuk mempertahankan keberlangsungan penjualan secara online, Yongky mengatakan hal itu dapat terjadi jika sistem pembayaran online yang jujur dan dipercaya.
Sejumlah situs belanja online yang sudah cukup lama eksis di Indonesia seperti www.glodokshop.com dan www.glodok-elektronik.com, yang menjual berbagai produk elektronik dan perangkat rumah tangga. Situs belanja komputer seperti www. bhinneka.com bahkan masuk dalam jajaran 100 besar website Indonesia .
Adapun peritel online skala kecil menengah yang baru tumbuh seperti www.griyaendras.com yang menjual berbagai pelengkapan busana muslim, pakaian anak-anak, dan bayi lebih banyak membidik pasar rumah tangga dan reseller.
Menurut Endras Ismiyati, pemilik situs www.griyaendras.com, pihaknya memiliki omzet setiap bulannya sekitar Rp10 juta dan menargetkan jumlah kunjungan rata-rata 200 hit setiap harinya.
Berdasarkan data dari lembaga riset International Data Corporation (IDC), nilai perdagangan lewat Internet di Indonesia sepanjang tahun lalu mencapai US$3,4 miliar atau sekitar Rp 30 triliun. Penyedia layanan e-commerce di Indonesia baru mencapai 3% meski pengguna Internet diperkirakan telah mencapai sebanyak 31 juta orang dan 169 juta orang lainnya Internet berbasis nirkabel.
13 Des 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/12/13/083759/1522895/319/orang-indonesia-mulai-sering-belanja-online/?i991102105
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Monday, December 13, 2010
Transaksi Online di Indonesia Tembus Rp 35 Triliun
Transaksi perdagangan online atau e-commerce lewat internet di Indonesia sudah sangat besar. Tahun 2009 lalu saja nilainya menembus angka Rp 35 triliun. Namun sayang, industri ini belum dinikmati pasar dalam negeri.
Demikian diungkap Lembaga Riset Telematika Sharing Vision saat menggelar workshop 'State of The Art Global Electronic & Mobile Micropayment & Mobile Remittance' di Royal Plaza, Singapura.
"Berdasarkan data dari IDC tahun 2009, tercatat nilai perdagangan lewat internet di Indonesia mencapai sekitar $ 3,4 miliar atau setara dengan Rp 35 triliun," kata Chairman Sharing Vision, Dimitri Mahayana kepada detikINET, Sabtu (19/6/2010).
Namun sayangnya, potensi luar biasa besar ini belum bisa ditangkap oleh pemain lokal. Transaksi online tersebut masih dikuasai oleh pemain asing. Pun demikian, dirinya optimistis bahwa pemain lokal bisa berkembang asalkan para pemilik situs e-commerce dapat menyediakan platform transaksi secara global.
"Metode pembayaran pada transaksi internet masih dominan dilakukan melalui kartu kredit dan kartu debet. Berikutnya adalah dengan Paypal, transfer bank serta cash on delivery (CoD)," paparnya.
Ditambahkan oleh pria yang akrab dipanggil Pak Dim ini, dengan mengikuti platform transaksi yang lazim dilakukan, sebenarnya akan semakin membuka peluang bagi e-commerce dalam negeri.
"Semakin banyak pengakses situs mereka, ini akan mendorong pemilik situs untuk menyediakan global platform payment. Sehingga memudahkan pengakses untuk bertransaksi. Karena semakin mudah, cepat dan aman, maka bisa meyakinkan pengakses untuk transaksi," jelasnya.
Optimisme tersebut cukup beralasan. Pasalnya, berdasarkan rilis yang dikeluarkan oleh Forrester Research, tahun 2010 ini potensi pasar e-commerce secara global mencapai US$ 172,9 miliar.
19 Juni 2010
Source: http://www.detikinet.com/read/2010/06/19/163813/1381940/319/transaksi-online-di-indonesia-tembus-rp-35-triliun
Demikian diungkap Lembaga Riset Telematika Sharing Vision saat menggelar workshop 'State of The Art Global Electronic & Mobile Micropayment & Mobile Remittance' di Royal Plaza, Singapura.
"Berdasarkan data dari IDC tahun 2009, tercatat nilai perdagangan lewat internet di Indonesia mencapai sekitar $ 3,4 miliar atau setara dengan Rp 35 triliun," kata Chairman Sharing Vision, Dimitri Mahayana kepada detikINET, Sabtu (19/6/2010).
Namun sayangnya, potensi luar biasa besar ini belum bisa ditangkap oleh pemain lokal. Transaksi online tersebut masih dikuasai oleh pemain asing. Pun demikian, dirinya optimistis bahwa pemain lokal bisa berkembang asalkan para pemilik situs e-commerce dapat menyediakan platform transaksi secara global.
"Metode pembayaran pada transaksi internet masih dominan dilakukan melalui kartu kredit dan kartu debet. Berikutnya adalah dengan Paypal, transfer bank serta cash on delivery (CoD)," paparnya.
Ditambahkan oleh pria yang akrab dipanggil Pak Dim ini, dengan mengikuti platform transaksi yang lazim dilakukan, sebenarnya akan semakin membuka peluang bagi e-commerce dalam negeri.
"Semakin banyak pengakses situs mereka, ini akan mendorong pemilik situs untuk menyediakan global platform payment. Sehingga memudahkan pengakses untuk bertransaksi. Karena semakin mudah, cepat dan aman, maka bisa meyakinkan pengakses untuk transaksi," jelasnya.
Optimisme tersebut cukup beralasan. Pasalnya, berdasarkan rilis yang dikeluarkan oleh Forrester Research, tahun 2010 ini potensi pasar e-commerce secara global mencapai US$ 172,9 miliar.
19 Juni 2010
Source: http://www.detikinet.com/read/2010/06/19/163813/1381940/319/transaksi-online-di-indonesia-tembus-rp-35-triliun
Cloud Computing: Sensasi Masa Depan Dunia TI
Cloud Computing diperkirakan akan mengubah TI di perusahaan besar karena memungkinkan enterprise dari berbagai ukuran untuk memanfaatkan skala ekonomi dan mendapat keuntungan dari hanya membayar sumber daya yang digunakan saja.
Sesungguhnya, banyak aspek komputansi yang sudah (atau akan) tersedia dalam bentuk layanan cloud: Infrastructure as a Service (IAAS) seperti Amazon Services, Microsoft Windows Azure, VMWare vCloud serta Eucalyptus dan Cloudera yang open-source menyediakan komputansi, jaringan serta kapasitas penyimpanan yang elastis.
Software as a Service (SAAS) merujuk pada aplikasi online, termasuk software produktivitas, database dan proses bisnis. Contoh SAAS termasuk Microsoft Business Productivity Online Suite (BPOS), Google Docs dan Gmail, Salesforce CRM dan Oracle CRM on Demand .
Sedangkan, Platform as a Service (PASS), memungkinkan pengembangan aplikasi (contoh, Google Apps dan Windows Azure), Desktop as a Service (DAAS), dan bahkan apa yang disebut sebagai XAAS atau EAAS, yaitu “Everything as a Service.”
Dengan cloud computing, heterogenitas telah menjadi sebuah karakteristik utama dari komputansi. Sumber daya di awan bisa jadi proprietary atau open-source atau campuran dari keduanya.
Contoh yang menarik bisa dilihat dari profil penawaran dari satu perusahaan berikut ini: Citrix menawarkan aplikasi proprietary seperti GoToMeetings untuk komunikasi desktop dan software konferensi, serta Desktops To Go untuk aplikasi remote desktop. Bersama itu, mereka juga menawarkan produk Open-source seperti server Xen dan XenDesktop, sebuah virtual desktop. Proyek open-source Xen, yang berada di Citrix, telah melahirkan insiatif bernama Xen Cloud Platform, didukung oleh Citrix, Hewlett-Packard, Intel, Oracle dan Novell. Dengan aplikasinya di Apple iPad, Corix Receiver, Citrix bisa menghadirkan desktop Windows pada iPad, sehingga fungsi desktop dan aplikasi Windows bisa diakses sepenuhnya. Ada tujuh produk Cloud baru, tergabung dalam Citrix Cloud Solutions, yang bersifat open-source dan bisa diperluas sesuai kehendak pengguna. Citrix menyebut Cloud Solutions ini sebagai framework yang memungkinkan interoperabilitas dengan software lain, termasuk virtualisasi pihak ketiga seperti VMWare, yang merupakan pesaingnya.
Bukan hanya bersifat heterogen –karena mencampurkan solusi proprietary dan open-source-- cloud computing juga bersifat global. Sebagai contoh, Windows Azure tersedia di 41 negara. Di cloud, pengguna bisa saja mengakses aplikasi yang di-hosting di Hong Kong dari kantornya di Korea Selatan. Datanya, bisa jadi disimpan di server yang ada di Polandia, routing-nya melalui Amerika Serikat.
Dari sudut pandang pengembang piranti lunak, sifat yang global dari cloud ini tak hanya ditentukan oleh perilaku jejaringnya, tapi juga struktur bisnis itu sendiri. Peneliti yang bekerja untuk perusahaan multinasional asal AS di Russia mungkin berkolaborasi dengan tim di Singapura. Produk akhirnya bisa jadi dirancang di AS dan Taiwan, dibuat di India, Malaysia dan Filipina untuk dijual di Amerika Selatan.
Peluang ekonomi ada bagi negara yang memiliki kebijakan publik dan hukum yang netral secara teknologi dan kompatibel. Contohnya, pemerintah Singapura yang sejak lama menyadari bahwa teknologi mendorong pertumbuhan ekonomi negara itu. Di 2008, pemerintahannya bekerjasama dengan Hewlett Packard, Intel dan Yahoo, serta lembaga penelitian di Russia, Jerman dan AS untuk membuat test bed open-source yang mendukung penelitian layanan cloud pada skala global. HP juga membuka Cloud Labs di Singapura.
Di saat yang sama, pemerintahannya memberi subsidi pada proyek yang bisa memberikan cloud computing pada eGovernment dan Usaha Kecil Menengah. Singapura adalah pemimpin dalam melihat cloud computing sebagai alat menumbuhkan ekonomi IT-nya serta menjaga perannya di pasar global. Memang masih di tahap awal, tapi jelas bahwa ini akan mengubah komputansi di enterprise, memenuhi kebutuhan pengguna dengan kelenturan yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Dengan makin tumbuhnya cloud computing, maka semakin penting bagi pembuat kebijakan untuk menjamin bahwa kebijakan domestiknya tidak berpihak pada teknologi tertentu. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan perdagangan global, hukum internasional dan kepentingan pertumbuhan ekonomi, hal ini juga memungkinkan perusahaan domestik untuk meraup keuntungan besar dari peluang yang dihasilkan cloud computing.
09 Desember 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/12/09/132758/1514376/319/cloud-computing-sensasi-masa-depan-dunia-ti/
Sesungguhnya, banyak aspek komputansi yang sudah (atau akan) tersedia dalam bentuk layanan cloud: Infrastructure as a Service (IAAS) seperti Amazon Services, Microsoft Windows Azure, VMWare vCloud serta Eucalyptus dan Cloudera yang open-source menyediakan komputansi, jaringan serta kapasitas penyimpanan yang elastis.
Software as a Service (SAAS) merujuk pada aplikasi online, termasuk software produktivitas, database dan proses bisnis. Contoh SAAS termasuk Microsoft Business Productivity Online Suite (BPOS), Google Docs dan Gmail, Salesforce CRM dan Oracle CRM on Demand .
Sedangkan, Platform as a Service (PASS), memungkinkan pengembangan aplikasi (contoh, Google Apps dan Windows Azure), Desktop as a Service (DAAS), dan bahkan apa yang disebut sebagai XAAS atau EAAS, yaitu “Everything as a Service.”
Dengan cloud computing, heterogenitas telah menjadi sebuah karakteristik utama dari komputansi. Sumber daya di awan bisa jadi proprietary atau open-source atau campuran dari keduanya.
Contoh yang menarik bisa dilihat dari profil penawaran dari satu perusahaan berikut ini: Citrix menawarkan aplikasi proprietary seperti GoToMeetings untuk komunikasi desktop dan software konferensi, serta Desktops To Go untuk aplikasi remote desktop. Bersama itu, mereka juga menawarkan produk Open-source seperti server Xen dan XenDesktop, sebuah virtual desktop. Proyek open-source Xen, yang berada di Citrix, telah melahirkan insiatif bernama Xen Cloud Platform, didukung oleh Citrix, Hewlett-Packard, Intel, Oracle dan Novell. Dengan aplikasinya di Apple iPad, Corix Receiver, Citrix bisa menghadirkan desktop Windows pada iPad, sehingga fungsi desktop dan aplikasi Windows bisa diakses sepenuhnya. Ada tujuh produk Cloud baru, tergabung dalam Citrix Cloud Solutions, yang bersifat open-source dan bisa diperluas sesuai kehendak pengguna. Citrix menyebut Cloud Solutions ini sebagai framework yang memungkinkan interoperabilitas dengan software lain, termasuk virtualisasi pihak ketiga seperti VMWare, yang merupakan pesaingnya.
Bukan hanya bersifat heterogen –karena mencampurkan solusi proprietary dan open-source-- cloud computing juga bersifat global. Sebagai contoh, Windows Azure tersedia di 41 negara. Di cloud, pengguna bisa saja mengakses aplikasi yang di-hosting di Hong Kong dari kantornya di Korea Selatan. Datanya, bisa jadi disimpan di server yang ada di Polandia, routing-nya melalui Amerika Serikat.
Dari sudut pandang pengembang piranti lunak, sifat yang global dari cloud ini tak hanya ditentukan oleh perilaku jejaringnya, tapi juga struktur bisnis itu sendiri. Peneliti yang bekerja untuk perusahaan multinasional asal AS di Russia mungkin berkolaborasi dengan tim di Singapura. Produk akhirnya bisa jadi dirancang di AS dan Taiwan, dibuat di India, Malaysia dan Filipina untuk dijual di Amerika Selatan.
Peluang ekonomi ada bagi negara yang memiliki kebijakan publik dan hukum yang netral secara teknologi dan kompatibel. Contohnya, pemerintah Singapura yang sejak lama menyadari bahwa teknologi mendorong pertumbuhan ekonomi negara itu. Di 2008, pemerintahannya bekerjasama dengan Hewlett Packard, Intel dan Yahoo, serta lembaga penelitian di Russia, Jerman dan AS untuk membuat test bed open-source yang mendukung penelitian layanan cloud pada skala global. HP juga membuka Cloud Labs di Singapura.
Di saat yang sama, pemerintahannya memberi subsidi pada proyek yang bisa memberikan cloud computing pada eGovernment dan Usaha Kecil Menengah. Singapura adalah pemimpin dalam melihat cloud computing sebagai alat menumbuhkan ekonomi IT-nya serta menjaga perannya di pasar global. Memang masih di tahap awal, tapi jelas bahwa ini akan mengubah komputansi di enterprise, memenuhi kebutuhan pengguna dengan kelenturan yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Dengan makin tumbuhnya cloud computing, maka semakin penting bagi pembuat kebijakan untuk menjamin bahwa kebijakan domestiknya tidak berpihak pada teknologi tertentu. Bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan perdagangan global, hukum internasional dan kepentingan pertumbuhan ekonomi, hal ini juga memungkinkan perusahaan domestik untuk meraup keuntungan besar dari peluang yang dihasilkan cloud computing.
09 Desember 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/12/09/132758/1514376/319/cloud-computing-sensasi-masa-depan-dunia-ti/
Microsoft dan Open Source: Integrasi, Interoperabilitas dan Hidup Bersama
Dalam tulisan sebelumnya, saya menjelaskan bagaimana teknologi open-source dan proprietary secara progresif telah bersatu demi keuntungan perusahaan besar masa kini.
Praktek tersebut sekarang semakin umum, namun seringnya membutuhkan penterjemah atau konverter. Salah satu pendekatan integrasi yang populer adalah Service Oriented Architecture (SOA) yang menggunakan middleware; pendekatan lainnya menggunakan virtualisasi. Penterjemah dan konverter juga bisa diterapkan secara spesifik pada tugas tertentu.
Service Oriented Architecture (SOA) menyusun proses bisnis di perusahaan besar sebagai layanan yang dijalankan pengguna akhir dan ini memungkinkan banyak aplikasi yang berbeda saling berbagi data untuk terlibat dalam layanan itu. Piranti lunak bernama middleware berperan sebagai adaptor antara berbagai lapisan piranti lunak. Contoh middleware SOA yang ditawarkan di pasaran mencakup Oracle Fusion Middleware, Microsoft .NET framework dan SAP Netweaver. Microsoft Biztalk Server dan IBM Websphere melakukan integrasi pada proses bisnis, sedangkan Redhat menawarkan sebuah middleware berasis Java bernama JBOSS yang sifatnya open-source dan lintas platform.
Sebagai contoh, pemerintahan Portugis menggunakan SOA untuk mengintegrasikan sistem IT open-source dan proprietary serta menjamin adanya akses pada sumber daya penting dari sistem yang lawas. Sistem yang digunakan lembaga pemerintahan termasuk IBM AS/400, sistem database proprietary Oracle dan open-source PostgreSQL, Java 2 Platform Enterprise Edition (J2EE), JBoss middleware dan empat jenis sistem operasi (Microsoft Windows, Linux, Unix versi proprietary dari IBM AIX dan Hewlett Packard HU/UX).
Sistem itu harus bisa berjalan pada skala kecil, 5 pada awalnya, hingga kini digunakan pada lebih dari 800 lembaga. Dan harus menghadirkan layanan dari pemerintahan secara seragam dari sudut pandang pengguna akhir. Portal bisnis dan layanan masyarakat umum menggunakan web services untuk menyediakan akses layanan bagi penduduk, baik lewat web, mobile atau SMS.
Penghematan biaya yang signifikan bisa dilakukan karena perangkat yang serupa tak perlu dibeli dua untuk dua sistem yang berbeda, selain itu lalu-lintas data antar titik jadi berkurang. Penghematan juga dicapai dengan memperbaiki manajemen informasi.
Dalam lingkungan masa kini, CIO mencari semua kesempatan untuk berhemat. Virtualisasi memungkinkan satu sistem operasi (misal, Linux) untuk berjalan secara virtual di atas sistem lain (misal, Windows atau Apple OS X).
Virtualisasi memungkinkan penggunaan bersama sumber daya hardware dan fasilitasi saling berbagi data antar aplikasi pada masing-masing sistem operasi. Virtualisasi pada server memungkinkan perusahaan besar untuk menggunakan berbagai sistem operasi server, seringkali ini termasuk open-source dan proprietary, pada perangkat server mereka. Hal ini akan meningkatkan efisiensi sistem dan mengurangi jumlah mesin yang dibutuhkan, dan oleh karena itu menurunkan biaya operasional dan konsumsi energi.
Mengapa baru belakangan ini virtualisasi skala besar banyak dilirik? Penyebabnya adalah baru sekarang tersedia prosesor dan memory dengan kapasitas yang mencukupi dan biaya yang semakin rendah..
Kita lihat saja contoh dari gedung wakil rakyat di AS (United States House of Representatives), yang kesulitan memenuhi kebutuhan listrik untuk mendinginkan sistem komputer terpusat dan federasi yang ada. Tim IT pun memilih untuk melakukan konsolidasi dengan virtualisasi, targetnya mengurangi dari 450 server ke 100 server saja. Tingkat penggunaan server pun dinaikkan dari 7% ke 60%, dengan penghematan energi diperkirakan mencapai 45% dan penurunan panas yang besar.
Memang, virtualisasi menimbulkan tantangan dalam hal melakukan pelatihan ulang, keamanan dan redundancy di lokasi lain. Tapi, hal ini memungkinkan manajemen server terpusat, pengawasan yang lebih efektif , perbaikan dan penyelesaian masalah yang lebih baik, serta manajemen audit dan ketaatan pada aturan. Hal ini juga memungkinkan diterapkannya solusi backup dan Disaster Recovery.
Beberapa penterjemah memiliki fungsi yang spesifik. TSRI JANUS menerjemahkan data dan kode lawas agar bisa dimengerti piranti lunak modern, baik proprietary maupun open-source. Banyak bisnis dan software produktivitas menggunakan penterjemah.
CIO di sektor pemerintahan dan swasta menggunakan teknologi proprietary dan open-source. Hal ini merupakan kebutuhan dari pasar TI yang heterogen. Untuk itu, industri TI pun selalu mengembangkan piranti pendukung interoperabilitas seperti middleware, virtualization, standar yang banyak digunakan, penterjemah dan konverter untuk menggabungkan teknologi tanpa peduli pada pendekatannya, apakah itu open-source atau proprietary.
Pada tulisan berikutnya, saya akan menyinggung soal teknologi yang 'mengubah segalanya' saat ini, yaitu Cloud.
01 Desember 2010
Penulis: Stacy Baird
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/12/01/104013/1506487/319/integrasi-interoperabilitas-dan-hidup-bersama
Praktek tersebut sekarang semakin umum, namun seringnya membutuhkan penterjemah atau konverter. Salah satu pendekatan integrasi yang populer adalah Service Oriented Architecture (SOA) yang menggunakan middleware; pendekatan lainnya menggunakan virtualisasi. Penterjemah dan konverter juga bisa diterapkan secara spesifik pada tugas tertentu.
Service Oriented Architecture (SOA) menyusun proses bisnis di perusahaan besar sebagai layanan yang dijalankan pengguna akhir dan ini memungkinkan banyak aplikasi yang berbeda saling berbagi data untuk terlibat dalam layanan itu. Piranti lunak bernama middleware berperan sebagai adaptor antara berbagai lapisan piranti lunak. Contoh middleware SOA yang ditawarkan di pasaran mencakup Oracle Fusion Middleware, Microsoft .NET framework dan SAP Netweaver. Microsoft Biztalk Server dan IBM Websphere melakukan integrasi pada proses bisnis, sedangkan Redhat menawarkan sebuah middleware berasis Java bernama JBOSS yang sifatnya open-source dan lintas platform.
Sebagai contoh, pemerintahan Portugis menggunakan SOA untuk mengintegrasikan sistem IT open-source dan proprietary serta menjamin adanya akses pada sumber daya penting dari sistem yang lawas. Sistem yang digunakan lembaga pemerintahan termasuk IBM AS/400, sistem database proprietary Oracle dan open-source PostgreSQL, Java 2 Platform Enterprise Edition (J2EE), JBoss middleware dan empat jenis sistem operasi (Microsoft Windows, Linux, Unix versi proprietary dari IBM AIX dan Hewlett Packard HU/UX).
Sistem itu harus bisa berjalan pada skala kecil, 5 pada awalnya, hingga kini digunakan pada lebih dari 800 lembaga. Dan harus menghadirkan layanan dari pemerintahan secara seragam dari sudut pandang pengguna akhir. Portal bisnis dan layanan masyarakat umum menggunakan web services untuk menyediakan akses layanan bagi penduduk, baik lewat web, mobile atau SMS.
Penghematan biaya yang signifikan bisa dilakukan karena perangkat yang serupa tak perlu dibeli dua untuk dua sistem yang berbeda, selain itu lalu-lintas data antar titik jadi berkurang. Penghematan juga dicapai dengan memperbaiki manajemen informasi.
Dalam lingkungan masa kini, CIO mencari semua kesempatan untuk berhemat. Virtualisasi memungkinkan satu sistem operasi (misal, Linux) untuk berjalan secara virtual di atas sistem lain (misal, Windows atau Apple OS X).
Virtualisasi memungkinkan penggunaan bersama sumber daya hardware dan fasilitasi saling berbagi data antar aplikasi pada masing-masing sistem operasi. Virtualisasi pada server memungkinkan perusahaan besar untuk menggunakan berbagai sistem operasi server, seringkali ini termasuk open-source dan proprietary, pada perangkat server mereka. Hal ini akan meningkatkan efisiensi sistem dan mengurangi jumlah mesin yang dibutuhkan, dan oleh karena itu menurunkan biaya operasional dan konsumsi energi.
Mengapa baru belakangan ini virtualisasi skala besar banyak dilirik? Penyebabnya adalah baru sekarang tersedia prosesor dan memory dengan kapasitas yang mencukupi dan biaya yang semakin rendah..
Kita lihat saja contoh dari gedung wakil rakyat di AS (United States House of Representatives), yang kesulitan memenuhi kebutuhan listrik untuk mendinginkan sistem komputer terpusat dan federasi yang ada. Tim IT pun memilih untuk melakukan konsolidasi dengan virtualisasi, targetnya mengurangi dari 450 server ke 100 server saja. Tingkat penggunaan server pun dinaikkan dari 7% ke 60%, dengan penghematan energi diperkirakan mencapai 45% dan penurunan panas yang besar.
Memang, virtualisasi menimbulkan tantangan dalam hal melakukan pelatihan ulang, keamanan dan redundancy di lokasi lain. Tapi, hal ini memungkinkan manajemen server terpusat, pengawasan yang lebih efektif , perbaikan dan penyelesaian masalah yang lebih baik, serta manajemen audit dan ketaatan pada aturan. Hal ini juga memungkinkan diterapkannya solusi backup dan Disaster Recovery.
Beberapa penterjemah memiliki fungsi yang spesifik. TSRI JANUS menerjemahkan data dan kode lawas agar bisa dimengerti piranti lunak modern, baik proprietary maupun open-source. Banyak bisnis dan software produktivitas menggunakan penterjemah.
CIO di sektor pemerintahan dan swasta menggunakan teknologi proprietary dan open-source. Hal ini merupakan kebutuhan dari pasar TI yang heterogen. Untuk itu, industri TI pun selalu mengembangkan piranti pendukung interoperabilitas seperti middleware, virtualization, standar yang banyak digunakan, penterjemah dan konverter untuk menggabungkan teknologi tanpa peduli pada pendekatannya, apakah itu open-source atau proprietary.
Pada tulisan berikutnya, saya akan menyinggung soal teknologi yang 'mengubah segalanya' saat ini, yaitu Cloud.
01 Desember 2010
Penulis: Stacy Baird
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/12/01/104013/1506487/319/integrasi-interoperabilitas-dan-hidup-bersama
Microsoft dan Open Source: Menikmati Indahnya Dua Dunia
Pada tulisan sebelumnya, saya berbicara panjang lebar soal semakin perlunya CIO memilih sebuah kombinasi antara software proprietary dan open-source untuk memenuhi kebutuhan mereka. Perusahaan software proprietary dan open-source juga melakukan evolusi model bisnis mereka untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Mari kita lihat kasus IBM. Sebuah sistem IBM saat ini, biasanya akan lebih banyak terdiri dari piranti lunak proprietary seperti: Websphere server, DB2 database dan juga Lotus Suite yang berjalan di server IBM. Tapi IBM juga pendukung komersial open-source yang terdepan, membiayai banyak proyek open-source, termasuk pengembangan awal Linux dan melepaskan cukup banyak kode berpaten mereka sebagai open-source. Dukungan mereka, dan juga dari Sun Microsystems, adalah sangat penting bagi pertumbuhan komunitas open-source di 1990-an. IBM juga telah menyediakan kode proprietary mereka agar berfungsi baik dengan proyek open-source (contoh, kode Lotus Notes bagi proyek OpenOffice).
Kemudian, kita bisa lihat juga Oracle yang terkenal dengan database kelas enterprise-nya yang bersifat proprietary. Meski begitu, Oracle adalah database enterprise pertama yang berjalan di Linux, dan mereka mengembangkan Fusion Middleware untuk menyediakan interoperabilitas antara J2EE dan .NET-nya Microsoft. Oracle mendukung Red Hat Enterprise Linux (RHEL) yang bahkan sudah tak didukung lagi oleh Red Hat, mereka pun menjual versi sendiri dari RHEL.
Belum lama ini, Oracle melakukan kesepakatan dengan Amazon Web Servixer untuk menyediakan layanan berbasis Linux. Sun, yang kini sudah jadi bagian dari Oracle, utamanya menjual server enterprise tapi juga menawarkan software enterprise yang beragam. Sun adalah pemain besar yang pindah dari proprietary ke open-source dan banyak mendukung proyek open-source. Lama kelamaan Sun mengalihkan banyak software-nya ke open-source. Salah satu produk utama Sun (kini Oracle) adalah Sun-MySQL, sebuah database kelas enterprise yang open-source yang bisa menggunakan lisensi GPL atau lisensi komersial biasa. Skema dua lisensi ini adalah evolusi lisensi open-source yang patut dicatat.
Nah, Microsoft, meski menjadikan software sebagai bisnis utamanya, juga menawarkan manfaat bagi pelanggannya yang menggunakan open-source dan menjembatani software-nya dengan open-source. Microsoft mencetuskan Shared Source Initiative untuk menyediakan source code dari Windows dan beberapa software lainnya ke partner, pelanggan tertentu (misalnya, pemerintahan) dan pihak akademisi. Perusahaan itu mendirikan Laboratorium Open Source untuk berpartisipasi dan mendukung komunitas open-source.
Pada 2008, Microsoft menerbitkan dokumen berjudul 'Interoperability Principles'. Tertuang di dalamnya sebuah komitmen untuk menjamin interoperabilitas dengan open-source dan platform TI lainnya. Sehingga memungkinkan perusahaan besar yang menjalankan server Windows dan Linux melakukannya pada satu lingkungan fisik yang sama. Microsoft menjalin kerjasama, awalnya dengan Novell, untuk mengembangkan virtualisasi berbasis standar sehingga SUSE Linux Enterprise Server bisa berjalan di server Microsoft sebagai Guest, begitupun sebaliknya. (Interoperabilitas antara piranti lunak produktivitas dengan Microsoft Office juga sedang dikerjakan). Dan yang paling baru, Microsoft bekerjasama dengan Red Hat untuk menjamin interoperabilitas masing-masing produk.
Perusahaan software proprietary dan open-source saling memahami pentingnya kedua pendekatan yang berbeda ini bagi pelanggan dan bisnis mereka.
03 Nov 2010
Source: http://www.detikinet.com/read/2010/11/03/113002/1483876/319/menikmati-indahnya-dua-dunia
Penulis: Stacy Baird, adalah mantan penasehat untuk anggota Senat AS pada isu-isu Teknologi dan Hak Milik Intelektual. Ia percaya, bahwa software open-source dan proprietary bisa hidup bersama, dan dengan demikian industri TI global bisa terus memperbaiki kualitas hidup banyak orang.
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari empat tulisan dalam satu seri. Pendapat yang disampaikan Stacy Baird adalah sepenuhnya pendapat pribadi.
( wsh / wsh )
Mari kita lihat kasus IBM. Sebuah sistem IBM saat ini, biasanya akan lebih banyak terdiri dari piranti lunak proprietary seperti: Websphere server, DB2 database dan juga Lotus Suite yang berjalan di server IBM. Tapi IBM juga pendukung komersial open-source yang terdepan, membiayai banyak proyek open-source, termasuk pengembangan awal Linux dan melepaskan cukup banyak kode berpaten mereka sebagai open-source. Dukungan mereka, dan juga dari Sun Microsystems, adalah sangat penting bagi pertumbuhan komunitas open-source di 1990-an. IBM juga telah menyediakan kode proprietary mereka agar berfungsi baik dengan proyek open-source (contoh, kode Lotus Notes bagi proyek OpenOffice).
Kemudian, kita bisa lihat juga Oracle yang terkenal dengan database kelas enterprise-nya yang bersifat proprietary. Meski begitu, Oracle adalah database enterprise pertama yang berjalan di Linux, dan mereka mengembangkan Fusion Middleware untuk menyediakan interoperabilitas antara J2EE dan .NET-nya Microsoft. Oracle mendukung Red Hat Enterprise Linux (RHEL) yang bahkan sudah tak didukung lagi oleh Red Hat, mereka pun menjual versi sendiri dari RHEL.
Belum lama ini, Oracle melakukan kesepakatan dengan Amazon Web Servixer untuk menyediakan layanan berbasis Linux. Sun, yang kini sudah jadi bagian dari Oracle, utamanya menjual server enterprise tapi juga menawarkan software enterprise yang beragam. Sun adalah pemain besar yang pindah dari proprietary ke open-source dan banyak mendukung proyek open-source. Lama kelamaan Sun mengalihkan banyak software-nya ke open-source. Salah satu produk utama Sun (kini Oracle) adalah Sun-MySQL, sebuah database kelas enterprise yang open-source yang bisa menggunakan lisensi GPL atau lisensi komersial biasa. Skema dua lisensi ini adalah evolusi lisensi open-source yang patut dicatat.
Nah, Microsoft, meski menjadikan software sebagai bisnis utamanya, juga menawarkan manfaat bagi pelanggannya yang menggunakan open-source dan menjembatani software-nya dengan open-source. Microsoft mencetuskan Shared Source Initiative untuk menyediakan source code dari Windows dan beberapa software lainnya ke partner, pelanggan tertentu (misalnya, pemerintahan) dan pihak akademisi. Perusahaan itu mendirikan Laboratorium Open Source untuk berpartisipasi dan mendukung komunitas open-source.
Pada 2008, Microsoft menerbitkan dokumen berjudul 'Interoperability Principles'. Tertuang di dalamnya sebuah komitmen untuk menjamin interoperabilitas dengan open-source dan platform TI lainnya. Sehingga memungkinkan perusahaan besar yang menjalankan server Windows dan Linux melakukannya pada satu lingkungan fisik yang sama. Microsoft menjalin kerjasama, awalnya dengan Novell, untuk mengembangkan virtualisasi berbasis standar sehingga SUSE Linux Enterprise Server bisa berjalan di server Microsoft sebagai Guest, begitupun sebaliknya. (Interoperabilitas antara piranti lunak produktivitas dengan Microsoft Office juga sedang dikerjakan). Dan yang paling baru, Microsoft bekerjasama dengan Red Hat untuk menjamin interoperabilitas masing-masing produk.
Perusahaan software proprietary dan open-source saling memahami pentingnya kedua pendekatan yang berbeda ini bagi pelanggan dan bisnis mereka.
- Oracle menawarkan keduanya, baik produk open-source maupun proprietary; mempromosikan open-source untuk berjualan hardware dan melengkapi tawaran proprietary mereka.
- IBM mendukung proyek open-source yang meningkatkan bisnis layanan dan konsultasi mereka serta melengkapi penawaran proprietary mereka.
- Microsoft bekerjasama dengan perusahaan open-source, terutama dalam hal interoperabilitas, untuk menjamin pelanggannya bisa membangun lingkungan IT yang heterogen sesuai keinginan.
- Novell dan Red Hat telah menerapkan teknik pengembangan proprietary dan melakukan kerjasama dengan pengembang proprietary untuk menjamin stabilitas dan interoperabilitas dari arsitektur enterprise mereka. Dengan virtualisasi yang kini sudah diterima secara luas, dan pengembang software harus memenuhi kebutuhan dari cloud computing, ada banyak bukti bahwa arsitektur IT yang heterogen akan senantiasa tumbuh.
03 Nov 2010
Source: http://www.detikinet.com/read/2010/11/03/113002/1483876/319/menikmati-indahnya-dua-dunia
Penulis: Stacy Baird, adalah mantan penasehat untuk anggota Senat AS pada isu-isu Teknologi dan Hak Milik Intelektual. Ia percaya, bahwa software open-source dan proprietary bisa hidup bersama, dan dengan demikian industri TI global bisa terus memperbaiki kualitas hidup banyak orang.
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari empat tulisan dalam satu seri. Pendapat yang disampaikan Stacy Baird adalah sepenuhnya pendapat pribadi.
( wsh / wsh )
Subscribe to:
Posts (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
PT Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI) menggelar uji coba siaran televisi digital di wilayah Jabotabek. Siaran uji coba itu merupak...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...