Thursday, December 24, 2009

Kita Perlu "Koin" untuk Perubahan Iklim

SNegosiasi bermotif menang-kalah vulgar dipraktikkan selama berlangsungnya KTT Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark. Bahkan, persoalan iklim ditarik jauh dari lanskap kemanusiaan. Hasilnya, Indonesia kalah 0-2.

Kekalahan pertama akibat tak terpenuhinya kesepakatan iklim yang mengikat secara hukum (legally binding) merujuk pada capaian Bali Action Plan yang dihasilkan pada KTT Ke-13 di Bali, Desember 2007 silam. Seperti disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menghadiri pertemuan puncak ke-17 Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Singapura ”Kalau Kopenhagen gagal (tidak mengikat secara hukum), kita punya banyak pekerjaan rumah” (Antara, 17/11).

Berikutnya, Indonesia gagal mengawal dan memasukkan aspek penting kelautan ke dalam visi bersama naskah teks Kelompok Kerja Adhoc Kerja Sama Jangka Panjang (AWG-LCA). Padahal pada Mei 2009 Indonesia telah mengeluarkan berbagai sumber daya untuk menghasilkan Manado Ocean Declaration (MOD) sebagai kertas mandat untuk membawa Coral Triangle Initiative (Inisiatif Segitiga Terumbu Karang) ke dalam kesepakatan Kopenhagen. Dari Bali dan Manado, kualitas diplomasi Indonesia dipertanyakan.

Koreksi

”Pembangunan Indonesia harus berorientasi pada aspek kelautan dengan memerhatikan kehidupan rakyat yang tersebar di pelbagai pulau”.

Demikian pesan diplomasi ala Perdana Menteri Djuanda saat pertama kali menggagas Indonesia sebagai negara kepulauan, 52 tahun silam (13 Desember 1957-13 Desember 2009). Pesan tersebut memberikan penekanan pada dua hal: (1) karakter kewilayahan Indonesia sebagai negara kelautan serta (2) karakter kebudayaan Indonesia sebagai masyarakat kepulauan.

Pada keduanya pula seluruh elemen bangsa dapat memahami kepentingan Indonesia atas laut.

Adapun di luar, disegani oleh bangsa-bangsa lain karena keteladanannya menegakkan keadilan dan kepentingan Indonesia atas laut sebagai ruang hidup dan ruang juang bangsa.

Berbeda halnya pilihan diplomasi ala Susilo Bambang Yudhoyono dalam menghadapi krisis iklim. Aspek fundrising membebani strategi diplomasi Indonesia, dengan menegosiasikan target pemotongan emisi, yakni 26 persen pada tahun 2020 secara sukarela dan 41 persen dengan bantuan asing (Kompas, 19/12).

Rasionalisasi target 26 persen seolah tidak relevan karena pertanggungjawaban sukarelanya ada pada tahun 2020, pada saat Susilo Bambang Yudhoyono tidak lagi menjadi presiden.

Adapun mendapatkan bantuan asing dengan target pemotongan 41 persen didesak untuk terealisasi sesegera mungkin.

Sebagai konsekuensi, Indonesia siap diaudit oleh asing—termasuk negara-negara boros emisi—melalui prinsip pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV).

Pada porsi itu tidak berlebihan kiranya jika kegagalan Indonesia di Kopenhagen lebih disebabkan oleh dominasi diplomasi ”recehan”.

Reposisi

Persetujuan Kopenhagen atau Copenhagen Accord diyakini tidak membawa manfaat bagi Indonesia. Target diplomasi iklim berbasis kompensasi—bukan berbasis hak dan keadilan—terbukti melemahkan posisi tawar Indonesia sebagai negara kepulauan.

Untuk itu, diperlukan reposisi Indonesia, dengan melakukan koreksi menyeluruh atas proses perdagangan barang mentah (row materials), baik hasil tambang, pertanian, perikanan, maupun perkebunan, yang selama ini dipergunakan untuk menghidupi mesin-mesin negara industri yang boros emisi.

Sejalan dengan itu, peran lumbung pangan, semisal perikanan dan pertanian harus dioptimalkan untuk memperkuat kemandirian bangsa, sekaligus mengamankan kebutuhan pangan nasional.

Hal ini mendesak dilakukan setelah krisis iklim dan krisis pangan seolah menjadi krisis kembar (twin crisis) dewasa ini. Ingat pesan the founding father Soekarno: ”Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa, apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi, malapetaka (akan terjadi).”

Setelah dua kebijakan dalam negeri tersebut diselenggarakan, model diplomasi luar negeri Indonesia harus dikoreksi total, dengan mengedepankan prinsip-prinsip negara yang berdaulat dan mandiri.

Kita patut belajar dari kasus Prita Mulyasari. Rakyat Indonesia, mulai dari tukang becak, artis, pedagang, ibu-ibu rumah tangga, pejabat, dan mantan pejabat negara, bahkan anak TK (taman kanak-kanak), turut berpartisipasi membangun solidaritas dan soliditasnya untuk menegakkan keadilan bagi Prita. Hasilnya, kurang dari dua minggu, sebanyak Rp 825 juta uang koin dapat dikumpulkan.

Sangat mungkin hal serupa dijalankan untuk memperbesar kapasitas negara menghadapi dampak perubahan iklim secara mandiri. Jika demikian, Indonesia dapat meneguhkan kembali peran pentingnya di fora internasional, sekaligus menjadi teladan bagi bangsa-bangsa lain dalam menghadapi krisis iklim.

Kamis, 24 Desember 2009 | 03:35 WIB

Penulis: M Riza Damanik -Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) -Anggota Kelompok Kerja Perikanan pada Aliansi Desa Sejahtera (ADS)
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/24/03355266/kita.perlu.koin.untuk.perubahan.iklim

Perubahan Iklim: Beberapa Negara Janjikan Dana

Selama dua pekan Konferensi Perubahan Iklim 2009, Indonesia membuat sejumlah perjanjian bilateral dan multilateral terkait pendanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pendanaan kehutanan mendominasi rencana pemberian bantuan tersebut.

”Sektor kehutanan dan alih fungsi lahan memang menjadi fokus perhatian terbesar dalam perjanjian kerja sama itu,” kata Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), sekaligus Kepala Negosiator RI di Konferensi Perubahan Iklim 2009, Rachmat Witoelar kepada wartawan di Jakarta, Rabu (23/12). Pihak DNPI memaparkan pencapaian RI dalam negosiasi iklim.

Perjanjian bilateral, di antaranya dilakukan dengan Jerman, Norwegia, Inggris, Selandia Baru, Amerika Serikat, Swiss, dan Australia. Perjanjian juga dilakukan dengan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).

Menurut Rachmat, Pemerintah Inggris menyiapkan dana 5 miliar poundsterling untuk mencegah penggundulan hutan dan alih fungsi lahan di Indonesia. Pembalakan liar juga disorot.

Sementara itu, Pemerintah Norwegia menyiapkan pendanaan sementara (interim) bagi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD).

Amerika Serikat juga siapkan dana 3,5 miliar dollar AS bagi program pengurangan emisi dari kehutanan. Dana itu akan dikucurkan kepada tiga negara mewakili tiga benua selama dua tahun (2010-2011).

Keberadaan dana secara cepat memang menjadi fokus delegasi Indonesia dalam konferensi perubahan iklim. Dana cepat dibutuhkan bagi upaya-upaya yang sudah siap di lapangan.

Pemerintah Jerman, lanjut Rachmat, juga berjanji memberi bantuan teknis di sektor kehutanan. Namun, jumlah bantuan hibah masih dalam pembahasan.

Mengucur tahun 2010

Semua komitmen yang ada, baik secara bilateral maupun multilateral tersebut, diharapkan mengucur tahun 2010. ”Mestinya tahun depan memang sudah bisa cair sehingga bisa langsung dimanfaatkan di lapangan,” kata Ismid Hadad dari Kelompok Kerja Pendanaan DNPI.

Triliunan rupiah dibutuhan Indonesia untuk tahap persiapan program REDD. Di lapangan sejumlah program sudah dijalankan bersama dengan Jepang, Australia, dan Jerman.

Di bidang kelautan, Pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan UNEP. UNEP akan membantu Indonesia mengkaji kebutuhan teknologi untuk sektor kelautan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, dalam jumpa pers di sela-sela konferensi di Kopenhagen, menegaskan bahwa Indonesia dan negara-negara di kawasan segitiga terumbu karang membutuhkan peningkatan kemampuan penelitian laut.

Ratusan jiwa bergantung langsung pada kesehatan laut di kawasan segitiga terumbu karang tersebut. Adapun pada visi bersama naskah teks Kelompok Kerja Adhoc Kerja Sama Jangka Panjang (AWG-LCA), persoalan kelautan tidak ada. (GSA)


Produksi Karbon Tanpa Pengendalian

Produksi karbon dari kegiatan industri, transportasi, dan pembangkit tenaga listrik masih tanpa kendali. Karbon yang diproduksi dibuang begitu saja, padahal berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan lain, seperti diinjeksikan kembali ke perut Bumi untuk mengeluarkan minyak dan gas bumi.

”Indonesia belum memiliki sistem untuk mewajibkan pengendalian karbon itu,” kata Kepala Komite Nasional Indonesia World Energy Council Hardiv Situmeang dalam konferensi pers yang diprakarsai Kedutaan Besar Inggris, Rabu (23/12) di Jakarta.

Hadir narasumber-narasumber lainnya, yaitu peneliti pada Divisi Eksploitasi Lemigas, Utomo Pratama Iskandar, dan analis strategi karbon dioksida dari kantor pusat perusahaan Shell di Belanda, Michael Putra.

Menurut Hardiv, proyek pemerintah saat ini, seperti rencana pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 megawatt (MW) tahap pertama dan kedua oleh PLN, belum memungkinkan dilengkapi dengan pengendalian karbon atau emisinya.

”Saat ini merupakan momentum paling tepat bagi Indonesia memulai pembangunan pembangkit listrik dilengkapi dengan teknologi carbon capture and storage (CCS),” kata Michael.

Alasannya, menurut Michael, Indonesia saat ini masih membutuhkan banyak listrik yang dihasilkan dengan bahan bakar minyak dari fosil. Komposisi produksi listrik pada tahun 2008 adalah yang menggunakan batu bara mencapai 29,6 persen, bahan bakar diesel 47,9 persen, gas 18,7 persen, dan lain-lain.

Utomo menyatakan, peluang menerapkan CCS di Indonesia memungkinkan, di antaranya dengan dikombinasikan untuk kegiatan eksploitasi minyak dan gas. Banyaknya sumur eksploitasi minyak yang sudah tua dan belum mencapai titik optimal memberikan peluang penerapan CCS ini dengan cara menginjeksikan karbon ke dalam perut Bumi yang menjadi reservoir minyak dan gas.

”Rekomendasi sumber karbon untuk diinjeksikan ke reservoir minyak dan gas bumi sudah dibuat,” kata Utomo.

Beberapa rekomendasi tersebut, antara lain, sumber karbon dari kegiatan pembangkit listrik 1.000 MW di Indramayu, Jawa Barat, agar diinjeksikan di wilayah Sumatera Selatan dengan perkiraan kebutuhan perpipaan saluran mencapai 655 kilometer. Kemudian untuk pembangkit listrik 750 MW Muara Tawar, Jawa Barat, agar diinjeksikan ke Laut Jawa dengan kebutuhan perpipaan 15 kilometer.

Menurut Hardiv, karbon itu sangat diperlukan. Sebagian besar karbon diproduksi dari kegiatan pembangkitan listrik sehingga PLN perlu merancang kebutuhan pengendalian karbon untuk masa-masa mendatang.

”Untuk mendorong secara finansial, bisa melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) pada Protokol Kyoto, tetapi juga bisa melalui mekanisme perdagangan karbon lainnya,” kata Hardiv.

Terkait dengan Kesepakatan Kopenhagen, menurut Michael, hal yang tidak terjadi adalah tidak adanya kesepakatan untuk memperbesar pengurangan karbon dari negara-negara maju. Namun, dukungan finansial untuk perdagangan karbon dari negara maju masih cukup besar dan Indonesia belum bisa memanfaatkan secara optimal.

”Seperti untuk program perdagangan karbon melalui CDM Protokol Kyoto, India dan China yang menguasai. Mengapa Indonesia tidak bisa masuk satu pun?” kata Michael. (NAW)

Copenhagen Accord


Advance unedited version
Decision -/CP.15
The Conference of the Parties,
Takes note of the Copenhagen Accord of 18 December 2009.


Copenhagen Accord
The Heads of State, Heads of Government, Ministers, and other heads of the
following delegations present at the United Nations Climate Change Conference 2009
in Copenhagen: [List of Parties]
In pursuit of the ultimate objective of the Convention as stated in its Article 2,

Being guided by the principles and provisions of the Convention,

Noting the results of work done by the two Ad hoc Working Groups,

Endorsing decision x/CP.15 on the Ad hoc Working Group on Long-term Cooperative Action and decision x/CMP.5 that requests the Ad hoc Working Group on Further Commitments of Annex I Parties under the Kyoto Protocol to continue its work,

Have agreed on this Copenhagen Accord which is operational immediately.

1.             We underline that climate change is one of the greatest challenges of our time. We emphasise our strong political will to urgently combat climate change in accordance with the principle of common but differentiated responsibilities and respective capabilities. To achieve the ultimate objective of the Convention to stabilize greenhouse gas concentration in the atmosphere at a level that would prevent dangerous anthropogenic interference with the climate system, we shall, recognizing the scientific view that the increase in global temperature should be below 2 degrees Celsius, on the basis ofequity and in the context of sustainable development, enhance our long-term cooperative action to combat climate change. We recognize the critical impacts of climate change and the potential impacts of response measures on countries particularly vulnerable to its adverse effects and stress the need to establish a comprehensive adaptation programme including international support.

2.             We agree that deep cuts in global emissions are required according to science, and as documented by the IPCC Fourth Assessment Report with a view to reduce global emissions so as to hold the increase in global temperature below 2 degrees Celsius, and take action to meet this objective consistent with science and on the basis of equity. We should cooperate in achieving the peaking of global and national emissions as soon as possible, recognizing that the time frame for peaking will be longer in developing countries and bearing in mind that social and economic development and poverty eradication are the first and overriding priorities of developing countries and that a low-emission development strategy is indispensable to sustainable development.

3.             Adaptation to the adverse effects of climate change and the potential impacts of response measures is a challenge faced by all countries. Enhanced action and international cooperation on adaptation is urgently required to ensure the implementation of the Convention by enabling and supporting the implementation of adaptation actions aimed at reducing vulnerability and building resilience in developing countries, especially in those that are particularly vulnerable, especially least developed countries, small island developing States and Africa. We agree that developed countries shall provide adequate, predictable and sustainable financial resources, technology and capacity-building to support the implementation of adaptation action in developing countries.

4.             Annex I Parties commit to implement individually or jointly the quantified economy-wide emissions targets for 2020, to be submitted in the format given in Appendix I by Annex I Parties to the secretariat by 31 January 2010 for compilation in an INF document. Annex I Parties that are Party to the Kyoto Protocol will thereby further strengthen the emissions reductions initiated by the Kyoto Protocol. Delivery of reductions and financing by developed countries will be measured, reported and verified in accordance with existing and any further guidelines adopted by the Conference of the Parties, and will ensure that accounting of such targets and finance is rigorous, robust and transparent.

5.             Non-Annex I Parties to the Convention will implement mitigation actions, including those to be submitted to the secretariat by non-Annex I Parties in the format given in Appendix II by 31 January 2010, for compilation in an INF document, consistent with Article 4.1 and Article 4.7 and in the context of sustainable development. Least developed countries and small island developing States may undertake actions voluntarily and on the basis of support. Mitigation actions subsequently taken and envisaged by Non-Annex I Parties, including national inventory reports, shall be communicated through national communications consistent with Article 12.1(b) every two years on the basis of guidelines to be adopted by the Conference of the Parties. Those mitigation actions in national communications or otherwise communicated to the Secretariat will be added to the list in appendix II. Mitigation actions taken by Non-Annex I Parties will be subject to their domestic measurement, reporting and verification the result of which will be reported through their national communications every two years. Non-Annex I Parties will communicate information on the implementation of their actions through National Communications, with provisions for international consultations and analysis under clearly defined guidelines that will ensure that national sovereignty is respected. Nationally appropriate mitigation actions seeking international support will be recorded in a registry along with relevant technology, finance and capacity building support. Those actions supported will be added to the list in appendix II. These supported nationally appropriate mitigation actions will be subject to international measurement, reporting and verification in accordance with guidelines adopted by the Conference of the Parties.

6.             We recognize the crucial role of reducing emission from deforestation and forest degradation and the need to enhance removals of greenhouse gas emission by forests and agree on the need to provide positive incentives to such actions through the immediate establishment of a mechanism including REDD-plus, to enable the mobilization of financial resources from developed countries.

7.             We decide to pursue various approaches, including opportunities to use markets, to enhance the cost-effectiveness of, and to promote mitigation actions. Developing countries, especially those with low emitting economies should be provided incentives to continue to develop on a low emission pathway.

8.             Scaled up, new and additional, predictable and adequate funding as well as improved access shall be provided to developing countries, in accordance with the relevant provisions of the Convention, to enable and support enhanced action on mitigation, including substantial finance to reduce emissions from deforestation and forest degradation (REDD-plus), adaptation, technology development and transfer and capacity-building, for enhanced implementation of the Convention. The collective commitment by developed countries is to provide new and additional resources, including forestry and investments through international institutions, approaching USD 30 billion for the period 2010 œ 2012 with balanced allocation between adaptation and mitigation. Funding for adaptation will be prioritized for the most vulnerable developing countries, such as the least developed countries, small island developing States and Africa. In the context of meaningful mitigation actions and transparency on implementation, developed countries commit to a goal of mobilizing jointly USD 100 billion dollars a year by 2020 to address the needs of developing countries. This funding will come from a wide variety of sources, public and private, bilateral and multilateral, including alternative sources of finance. New multilateral funding for adaptation will be delivered through effective and efficient fund arrangements, with a governance structure providing for equal representation of developed and developing countries. A significant portion of such funding should flow through the Copenhagen Green Climate Fund.

9.       To this end, a High Level Panel will be established under the guidance of and accountable to the Conference of the Parties to study the contribution of the potential sources of revenue, including alternative sources of finance, towards meeting this goal.


10.     We decide that the Copenhagen Green Climate Fund shall be established as  an operating entity of the financial mechanism of the Convention to support projects,  programs, policies and other activities in developing countries related to mitigation  including REDD-plus, adaptation, capacity-building, technology development and transfer.


11.     In order to enhance action on development and transfer of technology we  decide to establish a Technology Mechanism to accelerate technology development and  transfer in support of action on adaptation and mitigation that will be guided by a country driven approach and be based on national circumstances and priorities.


12.    We call for an assessment of the implementation of this Accord to be completed by 2015, including in light of the Convention’s ultimate objective. This would include consideration of strengthening the long-term goal referencing various matters presented by the science, including in relation to temperature rises of 1.5 degrees Celsius.


Appendix I
Quantified economy-wide emissions targets for 2020
Annex I Parties                  Quantified economy-wide emissions targets for 2020
                                               Emissions reduction in 2020                 Base year
 
APPENDIX II
Nationally appropriate mitigation actions of developing country Parties
Non-Annex I                                                       Actions
 



Monday, December 21, 2009

Kontrak Diputus Unilever, Sinar Mas Kecam Greenpeace

Sinar Mas Group mengecam LSM lingkungan internasional Greenpeace yang telah memberikan data-datanya kepada Unilever sehingga perusahaan asal Inggris itu memutuskan kontrak pasokan CPO.

"Yang dilakukan Greenpeace bukan semata-mata murni untuk lingkungan. Kita menganggap ada penumpang gelap yang membonceng Greenpeace," ujar Managing Director Sinar Mas Group Gandhi Sulistyanto, Jumat (11/12).

Unilever memutuskan hubungan dengan Sinar Mas Agro Resources & Technology (SMAR), setelah Perusahaan internasional asal Inggris itu menerima bukti-bukti perusakan hutan yang dilakukan perusahaan CPO Indonesia itu.

Menurut berita yang dikutip dari harian Inggris, The Times, Jumat (11/12), Unilever membatalkan kontral senilai 20 juta poundsterling per tahun setelah mempelajari lusinan bukti yang disodorkan Greenpeace terkait perusakan hutan yang dilakukan Sinar Mas.

Gandhi mengungkapkan, Greenpace memang membeberkan data-data tersebut kepada para pembeli CPO Sinar Mas. Menurutnya, sebagian perusahaan internasional tersebut ada yang menanggapi namun sebagian lainnya tidak menanggapi.

"Terus terang buyer kita memang semua didatangi oleh Greenpeace, ditakut-takuti. Ada yang menanggapi ada yang tidak. Unilever untuk sementara menyatakan akan mempertimbangkan atau melihat lebih lanjut apa yang disampaikan Greenpeace, tapi buyer lain mengatakan yang disampaikan Greenpeace tidak betul," urainya.

Gandhi menyayangkan langkah-langkah Greenpeace yang dinilainya bisa menghambat perekonomian nasional. Ia pun menuding ada pesaing yang membonceng Greenpeace.

"Usaha Greenpeace ini menghambat perekonomian nasional. Saya khawatir ada titipan dari pesaing kita di global. Harusnya bangsa Indonesia curiga," tegasnya lagi.

Sinar Mas Group kini sedang mempelajari masalah ini, termasuk apakah akan mengajukan tuntutan hukum atau tidak. Sinar Mas Group juga sedang menghitung berapa nilai kerugian yang ditimbulkan akibat aksi Greenpeace tersebut.

Sumber - Detikfinance, 11 Desember 2009

http://www.klipberita.com/klipekonomi/3488-kontrak-diputus-unilever-sinar-mas-kecam-greenpeace.html

Sunday, December 20, 2009

Fraud Kartu Kredit Januari - Oktober 2009 Capai 7.654 Kasus

SURABAYA (SI) – Bank Indonesia mencatat jumlah kasus penipuan dan pemalsuan (fraud) kartu kredit di Indonesia selama Januari-Oktober 2009 mencapai 7.654 kasus.
 
Deputi Pemimpin Bidang Manajemen Intern Bank Indonesia (BI) Surabaya Mahmud mengatakan ada beberapa tipe fraud antara lain kartu palsu,kartu hilang atau dicuri,kartu tidak diterima,CNP, fraud aplikasi, mail only telephone only (MOTO),dan lain-lain. “Total nilai kerugiannya mencapai Rp43,78 miliar.Yang paling mendominasi adalah kartu palsu sebanyak 3.418 kasus dengan nilai kerugian Rp20,1 miliar dan fraud aplikasi sebanyak 2.922 kasus dengan nilai kerugian Rp21,04 miliar,” ujar Mahmud saat seminar tentang ”Penyalahgunaan Kartu Kredit dalam Sistem Pembayaran” di STIE Perbanas kemarin.

Perlu diketahui, fraud aplikasi adalah pemalsuan identitas pemilik dalam aplikasi kartu kredit. Sedangkan MOTO adalah tindak penipuan berupa layanan jual beli melalui transaksi surat menyurat (mail order), semacam katalog, dan jual beli melalui telepon (telephone order). Dan teknik penipuan yang terbaru adalah dengan mengakali sistem pembayaran cardholder- not-present (CNP) yang biasa diterapkan dalam sistem pembayaran transaksi onlinedi internet. Mahmud mengatakan selama ini aksi tindak pidana terus-menerus terjadi karena masih ada sejumlah celah yang bisa dimanfaatkan. ”Karena itu mulai tahun depan kita implementasikan teknologi chip untuk kartu kredit. Ini akan memangkas habis aksi tindak pidana dalam kartu kredit,” tandasnya di sela-sela seminar kemarin.

Selain itu, menurutnya, para penerbit kartu kredit (issuer) harus melakukan security audit minimal sekali dalam tiga tahun dan pelaporan risk management juga harus terus ditingkatkan.“Tentu saja dengan makin kompleksnya produk perbankan,BI sebagai otoritas perbankan akan terus meningkatkan kualitas pengawasan,”ujarnya. Board of Executive Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Dodit W Probojakti menambahkan bahwa potensi kepemilikan kartu kredit di Indonesia masih sangat besar.Menurut survei AKKI, jumlah kartu kredit yang sudah diterbitkan di Indonesia sampai tahun ini sekitar 12 juta unit.

“Kalau satu orang memiliki dua kartu,maka jumlah pemegang kartu kredit sekitar 6 juta orang. Sementara jumlah penduduk yang memenuhi syarat karena berpenghasilan diatas Rp3 juta mencapai 15 juta orang. Sehingga ada peluang 9 juta orang yang bisa jadi pemegang kartu kredit,”jelasnya. (ishomuddin) 
 
Wednesday, 16 December 2009  
Source:Harian Cetak Sindo, Kamis 17 Desember 2009

Penyakit Cakrawala




SALAH satu tugas yang saya emban sebagai ilmuwan adalah menunjukkan masalah daya saing yang dihadapi bangsa dan bagaimana mengobatinya.

Sehubungan dengan itu, saya teringat beberapa tahun lalu pernah menulis gejala penyakit cakrawala yang banyak melanda dunia usaha kita. Secara perlahan-lahan, di private sector gejala itu mulai memudar. Namun,sebaliknya di sektor pelayanan publik, gejala ini bukan memudar,malah semakin merisaukan. Untuk itulah, topik ini saya angkat kembali. Seperti apakah penyakit cakrawala, apa saja indikasinya, apa akibatnya, dan bagaimana cara mengobatinya?

Indikasi dan Akibat

Penyakit cakrawala adalah suatu penyakit organisasi yang menyerang para staf dan pimpinannya secara merata.Cakrawala yang demikian luas di atas sana, diblok, dikotak-kotakkan dalam batasan-batasan maya (mindset blockages) yang mengakibatkan organisasi mengalami kemandekan dan sulit beradaptasi menerjang cakrawala angkasa jagat raya.

Padahal semakin ke atas diperlukan “helicopter view” untuk membawa organisasi dan misi ke dunia baru yang lebih kompetitif. Dunia baru itu tidak mungkin tampak bila dilihat dengan kacamata myopic. Untuk itulah, cara pandang yang lebih luas, lebih komplementer, lebih bebas, lebih terbuka diperlukan.

Seorang dokter tidak bisa membawa rumah sakitnya menjadi besar semata-mata dengan kacamata dunia kedokterannya saja. Seorang engineer tidak bisa membawa perusahaan konstruksi menembus cakrawala dengan kacamata tekniknya. Dan seorang ekonom tidak akan bisa membawa perekonomian Indonesia lebih dari anggarannya dengan kacamata rationaleconomic behavior-nya.

Persoalannya, hampir semua institusi publik mengembangkan talentanya terlalu sempit. Ilmu pengetahuan atau bidang studi telah membelenggu cara berpikir birokrat ke dalam silo-silo yang sempit. Semua orang merasa memiliki teritorinya masing-masing dan orang lain tidak punya ruang untuk berpartisipasi memperkaya cakrawala.

Dokter menjadi backbone SDM di Departemen Kesehatan, sarjana pertanian di Departemen Pertanian, insinyur di Departemen Pekerjaan Umum, arkeolog di Direktorat Kepurbakalaan, sarjana farmasi di BUMN farmasi, sarjana hukum di Mahkamah Agung, akuntan di Badan Pemeriksa Keuangan, dan seterusnya.

Cakrawala yang sempit telah membuat banyak pemimpin di negeri ini percaya hanya ilmu mereka yang penting dan hanya mereka yang paling tahu tentang masalahmasalah spesifik. Dengan bekal yang sempit seperti itu, mereka tidak bisa membawa kita memasuki dunia yang baru. Dunia baru itu berada jauh di luar jangkauan mereka dan merupakan dunia asing yang berisiko dimasuki pemilik cakrawala yang sempit itu.

Dunia superspecialist adalah dunia para teknisi, dan begitu menapak ke atas, seseorang harus bekerja lebih banyak dengan keahlian yang berbeda-beda pada jaringan yang tersebar luas. Mereka tidak harus menjadi expertpada masing-masing bidang,cukup tahu pihak yang dapat diandalkan, dan tahu bagaimana menyatukan mozaik yang terlepas dan berserakan di mana-mana menjadi sebuah rangkaian produk yang benar-benar baru.

Dengan belenggu cakrawala seperti itu, tidak ada perkawinan pemikiran.Tidak ada terobosan-terobosan baru sehingga dunia penegakan hukum hanya mengenal faktorfaktor hukum yang bersifat legalistik-formal. Suasana kebatinan yang berbasiskan hati nurani dan kepemimpinan sulit mendapat tempat.

Dalam perencanaan pembangunan, para perencana di Bappenas hanya mampu melihat anggaran sebagai sebuah opportunity cost sehingga banyak infrastruktur terhambat dibangun karena mengalami konflik dengan cara berpikir entrepreneur yang lebih melihat opportunity benefitdan value creation. Daftar masalah yang dihadapi public sector akan bertambah panjang dan tak terbatas.

Semua bermula dari mewabahnya penyakit cakrawala yang membelenggu hampir seluruh lembaga publik yang gagal menghasilkan pemimpinpemimpin berwawasan luas. Wawasan luas itu tidak dapat diubah sekejap dengan membukakan mata atau mengajak mereka mendengarkan, melainkan harus ditanam dari bawah.

Talent Code

Daniel Coyle memperkenalkan konsep talent code untuk memperbaiki DNA suatu institusi. Sebaliknya, saya menyebutkan pentingnya lembaga-lembaga publik membuka pintu dan membentangkan jendela. Saat ini sudah sangat mendesak kebutuhan untuk merekayasa ulang DNA birokrasi Indonesia.

Rekayasa itu harus dimulai dari manusia, organisasi, sistem-sistem yang dibangun, tata nilai, dan tentu saja talenta yang dimilikinya. Di tengah-tengah era reformasi yang telah ditaburkan, ada rasa waswas yang muncul di kepala saya melihat cara kerja teman-teman yang terjangkit penyakit cakrawala.

Dapatkah misalnya, kita memperbaiki sistem anggaran, pendistribusian, pelaporan, dan pengawasannya dengan cakrawala yang terbatas? Saat ini kita membutuhkan organisasi yang luwes, lugas adaptif, mampu bergerak cepat dari sekadar organisasi yang tertata namun kaku dan membuatnya tak berdaya.

Niat baik dan sasaran untuk menata hanya akan menghasilkan pemborosan dan kerusakan jangka panjang. Saya mengerti, kata penyakit cakrawala sungguh terdengar di telinga para sarjana. Namun, kita harus mulai mengenali dan menyembuhkannya sebelum reformasi berujung pada penghancuran dan kesulitan yang lebih besar bagi negeri ini. Minggu depan saya akan melanjutkan bagaimana cara membuka pintu dan membentangkan jendela.(*)

Penulis: RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI 

Sumber: Harian Cetak Sindo, Kamis, 17 Desember 2009


Opini: Penilaian Tingkat Kesiapan (Readiness Level) Penciptaan Lapangan Kerja Ramah Lingkungan (Green Jobs) di Propinsi Daerah Khusus Jakarta

Catatan: Opini ini pertama kali ditulis pada September 2024 oleh Leonard Tiopan Panjaitan, MT, CSRA, GPS Pendahuluan Jakarta sebagai pusat...