Wednesday, May 4, 2011

Kualitas Air Ibukota Makin Buruk & Kotor

Kuantitas dan kualitas air Jakarta terus turun. Selain cadangan air tanah makin terkuras. Sebagian air sumur juga tercemar bahan-bahan organik dan anorganik.

Masalah air di Jakarta kian hari kian gawat. Penduduk makin sulit memperoleh air bersih dan sehat. Selain air tanahnya yang ter­cemar, Jakarta yang dihuni seki­tar 9,5 juta jiwa ini juga punya masalah serius. Yakni, terbatasya keterse­di­aan air tanah di beberapa wila­yah. Sedangkan pelayanan air ber­sih da­ri Perusahaan Daerah Air Mi­num (PDAM) Jaya belum maksimal.




Krisis ketersediaan air tanah ter­jadi karena warga Jakarta me­manfaatkan air tanah secara ber­lebihan. Pada saat bersamaan, jumlah sumur bor yang menyedot air tanah hingga kedalaman pu­luhan meter terus bertambah se­iring dengan tumbuhnya kawasan industri. Kondisi ini diperparah oleh kontrol yang lemah.

Pengambilan air tanah secara besar-besaran akan berdampak pada kekosongan air dalam tanah. Akibatnya, permukaan tanah bisa semakin menurun dan cadangan air tanah menipis.

Pengamat perkotaan Yayat Su­priatna menyatakan, dengan ada­nya lonjakan penduduk, akan ba­nyak permasalahan yang ter­jadi di DKI. Jakarta akan semakin pa­­dat dan terjadi degradasi ling­ku­ngan yang sangat parah.

Yang sangat berbahaya, lan­jut­nya, adalah mengenai kebu­tuhan air minum. Layanan air mi­num di DKI Jakarta baru mencapai sekitar 60 persen. Jadi ada 40 per­sen lagi penduduk DKI yang be­lum terlayani.

Dan dari 60 persen pelayanan air itu, tingkat kebocorannya ham­pir mencapai 50 persen (Jadi, kalau pemenuhan air ber­sih di DKI ini tidak terpenuhi, ke­mung­kinan besar akan terjadi eksploi­tasi pengambilan air tanah yang lebih besar. Hal ini menyebabkan amblesnya per­mukaan tanah di Jakarta.

“Di samping itu, permasalahan klasik di Jakarta seperti banjir dan macet tidak akan terselesaikan. Jadi apapun yang dilakukan, ujung­nya malah menambah ma­salah baru dan tidak menyele­saikan masalah,” ucap Yayat kepa­da Rakyat Merdeka.

Karena itu, lanjut Yayat, perlu langkah tegas untuk keluar dari permasalahan rumit ibukota ini. Pemindahan ibukota harus se­gera direalisasikan karena Ja­karta sa­ngat overloaded.

“Ini kenyataan yang tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus ke­luar dari kotak ma­salah. Apakah Jakarta ini masih layak untuk di­pertahankan, pa­da­hal sudah su­dah overloaded? Jakarta sudah iden­tik dengan kota yang ber­masalah,” cetus Yayat.

Pengamat geografi Universitas Indonesia (UI) Ah­mad Munir mengatakan, kerusa­kan kondisi air tanah di Jakarta sudah sangat parah. Kerusakan yang lebih pa­rah adalah kerusa­kan dari sisi kua­litas. Penurunan kualitas air hampir terjadi di se­tiap daerah aliran sungai (DAS), sebagai dampak perubahan peng­gunaan lahan maupun dampak aktivitas kehidupan manusia.

Aktivitas yang memberikan dam­pak besar pada tingkat pence­maran air adalah Industri. Lim­bah Industri yang dibuang ke ali­ran DAS, pada umumnya masih stan­dar limbah. “Ini karena ku­rang ke­tatnya pengawasan peme­rintah terhadap aktivitas industri. Atau kurang sadarnya para pelaku in­dustri dalam memperhatikan ling­kungan,” tegas Ahmad Munir.

Menurutnya, kesadaran masya­rakat masih rendah. Banyak ma­syarakat melihat air sebagai ba­rang gratis sehingga tidak ada lagi sikap “hormat” terhadap air. Pa­dahal, kondisinya sudah sa­ngat berbeda. Untuk mempro­duksi air bersih, harus dikeluar­kan cost yang sangat mahal. Salah satu­nya, biaya untuk membeli clorin yang didatangkan dari Australia. Minimnya penge­ta­huan menjadi salah satu faktor penyebab kena­pa war­ga tak bisa menghemat air.

“Jika tidak segera diatasi, Ja­karta akan dilanda krisis terbu­ruk kekurangan air bersih untuk wak­tu mendatang. Ancaman ke­keri­ng­an pada masa menda­tang men­jadi ancaman yang nyata ji­ka ti­dak diperhatikan dari seka­rang,” pungkas Ahmad. [RM]

25 September 2010

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...