”Katanya mau ke Amazon?” Pertanyaan itu akhirnya dilontarkan di Belem pada hari terakhir tugas kami (Jumat, 6/11) setelah berdiskusi dengan 17 narasumber di tempat-tempat terpisah di Sao Paulo, Brasilia, dan Belem di Brasil, untuk mengetahui lebih jauh masalah deforestasi di Amazon dalam kaitannya dengan perubahan iklim.
Kami bahkan sudah siap dengan perlengkapan untuk masuk ke kelebatan hutan hujan tropis terbesar di dunia itu, sesuai dengan penjelasan pejabat bidang komunikasi dan media Kedutaan Besar Inggris di Jakarta sebagai pihak pengundang.
”Anda sedang berada di tengah hutan Amazon,” tukas Bruno Cabral (30) di tengah kekecewaan. Bruno masih kuliah di jurusan hukum universitas swasta di Belem dan penerjemah Portugis-Inggris paruh waktu.
Obrolan yang terpotong-potong itu—karena harus menemui berbagai narasumber yang sudah ditentukan—justru memberikan gambaran yang mengaitkan antara deforestasi di Amazon dengan pengalaman subyektif Bruno sebagai warga Belem.
”Daerah ini,” ia menunjuk wilayah jalan utama di Belem yang sedang kami lewati dalam perjalanan ke lembaga riset Imazon, ”sekitar 20 tahun lalu adalah sungai dengan hutan bakau yang tebal. Saya sering memancing ikan di situ.”
Sebagai warga, Bruno pun takjub melihat perubahan yang begitu cepat di Belem. ”Inilah Amazon, lengkap dengan McDonald’s-nya,” ujar Bruno, terdengar sarkastis, ketika menyebut restoran cepat saji asal Amerika Serikat yang menu utamanya burger daging sapi itu.
Secara sepintas, Bruno menceritakan tentang empat keluarga tuan tanah yang berpengaruh besar pada perkembangan ekonomi dan politik di Belem, termasuk pengembangan kota yang rakus dan tidak terencana.
”Hutan yang paling dekat kota sudah rusak. Yang di seberang sungai hutannya masih jauh lebih bagus,” Bruno menunjuk hutan lebat di seberang Sungai Para, salah satu cabang Sungai Amazon, dari 8-The Heron Mangrove.
Kota Belem yang berdiri tahun 1616 adalah koloni bangsa Eropa pertama di Amazon. Ibu kota Negara Bagian Para—gerbang Amazon—itu kini berpenduduk sekitar 2,09 juta orang. Belem berada di tepi muara Amazon, di bagian utara Brasil, terletak sekitar 100 kilometer di hulu Laut Atlantik.
Gambar besar
Sekilas kisah Bruno memperlihatkan gambaran besar deforestasi di Amazon, yang tampaknya senantiasa terkait dengan politik kekuasaan. Belem hanya salah satu dalam sejarah kota di Brasil yang dibangun dengan cara ”memakan” hutan.
”Sebelum dibangun sekitar 50 tahun lalu, kota Brasilia adalah bagian dari hutan Amazon,” ujar Arnaldo Carneiro Filho, peneliti pada Socio-Environmental Institute (ISA), di Brasilia, Rabu (4/11) siang.
Kata Arnaldo, antara tahun 1945 dan tahun 2000, hutan di Amazon telah memberikan ”bagian-bagian tubuhnya” bagi pembangunan ratusan kota di Brasil. Jalan besar dan kecil sepanjang 300.000 kilometer yang menerabas Amazon mulai dibangun sejak akhir tahun 1960-an.
”Brasil adalah juara utama deforestasi di Amerika Latin. Selain Amazon, hutan Atlantik di Brasil pun hanya tersisa 5-6 persen,” ujar Arnaldo. ”Padahal, 60 persen penduduk bermukim di kawasan itu,” sambung Mario Manthovani dari organisasi nonpemerintah, SOS Atlantic Forest, di gedung parlemen di Brasilia, Rabu (4/11) pagi.
Selama 15 tahun terakhir, Mario dan kawan-kawannya bekerja menyelamatkan sisa hutan yang merupakan pemasok air bersih dan sumber keragaman hayati.
Hutan Atlantik atau Mata Atlaantica membujur di sepanjang pantai Atlantik Brasil dari Rio Grande utara ke selatan terus sampai ke bagian timur Uruguay dan Provinsi Misiones di timur laut Argentina.
Adapun luas seluruh hutan Amazon mencakup Brasil, Peru, Bolivia, Kolombia, Ekuador, Guyana, Suriname, dan Venezuela. Luasnya sekitar 6,7 juta kilometer persegi, hampir dua kali luas Uni Eropa, dengan 60-65 persennya berada di Brasil. Menurut Kiko Brito dari Greenpeace di Sao Paulo, luas Amazon di Brasil sekitar 72 persen dari 8,51 juta kilometer persegi luas negeri itu.
Hutan Amazon sangat penting dalam ekosistem dunia karena sepertiga dari seluruh spesies di dunia terdapat di hutan rimba Amazon. Berbagai obat kanker berasal dari spesies tumbuhan yang hanya terdapat di Amazon.
Hutan hujan tropis terbesar di dunia itu menghasilkan 15-20 persen air bersih dunia, berasal dari Sungai Amazon yang panjangnya sekitar 6.400 kilometer, terbesar kedua di dunia, meliuk dari Pegunungan Andes terus turun sampai ke Samudra Atlantik.
Sejarah kerusakan
”Peternakan, pertanian, khususnya kedelai, dan pembalakan adalah ancaman terbesar di Amazon di samping kegiatan pertambangan,” ujar Dr Jean Pierre Ometto, peneliti pada Lembaga Nasional Penelitian Ruang (INPE). ”Sekitar 70 persen wilayah hutan yang gundul berwujud padang rumput peternakan sapi.”
Brasil adalah pengekspor produk daging sapi (termasuk produk susu dan kulit) terbesar di dunia, khususnya setelah kasus penyakit sapi gila di negara maju. Begitu dikemukakan Kiko Bruno dari Greenpeace, Sao Paulo. Empat korporasi besar dalam negeri, JBS, Bertin, Marfrig, dan Minerva, menguasai 70 persen pangsa pasar produk daging dunia.
”Antara tahun 1990 dan 2003, pertumbuhan produksi daging meningkat 7 persen setahun. Itu sangat tinggi,” ujar Paulo Bareto, peneliti senior dari Imazon.
Hutan yang dihancurkan sejak tahun 1970-an berjumlah 700.000-750.000 kilometer persegi. ”Tekanan terhadap Amazon juga berasal dari pembangunan dam untuk pusat listrik tenaga air yang merupakan 90 persen sumber listrik Brasil. Jumlahnya sekitar 205, termasuk yang masih rencana,” papar Arnaldo.
Menurut Jean Pierre, persoalan terbesar adalah soal kepemilikan lahan. Ini juga terkait dengan spekulasi lahan yang, menurut Penasihat Senior TNC Bidang Kebijakan Konservasi di Kawasan Amerika Selatan Fernanda Viana de Carvalho, nilainya mencapai 1,3 miliar reis per tahun atau sekitar 450 juta dollar AS. Hutan yang masih bagus pun, seperti di Xingu, terancam segala bentuk kegiatan eksploitatif.
Mario menambahkan, sekitar 70 persen lahan hutan dikuasai orang-orang yang punya ”hak istimewa” meskipun secara teori itu adalah hutan publik. Sedangkan menurut Paulo, 50-80 persen properti di hutan dikuasai swasta.
”Sekitar 94 persen deforestasi adalah ilegal dan menginvasi hutan suku asli yang luasnya hanya sekitar 6 persen,” sambung Arnaldo, yang bersama ISA melakukan pemantauan demi hak-hak suku asli yang populasinya tinggal sekitar 700.000.
Penggundulan hutan di Amazon punya sejarah panjang, dimulai tahun 1940-an ketika Presiden GetĂșlio Vargas meluncurkan program nasional pembangunan di lembah Sungai Amazon.
”Sebagian besar deforestasi terjadi pada akhir tahun 1960-an ketika pemerintah militer Brasil mulai melakukan pembangunan besar-besaran, termasuk pembangunan kota, dam, dan trans- Amazon, serta mengembangkan agribisnis karena mulai awal tahun 1970-an itu Brasil mulai mendekat ke Amerika,” ungkap Arnaldo.
Pembangunan membutuhkan banyak tenaga kerja. Migrasi besar-besaran dari berbagai wilayah meruyak. Pembangunan trans- Amazon telah membuka kesempatan lebih besar bagi perambah untuk merangsek ke bagian hutan yang makin dalam.
Konflik perebutan lahan memanas, khususnya oleh kaum migran dari selatan. Mereka adalah pemodal, yang punya akses ke lembaga-lembaga keuangan, untuk mengembangkan agribisnis.
”Mereka adalah agen penting dalam perubahan tata guna lahan di wilayah selatan Brasil, khususnya di Mato Grosso,” ungkap Arnaldo.
Para petani besar itu merespons pasar komoditas dunia yang secara politik didorong menjadi infrastruktur baru pembangunan. Mereka difasilitasi untuk melakukan perluasan kegiatan pertanian (dan peternakan) serta deforestasi sampai saat ini.
”Mulai tahun 1969, rezim militer membuka hutan Amazon di Manaus untuk asembling produk-produk korporasi transnasional, seperti Honda, CD, dan lain-lain,” sambung Arnaldo. Kegiatan ekonomi di Manaus memberi sumbangan terbesar kelima pada produk domestik bruto (PDB) Brasil.
Dalam ”The Roles and Movements of Actors in the Deforestation of Brazilian Amazonia” pada jurnal Ecology and Society Vol 13 (Juni 2008), Dr Philip M Fearnside dari National Institute for Research in the Amazon (INPA) mengungkapkan sembilan aktor deforestasi terkait bagaimana mereka membalak hutan, di mana wilayah kegiatannya, dan bagaimana interaksi satu sama lain.
Para aktor itu mencakup dari yang paling miskin (migran tanpa lahan dan migrasi yang disponsori negara) sampai yang kaya (petani dan peternak bermodal besar), mulai dari kelompok oportunis (pemodal besar penambang emas) hingga mereka yang tanpa harapan (penyerobot tanah), dari kapitalis pasar bebas (pedagang lintas batas narkotika dan obat terlarang, para operator penggergajian kayu dan pembalak) sampai mereka yang hanya punya sedikit alternatif hidup (para budak utang).
Kelompok-kelompok itu adalah produk dari migrasi yang, menurut Fearnside, ”melibatkan tak hanya pergerakan manusia, tetapi juga pergerakan investasi.”
Jumat, 20 November 2009 | 04:53 WIB
Oleh Maria Hartiningsih
Oleh Maria Hartiningsih
No comments:
Post a Comment