Demokrasi politik melalui pemilihan langsung menghasilkan pelaku-pelaku baru di bidang pengambilan keputusan yang berorientasi jangka pendek. Kebanyakan dari mereka tak paham arti ”kebijakan publik”, terutama masalah kesejahteraan yang terkait dengan human capital investment melalui Program Kesehatan dan Keluarga Berencana (KB) yang berperspektif jangka panjang.
Karena orientasinya lima tahunan, para pemimpin berlomba-lomba mengklaim ”hasil karya”-nya agar dapat terpilih lagi. Kerja yang lebih banyak didasari kepentingan politik itu tak mampu (dan tak mau) melihat jauh ke depan, khususnya yang terkait dengan kualitas penduduk, sandaran masa depan bangsa.
Banyak kebijakan lebih didasari kepentingan pihak yang kuat meski kerap mengatasnamakan ”kesejahteraan rakyat”. Adapun rakyat yang semakin kehilangan akses pada sumber daya lokal dengan mudah dijadikan obyek yang mudah dipecah belah.
Seluruh kerja dan upaya dengan perspektif panjang bukanlah wilayah yang ”menggiurkan” dalam politik kekuasaan karena hasilnya tak dapat ditengarai dalam waktu singkat. Hanya negarawan yang akan mengambil risiko itu.
Pembelajaran
Jejak sejarah memberikan gambaran yang seharusnya memberikan pembelajaran. Jared Diamond dalam Collapse: How Societies Choose to Fail or Survive (2005) menyebutkan, penyebab kehancuran suatu bangsa pada masa lalu adalah musnahnya manusia karena degradasi lingkungan dan sumber daya alam yang parah, penyakit, perang antarnegara, maupun konflik karena elite politik terus-menerus berebut kekuasaan.
Proses itu terus berlanjut. Afrika adalah ”the lost continent” karena konflik dan perebutan kekuasaan yang terus-menerus, kehancuran lingkungan, dan meruyaknya infeksi menular, khususnya tuberkulosis (TB), malaria, dan HIV/AIDS.
Kolaps pada zaman ini juga disebabkan ledakan pertumbuhan penduduk yang dibarengi rendahnya kualitas dan akses terhadap pelayanan sosial dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi, pengangguran dengan segala dampaknya, serta kehancuran lingkungan dan sumber daya alam dalam arti luas.
Faktor lain terkait dengan bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia, penyakit akibat gaya hidup maupun kerusakan lingkungan, apalagi kalau ditambah ketegangan terus- menerus antarelite politik yang memicu konflik horizontal maupun vertikal. Ujung dari semuanya sama: kehancuran.
Semua persoalan itu terkait dengan masalah kependudukan sekaligus tercakup dalam Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Sejarah menunjukkan, gagal atau berhasilnya suatu bangsa melewati masa-masa kritisnya dan terus maju tergantung dari bagaimana bangsa itu menghadapi masalah-masalah kependudukan, yang semuanya bermuara pada human capital investment.
Berjalan mundur
Kependudukan adalah persoalan rumit yang tak bisa lagi direduksi sebagai Program KB pada masa lalu, yang bersifat sentralistik dan koersif karena mereduksi seluruh pengalaman manusia sebagai angka. Namun, aspek kuantitas pun mengalami kemunduran pada Orde ”Reformasi” ini.
Indikatornya banyak. Selain penurunan tingkat fertilitas (TFR) yang mandek, penurunan angka kematian bayi dan balita (IMR) serta angka kematian ibu melahirkan (MMR) juga lambat, angka kurang gizi balita tetap tinggi, kinerja akademik anak tidak optimal, meningkatnya penyakit-penyakit yang menggerogoti produktivitas, seperti TB, malaria, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), penyakit-penyakit oportunistik akibat virus HIV/AIDS, diare, anemia, dan lain-lain.
Kemunduran juga dipicu perubahan sosial, terkait dengan ideologi. Pandangan ekstrem telah memasuki kelompok intelektual dan menengah dan dalam sistem politik. Bahkan, ada partai politik anti-KB. Pandangan pronatalis menguat pada era otonomi daerah, seiring dengan menguatnya identitas karena besarnya dana alokasi umum tergantung besarnya jumlah penduduk.
Jawaban terhadap semua tantangan itu menentukan apakah ”jendela peluang” dalam kependudukan akan terbuka atau menutup lagi. Program Kesehatan dan KB menentukan berhasil atau tidaknya meraih buah dari bonus demografi.
Namun, Program Kesehatan harus difokuskan pada yang sehat; program pendidikan tak hanya dilihat sebagai bekal kompetisi di pasar kerja, dan Program KB harus dipahami lebih luas dari pengendalian jumlah penduduk, terkait dengan human capital investment. Program Kesehatan Ibu-Anak (KIA) dengan pendekatan life-cycle approach penting untuk menjamin kualitas manusia.
Semua itu membutuhkan pemimpin yang visioner; yang tahu pentingnya human capital investment, dan menempatkan kesejahteraan serta martabat bangsa di atas segalanya. Mari kita tunggu hasil pemilu!
PENULIS: MARIA HARTININGSIH, Kamis, 16 April 2009 | 02:46 WIB
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/16/02464683/kependudukan.kunci.masa.depan
No comments:
Post a Comment