Sebelumnya diberitakan, ratusan siswa Indonesia berprestasi diincar universitas publik di Singapura yang agresif mempromosikan diri dan mencari anak- anak brilian di Indonesia. Para siswa itu diberikan kemudahan pembiayaan mulai dari subsidi Pemerintah Singapura (tuition grant) dengan ikatan kerja tiga tahun, beasiswa (biaya hidup, buku, komputer dan uang saku), serta pinjaman bank yang dibayarkan setelah lulus.
”Anak-anak itu tidak dapat disalahkan. Permasalahannya lebih kompleks, belum terbangun iklim, tantangan, dan peluang. Salah satunya ialah suasana riset dan lapangan pekerja sesuai kelak. Iklim itu seharusnya dapat dibangun melalui pengembangan sistem pendidikan, riset, dan industri yang terarah serta visioner,” ujarnya.
Dunia riset di Indonesia sendiri belum diperhatikan. Di negara maju, seperti Amerika, anggaran riset 2,3 persen produk domestik bruto (PDB), sementara di Indonesia baru 0,05 persen tahun 2004. Pada tahun yang sama, anggaran riset Malaysia sudah 0,7 persen PDB. Kalaupun terjadi kenaikan tidak besar dan negara lain sudah jauh lebih besar lagi alokasi anggarannya. Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan menjadi contoh negara yang maju dengan memperkuat infrastruktur teknologi.
Penghargaan minim
Menurut Soedijarto, penghargaan terhadap kaum intelektual masih minim. Soedijarto saat masih menjadi guru besar Universitas Negeri Jakarta dengan golongan tertinggi 4E enam bulan lalu menerima gaji sekitar Rp 4,2 juta per bulan. Dia sempat merasakan kenaikan kesejahteraan yakni tambahan sekitar Rp 3 juta per bulan selama enam bulan terakhir. Namun, itu pun masih relatif kecil dibandingkan dengan gaji guru besar di luar negeri, seperti di Malaysia yang besarnya Rp 42 juta per bulan. Penghargaan terhadap pekerja bidang pendidikan dan penelitian masih lebih kecil dibandingkan dengan politikus di DPR yang pendapatannya bisa mencapai Rp 42 juta per bulan.
Aktivis Koalisi Pendidikan, Lodi Paat, menambahkan, pembangunan pendidikan harus berbarengan dengan riset dan perekonomian, dalam hal ini industri. Mereka yang belajar di luar negeri dan pulang, tetapi tidak mendapatkan lapangan pekerjaan sesuai di Indonesia akan putus asa. Lodi mencontohkan, pada era Habibie banyak anak cerdas belajar di luar negeri untuk kedirgantaraan dan kemudian disiapkan suatu sistem berupa industri. Kini industri tidak digarap serius. (INE)
Kompas, Jakarta, Rabu, 22 April 2009 | 03:48 WIB
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/22/03485826/brain.drain.rugikan.bangsa
No comments:
Post a Comment