Hutan savana di Merauke dinilai sebagai ekosistem yang rapuh sehingga pembangunan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) harus dilakukan hati-hati agar tidak mengulang kerusakan lingkungan akibat pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah.
Hal itu disampaikan Gusti di Jakarta, Kamis (1/4), seusai menerima kajian Greenomics Indonesia tentang potensi kerusakan hutan alam Papua terkait rencana pembukaan lahan 1,2 juta-1,6 juta hektar untuk proyek MIFEE. Ia menyatakan akan menerima semua masukan masyarakat terkait proyek MIFEE dan membicarakannya dengan kementerian terkait.
”Kami mendukung MIFEE. Namun, lebih baik MIFEE dilakukan bertahap. Kalau mau membuka hutan, buka dulu kawasan hutan konversi dan kawasan tidak berhutan yang luasnya berkisar 360.000 hektar. Pembukaan itu akan aman, baik dari aspek lingkungan maupun dari aspek hukum dan status kawasan hutan. Jangan langsung membuka hutan 1,6 juta hektar untuk MIFEE karena pasti pembukaan hutan 1,6 juta hektar akan mengenai kawasan hutan produksi, yang kemungkinan separuhnya berupa hutan alam,” kata Gusti.
Harus ada kajian strategis
Menteri menyatakan, pembukaan hutan untuk proyek MIFEE membutuhkan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) daerah. Ia menekankan, amdal baru bisa disusun jika Pemerintah Kabupaten Merauke sudah menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
”Mungkin kita harus carikan dana untuk menyusun KLHS. KLHS harus disusun dahulu karena kita harus memastikan daya dukung dan daya tampung lingkungan Merauke untuk proyek itu. Ekosistem hutan savana seperti di Merauke adalah ekosistem yang rapuh. Jangan sampai kasus lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah terulang,” kata Gusti.
”Pembukaan lahan gambut telanjur dilakukan, sementara amdal justru belum pernah dilakukan. Sampai sekarang, kerusakan lingkungan di sana tidak terpulihkan dan lahan itu berulang kali terbakar,” ujarnya.
Hasil kajian
Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi menyatakan, kajiannya yang diserahkan kepada Menteri Lingkungan Hidup menunjukkan luasan Hutan Produksi Konversi (HPK) dalam kondisi tidak berhutan di Merauke luasannya hanya 366.000 hektar.
Elfian meminta MIFEE dilakukan bertahap dengan memanfaatkan terlebih dahulu 366.000 hektar HPK yang tidak berhutan itu.
”Jika dalam perkembangannya MIFEE menunjukkan ada kemajuan daerah, luasannya bisa ditambah lagi dengan membuka 139.000 hektar hutan produksi tidak berhutan. Namun, pembukaan 139.000 hektar hutan produksi itu harus disetujui terlebih dahulu oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, jika MIFEE ingin dibuka tanpa mengonversi
hutan alam, luasan maksimalnya hanya 505.000 hektar,” kata Elfian.
Elfian menyebutkan, jika luasan MIFEE mencapai 1,6 juta hektar, berarti ada 1,1 juta hektar hutan alam yang dikorbankan untuk MIFEE. Selain terancam MIFEE, kelestarian hutan alam Papua di Merauke juga terancam oleh rencana pembangunan industri kayu.
Menurut dia, salah satu investor MIFEE telah mengantongi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) seluas 169.400 hektar di Merauke. Elfian menyatakan, rencana kerja pemegang IUPHHK menunjukkan, 78.728 hektar hutan primer alami akan ditebang habis.
”Ada perusahaan lain yang bukan merupakan investor MIFEE, tetapi juga memegang IUPHHK seluas 206.800 hektar. Dan, mereka berencana menebang 120.939 hutan alami primer. Kami berharap Kementerian Kehutanan tidak mengesahkan rencana kerja itu dan menetapkan 199.667 hektar hutan primer dalam konsensi IUPHHK kedua perusahaan itu sebagai kawasan hutan yang harus dipertahankan,” kata Elfian. (ROW)
03 April 2010
No comments:
Post a Comment