Tuesday, October 19, 2010

Turunkan Tarif Interkoneksi Demi Konsumen

Telekomunikasi saat ini sudah bukan lagi barang mewah bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan harga sekitar Rp 200 ribu, Burhan di Kecamatan Beringin, Deli Serdang sudah bisa memperoleh telepon genggam baru yang dijual jadi satu dengan nomor telepon (bundling) dan siap pakai. Belum lagi di kalangan masyarakat kelas menengah atas, kebutuhan komunikasinya tidak saja hanya berupa voice tetapi sudah merambah pada kebutuhan komunikasi data dan video.

Sebenarnya pertumbuhan industri seluler di Indonesia sudah mulai melambat dari sekitar 40% pada tahun 2005-2009 menjadi hanya sekitar 9% pada tahun 2010-2014. Dengan jumlah pemegang nomor atau pemilik telepon seluler (baik aktif maupun tidak) saat sebesar lebih dari 210 juta (baik paska atau pra bayar dan aktif atau tidak), ternyata masih menguntungkan bagi penyelenggara jasa telepon seluler. Buktinya iklan pulsa murah dari 11 operator yang ada, masih terus menghiasi berbagai media di Indonesia.

Dari 11 operator seluler yang ada,  pasar GSM mayoritas dikuasai oleh 3 operator besar yaitu Telkomsel, Indosat dan XL. Sedangkan pasar CDMA dikuasai oleh 2 operator yaitu Bakrie Telecom (BTel/Esia) dan Telkom Indonesia (Flexi). Dengan menguasai lebih dari 90 juta pelanggan pada tahun 2010 ini, Telkomsel menjadi operator dominan di bisnis seluler yang diikuti oleh Indosat (40 juta pelanggan) dan XL (36 juta pelanggan). Sisanya diperebutkan oleh Flexi (16 juta pelanggan), Esia (11,5 juta pelanggan) serta sisa 6  operator lainnya.

Bagi operator bisnis seluler masih menguntungkan. Lalu bagaimana dengan konsumen? Berbagai upaya tengah dilakukan oleh operator dan regulator, termasuk merevisi biaya
interkoneksi agar biaya berkomunikasi lebih murah. Apakah pengaturan biaya interkoneksi juga akan menguntungkan konsumen dan operator dalam berkompetisi? Intinya tarif atau biaya interkoneksi harus diatur agar industri sehat dan konsumen tidak minggat.

Kompetisi Di Industri Seluler

Paska berlakunya Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika No. 08/Per/M.KOMINF/02/2006 tentang Interkoneksi dan hilangnya biaya roaming membuat tarif telekomunikasi memang terjun bebas mendekati 30% - 40%. Tentunya ini menguntungkan konsumen. Biaya interkoneksi merupakan biaya yang dibebankan akibat adanya saling keterhubungan antar jaringan telekomunikasi yang berbeda. Siapa yang membayar? Tentu konsumen.

Untuk itu harus dihindari operator dominan menjadi penghambat kompetisi dengan
mendorong Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), sebagai regulator bersama
Kementerian Negara Kominfo, menetapkan biaya interkoneksi setinggi mungkin. Alasan lain yang dipakai operator dominan biasanya karena mereka sudah malakukan investasi jaringan yang mahal, maka biaya investasi tersebut harus diperhitungkan dalam penentuan tarif interkoneksi.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa interkoneksi antar penyelenggara jaringan merupakan salah satu syarat terjadinya end to end connectivity seperti yang tertuang
dalam WTO Refference Paper. Untuk itu seharusnya interkoneksi merupakan hak dan kewajiban penyelenggara jaringan, bukan merupakan salah satu cara untuk memperoleh pendapatan maupun untuk melakukan kompetisi. Biaya interkoneksi merupakan patokan tarif yang digunakan supaya kompetisi sesama operator sehat, mengingat tarif interkoneksi merupakan unsur penting pembentukan harga tarif off net.

Semakin rendah biaya interkoneksi, maka operator telekomunikasi non dominan akan semakin mudah berkompetisi dengan operator dominan dengan cara memainkan tarif on net nya (sesama pelanggan di 1 operator). Sulit bagi operator non dominan untuk bersaing dengan operator dominan, jika biaya interkoneksinya masih tetap tinggi. Tarif interkoneksi merupakan salah satu unsur terpenting dalam penetapan tarif retail dan sama sekali di luar kontrol operator. Apapun usaha operator untuk melakukan efisiensi operasinya, tidak akan dapat mempengaruhi tarif interkoneksi yang harus dibayarkan operator tersebut kepada operator lainnya. Dengan kata lain operator tujuan panggilan memegang monopoli atas akses dan harga interkoneksinya. Semakin dia dominan maka akan semakin banyak pelanggan operator non dominan yang menelpon ke pelanggan dominan. Sehingga penerimaan biaya interkoneksi operator dominan akan semakin besar dan operator dominan bisa menjual pulsa lebih murah secara on net pada pelanggannya karena ada kompensasi pendapatan dari biaya interkoneksi (off net) yang lebih besar dari yang diterima oleh operator non dominan.

Sebaliknya karena jumlah pelanggannya lebih kecil, maka operator non dominan akan menerima lebih sedikit pendapatan dari interkoneksi. Akibatnya biaya on net operator
non dominan harus diatas harga on net operator dominan agar tetap untung. Sebagai dampak murahnya tarif on net operator dominan, maka pelanggan dari operator non dominan pasti akan pindah ke operator dominan yang menawarkan tarif on net lebih murah. Jadi yang menjadi alat kompetisi di industri telekomunikasi sebenarnya adalah tarif on net bukan off net atau tarif interkoneksi.

Dengan kondisi industri telekomunikasi seperti di atas, maka operator dominan akan memegang kendali atau monopoli atas akses dan harga interkoneksinya. Kenyataan ini patut diduga menyebabkan operator dominan akan mempertahankan tarif interkoneksi setinggi mungkin agar non dominan mati pelan-pelan. Meskipun saat ini BRTI sedang menggodok perubahan biaya interkoneksi, namun penurunan yang direncanakan hanya sekitar 4% - 6% belum dapat membuat konsumen lebih tersenyum dan kompetisi di industri telekomunikasi adil.

Apa yang Harus Dilakukan Regulator?

Dalam menetapkan tarif interkoneksi, BRTI seharusnya menggunakan azas bahwa interkoneksi merupakan syarat terjadinya end to end connectivity, bukan sarana untuk melakukan kompetisi. Jadi BRTI harus memastikan bahwa penurunan tarif interkoneksi, yang saat ini sedang dibahas, harus seefisien mungkin. Jangan hanya turun 4% - 6%. Minimal harus turun sebesar 10% agar konsumen diuntungkan dan muncul persaingan yang sehat antar operator. Secara global memang telah terjadi trend penurunan tarif interkoneksi.

Dalam menghitung tarif interkoneksi, patut diduga BRTI hanya menggunakan data dari operator dominan. Seharusnya BRTI juga menggunakan data dari beberapa operator non dominan yang ada supaya adil. Sehingga nantinya kebijakan yang dikeluarkan oleh BRTI berguna buat semua operator dan konsumen.

Selain persoalan biaya interkoneksi, persaingan di industri telekomunikasi akan semakin sehat jika jumlah operator hanya sekitar 3-4 saja tidak 11 seperti saat ini. Konsumen juga berharap selain ada penurunan biaya interkoneksi, kualitas sambungan juga harus meningkat. Salam.

Penulis: Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen. (vit/vit)
18 Okt 2010
Source:http://www.detiknews.com/read/2010/10/18/084700/1467432/103/turunkan-tarif-interkoneksi-demi-konsumen
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
comment: Untuk menurunkan tarif bisa dengan membuat nomer telpon itu adalah milik individual bukan milik perusahaan penyelenggara.(portable number: bisa gonta ganti operator dengan nomor yg sama. ). Di amerika sudah dijalankan. Pengguna telpon bisa gonta ganti provider tanpa harus ganti nomer. Saya pernah baca disalah satu tabloid HP, kalo di indonesia sudah ada rencana...tapi ya biasalah di indonesia, semua tinggal rencana. Provider2 besar pasti sudah lobby untuk katakan tidak pada penerapan teknologi tersebut. Sekali lagi ya korbannya konsumer lah.

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...