Awal riset siklus karbon laut global tahun 1984 dilakukan dengan program Global Ocean Flux Study (GOFS) di Amerika Serikat. Pada tahun 1987 kegiatan ini diperluas pada level internasional menjadi Joint Global Ocean Flux Study (JGOFS) yang pada umumnya mempelajari proses-proses yang mengontrol variasi temporal fluks karbon di laut dalam skala global dan kaitannya dengan pertukaran di atmosfer, dasar laut, dan daerah batas dengan daratan (pesisir), serta respons laut terhadap perubahan iklim.
Belakangan ini riset sejenis mulai mendapat perhatian di kalangan peneliti kelautan Indonesia, khususnya menjelang berakhirnya periode Protokol Kyoto pada 2012. Kesimpulan awal seolah-olah memberikan harapan bahwa laut kita berpotensi menyerap karbon di atmosfer sekitar 250 juta ton per tahun. Ide ini semakin bergulir maju menjelang pertemuan Kopenhagen, Desember 2009, yang intinya ingin mengusulkan perdagangan karbon laut. Benarkah laut mampu menyerap CO di atmosfer?
Pelepas karbon
Hasil studi setelah JGOFS, lautan global secara alami adalah pelepas karbon ke atmosfer. Ini terjadi sebelum era industri. Perkembangan industri menghasilkan emisi CO ke atmosfer (karbon antropogenik) akibat penggunaan minyak bumi diikuti perubahan lahan serta pembukaan hutan. Data Global Carbon Project (GCP) tahun 2007 menyebutkan, dari total emisi karbon global ke atmosfer sejumlah 9 Peta gram C per tahun (1 Pg > 10 pangkat 15 gram), 26 persen bagian diserap lautan global, 29 persen oleh daratan (hutan), sisanya (46 persen) terakumulasi di atmosfer.
Direktur GCP Canadel dan kawan-kawan (2007) menyebutkan, akumulasi CO di atmosfer tahun 1960 berkisar 40 persen dan pada 2007 menjadi 46 persen. Potensi penyerapan oleh hutan cenderung konstan, artinya telah terjadi penurunan tingkat efisiensi laut dalam menyerap karbon antropogenik di atmosfer.
Publikasi Le Quéré dan kawan-kawan (2007) di jurnal Science menyebutkan, penurunan tingkat efisiensi laut menyerap karbon berkaitan erat dengan menurunnya kemampuan lautan di lintang tinggi selatan (southern ocean) sebesar 30 persen dalam 20 tahun terakhir.
Sebetulnya, peta fluks CO global atmosfer-laut yang dihasilkan oleh Takahashi dan kawan-kawan (2002) menunjukkan, tidak semua lautan berfungsi sebagai penyerap karbon antropogenik. Lautan tropis pada umumnya berfungsi sebagai pelepas, sementara perairan subtropis dan lintang tinggi berfungsi sebagai penyerap. Karena itulah, Pertemuan Para Pihak (COP-15) di Kopenhagen, Denmark, sangat krusial dalam menentukan nasib umat manusia. Sekali lautan global berubah menjadi pelepas karbon ke atmosfer, efeknya mampu menaikkan temperatur Bumi dengan cepat sehingga bisa mengakibatkan perubahan iklim secara mendadak (abruptly climate change).
Potensi laut Indonesia
Posisi laut Indonesia yang berada di tropis memiliki indikasi kuat sebagai pelepas karbon. Tingginya temperatur permukaan laut dalam hal ini lebih dominan sehingga mengakibatkan tekanan parsial CO di permukaan laut lebih tinggi dari atmosfer. Hal ini mengakibatkan perairan tropis berfungsi sebagai pelepas karbon dibandingkan dengan laut di lintang menengah dan tinggi.
Tinjauan peranan lautan global, pada prinsipnya, memandang proses penyerapan karbon antropogenik secara keseluruhan dan bukan dalam tingkat regional. Inilah yang membedakan dengan kemampuan hutan sehingga laut tidak tepat untuk masuk dalam mekanisme perdagangan karbon.
Beberapa catatan seandainya laut (Indonesia) tetap ingin dipaksakan dalam mekanisme perdagangan karbon adalah sejauh mana keakuratan data yang dimiliki. Dunia internasional melalui JGOFS telah melakukan riset sekitar 25 tahun, sementara kita baru memulainya. Peranan perairan di sekitar hutan mangrove dan terumbu karang yang didengungkan di dalam negeri sebagai penyerap karbon pada kenyataannya tidak demikian.
Hasil riset perairan hutan mangrove di Papua Niugini, India, Bahama, dan Florida menunjukkan sebagai pelepas karbon (Borges dan kawan-kawan, 2003). Demikian juga terumbu karang, di mana proses kalsifikasi (pembentukan karang) lebih dominan dibandingkan dengan fotosintesis sehingga lagi-lagi laut berfungsi sebagai pelepas karbon. Ini dikemukakan oleh Gattuso dan kawan-kawan (1999) sebagai makalah pamungkas—mengakhiri perdebatan selama 10 tahun sebelumnya.
Sementara itu, fitoplankton memang mampu menyerap karbon melalui proses fotosintesis. Namun, mekanisme sistem karbonat laut dalam hal ini lebih dominan. Sintesis proyek 10 tahun JGOFS Amerika Serikat melaporkan, dari 1.000 unit karbon yang diserap fitoplankton, hanya 1 unit dapat diekspor ke dasar laut dalam (kedalaman lebih dari 1.000 meter). Sekitar 90 persen mengalami proses daur ulang menjadi anorganik karbon di permukaan laut (sampai kedalaman 100 meter) dan akhirnya dilepaskan kembali ke atmosfer.
Demikian juga beberapa lokasi high nutrient low chlorophyll (HNLC) yang direkayasa dengan menambahkan unsur besi untuk meningkatkan proses fotosintesis (teori John Martin), pada akhirnya pun tidak efektif. Pertumbuhan fitoplankton, lagi-lagi, mengalami daur ulang dan kemudian melepaskan karbon ke atmosfer. Demikian, semoga tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi delegasi RI dalam proses negosiasi di Kopenhagen, khususnya mengenai peranan laut.
Senin, 30 November 2009 | 08:31 WIB
Penulis: Alan Koropitan, Peneliti Siklus Biogeokimia Laut serta Lektor pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor
No comments:
Post a Comment