Saturday, March 20, 2010

Kontribusi dari Negeri Sakura

Anak Kediri ini moncer sebagai pakar telekomunikasi di Jepang. Khoirul Anwar, Peneliti Indonesia pemegang paten teknologi 4 G melalui pemakaian frekuensi multipoint to multipoint.

Oleh Sica Harum

SUDAH tiga bulan ini Khoirul Anwar sulit bergerak jauh dari ruangannya di Japan Advanced Institute of Science and Technology Studies (JAIST), Ishikawa, Jepang.Pemegang paten telekomunikasi 4G itu harus memeriksa tumpukan tesis mahasiswa pascasarjana di bawah bimbingan-nya. "Mahasiswa JAIST hanya S-2 dan S-3 dan Maret ini mereka sudah wisuda," terang Khoirul melalui surat elektronik. Jumat (12/3).

Selain itu, agendanya padat oleh sejumlah konferensi. Dia bilang baru pulang dari Bremen, Jerman, Januari 2010. Di sana ia mempresentasikan penelitiannya pada IEEE/ITC Wireless Smart Antena-2010. Bulan ini, Khoirul juga akan mempresentasikan penelitiannya pada kongres peneliti wireless communication di Tohoku, Jepang. "Saya akan sering presentasi dengan mahasiswa saya, sampai Mei nanti," kata Khoirul.Yang dibahas ialah sistem komunikasi dengan performa tinggi meski tanpa interval pengaman (guard interval). "Teknologi itu yang sudah saya patenkan Januari lalu bersama sebuah industri besar di Jepang," terangnya.

Temuan itu istimewa karena selama ini, interval pengaman ialah keharusan dalam sistem komunikasi. Gunanya untuk melindungi transmisi data dari pantulan sinyal, misalnya pantulan dari gedung, pohon, gunung, dan bangunan tinggi lainnya."Awalnya, saya perkirakan hasilnya bakal biasa-biasa saja. Tapi setelah saya tes kira-kira setahun, hasilnya menakjubkan, hanya beda 0,5 dB dari keadaan ideal. Saya bisa menghilangkan error yang selama ini hanya bisa dibuktikan secara teori dan simulasi; Padahal di teknik ini saya sama sekali tidak memakai guard interval," jelas lelaki 32 tahun itu.

Tren komunikasi

Pemerintah Jepang, kata Khoirul, sedang getol mendukung penelitian yang mengarah ke pengaturan frekuensi secara otomatis dan fleksibel. Misalnya, bandwilh yang hanya digunakan sebuah perusahaan pada siang hari seharusnya dapat dimanfaatkan pihak lain pada malam hari. "Intinya agar seluruh frekuensi termanfaatkan, tidak ada yang menganggur," tegas penyuka matematika itu.

Pengoptimalan itu juga tergambar pada tren dunia komunikasi, multipoint to multipoint. "Sebetulnya itu kan konsep sosial yang sudah lama kita tahu. Bahwa kerja sama jauh lebih baik ketimbang bekerja sendirian. Nah, dalam dunia telekomunikasi, ini ada bukti ilmiahnya. Jadi, tren di masa depan ialah multipoint to multipoint, artinya ya physical network. Penelitian tentang hal itu sudah selesai jadi perhatian saat ini ialah physical network yang membutuhkan energi minimal, yang ramah lingkungan," papar Khoirul.

Gemar meneliti

Saat ini, Khoirul tengah melakukan dua penelitian di laboratorium dan di rumah. "Di lab, saya melakukan penelitian dengan tiga mahasiswa saya. Jika berhasil, sistem komunikasi ke depan bisa hemat baterai dan lebih murah karena memanfaatkan BTS," ujar Khoirul.Bahkan telepon seluler seseorang, lanjut Khoirul, bisa berfungsi sebagai relai bagi telepon seluler orang lain yang tidak mendapatkan sinyal berkualitas baik. Menurut Khoirul, dia dan timnya mendapatkan sokongan dana cukup besar dari sebuah perusahaan ternama di Tokyo. "Saya mencoba melibatkan ITB dalam proyek ini agar ada mahasiswa Indonesia yang terlibat dalam proyek internasional. Kita juga akan mengajukan proyek ini agar didanai pemerintah Jepang," katanya bersemangat.

Adapun di rumah, Khoirul melakukan penelitian sel surya. "Untuk kipas angin buat ibu saya di Kediri," katanya.Saat pulang ke Kediri pada 2009, Khoirul merasakan sinar matahari yang terik menyinari kampungnya. "Saya pikir, kalau sinar matahari di luar bisa segera diubah menjadi listrik untuk kipas angin,tentu ibu saya akan senang. Enggak perlu bayar listrik ke PLN," ujarnya riang.Dia optimistis dengan penelitian tersebut. "Sudah saya coba di Jepang. Bahkan saat salju, kami masih mendapat listrik dari matahari," kata ayah tiga anak itu.Karena itu dia berencana membawa alat tersebut jika kelak pulang kampung. "Mudah-mudahan saya bisa produksi banyak untuk tetangga," ujarnya.

Khoirul memang gemar meneliti sejak kecil. Kata dia, itu berkat buku-buku ilmuwan untuk anak-anak yang ia baca di perpustakaan SD di desanya. Khoirul kecil pernah melakukan eksperimen pada ikan jathul yang ia kira bisa berevolusi menjadi ikan ketuntung lantaran bentuk kepala dua jenis ikan itu serupa. Putra pasangan Sudjianto (alm) dan Siti Patani itu juga melumuri burung dengan balsam gosok, meniru konsep mumi. Dia juga pernah membuktikan rumor hantu yang saat itu ditakuti teman-temannya. "Terbukti secara ilmiah, hantunya tidak datang. Jadi, makanan persembahan itu malah saya makan sendiri," kenangnya.

Kontribusi

Setahun silam, Khoirul pernah berniat pulang ke Tanah Air. Dia berencana menjadi dosen di Indonesia. Namun, ia mengurungkan niat karena celetukan dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) Trio Adiono (pencipta cip wimax Indonesia, bersama Eko Fajar)."Katanya, nanti kalau Pak Khoirul pulang, tidak ada kontak kita di luar negeri dong. Padahal kita perlu update komunikasi nirkabel terkini, bagaimana trennya dan lain-lain. Akhirnya saya memilih tidak jadi pulang," kata Khoirul.Betul saja, Adiono kerap mengontak Khoirul jika kebetulan membutuhkan makalah-makalah yang terkait dengan penelitiannya. Murid Adiono yang dikirim ke Jepang kini berada di bawah bimbingan Khoirul. "Kami membuat simulasi wimax. Alhamdulillah berhasil," kata salah satu motor Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (1-4) itu.

Khoirul mengakui, selama ini pilihan pulang ke Tanah Air atau berkarier di negeri orang kerap menjadi dilema. Namun, Khoirul memandangnya sederhana. Baginya, mengabdi untuk Indonesia tidak harus berarti pulang ke Tanah Air. Jika semua peneliti harus pulang, tidak ada yang memperbarui informasi misalnya mengenai tren teknologi dan ekonomi global. "Tapi jika semua di luar negeri, tidak ada yang membangun negeri."Pada konferensi Asosiasi Pelajar Indonesia di Korea, Februari 2010, Khoirul menawarkan analisis matematika sederhana terkait dengan hal itu."Jadi, tinggal diatur siapa-siapa yang masih perlu di luar, siapa yang harus pulang dan jumlahnya berapa. Jadi, kita bisa mengontrol parameter probabilitas pindahnya para tenaga kerja terdidik ke luar negeri, misalnya mengontrol izin paspor dan lain-lain, sehingga didapat keuntungan yang optimal untuk lndone-sia," kata dia. Analisis Khoirul lantas mengantarkan kita ke pertanyaan apakah pemerintah punya target pengoptimalan pembangunan bermodalkan manusia-manusia cerdas yang selama ini minim kesempatan di negeri sendiri? (N-4)ica@mediaindonesia.com

Sumber: Harian Media Indonesia, Hal.20, Tanggal 17 Maret 2010.

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...