Dua Solusi Ampuh Untuk Mengurangi Illegal Logging di Heart of Borneo
Borneo adalah pulau ketiga terbesar di dunia yang dikenal sebagai salah satu hutan hujan tropis yang indah dan kaya. Dengan luas kurang lebih 740.000 km2, di kawasan ini selain hutan produksi yang melimpah, juga terdapat banyak keanekaragaman hayati yang tiada taranya. Demikian juga Kalimantan, yang juga bagian dari pulau Borneo terdiri dari empat propinsi yakni : Kalbar, Kalteng, Kalsel dan Kaltim. Kawasan ini sendiri memiliki luas 539.460 km2 atau 73% dari luas Borneo.
Kemilau kekayaan Kalimantan menantang para pemilik modal mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Inilah mengapa selama satu dekade terakhir kasus illegal logging begitu meningkat pesat di bumi Katulistiwa. Menurut LSM SOB (Save Our Borneo), dari luas hutan Kalimantan yang mencapai ± 40 juta hektare, laju kerusakan hutan (deforestasi) telah mencapai 864 ribu hektare per tahun atau 2,16%. Oleh sebab itu tulisan singkat ini akan menjabarkan dua solusi ampuh dalam mengurangi dampak illegal logging di Heart of Borneo, yakni sbb:
a. Membentuk paperless society (masyarakat tanpa kertas) dengan kemajuan dunia internet sehingga pada akhirnya dapat mengurangi laju permintaan kertas tulis.
b. Menerapkan green belt (sabuk hijau) yang terintegrasi di seantero Kalimantan dimana kawasan sabuk hijau terintegrasi penuh antara tata wilayah hijau, kalangan industri hutan (green enterprise), masyarakat lokal dan produk akhir hutan (eco-labelling).
Sekilas Tentang Industri Pulp Nasional Yang Menggiurkan
Menurut Forest Watch Indonesia (FWI) tahun 1987 kapasitas industri pulp hanya 0,5 juta ton lalu melejit hingga 6,5 juta ton pada tahun 2007 dengan kebutuhan bahan baku sekitar 30 juta m3. Selama periode 2000-2007 pasokan bahan baku industri pulp nasional dipenuhi dari produksi HTI sebesar 28 % per tahun sedangkan 72 % sisanya dipenuhi dari hutan alam (mixed tropical hardwood atau MTH).
Di lain pihak menurut data Pusgrafin Deperin, total volume konsumsi kertas Indonesia dari tahun 2003 s.d 2005 adalah 16,32 juta ton. Sementara tahun 2006 volume konsumsi sebesar 5,96 juta ton. Di tahun 2004 pertumbuhannya mencapai 1,7 %. Lalu meningkat menjadi 3,8 % di tahun 2005. Bahkan diperkirakan melejit menjadi 14,97 % di 2009. Volume konsumsi kertas yang meningkat ini juga diakibatkan oleh permintaan dari luar negeri. Volume ekspor kertas Indonesia tahun 2004, sebesar 2,21 juta ton, naik dibandingkan dengan tahun 2003 sebesar 2,16 juta ton.
Di samping itu, rupanya tren konsumsi kertas yang tinggi dipicu oleh profit yang diterima oleh raksasa industri pulp. Khusus kertas tulis maka harga pulp (bubur kertas) berkisar US$ 600 s.d US$ 700 per ton. Sementara harga kertas tulis di pasaran internasional rata-rata US$ 700 s.d US$ 800 per ton. Berarti kira-kira ada marjin profit sebesar US$ 100 per ton. Kalau kita hitung US$ 100 x 5,61 juta ton maka dihasilkan profit kotor sebesar US$ 561 juta per tahun. Bahkan Indonesia saat ini menduduki peringkat ke sembilan untuk kategori industri pulp dan mengisi 2,4 % pangsa pasar dunia. Sebagai industri kertas, Indonesia menduduki peringkat ke-12 di dunia dengan mengisi pangsa pasar sebesar 2,2 %.
Data-data di atas cukup menggambarkan pertumbuhan pulp dan kertas yang mencengangkan. Itulah sebabnya tingginya permintaan pulp dan kertas mengakibatkan HTI semakin menipis dan pada akhirnya hutan alam dijadikan pengganti produksi untuk menarik keuntungan sebesar-besarnya.
I. Pembentukan Paperless Society
Masyarakat tanpa kertas! Inilah jawaban dari masyarakat yang dapat dikontribusikan untuk mengurangi laju degradasi hutan Kalimantan yang masif. Dengan jaringan layanan internet yang semakin besar, efektif, murah, dan terjangkau luas maka sudah saatnya komunitas masyarakat menjadi pionir dalam aksi mengurangi tingkat kerusakan hutan Indonesia khususnya di bumi Kalimantan. Sebab kita tidak bisa berharap terlalu banyak pada dunia industri hutan karena masih lemahnya penegakan hukum di negeri ini serta masih kuatnya permintaan pasar dunia. Maka dari itu pembentukan paperless society secara umum dapat mencakup bidang-bidang seperti sbb :
- media-massa cetak beralih menjadi media on-line
- bidang pendidikan melalui e-learning dan e-book
- bidang ekonomi dan perdagangan melalui e-commerce dan e-transaction.
- layanan perbankan melalui e-statement, e-banking, mobile banking, sms banking.
Lalu mengapa paperless media/channel seperti di atas begitu penting? Karena output hutan berupa kertas dapat dikurangi secara signifikan oleh teknologi dunia maya. Selain itu, pengurangan permintaan kertas lewat paperles society dapat mengurangi dampak pemanasan global mengingat hutan adalah paru-paru dunia yang berfungsi sebagai penyerap CO2.
Lebih lanjut mari kita tengok elaborasi berikut ini:
A. Layanan perbankan di segmen kartu debit/kredit
Berdasarkan data BI per Juni 2008 maka diperoleh jumlah kartu kredit yang beredar sebesar 10,560 juta kartu. Kemudian disusul jumlah kartu ATM sebesar 2,727 juta keping. Diikuti kartu ATM yang berfungsi sebagai kartu debit sebesar 36,354 juta, sementara kartu prabayar adalah 127.190. Dengan demikian terdapat total 49,769 juta kartu dari berbagai jenis beredar di seluruh Indonesia. Khusus untuk kartu kredit maka pihak perbankan (issuer) dapat menerapkan electronic billing statement (e-statement) kepada para nasabahnya. Penulis memperkirakan hampir 50 % card holder memiliki alamat e-mail karena usia kastemer di bawah usia 40 tahun lazimnya telah memiliki alamat e-mail.
Hal ini adalah suatu potensi besar dalam layanan plus perbankan untuk mengurangi laju kerusakan hutan di Tanah Air. Secara garis besar, apabila 25% dari 10,560 juta kartu tersebut memiliki e-mail maka terdapat 2.640.000 pucuk tagihan yang dapat dihemat. Katakanlah total kertas yang dicetak setiap bulan sebesar 2.640.000 pucuk, maka dibagi 7.500 lembar (setara dengan satu pohon atau 15 rim kertas A4) akan diperoleh penghematan pohon sebanyak 352 pohon setiap bulan atau 4.224 pohon setahun. Secara operasional, maka beban perbankan berkurang yakni : Rp.2.100 [Incl. biaya supplies, biaya insertion, airwaybill dan biaya delivery] x 2,640 juta pucuk tagihan = Rp. 5,544 Milyar per bulan atau Rp. 66,528 Milyar setahun. Jumlah penghematan tersebut akan bertambah besar kalau 50% saja dari pemegang kartu kredit di Indonesia memiliki alamat e-mail. Penghematan bisa mencapai Rp 11 milyar per bulan atau Rp 132 milyar per tahun. Syukur-syukur kalau semua orang sudah melek e-mail. Tetapi perhitungan di atas baru menyangkut kartu kredit, belum termasuk rekening koran dan surat-surat kepada nasabah lainnya.
B. Layanan perbankan di segmen e-banking
Produk e-banking telah menjadi primadona kastemer dalam bertransaksi saat ini. Menurut data dari bank swasta terbesar pertama di Indonesia, jumlah transaksi internet dapat meningkat 10 % s.d 12 % per tahun. Meski transaksi lewat ATM masih menempati urutan pertama bagi kastemer bank tersebut dengan jumlah item transaksi sebesar 50 juta atau setara nominal sebesar Rp 50 triliun per bulan, namun nilai nominal transaksi lewat internet ternyata bisa mencapai hingga Rp 60 triliun per bulan. Ini berarti transaksi internet lebih favorit dibandingkan ATM. Sementara itu untuk transaksi pada mobile Banking, data bank swasta menengah mencatat trafik transaksi yang terjadi setiap bulannya melonjak hingga mencapai 240 ribu transaksi. Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana e-banking dapat mengurangi laju kerusakan hutan? Jawabannya adalah transaksi yang dilakukan nasabah tidak menggunakan buku tabungan yang terbuat dari kertas, tidak perlu antri, cepat, aman dan menghemat tinta printer. Memang ini kelihatannya masalah sepele tetapi efeknya adalah penghematan di banyak aspek yang begitu besar.
Dari gambaran layanan perbankan melalui paperless di atas memang belum diperoleh data pasti seberapa besar paperless media ini mengurangi dampak illegal logging di Heart of Borneo. Tetapi secara garis besar dapat disampaikan bahwa dengan asumsi 20% total volume kertas nasional berasal dari kontribusi bumi Kalimantan maka penulis berkeyakinan tren paperless socitety tersebut akan menurunkan volume kertas di Heart of Borneo menjadi 10% per tahun.
II. Penciptaan Kawasan Sabuk Hijau Terintegrasi berbasis Tata Wilayah Hijau, Green Enterprise, Masyarakat Lokal dan Eco-Labelling di Heart of Borneo
Berdasarkan Data Lembaga Ecolabelling Indonesia (LEI) tahun 2005 – 2008, luas pengelolaan hutan alam produksi lestari (PHAPL) di seluruh propinsi Kalimantan adalah sebesar 1.011.096 hektar. Sementara untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML) sebesar 9.453 hektar. Dari total kedua pengelolaan hutan sebesar 1.020.549 hektar, total hasil produksi kayu bulat (meranti, rimla dan indah) sampai dengan awal Mei 2009 mencapai 450.631 m3 .
Bila dibandingkan dengan total hutan Kalimantan maka proporsi pengelolaan hutan bersertifikasi seperti PHAPL dan PHBL di atas sangat kecil sekali yakni sebesar 2,55% dari total hutan seluas 40 juta hektar. Sementara apabila dianalisa data SOB di awal tulisan ini maka tingkat kerusakan hutan di Kalimantan sudah mencapai 6,48% (selama 3 tahun terakhir atau 2,16% per tahun). Hal ini menggambarkan bahwa kerusakan hutan sudah sangat parah sekali sementara pengendalian produksi hutan melalui ecolabelling (PHAPL dan PHBL) tidak terlalu mengesankan atau masih jauh dari harapan.
Dari data di atas dan dari sudut pandang pengelolaan hutan yang berkelanjutan (melalui ecolabelling) ternyata kecepatan kerusakan hutan sebesar 2,54 kali dibandingkan dengan pengelolaannya. Hal ini tidak sepadan sama sekali dengan dana reboisasi yang didapatkan dari hutan di Kalimantan . Bersasarkan data Departemen Kehutanan sampai awal Mei 2009, realisasi dana reboisasi dan provisi sumber daya hutan (PSDH) seantero Kalimantan baru mencapai Rp.22.861.836.560 (Rp 22,862 Milyar) dan US $ 5.136.217. Apabila digabung maka total PSDH/DR mencapai Rp.72.998.053.560 (Rp 72,998 Milyar).
Pendapatan pemerintah RI sebesar Rp 72,9 milyar dari sektor PSDH/DR belum sepadan dengan keuntungan industri pulp nasional yang dapat mencapai US$ 561 juta per tahun. Artinya, apabila dipakai asumsi 10% dari total profit US$ 561 juta berkat kontribusi bumi Kalimantan (US$ 56,1 juta atau Rp 561 milyar) maka jumlah PSDH/DR masih kalau jauh dibandingkan dengan total profit dari hutan Kalimantan tersebut (Rp 72,9 milyar Vs Rp 561 milyar; berarti baru 13% profit diperuntukkan untuk dana reboisasi).
Maka dari itu untuk mencegah kutukan ‘the paradox of plenty’ serta dalam rangka meningkatkan sumber daya ekonomi untuk bumi Kalimantan dan rakyatnya maka sudah saatnya diberlakukan sabuk hijau terintegrasi. Strateginya adalah sbb:
1. Pemerintah Propinsi gabungan (empat propinsi) secara terpadu, sistematis dan sinergis membangun disain tata wilayah hijau yang berisi kebijakan sektor perkebunan dan kehutanan yang berkelanjutan. Disain tata wilayah hijau ini harus didukung oleh infrastruktur jalan Trans-Kalimantan sepanjang ± 3.195 km yang mengelilingi garis perbatasan antara empat propinsi hingga mencakup perbatasan dengan Malaysia dan Brunei . Memang akan butuh investasi besar sekali, tapi penulis menyarankan agar dana reboisasi dinaikkan porsinya katakanlah menjadi 25% dari profit industri pulp dan perkayuan yang ada di wilayah tersebut. Dari 25% tersebut dapat dialokasikan sebesar 10 % s.d 15 % untuk mempercepat pembuatan infrastruktur jalan trans-Kalimantan.
2. Untuk para pemilik HPH yang sudah eksis maupun yang akan mendaftar maka para perusahaan tersebut dalam melakukan penebangan pohon harus memilih-milih pohon mana yang sudah cukup umur dan ukuran untuk ditebang. Setelah menebang satu pohon wajib diikuti dengan penanaman kembali beberapa bibit pohon untuk menggantikan pohon yang ditebang tersebut.
3. Pemilik HPH yang patuh dalam melakukan reboisasi secara terencana maka kepadanya Pemerintah daerah setempat bersama komunitas hijau-independen yang terkait dapat memberikan suatu label hijau (green enterprise). Pemberian label ini dilakukan secara transparan, obyektif dan berkala. Label ini berisikan standarisasi nilai-nilai perusahaan yang peduli lingkungan (green standarisation) termasuk tindakan perusahaan tersebut dalam penyelamatan plot kawasan hutan yang rusak. Green Enterprise dapat juga mencegah korporatokrasi, yakni tindakan perusahaan multinasional merampas kekayaan alam suatu negara.
4. Kebijakan sabuk hijau ini harus melibatkan penduduk yang tinggal dekat kawasan hutan. Bahkan mereka dapat dimintakan partisipasinya dalam menjaga keamanan bibit-bibit pohon yang ditanam dari tindakan pengrusakan oleh oknum-oknum yang tak bertanggungjawab. Pemerintah daerah harus mendesak kalangan korporasi agar melibatkan penduduk lokal dalam melakukan penanaman pohon. Apabila pohon itu bernilai komersial maka perusahaan wajib memberikan keuntungan tertentu untuk pemberdayaan masyarakat sekitar. Pada plot area tertentu milik korporasi maka masyarakat lokal dapat menanam tanaman campuran (misalkan untuk obat, rempah-rempah) untuk meningkatkan pendapatan mereka. Dengan demikian sektor tenaga kerja dapat terserap dan sekalian dapat menghindari terjadinya pembalakan liar.
5. Pemberian label eco-labelling pada setiap produk hasil hutan baik untuk kepentingan komersil maupun non komersil. Label eco-labelling dicap pada setiap produk kayu olahan maupun termasuk end-product berupa kertas tulis, kertas tisu, kertas pembungkus dan sebagainya sehingga konsumen merasa yakin bahwa produk-produk tersebut sangat mempertimbangkan aspek ekologis dan berkelanjutan.
6. Langkah terakhir adalah Pemerintah Propinsi gabungan mengakomodir lima langkah di atas dalam sebuah sistem informasi sabuk hijau yang terintegrasi secara on-line. Sistem informasi ini harus juga mencakup foto-foto satelit atau udara. Hal ini untuk memudahkan perencanaan, eksekusi, pemantauan dan pemberian sanksi bagi kalangan korporasi maupun masyarakat yang melanggar etika lingkungan dan pembangunan sabuk hijau tersebut. Dengan demikian secara perlahan namun pasti, penulis yakin kasus-kasus illegal logging akan berkurang drastis dan hutan Kalimantan tetap lestari.
No comments:
Post a Comment