Pada 11 Agustus lalu James M Roberts dari Heritages Foundation menuliskan, Greenpeace bersama World Wildlife Fund, Friends of the Earth, dan Rainforest Action Network memelopori pemboikotan produk Indonesia di seluruh dunia.
Saat bersamaan perusahaan sejenis Eropa, Amerika Utara, dan Australia yang memproduksi komoditas sektor pertanian serupa telah melobi pemerintahan mereka untuk mengenakan tarif terhadap impor produk pertanian lebih murah dari Asia. ”Selamat datang ke green protectionism,” demikian Roberts, mantan diplomat AS di berbagai negara selama 25 tahun.
Pakar ekonomi internasional ini menuliskan, para pembuat kebijakan paham bahwa aksi memblokir impor itu terlarang, apalagi untuk tujuan proteksionisme. ”Tidak ada pengadilan dagang yang akan menginginkan itu. Karena itu, mereka mengubah strategi,” katanya.
Namun, lanjut Roberts, para pembuat kebijakan yang hostile terhadap perdagangan asing kini memainkan non-government organization (NGO) radikal dengan tujuan memblokir impor dengan alasan demi kelestarian lingkungan. ”Dengan cara ini mereka meraih tujuan tradisional dengan cara nontradisional.”
Aksi pertama yang melahirkan persoalan pada perdagangan bebas muncul setelah produk-produk kehutanan negara berkembang mulai melejit beberapa dekade lalu. Upaya serius memblokir produk pertanian dimulai di UE ketika Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) Action Plan diterbitkan tahun 2003. FLEGT tak mampu menahan arus impor.
Pada 2008 para pendukung proteksionisme Eropa dan NGO mendorong peraturan UE baru untuk memastikan produk yang masuk ke Eropa adalah ”kayu lapis legal”. ”WTO harus memperjelas proteksionisme hijau sebagai alat yang tidak punya legitimasi yang dipakai pemerintah,” katanya.
Resesi ekonomi semakin memperkuat proteksionisme dengan aksi parlemen Eropa menutup pasar. Proteksionisme Eropa kini juga ditemukan di sektor minyak sawit.
IJ Bourke, analis senior soal produk kehutanan dari Organisasi Pangan Dunia (FAO), menegaskan, perdagangan sebenarnya tidak berdampak pada perusakan lingkungan.
Dia mempertanyakan sertifikasi produk yang tak sesuai visi WTO. Bourke mengatakan, pengalihan fungsi lahan adalah karena tekanan pembangunan, pertambahan penduduk, yang diperlukan negara berkembang dalam pembangunan ekonomi. (MON/Kompas).
Saat bersamaan perusahaan sejenis Eropa, Amerika Utara, dan Australia yang memproduksi komoditas sektor pertanian serupa telah melobi pemerintahan mereka untuk mengenakan tarif terhadap impor produk pertanian lebih murah dari Asia. ”Selamat datang ke green protectionism,” demikian Roberts, mantan diplomat AS di berbagai negara selama 25 tahun.
Pakar ekonomi internasional ini menuliskan, para pembuat kebijakan paham bahwa aksi memblokir impor itu terlarang, apalagi untuk tujuan proteksionisme. ”Tidak ada pengadilan dagang yang akan menginginkan itu. Karena itu, mereka mengubah strategi,” katanya.
Namun, lanjut Roberts, para pembuat kebijakan yang hostile terhadap perdagangan asing kini memainkan non-government organization (NGO) radikal dengan tujuan memblokir impor dengan alasan demi kelestarian lingkungan. ”Dengan cara ini mereka meraih tujuan tradisional dengan cara nontradisional.”
Aksi pertama yang melahirkan persoalan pada perdagangan bebas muncul setelah produk-produk kehutanan negara berkembang mulai melejit beberapa dekade lalu. Upaya serius memblokir produk pertanian dimulai di UE ketika Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) Action Plan diterbitkan tahun 2003. FLEGT tak mampu menahan arus impor.
Pada 2008 para pendukung proteksionisme Eropa dan NGO mendorong peraturan UE baru untuk memastikan produk yang masuk ke Eropa adalah ”kayu lapis legal”. ”WTO harus memperjelas proteksionisme hijau sebagai alat yang tidak punya legitimasi yang dipakai pemerintah,” katanya.
Resesi ekonomi semakin memperkuat proteksionisme dengan aksi parlemen Eropa menutup pasar. Proteksionisme Eropa kini juga ditemukan di sektor minyak sawit.
IJ Bourke, analis senior soal produk kehutanan dari Organisasi Pangan Dunia (FAO), menegaskan, perdagangan sebenarnya tidak berdampak pada perusakan lingkungan.
Dia mempertanyakan sertifikasi produk yang tak sesuai visi WTO. Bourke mengatakan, pengalihan fungsi lahan adalah karena tekanan pembangunan, pertambahan penduduk, yang diperlukan negara berkembang dalam pembangunan ekonomi. (MON/Kompas).
No comments:
Post a Comment