Sunday, August 8, 2010

Pengembangan Pangan: Jangan Anggap Remeh Batas Wilayah Adat

Belum lagi program Merauke Integrated Food and Energy Estate, yaitu pengembangan pertanian pangan dan bahan bakar hayati, dilaksanakan, benih sengketa tanah mulai muncul. Warga Desa Sanggase, Distrik Okabat, Merauke, resah.
Mereka berpendapat, seharusnya PT Medcopapua Industri Lestari yang beroperasi di Buepe bernegosiasi dengan mereka, bukan dengan kelompok masyarakat di Buepe.
Tokoh masyarakat Sanggase, Kristianus Nasimhe (50), mengatakan, warga Buepe sebenarnya masih berkerabat dengan warga Sanggase. Namun, mereka bukan pemilik tanah ulayat di kawasan Buepe. ”Dulu mereka orang yang datang dan mencari makan di tempat itu,” kata Nasimhe.
Konflik itu dalam tradisi masyarakat Malind Anim disebut ehyon atau batas hak ulayat. Bagi Nasimhe, warga Buepe yang disebut timan anem atau orang bagian darat hanya memiliki hak pakai, sedangkan warga Sanggase yang disebut dengan duhanem atau orang bagian laut adalah pemilik hak ulayat di Buepe.
Hingga saat ini penyelesaian persoalan itu belum tuntas. Sementara itu, Sekretaris Korporat Medco Group Widjajanto mengaku belum tahu persoalan tersebut dan masih harus mengecek ke lapangan.
Menurut relawan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, Leo Moiwend (32), bagi masyarakat Malind dan juga Papua, persoalan tanah penting. Pada masa lalu, persoalan tanah merupakan salah satu pemicu utama perang antarsuku atau keluarga di Papua.
”Kami memiliki keyakinan roh nenek moyang telah membagi dan menetapkan wilayah-wilayah itu yang ditandai dengan tanda alam, seperti sungai atau dusun sagu,” papar Leo.
Ketika upacara adat dilangsungkan, para tetua masyarakat menuturkan kembali batas-batas wilayah melalui lagu tradisional yang disebut yaguli. Melalui tradisi tutur itulah pemahaman atas batas-batas wilayah itu diturunkan kepada generasi berikut.
Menurut Moiwend, ada bahaya besar jika pengembangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) tidak menghiraukan gagasan masyarakat adat itu. Ia khawatir pembukaan kebun besar-besaran akan mengubah, bahkan merusak, tanda alam tapal batas wilayah masing-masing marga. Jika itu terjadi, akan muncul benih konflik yang tidak hanya menguras tenaga, energi , dan dana, melainkan juga nyawa.
Sekretaris Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke Harmini menegaskan, pemerintah sebenarnya telah menyiapkan perangkat hukum untuk menjamin kelestarian dan keberadaan hak ulayat itu. Menurutnya, ada jaminan tanah ulayat itu tidak boleh diperjualbelikan.
Kepastian luas
Pemerintah harus bekerja ekstra keras terkait hal itu. Pasalnya, hingga kini belum ada kepastian tentang luas wilayah yang akan dikembangkan untuk MIFEE. Sejauh ini, menurut rekomendasi Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional tersedia 1.282.833 hektar yang dapat dimanfaatkan untuk MIFEE.
Lahan itu akan dikembangkan melalui tiga tahap, yaitu jangka pendek (2010-2014) seluas 423.000 ha lebih, jangka menengah (2015-2019) seluas 632.000 ha lebih, dan pengembangan jangka panjang (2020-2030) seluas 227.000 ha lebih.
Menurut Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, ada angka lain yang diajukan Pemerintah Provinsi Papua untuk tahap pertama, yaitu 550.000 ha lebih. Selain itu ada angka lain, yaitu 760.000 ha, yang diperoleh tim gabungan dari Provinsi Papua dan nasional.
Adanya perbedaan itu disebabkan lahan gambut sedalam satu meter kemungkinan akan dimasukkan sebagai wilayah yang turut dikembangkan. Menurut Bayu, angka ketigalah yang kemungkinan akan digunakan untuk tahap pertama. ”Swasta belum bisa bergerak jika belum ada kepastian angka yang akan dikembangkan,” kata Bayu.
Ditemui terpisah, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menegaskan, hutan primer dan lahan gambut sama sekali tidak boleh diganggu. Ia menegaskan, pemerintah daerah harus hati-hati dalam mengembangkan lahan yang dimiliki. ”Jangan sampai lahan itu justru terdegradasi,” kata Zulkifli.
Kementerian Kehutanan, menurut Zulkifli, akan bersikap cermat dan hati-hati dalam mengkaji pengajuan lahan yang akan disampaikan. Dia memperkirakan, jumlah lahan yang akan dikembangkan mungkin tidak akan lebih dari 500.000 ha seperti yang diajukan tim dari Provinsi Papua. ”Kurang dari itu malah bisa,” kata dia menambahkan.
Hingga saat ini pihaknya belum mendapat pengajuan apa pun tentang luasan yang akan dikembangkan untuk MIFEE di Merauke. Pemerintah Provinsi Papua belum memaparkan kajian mereka. Dengan demikian, hingga saat ini Kementerian Kehutanan belum dapat memberi kepastian luas lahan yang dapat dikembangkan untuk proyek itu.
Hanya saja, di akar rumput saat ini warga mulai gelisah. Mereka telah didatangi para pengusaha dan elite pemerintahan setempat yang berminat mengelola atau menggunakan tanah mereka. Sebagian warga setempat telah melakukan kesepakatan dan melepas hak atas tanah itu. Ketidaktahuan masyarakat atas hak mereka atas tanah dimanfaatkan para spekulan tanah yang nantinya akan mengenyam keuntungan besar ketika MIFEE benar-benar digelar.
Pada bulan Agustus, pemerintah berencana meluncurkan desain besar program tersebut, artinya program itu bakal dilaksanakan. Meskipun menurut Bayu Krisnamurthi konflik pertanahan di Merauke selama ini tidak banyak, selayaknya pemerintah mengkaji kembali persoalan di atas agar masyarakat asli tidak makin dirugikan program pemerintah itu.
06 Agustus 2010

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...