Tahun 2008, ketika gelombang krisis pangan menghantam dunia dan memicu melonjaknya harga komoditas di pasar dunia—beras, misalnya, dari 300 dollar AS per ton menjadi 1.000 dollar AS per ton—banyak negara mulai sadar untuk mengurangi ketergantungan pangan mereka dari impor. Banyak negara maju dan kaya serta korporasi lintas negara mulai mencari wilayah baru untuk berinvestasi dalam bidang pertanian pangan dan energi.
Meskipun di dalam negeri Pemerintah Indonesia mampu membuat harga relatif stabil, menurut Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, krisis tersebut mendorong para pengambil keputusan membuat langkah serius di bidang pangan. Apalagi sebelum itu, pada 2004 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memperingatkan, kecukupan pangan dan energi harus menjadi perhatian serius dan mendapat prioritas strategis.
Lalu tercetuslah gagasan mencari wilayah pengembangan pangan baru yang diproyeksikan tidak hanya mencukupi kebutuhan pangan lokal, tetapi juga nasional, bahkan ekspor.
Dari situ diliriklah Merauke. Wilayah di timur Indonesia itu pada masa pemerintahan kolonial Belanda (1939-1958) memang pernah dikembangkan menjadi lumbung pangan untuk wilayah Pasifik Selatan melalui proyek Padi Kumbe-Kurik.
Di tingkat lokal, gagasan menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan sebenarnya telah bergulir sejak tahun 2000 ketika Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze menggagas pengembangan pertanian padi berskala luas, atau dikenal dengan Merauke Integrated Rice Estate (MIRE).
Bak bertemu jodoh, pengembangan lanjut program itu ternyata cocok dengan niat pemerintah pusat mengembangkan wilayah pertanian baru. Lahirlah program pertanian pangan dan energi berskala luas atau Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Pengembangan usaha itu melibatkan swasta dan dikelola dengan model perkebunan. Basisnya tetap pada beras, jagung, kedelai, tebu, dan sawit. Dengan potensi efektif lahan—berdasarkan kajian Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional—mencapai 1,283 juta hektar, Merauke dinilai amat potensial.
Prospek ekonominya menurut Bayu Krisnamurthi sangat menjanjikan. Ia mencontohkan, China dan Filipina masih kerap mengimpor bahan pangan, demikian pula dengan Indonesia. Bayu mengatakan, setiap tahun Indonesia mengimpor 3 juta ton gula mentah. ”Mengapa tidak, pabrik-pabrik di sini nantinya membeli gula mentah itu dari Merauke,” kata Bayu.
Sekretaris Korporasi Medco Group Widjajanto mengatakan, pihaknya melihat pula peluang itu. Selain beroperasi di Buepe, Merauke, dalam bidang kayu serpih, korporasi itu tengah mengembangkan penelitian tebu di Kurik. PT Bangun Tjipta Sarana pun tak tinggal diam. Perusahaan itu sejak beberapa tahun lalu menanam jagung seluas 200 hektar di Kurik, Merauke. Meskipun—menurut Siswono Yudo Husodo, pemilik PT Bangun Tjipta Sarana—saat ini kegiatan itu terhenti karena kendala infrastruktur, ia berpendapat program itu layak diteruskan.
Minat investor yang kuat dan didorong peluang ekonomi yang lebar membuat pemerintah getol dengan program tersebut. Dukungan yang diberikan, antara lain, diwujudkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang menempatkan Merauke sebagai kawasan andalan dengan unggulan di sektor pertanian. Bahkan, program itu telah menjadi bagian dari program Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010.
”Agustus nanti, direncanakan akan diluncurkan mini MIFEE di Merauke,” kata Sekretaris Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke Harmini. (JOS)
06 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment