Sunday, August 8, 2010

Pengembangan Pangan; Alam dan Identitas Masyarakat Malind

Apakah sagu tidak lebih bernilai dibandingkan dengan beras, jagung, atau kedelai? Bagi masyarakat lain mungkin saja sagu tak berasa, seperti umumnya tepung, bahkan lengket seperti pati kanji; tetapi tidak bagi Priska Mahuze (35). Sagu adalah simbol keluarga yang memberi nama Mahuze pada dirinya. Ket.Gbr:KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO. Priska Mahuze, warga Dusun Wendu, Merauke, tengah memeras serpihan batang sagu yang telah ditumbuknya. Hasil perasan itu kemudian diendapkan untuk diambil pati sagunya .
Bagi masyarakat suku Malind- Anim, penduduk Merauke, setiap keluarga memiliki simbol, citra, atau totem berbeda-beda. Gebze disimbolkan dengan pohon kelapa, Samkakai dicitrakan dengan kanguru, Kaize dengan kasuari, Basik-basik dengan babi, atau Balagaize dengan burung elang. Ketika mereka memahami dunia manusia adalah mikrokosmos dan semesta adalah makrokosmos, maka tujuan hidup adalah hidup sesuai dengan gambaran atau citra totem mereka.
Oleh karena itu, air mata Priska Mahuze menetes ketika buldoser menerjang kebun sagu kecil di ujung jalan masuk ke kampungnya di Wendu, Distrik Semangga, Merauke. Bukan semata-mata karena sumber pangan bagi keluarganya digerus, tetapi citra dirinya seolah ditumbangkan, tak dianggap berarti.
Masyarakat Malind-Anim dalam hidup sehari-hari memperlakukan dengan hormat citra diri atau totem. Karena itu, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi jika simbol-simbol itu punah. Proses identifikasi dalam sistem sosial mereka akan rusak.
Menurut Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Yaleka Maro Johanes Wob (52), tempat sakral seperti dusun sagu atau rumpun kelapa di mana kanguru atau kasuari bersarang adalah pintu gerbang yang menghubungkan dua dunia, yaitu yang imanen dan yang transenden, antara yang kelihatan dan yang tak kelihatan. Oleh karena itu, tempat di mana totem-totem itu ada harus dijaga karena menjadi lintasan roh nenek moyang yang dalam gagasan masyarakat Malind-Anim menuturkan nilai kehidupan.
Keberadaan tempat sakral bagi masyarakat Malind-Anim sangat penting karena, dalam praktik hidup, dua dunia itulah yang harus dihidupi dengan seimbang. Wujudnya, relasi yang baik dengan sesama. Pada akhirnya praktik hidup seimbang itulah yang menempatkan seorang menjadi Animha atau manusia sejati.
Hanya saja sikap terbuka masyarakat Malind-Anim serta kemurahan hati mereka kerap dimanfaatkan orang. Hadirnya gagasan pengembangan pangan dan bahan bakar hayati dalam skala luas tidak hanya mengancam kelestarian totem atau citra diri mereka, tetapi perlahan-lahan juga berdampak pada keberadaan mereka.
Minim pemahaman
Johanes Wob, Sekretaris Dewan Adat Wilayah V: Ha-Anim, mengatakan, masyarakat Malind-Anim tidak anti terhadap perubahan atau pembangunan. Hanya saja selama ini, tutur Wob, mereka jarang diajak terlibat dalam proses perundingan yang bermartabat serta memenuhi mekanisme hak dan kewajiban sesuai kebutuhan mereka.
Hal itu terbukti ketika di kampung-kampung masyarakat umumnya tidak mengetahui tentang program pengembangan pertanian pangan dan bahan bakar hayati berskala luas yang disebut MIFEE. Padahal, lahan mereka menjadi bagian dari program itu.
Saat ini mereka mengaku kerap bertemu orang asing yang tiba-tiba saja datang ke kampung mereka dan menegosiasikan lahan milik masyarakat adat. Pengalaman itu pula yang dialami warga Salor, Merauke, yaitu Paulinus Gebze (45) dan keluarga Tarsis Mahuze (50). Tanpa pengetahuan memadai, akhirnya Paulinus Gebze sepakat melepas 600 ha lahan miliknya kepada seorang elite lokal dengan uang Rp 20 juta serta sembilan sepeda motor yang kemudian dibagikan kepada kerabatnya.
Ia tidak mengetahui nilai tanah akan terus bertambah, sedangkan nilai sepeda motor akan terus menurun. Namun, pemahaman itu datang terlambat, lahannya telah berpindah tangan. Demikian juga dengan Tarsis Mahuze.
Beruntung, ia hanya menyewakan tanahnya untuk setahun. Meskipun nilai sewa hanya Rp 1.500.000 per hektar, tetapi ia tidak kehilangan tanah itu. Posisi tidak berimbang itu membuat masyarakat Malind-Anim tidak berdaya.
Untuk itulah diperlukan penguatan basis masyarakat agar mereka tidak terus menjadi korban dalam arus ekonomi dan politik global. Baik Paulinus Gebze dan Tarsis Mahuze sadar, kehilangan tanah akan berdampak buruk bagi masa depan mereka.
”Saya tentu akan dicaci maki keturunan saya karena menjual lahan itu. Saya mungkin bisa menikmatinya, tetapi anak-cucu saya tidak akan menikmati apa-apa. Karena itu, tanah yang lain tidak akan saya serahkan. Biar nanti kalau anak-anak sudah mampu, mereka saja yang urus,” kata Gebze.
Dalam pemahaman masyarakat Malind-Anim wilayah tempat tinggal selalu diidentikkan dengan jalur lintasan roh nenek moyang dan merujuk pada totem masing-masing keluarga. Leo Moiwend (32), warga Malind, menjelaskan, jika Mahuze melintasi satu wilayah, ia akan menurunkan keturunan bernama Mahuze. Ketika ia melintas dan berhenti pada satu titik baru, lintasan itu akan menjadi wilayah keluarga Mahuze lain. Apabila tanah tempat totem itu berada hilang, citra diri yang tergambar dalam totem pun perlahan terkikis.
”Suatu saat mungkin ada yang mengaku fam-nya Mahuze, tetapi tidak pernah tahu pohon sagu seperti apa dan di mana tempatnya,” kata Leo menambahkan.
Itulah yang oleh Johanes Wob dilihat sebagai kasus ketidakberimbangan. Wujudnya dapat berupa terganggunya basis hidup dan hilangnya identitas, entah berupa kampung atau tanah. Untuk itu, menurutnya, pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang terkait hidup bersama perlu dikembangkan.(B Josie Susilo Hardianto)
06 Agustus 2010

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...