Jakarta - Apakah green economy atau ekonomi hijau itu? Menurut UNEP (Badan PBB untuk Program Lingkungan Hidup) ekonomi hijau adalah suatu model pembangunan untuk mencegah meningkatnya emisi gas rumah kaca dan mengatasi perubahan iklim. Model ekonomi hijau berperan untuk menggantikan model ekonomi 'hitam' yang boros konsumsi bahan bakar fosil, batu-bara, serta gas alam.
Ekonomi hijau dibangun atas dasar pengetahuan akan pentingnya ekosistem yang menyeimbangkan aktivitas manusia sebagai pelaku ekonomi dengan ketersediaan sumber daya alam yang terbatas. Inilah esensi ekonomi hijau. Merevitalisasi ketergantungan antara human-economy dengan natural ecosystem yang pada akhirnya mengurangi dampak perubahan iklim.
Ekonomi hijau memiliki mesin penggerak di lapangan yang berbasis pada energi hijau yakni energi yang terbarukan (renewable energy). Energi terbaharukan ini merupakan pengganti daripada energi berbasis fosil yang dalam APBN 2010 sebanyak 20% anggaran malah tersedot untuk subsidi minyak bumi.
Model pembangunan ekonomi hijau diyakini akan dapat menciptakan green jobs dan mengedepankan konsep pembangunan lestari (sustainable development). Selain itu ekonomi hijau menjadi jalan keluar bagi terciptanya lingkungan yang bersih dan bebas polusi, mengatasi sumber daya ekstraktif melalui mekanisme efisiensi energi dan produk ramah lingkungan, serta menghindari terjadinya degradasi lingkungan.
Saatnya negeri ini bangkit! Bangsa ini kaya akan sumber daya alam hayati (biodiversity) terbaik di dunia. Faktanya adalah bahwa bahwa negara-negara di jalur khatulistiwa yang berhujan lebat dan matahari bersinar sepanjang tahun sangat kaya dengan keanekaragaman hayati dibandingkan dengan negara-negara bermusim empat.
Tiga negara yang tergolong paling kaya keanekaragaman hayatinya adalah Brasil (Amerika Selatan), Indonesia (Asia), dan Zaire-Congo (Afrika). Indonesia dengan 17.000 pulau lebih adalah archipelagic-nation terbesar di dunia melalui keanekaragaman hayati maritim yang menakjubkan. Melalui biodiversitas yang hebat seharusnya Indonesia bisa mengelola kekayaan sumber daya alam terbarukan secara dasyhat.
Pro Poor, Pro Jobs, Pro GrowthSekjen PBB Ban Ki Moon dalam suatu kesempatan pernah mengatakan, "we are now in the threshold of a global transformation which is the age of green economics". Pernyataan ini dia katakan ketika membahas konsep "A Green New Deal" bersama pemimpin negara-negara besar tahun 2009. Konsep "Perjanjian Baru Hijau" ini merupakan konsep ekonomi hijau.
Ekonomi hijau tidak lagi menempatkan investasi pada surat-surat berharga yang spekulatif seperti seperti hot paper, saham, obligasi dan produk derifatifnya namun lebih mengarah kepada investasi bersih (clean and green investment) yang bertumpu pada teknologi bersih untuk mengurangi emisi karbon.
Pendekatan ekonomi hijau sudah mulai menjadi tren kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara maju. Khususnya Eropa yang tidak banyak memiliki sumber daya alam terbaharukan dan apalagi biodiversitas.
Ironisnya, Indonesia, belum memiliki konsep ekonomi hijau yang jelas melalui kebijakan yang terpadu antara seluruh sektor dan sub-sektor Pemerintahan. Padahal konsep ekonomi hijau menjadi benefit negara ini dengan kapasaitas sumber daya alam terbaharukan yang luar biasa besar potensinya. Selain biodiversitas kita juga memiliki garis pantai terpanjang kedua setelah Kanada yang dapat menjadi sumber energi listrik sel surya maupun tenaga ombak.
Dengan berbagai potensi yang besar ini ekonomi hijau dapat menjadi jaminan terciptanya lapangan pekerjaan (pro jobs) dan menjadi motor perekonomian bangsa yang senantiasa tumbuh secara berkelanjutan (pro growth). Sebagai contoh: Indonesia punya lahan kritis sebesar 19,5 juta hektare (dalam kawasan hutan) dan 10,6 juta hektare (luar kawasan hutan).
Lahan kritis ini bisa dimanfaatkan untuk membuat kebun kelapa sawit yang ramah lingkungan, bahan bakar etanol, dan lahan pertanian organik. Bahkan kualitas bioetanol yang diperoleh dari lahan kritis diprediksi dapat memenuhi kebutuhan BBM di Indonesia setiap hari. Bioetanol yang dihasilkan diperoleh dari sumber tanaman jagung, ketela, gandum, dan tebu. Betapa banyak masyarakat lokal di sekitar lahan kritis ini yang akan terserap apabila pembangunan ekonomi hijau dikelola dengan sungguh-sungguh.
Brazil sebagai contohnya sudah mempraktekkan industrialisasi biotenanol sepuluh tahun lalu dan bahkan kini di Brazil, terdapat sekitar 10 juta kendaraan yang menggunakan bioetanol sebagai bahan bakarnya. Luar biasa!
Tetapi, apa lacur di negeri ini! Konsep pembangunan kita masih mengandalkan ekspor sumber daya alam yang dijual secara mentah ke negara-negara kaya. Kita tidak memiliki ciri khas industri yang bernilai tambah tinggi sehingga negara ini bagai terkena "the curse of the plenty". Hal ini mengakibatkan Indonesia tidak memiliki daya saing produk manufaktur yang tinggi.
Kita lebih senang menjual barang mentah ketimbang mengelolanya dengan benar di dalam negeri sebagai barang jadi yang unggul. Bahkan, ekonomi hijau bisa langsung dilakukan di depan mata. Indonesia adalah negara kaya sampah. Lebih-lebih sampah basah karena setiap hari rakyat makan nasi.
Di Jakarta bahkan rata-rata sampah individu yang dihasilkan adalah 1 kg. Dengan jumlah penduduk lebih dari 220 juta orang maka setiap hari dihasilkan sekitar 220 juta kg sampah. Setelah dipilah sebagian besar sampah-sampah tersebut dapat diproses sampah organik dan menjadi kompos alias pupuk sampah.
Bisnis sampah dalam ekonomi hijau di akar rumput dapat dijalankan di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang biasanya hampir tiap kecamatan punya TPA. Berdasarkan data per 2004 Indonesia punya 5.263 kecamatan. Sekali lagi, luar biasa!
Success Story Ekonomi Hijau di Negara BerkembangDunia saat ini dihuni oleh sekitar 6,8 miliar populasi. Masalah energi, pangan, dan air adalah masalah yang paling rawan dan mengancam eksistensi manusia karena keterbatasan alam dalam memproduksi segala macam kebutuhan manusia yang semakin konsumtif dan rakus energi. Oleh karena itu beberapa negara berkembang, berdasarkan laporan UNEP di situsnya tahun 2010, telah melakukan pratek ekonomi hijau yang konsisten sehingga menjadi benchmark buat negara kita (sayang sekali Indonesia tidak masuk.
Negara berkembang di sini adalah: China, Kenya, Uganda, Brazil, India, Nepal, Ekuador, dan Tunisia). Sebagai berikut: sampel diambil empat negara saja.
1. China.
Negara komunis ini serus sekali dalam menerapkan pembangunan ekonomi yang rendah karbondioksida. Dalam "repelita"-nya yang ke-11 (2006-2011), China mengalokasikan secara signifikan jumlah investasi di sektor hijau dengan menekankan pada pemanfaatan energi yang terbaharukan serta melakukan efisiensi energi.
Bahkan, China merencanakan secara hitungan per unit GDP bahwa konsumsi energinya tahun 2010 akan menurun sebesar 20% dibandingkan tahun 2005. Selain itu, Pemerintah RRC berkomitmen akan memproduksi 16% dari kebutuhan energi utamanya akan berasal dari sumber-sumber terbaharukan sebelum tahun 2020.
2. Kenya
Negara di Afrika ini adalah negara yang kaya akan energi biomassa. Namun, selama beberapa tahun terakhir kebutuhan energinya sangat bergantung pada impor bahan bakar fosil. Namun, sejak Maret 2008, Kementerian Energi Kenya mengadopsi kebijakan yang disebut "feed-in tariff" (FIT). Kebijakan ini mirip di Indonesia. FIT mewajibkan perusahaan energi dan utilitis memenuhi kebutuhan jaringan listrik nasional dengan membeli listrik yang berasal dari energi terbaharukan.
Penetapan harga diberlakukan dengan tarif yang menarik untuk menstimulasi investasi baru di sektor terbaharukan. Penerapan kebijakan RES (Renewable Energy Sources) termasuk matahari, angin, mini hydro, biogas, dan pemanfaatan energi sampah perkotaan terbukti meningkatkan pendapatan masyarakat. Kebijakan ini juga membuka banyak lapangan pekerjaan di sana. Selain itu kebijakan RES terbukti dapat memenuhi kebutuhan energi listrik dari berbagai sumber bukan hanya pembangkit listrik berbasis fosil.
3. Uganda
Uganda mengambil inisiatif untuk mentransformasikan produksi pertanian yang konvensional ke dalam sistem pertanian organik. Hasilnya adalah benefit yang signifikan bagi ekonomi, masyarakan dan lingkungan hidup di sana.
Organic Agriculture (OA) berdasarkan definisi Codex Alimentarius Commission adalah sistem pengelolaan pertanian holistik yang bertujuan meningkatkan dan memperbaiki kehidupan ekosistem agrikultur, termasuk keanekaragaman hayati, siklus biologis dan aktivitas lahan. Pendekatan OA ini juga mencegah pemakaian bahan-bahan sintetik dan kimiawi untuk mempercepat produksi lahan pertanian.
4. Brazil
Melalui pendekatan sustainable urban planning (SUP) Brazil sukses dalam mengendalikan kepadatan penduduk di perkotaan. Sebagaimana kita ketahui Brazil adalah negara keempat di dunia setelah China, India, dan AS, yang memiliki pertumbuhan penduduk urban per tahun sebesar 1,8% antara tahun 2005 dan 2010.
Proyek ini sukses dilaksanakan di Kota Curitiba Ibu Kota Negara Bagian Parana. Pendekatan yang dipakai adalah inovasi dalam urban planning, pengelolaan kota, dan transportasi umum. Curitiba berhasil mengendalikan pertumbuhan penduduk dari 361.000 (1960) menjadi hanya 1,828 juta (2008) tanpa timbulnya kegagalan akibat padatnya penduduk, tanpa timbulnya polusi, dan tanpa mengurangi ruang-ruang publik.
Kepadatan populasi di kota memang meningkat tiga kali lipat dari tahun 1970 sampai 2008. Namun, pada saat yang bersamaan, area-area hijau malah meningkat dari 1 km persegi menjadi 50 km persegi. Pendekatan SUP ini juga dipakai di kota-kota Brazil lainnya. What a remarkable policy!
So, dengan contoh-contoh green economy dari negara berkembang di atas, bisakah Indonesia mendapatkan pelajaran? Seharusnya negara kita bisa lebih hebat dari Uganda, Kenya, bahkan Nepal sekali pun. Apa yang kurang di negeri ini adalah kita terlalu banyak berpolitik ria, korupsi, dan tidak fokus pada apa yang sebenarnya kita mampu lakukan.
Indonesia harus "do what we know" secara optimal. Maksudnya, secara kodrati, kita negara agraria, negara kehutanan, negara keanekaragaman hayati! Manfaatkanlah itu untuk menciptakan produk kebanggaan bangsa. Yang bernilai kompetitif tinggi untuk kemakmuran rakyat secara berkelanjutan (sustainable).
Leonard Tiopan Panjaitan
Jl Durian 2 No 39 Depok
leonardpanjaitan@gmail.com
081510008779
Penulis: Anggota Corporate Sustainability Team (CST) Bank BNI, juga LEAD Cohort-15. Tulisan adalah pendapat pribadi.
Source:http://suarapembaca.detik.com/read/2010/07/19/084450/1401687/471/saatnya-green-economy-indonesia
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...
-
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk menghentikan masuknya produk kayu dari hasil p...
1 comment:
makasi infonya
Post a Comment