Hal itu dikatakan pemimpin Climate Group yang berbasis di London, Inggris, Steve Howard, di sela-sela acara World Economic Forum di Dalian, China, Sabtu (12/9).
Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNCCC) untuk Pertemuan Para Pihak Ke-13 (COP-13) di Kopenhagen nanti akan membahas terakhir kalinya tentang kesepakatan baru yang lebih mendalam tentang bagaimana menahan perubahan iklim yang merupakan akibat perilaku manusia. ”Hal itu sudah merupakan kesepakatan ekonomi. Oleh karena itu, pertaruhannya amat besar,” tambahnya.
Banyak negara menginginkan segera menyelesaikan perbedaan pendapat soal teks kesepakatan yang tebalnya kini mencapai 280 halaman. Banyak isu masih diperdebatkan, termasuk masa depan mekanisme pembangunan bersih (CDM) yang tercantum dalam Protokol Kyoto—masa berlakunya berakhir tahun 2012.
Program CDM memungkinkan negara maju mendanai proyek pengurangan emisi CO di negara berkembang sebagai pengganti pengurangan emisi yang diwajibkan.
Pihak Uni Eropa menghendaki China dan sejumlah negara berkembang lainnya menerima mekanisme ”berbasis sektor”, dengan semua industri dalam sektor tertentu harus secara substansial mengurangi emisinya. Bentuk CDM yang diinginkan adalah yang lebih cepat, lebih terjamin kepastiannya, dan dalam skala besar.
Di sisi lain, China menganggap bahwa mekanisme berbasis
sektor merupakan suatu upaya menerapkan kewajiban pengurangan emisi CO secara
terselubung dan tidak memasukkan insentif seperti transfer teknologi dan dana investasi sebagai bagian dari kesepakatan Kopenhagen.
Juga ada usulan termasuk rencana untuk membuat negara berkembang berkomitmen pada ”jalur jalan” (pathways) untuk beralih dari sikap business as usual (seperti biasanya, tanpa ada perubahan) soal emisi CO.
Menurut Howard, sifatnya bukan pengurangan emisi absolut jangka pendek, melainkan perubahan dari emisi yang terproyeksikan jika semua dilakukan secara business as usual. Jika itu dilakukan dengan baik, mereka dapat memperdagangkan pengurangan karbonnya.
Obama didesak
Greenpeace dari Taman Nasional Khao Yai, Thailand,
tempat perlindungan gajah terakhir Asia, memulai perjalanan 15 hari dengan gajah sebagai simbol mendesak Barack Obama dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengambil tonggak kepemimpinan dalam urusan perubahan iklim tersebut.
”Asia Tenggara adalah kawasan yang paling rentan, tetapi
paling tidak siap menghadapi perubahan iklim. Gajah Asia
bersama 20 persen keanekaragaman hayati dunia yang ada di kawasan Asia Tenggara saat ini sangat terancam laju cepat deforestasi yang berakibat memperbesar dampak perubahan iklim,” ujar Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara Von Hernandez. Indonesia merupakan negara dengan hutan terluas di Asia Tenggara.
”Ini saatnya Obama mengambil alih tanggung jawab dan mewujudkan perubahan yang telah ia janjikan. Ia punya kesempatan kedua untuk membuat sejarah lagi. Kesempatan itu bisa terjadi di ajang Sidang Umum PBB di New York, 22 September mendatang,” tambah Hernandez dalam siaran persnya.
Gerakan itu diikuti sejumlah kelompok aktivis lingkungan, antara lain Wild Animal Rescue Foundation Thailand, Agri-Nature Foundation, dan Ancient Siam. (REUTERS/ISW)
Senin, 14 September 2009 | 05:35 WIB
DALIAN, SABTU - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/14/05354090/negosiasi.terancam.buntu
DALIAN, SABTU - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/14/05354090/negosiasi.terancam.buntu
No comments:
Post a Comment