Tahun 2006 Japan Aerospace Exploration Agency atau JAXA kembali meluncurkan satelit baru, The Advanced Land Observing Satellite. Satelit ini mampu memantau permukaan bumi secara tiga dimensi.
Satelit The Advanced Land Observing Satellite (ALOS) ini menggantikan tugas satelit Jepang, Japan Earth Resource Satellite 1 (JERS-1), yang berakhir tahun 1998, setelah bertugas enam tahun.
Satelit ini terdiri dari dua sensor optik, yaitu AVNIR-2 (the advanced visible and near infrared radiometer type 2), PRISM (panchromatic remote sensing instrument for streo mapping) dan satu sensor synthetic aperture radar PALSAR (a phased array type L-band shyntetic aperture radar).
Satelit ALOS beredar mengitari bumi pada ketinggian 691.5 kilometer. Satelit ini mengamati daerah yang sama dalam selang waktu 46 hari.
ALOS-PALSAR bekerja pada panjang gelombang 23,6 sentimeter (cm) dengan pita frekuensi (bandwith) 28 Mhz. Satelit ini mampu memberi koherensi lebih baik untuk daerah hutan atau daerah dengan banyak pepohonan. Salah satu kegunaan satelit ALOS-PALSAR adalah untuk mengamati pergeseran muka tanah, baik horizontal maupun vertikal, dengan jangkauan daerah sangat luas (100 x 100 km). Satelit ini dapat memberi informasi mitigasi bencana akibat penurunan tanah. Metode pengukuran perubahan muka tanah ini disebut Interferometric Synthetic Aperture Radar (InSAR).
Pada prinsipnya, metode ini menggunakan pasangan data satelit yang mengambil data tidak bersamaan waktunya dan mengamati perbedaan fase gelombang pada selang waktu itu. Dengan menghitung perbedaan fase ini dapat ditentukan pergeseran muka tanah.
Hasil ALOS-PALSAR
Hasil pengolahan data ALOS-PALSAR di pusat remote sensing Jepang (RESTEC) menunjukkan penurunan tanah di Jakarta dan sekitarnya sekitar 2 hingga 24 cm, tahun 2007-2008. Di Jakarta bagian utara, pada gambar 1, ada sekitar tiga titik pengamatan mengalami penurunan tanah maksimum 12-24 cm. Tanjung Priok terjadi penurunan tanah sekitar 8 cm dan di daerah Jakarta pusat 4 hingga 6 cm selama pengamatan.
Apabila ditelaah, untuk daerah Jakarta dan sekitarnya dapat dianalisa bahwa faktor utama penyebab penurunan tanah ada dua macam, yaitu pertama akibat pengambilan air bawah tanah (groundwater).
Menurut harian Kompas, Jumat 27 Februari 2009, saat ini 53 persen konsumen air di Jakarta menggunakan air tanah dan 47 persen menggunakan air PAM. Pengambilan air bawah tanah dilakukan terus-menerus untuk kebutuhan rumah tangga, apartemen, mal, perhotelan, dan aktivitas-aktivitas industri.
Penggunaan air tanah secara berlebihan dan berlangsung terus-menerus berdampak menurunkan permukaan tanah— apabila level air bawah tanah menurun drastis, tekanan pada lapisan aquitards (lapisan jenuh air yang mempunyai kelulusan air sangat kecil) di dalam tanah bertambah besar.
Akibat peningkatan tekanan pada lapisan ini, terjadilah proses pemadatan tanah di sekitar lapisan ini dan tanah menjadi turun secara permanen. Meski- pun terjadi hujan, lapisan ini tidak akan dapat diisi lagi oleh air karena lapisan tanah atau batuannya menjadi sangat-sangat sempit setelah terjadi pemadatan. Air tak mungkin melewatinya. Akibatnya, air hujan akan menjadi air permukaan yang memunculkan genangan dan apabila dalam jumlah besar mengakibatkan banjir.
Faktor kedua adalah perubahan penggunaan lahan (landuse), lahan yang semula berupa pertanian, taman atau lahan kosong berubah menjadi bangunan besar, permukiman, dan perindustrian sebagai akibat pertambahan penduduk. Ini menyebabkan area infiltrasi air hujan berkurang sehingga debit air tanah yang diambil tidak seimbang dengan debit infiltrasi hujan ke dalam tanah.
Fenomena penurunan tanah dapat mengakibatkan timbulnya masalah baru, seperti masalah lingkungan dan kerusakan pada fondasi bangunan dan infrastruktur lain, seperti jalan, jembatan, dan perkantoran.
Untuk mencegah masalah akibat penurunan tanah di Jakarta ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu (1) Pemantapan kembali regulasi pengambilan air tanah dan regulasi alih fungsi lahan untuk pendirian bangunan-bangunan yang tingkat pembebanannya relatif tinggi. (2) Untuk pelestarian daerah yang telah turun permukaannya perlu injeksi gas-gas buangan, seperti CO ke dalam perut bumi. (3) Karena air merupakan kebutuhan pokok, dan Jakarta merupakan salah kota yang tingkat kepadatan penduduknya termasuk tinggi, diperlukan peningkatan jumlah sumur resapan untuk konservasi air tanah. (4) Pembuatan kawasan hutan-hutan kecil berbentuk taman bermain dengan relief agak tinggi di beberapa titik, bermanfaat untuk menampung air hujan dan bisa digunakan sebagai cadangan air bawah tanah di Jakarta.
Meski demikian, hanya pemerintahan yang baik dan bersih serta memiliki tanggung jawablah yang dapat menghindarkan risiko ancaman penurunan tanah di Jakarta.
Senin, 28 September 2009 | 03:41 WIB
Penulis: ASHAR MUDA LUBIS - Mahasiswa Program DoktorChiba University JapanGeophysics Laboratory Graduate School of Science Chiba University
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/28/03412272/citra.satelit.penurunan.tanah.jakarta
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...
-
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk menghentikan masuknya produk kayu dari hasil p...
No comments:
Post a Comment