Pemekaran daerah mengancam stok karbon nasional sekaligus mengurangi potensi hutan yang dapat dijual di bawah skema reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi lahan.
Meski dibutuhkan, hingga kini Indonesia belum memiliki data stok karbon dan emisi karbon nasional. ”Harus hati-hati karena banyak hal, termasuk faktor pemekaran wilayah, yang perlu hutan,” kata Ketua Kelompok Kerja Perubahan Iklim Departemen Kehutanan, sekaligus Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Kemitraan, Wandojo Siswanto di Jakarta, Kamis (10/9).
Hingga kini isu pemekaran daerah masih dimunculkan sejumlah daerah. Sebagian merupakan daerah dengan mayoritas wilayah berupa hutan, yang harus dibuka untuk infrastruktur.
Semasa hidup, pohon merupakan penyimpan karbon—salah satu unsur pembentuk gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Penebangan pohon, apalagi dalam jumlah besar, mengemisikan karbon.
Sesuai kesepakatan global, angka emisi karbon nasional harus didaftarkan resmi kepada Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), sebagaimana kewajiban negara-negara peratifikasi Protokol Kyoto.
Laporan ”Kurva Biaya Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca”, yang dikeluarkan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) memakai metode McKinsey per 27 Agustus 2009, menunjukkan, 80 persen dari 2,3 gigaton emisi karbon nasional berasal dari sektor kehutanan dan lahan gambut. Hasil itu diperdebatkan karena kebakaran lahan gambut, sebagai penyumbang emisi karbon terbesar, tak terjadi tiap tahun.
”Angka DNPI itu bukan angka untuk negosiasi, angka resmi negosiasi sedang disiapkan tim,” kata Wandojo. Angka itu diharapkan selesai 2011. Selain faktor kehati-hatian, kesiapan angka dikaitkan dengan metodologi penghitungan yang rentan gugatan.
Kepala Sekretariat DNPI Agus Purnomo menyatakan, angka emisi nasional 2,3 gigaton itu bukan angka untuk negosiasi. ”Itu angka untuk kebijakan sektor di dalam negeri apabila ingin memitigasi,” kata dia.
Angka emisi nasional yang akan disampaikan ke UNFCCC masih menunggu penghitungan Komunikasi Nasional Kedua.
Wandojo mengatakan, ada versi lain penghitungan emisi nasional, yaitu 1,8 gigaton—ini bukan angka akhir. Setidaknya, ada empat versi, berkisar 400 juta ton hingga 1,8 miliar ton per tahun. Apabila DNPI memakai angka moderat 1 miliar ton, pihak lain mengambil angka emisi minimal sebesar 500 juta ton. (GSA)
Jumat, 11 September 2009 | 03:47 WIB
Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/11/03475490/potensi.stok.karbon.terancam
Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/11/03475490/potensi.stok.karbon.terancam
No comments:
Post a Comment