Pertanyaan itu muncul kembali dan mencari jawaban karena dalam beberapa tahun ini banyak perusahaan media cetak, terutama di Amerika Serikat, digantikan oleh internet.
Belajar dari kebangkrutan
Tanggal 14 Juli 2009, Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) menggelar diskusi bertopik ”Belajar dari Kebangkrutan Koran- koran di Amerika Serikat” yang menghadirkan beberapa pimpinan media.
Menurut salah satu pembicara, koran di AS yang bangkrut menggunakan modal publik, menghadapi masalah biaya, utang, pajak, dan penurunan pendapatan iklan sekitar 20 persen. Pendapatan dari sirkulasi koran juga turun meski tiras masih cukup tinggi (ratusan ribu).
Selain itu, perpindahan dari print ke online lebih merupakan exit strategy daripada inovasi. Contoh, Philadelphia Inquirer bangkrut saat tirasnya 300.674 eksemplar. The Minneapolis Star berhenti saat tiras 300.000, akan terbit dalam bentuk digital. Seattle Post Intelligencer berhenti saat tiras 117.600 dan exit strategy-nya terbit digital.
Sementara itu, di Eropa, banyak perusahaan media mampu bertahan bahkan sukses. Ini, antara lain, disebabkan pendapatan sirkulasi relatif stabil, menjadikan online sebagai pendukung, bukan musuh, mengembangkan bisnis print dan online secara simultan dalam kerangka strategi bisnis. Media online lalu bukan lagi exit strategy, tetapi inovasi.
Pembicara lain menambahkan, sejumlah perusahaan penerbitan yang bangkrut merupakan perusahaan publik yang tiap tahun harus tumbuh untuk meningkatkan harga saham, mengambil alih banyak perusahaan, yang menyebabkan pembengkakan biaya dan utang.
Meski demikian, optimisme tetap tumbuh bahwa media cetak akan tetap hadir. Hanya, media harus menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi. Juga ditawarkan content aggregation management bagi anggota SPS.
Krisis keuangan
Dari berbagai pendapat itu, ada beberapa hal yang perlu ditekankan dan ditambah. Hingga kini, jumlah pembaca media masih cukup tinggi karena itu kebangkrutan perusahaan media bukan disebabkan kekurangan pembaca, tetapi krisis keuangan dalam sebuah sistem dan pasar keuangan yang salah.
Sistem dan pasar keuangan di AS yang kontrol dan regulasinya lemah mengakibatkan banyak perusahaan tutup. Inilah yang, antara lain, menyebabkan pendapatan iklan media turun, berakibat kebangkrutan banyak perusahaan di AS, termasuk perusahaan penerbitan, lebih disebabkan krisis keuangan global dan kapitalisme (neoliberal).
Beberapa perusahaan besar, termasuk media cetak, lebih banyak memperdagangkan saham, uang, dan memperdagangkan perusahaan. Perusahaan media cetak tidak lagi memperdagangkan surat kabar dan ruang (space) media, tetapi memperdagangkan saham, melakukan akuisisi, jual beli perusahaan dan harapan. Semua ini membuat perusahaan menjadi ”bengkak”, menjadikan biaya rutin dan utang kian besar, yang berdampak kebangkrutan.
Di Eropa Barat, perusahaan media cetak relatif bisa bertahan dan banyak yang sukses karena pasar keuangannya terkontrol. Selain itu, media cetak tetap memusatkan kegiatan bisnis pada jual beli media cetak, termasuk ruang untuk iklan. Teknologi dimanfaatkan sebagai pendukung media cetak dan secara simultan dikelola bersama-sama.
Diskontinuitas budaya
Hingga kini, media cetak masih tetap hadir di negara-negara yang penetrasi internetnya tinggi. Menurut Internet World Stats (2008), di Singapura, misalnya, penetrasi internetnya 67,8 persen, Jepang 73,8 persen, Jerman 67 persen, Denmark 80,4 persen, Belanda 82,9 persen. Di negara- negara itu, seluruh media cetak masih berjalan baik. Di toko buku, banyak pengunjung datang dan pergi. Di lapangan terbang negara-negara itu, banyak dijumpai koran, majalah, dan buku. Media cetak tetap dibaca di banyak tempat dan waktu.
Membaca media cetak sudah menjadi kebudayaan yang tidak mudah diganti begitu saja. Kita tidak dapat mempertentangkan teknologi dengan internet sebagai ”musuh” media cetak, karena cara berpikir seperti itu akan menjadi ahistoris ataupun akultural. Jika itu terjadi, yang satu akan membunuh yang lain, akan terjadi diskontinuitas budaya, kebudayaan yang satu akan melenyapkan kebudayaan yang lain. Hal itu tak mungkin terjadi.
Dalam seminar dan rapat kerja nasional SPS, 19-20 Agustus 2009, bertema ”Media di Indonesia: Kini dan Masa Datang” juga menyimpulkan—melalui penelitian maupun diskusi—bahwa animo membaca media cetak di Indonesia masih tinggi. Meski demikian, media cetak harus meningkatkan kemampuan profesionalnya sekaligus mengantisipasi dan mengadaptasi perkembangan teknologi.
Secara sinergis, media cetak dan digital harus tumbuh dan berkembang bersama. Perlu dicatat, penetrasi internet di Indonesia terus meningkat meski saat ini masih amat kecil, sekitar 10,5 persen (25 juta), di bawah Filipina (14,6 persen).
Misteri
Lalu, akan matikah media cetak?
Berdasar uraian di atas, menurut saya, pertanyaan itu menjadi tidak penting. Pada dasarnya, kematian adalah sebuah misteri dan tidak perlu memperkirakan tahun kematian karena semua bergantung pada penerbitan media cetak itu sendiri.
Yang perlu dilakukan, seperti dengan industri lain, tiap perkembangan dan kemajuan teknologi harus dipelajari, diadaptasi. Tiap penerbit media cetak harus menyesuaikan dan memanfaatkan teknologi, kawin dengan media online, tumbuh dan berkembang bersama melalui langkah kreatif dan inovatif. Bila tidak, penerbit media cetak akan disapu zaman.
Sabtu, 5 September 2009 | 02:48 WIB
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/05/02482712/akan.matikah.media.cetak
No comments:
Post a Comment