DPR telah mengesahkan Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU).
UU ini merupakan perubahan kedua untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Setiap undang-undang baru tentu perlu dikritisi dalam konteks situasi Indonesia yang jauh lebih berarti dibandingkan dari perspektif internasional. Dalam UU PPTPPU, terdapat beberapa ketentuan baru yang perlu mendapat perhatian para pemangku kepentingan seperti pengusaha dan kalangan perbankan. Ketentuan baru tersebut berbeda dengan UU lama (UU No 15 Tahun 2002 yang diubah dengan UU No 25 Tahun 2003).
Perbedaannya pertama adalah titel UU. UU lama secara teoretis hukum (doktrin) merupakan lex spesialis systematic, yaitu UU administratif (bersifat regulatif) yang diperkuat dengan sanksi pidana. Adapun dengan titel baru (UU PPTPPU), secara teoretis (doktrin) mencerminkan UU pidana khusus (lex specialis) yang bersifat preventive measure dan repressive measures dalam satu paket. Konsekuensi perubahan titel adalah UU PPTPPU menempatkan TPPU sebagai tindak pidana khusus sehingga memerlukan perhatian, sikap, dan tindakan khusus dengan tujuan menghilangkan sumber dan operasional pencucian uang di Indonesia.
Perbedaan kedua, akibat dari perbedaan pertama, UU PPTPPU 2010 telah dengan sangat berani mendelegasikan wewenang publik (bersifat projustitia) kepada sektor privat, yaitu Lembaga Penyedia Jasa Keuangan (LPJK), termasuk perbankan, untuk melaksanakan “penundaan transaksi” (suspension of transaction) terhadap seseorang nasabah untuk paling lama 5 (lima) hari. Perubahan ketiga, UU PPTPPU telah memberikan wewenang kepada penyidik tindak pidana asal (lazimnya penyidik pegawai negeri sipil/PPNS ) di bawah koordinasi PPATK untuk melakukan penyidikan TPPU yang berkaitan dengan tindak pidana asalnya (misalnya tindak pidana pabean, imigrasi).
Pemberian wewenang terhadap penyidik tindak pidana asal (PPNS) sudah tentu akan merepotkan dunia usaha, terutama yang bergerak di bidang ekspor dan impor, karena mereka akan berhadapan dengan petugas kepabeanan dan perpajakan selain Polri, Kejaksaan, KPK, dan BNN. Perubahan keempat UU PPTPPU adalah ketentuan tentang rahasia bank dalam hal terdapat “transaksi keuangan yang mencurigakan” dapat dikesampingkan, bahkan sejak proses penyidikan sampai pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Pembukaan rekening bank seseorang yang dicurigai memiliki transaksi keuangan tersebut merupakan mandatory obligation, tidak dapat ditolak oleh lembaga penyedia jasa keuangan maupun oleh nasabah yang bersangkutan. Perubahan kelima, UU PPTPPU memberikan wewenang kepada PPATK untuk melakukan tindakan penghentian sementara transaksi selama 5 hari dan dapat diperpanjang sampai dengan 15 hari. Jadi total waktu di mana seseorang (yang dicurigai) tidak dapat melakukan transaksinya adalah 25 (dua puluh lima) hari. Perubahan keenam, perintah pemblokiran rekening tersangka/terdakwa dibatasi lamanya sampai dengan 30 (tiga puluh) hari sehingga total waktu penundaan, penghentian sementara transaksi sampai pada pemblokiran, adalah 55 (lima puluh lima) hari.
Ketentuan UU PPTPPU tidak jelas membedakan konsekuensi hukum antara tindakan penundaan transaksi, penghentian sementara, dan pemblokiran kecuali hanya mengatur siapa yang berwenang dan berapa lamanya, sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip due process of law dan transparansi serta akuntabilitas tidak diatur secara terperinci sehingga tidak ada due diligence of power terhadap kinerja lembaga terkait indikasi pencucian uang. Perubahan ketujuh, UU PPTPPU memberikan wewenang kepada PPATK untuk meminta keterangan kepada pihak pelapor (LPJK) dan pihak lain terkait dugaan TPPU.
Ketentuan ini mencerminkan perubahan fungsi PPATK dari fungsi administratif kepada fungsi penegakan hukum sehingga dapat dikatakan bahwa lembaga PPATK bukan hanya supporting unit terhadap Polri dan kejaksaan, melainkan telah merupakan bagian atau lembaga tersendiri dalam sistem peradilan pidana (penegakan hukum) di Indonesia. Dari perspektif mikro pencegahan dan pemberantasan TPPU, UU No 8 Tahun 2010 ini telah menggambarkan kemajuan pesat dan komitmen politik pemerintah Indonesia dalam ikut serta melaksanakan ketertiban dan keamanan internasional khusus dari tindak pidana ini. Namun, dalam perspektif makro sistem ekonomi nasional dan langkah pemerintah untuk meningkatkan investasi domestik, terutama dari investor asing, keberadaan UU ini bisa menjadi kontraproduktif.
Ada beberapa faktor penyebab dari masalah kontra produktif ini. Pertama, sistem birokrasi di Indonesia sangat lemah dalam segi manajemen administrasi, koordinasi, dan pengawasan pelaksanaan tugas yang dibebankan oleh undang-undang. Kedua, sistem birokrasi di Indonesia masih sangat lemah dari sisi profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas sehingga potensial muncul penyalahgunaan wewenang serta korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketiga, UU ini tidak menyediakan sarana hukum yang memadai untuk melakukan pencegahan terhadap kemungkinan moral hazard yang akan terjadi dalam implementasi UU ini.
Keempat, sistem birokrasi di Indonesia tidak berhasil dan tidak pernah berhasil menggunakan prinsip stick and carrot dan merrit sytem yang benar dalam langkah reformasi birokrasi sejak 1998 yang lampau. Kelima, Indonesia merupakan tempat strategis dalam peta politik global baik dari aspek ekonomi internasional, politik internasional dan keamanan maupun pertahanan regional. Ketiga aspek tersebut memerlukan kekuatan ekonomi nasional dan penegakan hukum yang konsisten dan berkesinambungan serta kewaspadaan nasional yang tinggi dari para pengambil kebijakan.
Perubahan-perubahan dan sekaligus kelemahan dari UU PPTPPU 2010 di atas merupakan stumbling block yang akan kontraproduktif dari ketiga aspek tersebut jika tidak segera dikeluarkan peraturan pemerintah atau sekurang-kurangnya peraturan Kepala PPATK untuk mengantisipasi kemungkinan moral hazards dalam implementasi UU tersebut. Solusi ini semakin penting mengingat iklim dunia usaha di Indonesia sampai saat ini belum menunjukkan kesungguhan menciptakan good corporate governance, persaingan usaha tidak sehat atau rentan terjadi suap di sektor publik seperti diatur dalam Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003.
Kekhawatiran ini juga mengajak kita semua merenungkan pernyataan Joseph E Stiglitz (2003; 2006), Gelinas (2003), dan Falk (20032) serta sudah diperingatkan oleh ahli ekonomi Indonesia terkemuka bahwa globalisasi sebagai ideologi masyarakat internasional dewasa ini tidak memberikan kemakmuran yang sama antara negara maju, khususnya pengusung konsep globalisasi,dan negara berkembang.(*)
Penulis: Romli Atmasasmita
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran
11 November 2010
Source:http://news.okezone.com/read/2010/11/11/58/392175/dilema-uu-tindak-pidana-pencucian-uang
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...
-
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk menghentikan masuknya produk kayu dari hasil p...
No comments:
Post a Comment