Wednesday, November 24, 2010

Empat Model Bisnis Yang Sustainable Pada Industri Telekomunikasi Selular

(Tema Khusus: Industri Telekomunikasi Selular di Indonesia Pada Saat ini dan Bisnis Model Yang Tepat)

Oleh Leonard Tiopan Panjaitan *)

I.                   Perkembangan Industri Selular di Indonesia dari Masa ke Masa

            Tak bisa dipungkiri bahwa industri selular telah berkembang dengan begitu pesatnya di Indonesia. Perkembangan industri selular yang pesat tersebut sangat menggembirakan mengingat Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state). Hal ini didasari bahwa tantangan pada infrastruktur telekomunikasi tentunya lebih besar pada negara yang bercirikan kepulauan daripada negara yang bersifat kontinental. Perkembangan dan dinamika sektor telekomunikasi di negara-negara seperti AS, Eropa dan Amerika Latin tentu tidak bisa dibandingkan secara head to head dengan Indonesia dimana terdiri dari pulau-pulau yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Dapat kita membayangkan bahwa ketika era 1960-an hingga 1980-an dimana populasi Indonesia belum berkembang secara pesat, ketersediaan jaringan telepon pada masa-masa itu sangat rendah sekali. Namun kini di era tahun 2000-an hingga tahun 2010 ketika jumlah penduduk mencapai 236,7 Juta (Sensus Penduduk BPS;2010) maka teledensitas semakin bertambah pula. 

 
            Meskipun Indonesia negara kepulauan dengan garis pantai terbesar kedua setelah Kanada, Indonesia berhasil membangun industri telekomunikasi secara bertahap dan berkelanjutan (sustainable). Hal ini dibuktikan bahwa Industri seluler di Indonesia telah melewati fase seperti ditunjukkan pada diagram-1. berikut ini:

                                               Diagram.1 : Periode ICT di Indonesia (Dr.Iwan Krisnadi, MBA; 2010)


                Diagram.1 di atas dan berdasarkan informasi wikipedia maka teknologi selular di Indonesia telah berkembang sejak era 80-an yang pada saat itu dimulai oleh PT Telkom untuk menyelenggarakan layanan komunikasi seluler dengan mengusung teknologi NMT-450 (Nordic Mobile Telephone yang menggunakan frekuensi 450 MHz). Pada tahun 1985, teknologi AMPS (Advanced Mobile Phone System) masuk ke Indonesia dengan menggunakan frekuensi 800 MHz. Teknologi ini  merupakan cikal bakal CDMA saat ini. Pada saat itu, telepon seluler yang beredar di Indonesia masih belum bisa dimasukkan ke dalam saku celana karena ukurannya yang besar dan berat, rata-rata 430 gram. Harganya pun masih mahal, sekitar Rp10 juta-an saat itu.

            Masuk ke era 90-an, sekitar tahun 1993 PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) muncul sebagai operator GSM pertama di Indonesia. Pada periode ini, teknologi NMT dan AMPS mulai ditinggalkan, ditandai dengan tren melonjaknya jumlah pelanggan GSM di Indonesia. Beberapa faktor penyebab lonjakan tersebut antara lain, karena GSM menggunakan SIM card yang memungkinkan pelanggan untuk berganti handset tanpa mengganti nomor. Selain itu, ukuran handset tidak lagi besar tetapi sudah jauh mengecil. Menginjak tahun 1997, Setelah GSM berkembang dengan frekuensi GSM 1800 MHz Telkomsel memperkenalkan SimPATI sebagai produk prabayar pertama. Lalu disusul Pro-XL yang diluncurkan oleh PT Excelcom dengan roaming-nya sebagai servis unggulan di tahun 1998. Seolah tidak mau ketinggalan dengan kompetitornya, Satelindo lalu membuat produk Mentari dengan keunggulan perhitungan tarif per detik. Inilah embrio munculnya tren pemakaian voucher gesek dengan basis pelanggan pra bayar. 

            Merambah ke era 2000-an, Indosat mendirikan PT. Indosat Multi Media Mobile (IM3), yang kemudian menjadi pelopor layanan GPRS (General Packet Radio Service) dan MMS (Multimedia Messaging Service) di Indonesia. Pada 8 Oktober 2002, Telkomsel menjadi operator kedua yang menyajikan layanan tersebut yang kemudian dikenal sebagai layanan 2G atau (Second Generation). Pada Desember 2002, TelkomFlexi hadir sebagai operator CDMA pertama di Indonesia, di bawah pengawasan PT. Telekomunikasi Indonesia, menggunakan frekuensi 1.900 MHz dengan lisensi FWA (Fixed Wireless Access). Kemudian mulai muncul teknologi 3G , dimana setelah melalui proses tender pada tanggal 08 Februari 2006 tiga operator telepon seluler ditetapkan sebagai pemenang oleh Pemerintah untuk memperoleh lisensi layanan 3G. Ketiga perusahaan tersebut adalah yakni PT. Telkomsel, PT Indosat, dan PT. Excelcomindo Pratama (XL). Dan demikianlah selanjutnya sejak tahun 2006 teknologi 3G sudah meluncur secara komersial di masyarakat.

            Di era tahun 2010 ke atas, muncul teknologi 4G diantaranya Wimax, LTE dan Konvergensi ICT yang akan menjadi tren dan servis unggulan pelanggan. Saat ini regulasi dan standarisasi ke teknologi konvergensi sedang dioptimalkan oleh para pemangku kepentingan.

II.                Profil Perkembangan TIK di Indonesia

Seiring pesatnya teknologi selular di Indonesia maka turut membawa manfaat yang sangat besar dalam sektor telekomunikasi di negeri ini. Intinya dunia TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) atau ICT tumbuh karena kontribusi industri selular yang signifikan. Hal ini dibuktikan dengan informasi dari ITU (International Telecommunication Union) sbb:

                      Diagram-2. ICT Development Index (IDI - Sumber: ITU-D 2010)

Diagram-2 menunjukkan bahwa menurut ICT Development Index yang tertera dalam kajiannya yang berjudul “Measuring the Information Society” bahwa Indonesia berada pada ranking 19 di kawasan Asia Pasific dan peringkat 107 di dunia. Indeks tersebut menunjukkan bahwa kemajuan ICT telah meningkat dari Indeks sebsar 1,57 di tahun 2001 menjadi 2,15 di tahun 2007. Untuk level dunia, peringkat Indonesia meningkat dari 109 di tahun 2002 menjadi 107 di tahun 2008. Memang secara rangking terlihat pergerakannya sangat kecil namun tak bisa dipungkiri Indonesia sudah mengalami kemajuan yang berarti.

Indeks IDI di atas sebagai akibat dari penetrasi industri selular bergerak sebesar 61,72% dengan total pelanggan sebesar 140,578 juta nomor (Dr. Iwan Krisnadi;2010). Pada kwartal ketiga (Q-3) tahun 2009, pelanggan selular telah mencapai 159,247 juta nomor. Jumlah ini sudah termasuk 155,337 juta pelanggan prabayar dan 3,872 juta pelanggan pascabayar. Besarnya jumlah pelanggar prabayar 98% vs pascabayar 2% menunjukkan bahwa pelanggan lebih menyukai pemakaian ponsel yang dapat dikontrol melalui prabayar. Sementara pihak operator lebih banyak melepas produk prabayar karena dapat menurunkan risiko tagihan macet dan meningkatkan cash flow perusahaan operator secara signifikan.

Di lain pihak, akses wireless broadband di Indonesia juga didominasi oleh empat operator (Telkom, Telkomsel, XL dan Indosat). Pelanggan prabayar untuk akses nirkabel ini berjumlah 24,728 juta nomor dan pascabayar sebesar 807,509 ribu nomor. Jadi secara keseluruhan, gabungan industri selular dan wireless broadband menjadi sebesar 184,783 pelanggan, yang mana 180,103 juta merupakan pelanggan prabayar (97%) dan 4,679 juta pelanggan pascabayar (3%). 

            Di sisi teledensitas maka industri selular dan wireless keduanya mencapai teledensitas sebesar 78 sambungan telepon per 100 orang penduduk. Jadi total teledensitas di Indonesia tahun 2009 adalah 82 sambungan telepon, sudah termasuk sambungan telepon tetap (Lihat Diagram-3).          

                      Diagram-3.Teledensitas Wireless, Wireline dan Selular di Indonesia (Sumber:BRTI)

Sampai dengan kuartal ketiga 2009, teledensitas di Indonesia hanya mencapai 3,83 atau 4 untuk sambungan telepon tetap per 100 orang penduduk. Angka ini memang sangat kecil apabila dibandingkan dengan negara-negara di ASEN namun penetrasi selular dan wireless access di Indonesia cukup tinggi sebesar 61,72% dengan tingkat pemakaian kedua-duanya mencapai 66,82% (Dr.Iwan Krisnadi;2010).

Perkembangan ICT khususnya industri selular di Indonesia sangat berkorelasi positif dengan pendapatan per kapita penduduk di negeri ini. Diagram-4 di bawah ini menunjukkan pendapatan per kapita penduduk di propinsi di Indonesia.
                     
                            Diagram-4. Teledensitas per Propinsi di Indonesia (Sumber:BRTI)

           Diagram-4 di atas menerangkan bahwa teledensitas tertinggi diraih oleh Propinsi DKI Jakarta dengan nilai 15. Hal ini juga mengartikan bahwa semakin tinggi teledensitas propinsi maka semakin tinggi pula pendapatan per kapita penduduk propinsi tersebut.  Menurut Bappenas, berdasarkan pendapatan per kapita di mana pendapatan per kapita Jakarta pada tahun 2007 kurang lebih sebesar Rp. 64,24 juta per jiwa sementara rata-rata nasional Rp. 20 juta per jiwa. Lebih jauh lagi ITU mengatakan bahwa pertambahan penetrasi mobile 1% dinegara berkembang berkorelasi dengan pertambahan Income per Capita 4,7%. Pertambahan penetrasi internet 1% di negara berkembang akan berkorelasi dengan pertambahan Income per Capita 10,5%.

            Dari sisi makro ekonomi dimana dalam laporan nota keuangan RI 2010 yang disampaikan Presiden tanggal 16 Agustus 2010, tercantum sektor telekomunikasi menempati peringkat pertama di tahun 2009, sebagai sektor yang mengalami pertumbuhan signifikan. Tingkat pertumbuhan sektor telekomunikasi mencapai 13,60%. Hal ini membuktikan bahwa kontribusi sektor telekomunikasi ternyata sangat besar dalam membantu pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Dari sisi ekonomi mikro (ekonomi perusahaan) khususnya pendapatan operator telekomunikasi maka bisnis selular dan wireless telah memberikan dampak finansial baik positif maupun negatif. Kinerja Operator dilihat dari 3 (tiga) rasio penilaian yakni: Operating Revenue, EBITDA dan ARPU.

Untuk Operating Revenue operator dapat dibuktikan dari kinerja sbb:

                                      Diagram-5.a. Pertumbuhan Operating Revenue Operator Selular di Indonesia 


            Diagram-5.a menunjukkan bahwa kinerja kelima operator mengalami penurunan operating revenue (pendapatan operasional) dari 2007 ke 2008. Angka penurunan ini dapat dilihat dari diagram-5.b berikut:

Operator
2007
2008
Telkom Group
15,90%
2,10%
Indosat
34,70%
13,20%
Excelkomindo
38,00%
51,20%
Bakrie
112,00%
70,70%
Mobile 8
49,90%
-17,10%
Diagram-5.b. Operator Operating Revenue

Penurunan ini disebabkan pasar yang jenuh dan kompetisi yang sangat ketat antar operator. Sehingga tidak hanya mengakibatkan terjadinya penurunan pelanggan pada operator namun berakibat pada pendapatan operasional yang menurun.
Untuk kinerja EBITDA (Earning before Interest, Taxes, Depreciation and Appreciation) dapat dilihat dari diagram-6 berikut ini:
                   Diagram-6.a EBITDA Growth per operator
                   
                    Diagram-6.b EBITDA Growth per operator

Operator
2007
2008
Telkom Group
16,90%
-6,60%
Indosat
23,60%
7,00%
Excelkomindo
37,40%
46,30%
Bakrie
87,10%
50,70%
Mobile 8
-39,80%
5,40%
                                       
Diagram-6.b menggambarkan penurunan EBITDA, meskipun masih bernilai positif kecuali Telkom Group. Khusus XL mengalami peningkatan dari 37,40% menjadi 46,30%.
Untuk kinerja ARPU (Average Revenue Per User) dapat dilihat dari diagram-7 berikut ini:

Diagram-7. ARPU Growth per Operator


Diagram-7 menunjukkan bahwa semakin besar jumlah pelanggan yang dimiliki oleh operator maka semakin menurun jumlah ARPU operator. Menurut BRTI, penurunan ARPU disebabkan adanya perubahan rezim interkoneksi dengan menggunakan pendekatan cost base di tahun 2007. Dengan perubahan rezim ini maka terjadilah perang harga antar operator untuk mendapatkan pelanggan sehingga berakibat pada penurunan tingkat ARPU masing-masing operator. Pasar yang sudah jenuh pun turut berkontribusi pada penurunan ARPU mengingat pelanggan selular di Indonesia sudah mencapai lebih dari jumlah penduduk.

Menginjak tahun 2010, perkembangan manis dirasakan oleh operator kita. XL kini menjadi pemimpin pasar di sektor telekomunikasi di negeri kepulauan ini. Pada laporan keuangan XL triwulan III 2010, pendapatan usaha perseroan mencapai Rp.13 triliun, melonjak 32% dibandingkan periode sama 2009. Pada saat yang sama, XL secara fantastis mampu meraup laba bersih hingga Rp. 2,1 triliun. Sementara jumlah pelanggan XL, hingga September 2010 tercatat sebanyak 38,5 juta nomor, melonjak 44% dibandingkan periode sama tahun 2009. Padahal angka 38 juta nomor merupakan target yang dipatok perseroan untuk satu tahun penuh 2010.
Kinerja keuangan XL pada kuartal III 2010 ini, menurut penulis merupakan yang  yang terbaik dibandingkan pencapaian dua kompetitor lainnya, yakni Indosat dan Telkomsel. Berdasarkan laporan keuangan operator yang dipublikasikan ke Bursa Efek Indonesia, pada kuartal III 2010 pertumbuhan pendapatan Indosat hanya 16,6%, sedangkan pendapatan Telkomsel hanya mampu tumbuh 2,6%. Angka pertumbuhan pendapatan kedua operator ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang diraih oleh XL. Pendapatan seluler Indosat mencapai Rp. 11,914 triliun, sementara XL memperoleh pendapatan sebesar Rp. 13 triliun. Pada pos laba bersih, XL mampu membukukan kenaikan 73% menjadi Rp. 2,1 triliun. Pada saat yang sama, Indosat hanya mencatat laba Rp. 530,9 miliar. Bahkan dari sisi kapitalisasi pasar, Indosat mencatat Rp.32,6 triliun, jauh lebih kecil dibandingkan XL dengan kapitalisasi pasar Rp. 48,5 triliun. Prestasi luar biasa XL!!!
III.             Model Bisnis Telekomunikasi Selular Saat ini

Selain profil ICT yang telah diterangkan di atas termasuk kinerja operator, maka tak kalah pentingnya adalah mengelaborasi business model atau model bisnis selular yang perkembangannya demikian progresifnya. Secara garis besar model bisnis selular terbagi menjadi sbb:
1.      Bisnis melalui pendekatan voice-centric dan data-centric baik untuk level corporate maupun retail. Hal ini tercermin dari makin maraknya perang tarif percakapan dan sms gratis diantara sejumlah operator. Model bisnis seperti ini bertitik tolak pada kemampuan operator untuk merebut volume pasar yang besar dan strategi yang apik untuk mengelola bisnis seluler dengan mengedepankan pada bisnis layanan paket data secara prima. Model bisnis ini membutuhkan investasi puluhan hingga ratusan juta dollar AS sehingga hanya operator yang memiliki modal besar dan corporate strategy yang kreatif dan handal saja yang akan mampu bertahan. Margin keuntungan pada model bisnis ini cukup tipis dan oleh karenanya dibutuhkan basis pelanggan yang sangat masif untuk meraup keuntungan sekaligus bertahan di tengah ketatnya kompetisi selular di tanah air. Sebagai gambaran, Indonesia adalah negara terbanyak memiliki operator hingga 11 perusahaan. Model bisnis ini antara lain bisnis konten dan aplikasi untuk selular, sms-banking, mobile banking, layanan wireless broadband untuk internet, paket layanan akses BlackBerry dan lain-lain.

2.      Model bisnis pada infrastruktur backbone baik domestic backbone maupun international backbone. Domestic backbone menggunakan jaringan fiber optic, microwave link dan satelit. Pemain disektor ini diantaranya adalah Telkom, Telkomsel, Indosat dan XL. Sementara International backbone menggunakan jaringan international satellite dan international submarine cable network.  Hal ini juga termasuk bisnis pada layanan IPTV (Internet Protocol TV), metropolitan network dan layanan penyiaran digital seperti siaran televisi kabel (direct to home).
Kelemahan pada model bisnis saat ini adalah dengan semakin besarnya penetrasi selular dan internet disertai dengan menjamurnya ponsel-ponsel pintar (smart phones) maka akan mempengaruhi lalu-lintas komunikasi dan alokasi spektrum frekuensi. 

Seperti kita ketahui bahwa dalam dunia telekomunikasi, spektrum frekuensi merupakan sumber daya terbatas (scarce resource) layaknya sumber daya alam seperti minyak bumi. Oleh karena itu dengan semakin variatifnya layanan selular yang ditunjang oleh layanan 3G dan 3,5G seperti halnya modem-modem wireless broadband dan smart phones maka akan berakibat pada gangguan frekuensi di masa mendatang. Ponsel pintar banyak melahap data! Jaringan komunikasi yang masuk melalui ponsel pintar telah melebihi kapasitasnya karena sibuk menerima dan mengirimkan web pages, email, dan video streaming, 24 jam sehari tanpa henti. Tidak tertutup kemungkinan jika penggunaan perangkat-perangkat canggih seperti itu kian meluas, maka jaringan selular di Indonesia (bahkan dunia) akan mengalami gangguan serius atau mungkin macet.
Inilah sebenarnya tantangan dan sekaligus peluang bisnis selular di nusantara untuk mengelola telekomunikasi secara komprehensif baik dari sisi regulasi, bisnis maupun kemajuan teknologi.
IV.             Model Bisnis Telekomunikasi Selular Yang Tepat dan Sustainable
Agar perusahaan operator selular tetap eksis dan bisnis mereka tetap berkelanjutan (sustainable) maka harus dilakukan terobosan-terobosan secara kreatif dan serius. Untuk itu model bisnis yang tepat, kreatif dan sustainable harus segera diimplementasikan sbb:
1.      Bisnis Managed Service. Model bisnis ini sungguh sangat tepat dilakukan dalam rangka upaya efisiensi dan efektivitas kerja operator selular. Bisnis Managed Service lazimnya dalam praktek internasional dilakukan secara outsourcing (alih daya) dengan mitra-mitra operator selular. Melalui managed service kewajiban operator dalam rangka pemenuhan pembangunan jaringan (network) dan kinerja operasi termasuk QoS (Quality of service) dapat dijalankan secara optimal. Alih daya managed service ini merupakan salah satu solusi yang penting bagi operator yang ingin memiliki daya saing di industri yang sangat kompetitif ini. Hal ini dilatarbelakangi bahwa operator harus dituntut fokus pada penyediaan layanan pelanggan yang prima sekaligus juga mengelola jaringan. Oleh karena itu, kedua fokus ini tentunya membutuhkan biaya besar termasuk untuk akuisisi pelanggan. Managed service hadir sebagai a way out yang  memberikan nilai tambah kepada industri dan pelanggan serta menjadi diferensiasi strategi sehingga membuat operator kian kompetitif. Contoh bisnis ini adalah pendirian dan pengelolaan menara BTS oleh pihak outsourcing.
Analogi managed service dengan dunia perbankan, adalah pemeliharaan ATM, disaster recovery management, deliveri surat-surat ke nasabah, jasa penagihan termasuk akuisisi nasabah dilakukan oleh perusahaan outsourcing.

2.      Bisnis Mobile-Internet. Melalui teknologi 4 G seperti teknologi DC (Dual Carrier) HSPA+, WIMAX dan LTE akan menjadi salah satu layanan unggulan  operator pada masa-masa mendatang. Di sisi pelanggan, seiring dengan banyaknya smart-device atau smart phone (iPhone, iPad, Galaxy Tab dan lain-lain) yang kaya konten dan bersifat konvergen maka dibutuhkan akses data dan jaringan yang super cepat. Pada saatnya perangkat laptop dan smart phone akan menyatu. Dengan demikian Mobile-internet akan menjadi tren yang populer.

3.      Bisnis Cloud Computing. Meskipun model bisnis ini dijalankan oleh ISP (Internet Service Provider) non operator telekomunikasi selular namun operator selular perlu terjun mengingat bisnis ini sangat prospektif dan dapat mengurangi kompleksitas dan beban operasional infrastruktur jaringan (network) yang dihadapi oleh pelanggan atau pun klien korporasi. Sifat cloud computing ini mirip dengan ketersediaan jaringan listrik PLN. Berlangganan internet atau pun leased line seperti halnya berlangganan listrik. Kastemer korporasi tidak perlu lagi menyediakan perangkat jaringan, server untuk melakukan koneksi internet namun cukup berlangganan dengan provider cloud computing secara periodik. Bisnis ini dapat mengurangi jejak karbon (carbon footprint) dari korporasi yang membutuhkan konsumsi energi listrik 24 jam penuh untuk keperluan peralatan pendingin ruang server, switcher, router dan data center. Bisnis cloud computing akan menjadi tren dari business solution yang ramah lingkungan karena hemat energi dan hemat biaya.

4.      Bisnis e-Money (uang elektronik). Mengapa operator selular perlu terjun ke bisnis e-money? Karena uang elektronik akan menjadi trend populer menuju cashless society (masyarakat tanpa uang tunai). Dari sisi regulator (Bank Indonesia), e-money dapat mengurangi biaya BI untuk mencetak uang pecahan kecil. Selain itu e-money merupakan tren global dalam  aspek payment service khususnya dalam transaksi elektronik maupun alat pembayaran menggunakan kartu (APMK).

Di Indonesia, lembaga selain bank, dalam hal in operator telekomunikasi juga diizinkan oleh BI untuk menjadi penerbit e-money (Regulasi BI Nomor: 11/12/PBI/2009). Sampai saat ini baru dua operator yakni Telkomsel (dengan produk T-Cash) dan Indosat (Dompetku) yang terjun ke dunia cashless money ini. Menurut data BI, pertumbuhan e-money sangat spektakuler. Hal ini dapat dilihat dari diagram-8 dan 9, sbb:

        
Diagram-8 menerangkan bahwa pertumbuhan volume transaksi e-money meningkat 581% dari 2008 (2,56 juta transaksi) ke 2009 (17,44 juta transaksi).
Sementara itu Diagram-9 di bawah ini menggambarkan nilai transaksi e-money meningkat sebesar 577,2% dari Rp.80 Milyar di 2008 menjadi Rp.520 Milyar di tahun 2009.
Manfaat bagi operator untuk berbisnis e-money adalah untuk meningkatkan fee base income (FBI) perusahaan melalui jasa pengiriman uang dan merchant discount rate (MDR), meningkatkan usage dan loyalitas pelanggan operator serta strategi untuk mengakuisisi pelanggan melalui bundling layanan selular dengan micro payment services. Meskipun pelanggan T-Cash (lebih dari 3 juta nomor di 2010) dan Dompetku (lebih dari 2.500 nomor di 2009) belum mencapai target dari yang diharapkan kedua operator tersebut namun prospeknya tetap cerah. Hal ini mengingat bisnis inti selular semakin jenuh dan perlu kreasi produk dan layanan di sektor lain dengan memanfaatkan basis pelanggan operator yang sangat masif itu.
Keempat model bisnis di atas niscaya merupakan model bisnis yang berkelanjutan (sustainable) baik dilihat dari sisi CRM (Customer Relationship Management) dengan database pelanggan yang besar, efisiensi operasi, QoS maupun kebutuhan yang variatif dan kompleks. Selain itu, peran operator selular dapat menjadi jembatan penghubung antara pelanggan dengan masyarakat non tunai yang sama-sama berada pada jalur kebutuhan transaksi elektronik. Inilah uniknya model bisnis ini dalam era masyarakat telematika.
Sebagai penutup, perlu disampaikan bahwa regulator dan operator perlu duduk bersama bagaimana mengatasi masalah penomoran (numbering) yang merupakan sumber daya terbatas. Layanan MNP (mobile number portability) seperti yang diterapkan di negara ASEAN dan negara-negara lainnya dapat menjadi solusi untuk mengatasi efisiensi nomor pelanggan yang sering berganti-ganti. Satu nomor untuk semua operator.
Demikian tulisan ini dibuat. Semoga bermanfaat.
*) Penulis: Leonard Tiopan Panjaitan, karyawan Bank BUMN di Jakarta dan Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Teknik (Konsentrasi Manajemen Telekomunikasi) Universitas Mercu Buana. email: leonardpanjaitan@gmail.com

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...