Dahulu, nenek moyang manusia mengenal barter, menukarkan sesuatu guna memperoleh barang lain. Barter merupakan transaksi dagang yang primitif. Dalam perkembangan selanjutnya, digunakan alat tukar untuk pembayaran transaksi, dari kerang hingga uang. Penggunaan uang, dalam wujud mata uang kertas atau logam sebagai alat pembayaran sudah berlangsung lebih dari lima abad. Peran uang ternyata tidak terbatas hanya sebagai alat pembayaran namun berkembang sebagai ukuran harta kekayaan, alat investasi, serta dalam keadaaan tertentu berfungsi sebagai penjaga stabilitas ekonomi, sosial dan politik negara.
Uang berkaitan pula dengan kedaulatan negara. Penggunaan gambar pemimpin negara atau pahlawan nasional dalam lembar atau koin mata uang semula dimaksudkan sebagai penghargaan kepada para pemimpin atau pahlawan. Berkenaan dengan kedaulatan, setiap negara menerbitkan mata uang. Nilai tukar mata uang suatu negara relatif terhadap mata uang negara lain seringkali dianggap mencerminkan kekuatan negara yang bersangkutan. Mata uang yang nilai tukarnya paling rendah dapat mencerminkan kekuatan ekonomi dan politik negara penerbit mata uang tersebut. Oleh karena itu, ada negara yang rela menggunakan mata uang negara lain dalam perdagangan sesama penduduk di dalam negerinya, dan transaksi luar negerinya.
Mata uang kertas pada saat ini sudah dianggap tradisional, tidak praktis, dan rentan terhadap pemalsuan. Membawa uang kertas dalam jumlah besar, untuk belanja di mall, bepergian ke luar kota, dapat dianggap aneh atau justru dapat mengundang petaka. Sebagai penggantinya digunakan kartu kredit atau – yang sekarang mulai marak – kartu debet. Kedua kartu ini fisiknya serupa, namun ada bedanya. Pengguna kartu kredit tidak harus membayar tunai pada saat melakukan transaksi, sedangkan untuk kartu debet, pada saat transaksi, merchant melalui bank penerbit kartu debet, mengurangi (debet) saldo tabungan atau giro-nya pemilik kartu debet.
Seiring perkembangan telepon selular, terutama setelah operator selular menerbitkan layanan prabayar, muncul berbagai praktik bisnis yang pembayaran transaksinya memanfaatkan deposit yang disimpan di fasilitas milik operator selular. Deposit tersebut, awalnya akan secara otomatis di-debet ketika pelanggan selular memanfaatkan layanan telepon dan atau short message service (SMS). Secara berangusr deposit akan berkurang, berbanding terbalik dengan penggunaan pulsa.
Ide operator yang semula hanya ingin memastikan pendapatan di muka (advance payment) ini, pada akhirnya menyadarkan beberapa pihak bahwa kombinasi uang deposit, komputer, infrastruktur telekomunikasi digital, dan kebutuhan berbelanja, mengilhami digunakannya “pulsa telepon” sebagai alat pembayaran. Pada dasarnya mekanisme alat pembayaran menggunakan pulsa (APMP), tidak jauh beda dengan mekanisme pembayaran menggunakan kartu debet. Bedanya, pada kartu debet, yang di-debet saldo tabungan atau giro yang tersimpan di bank, sedangkan pada APMP ketika terjadi transaksi yang di-debet saldo deposit yang tersimpan di fasilitas operator selular.
Implikasi dari digunakannya deposit pulsa telepon sebagai alat pembayaran transaksi cukup signifikan, tidak saja bagi perkembangan bisnis, ekonomi, dan sosial, namun mau tidak mau masuk ke ranah hukum. Di ranah bisnis, adanya APMP memberi tambahan altermatif mekanisme pembayaran, yang berarti memperbesar peluang untuk menambah pendapatan. Sebagai contoh, ketika pembeli lupa atau tidak membawa uang cash, atau ketika kartu kreditnya sedang tidak dapat digunakan, tidak berarti transaksi lantas menjadi batal. Transaksi tetap terjadi karena calon pembeli masih memiliki deposit pulsa yang dapat digunakan untuk membayar barang yang diinginkannya atau layanan yang telah dimanfaatkannya. Ketika terjadi transaksi semacam ini, pembeli akan di-debet untuk dua hal: sejumlah nilai barang dan atau jasa yang harus dibayar, dan biaya pengiriman pesan (SMS) ketika memberitahukan transaksi pembayaran ini kepada operator atau penyimpan deposit.
Implikasi di ranah ekonomi? Luar biasa besar. Mari kita berandai-andai, statistik pengguna selular hingga akhir 2007 sudah mencapai kurang lebih 80 juta. 85% -nya atau 68 juta berstatus pelanggan prabayar. Jika rata-rata belanja per bulan menggunakan APMP Rp. 100.000,- maka nilai transaksi per tahun minimal mencapai Rp. 81.6 Triliun. Angka ini di luar pendapatan operator selular yang dihimpun dari biaya SMS untuk pemberitahuan transaksi.
Bagi merchant, transaksi menggunakan APMP sangat aman, dan pasti terbayar. Transaksi tidak mungkin terjadi bila saldo deposit tidak mencukupi. Bagi pembeli, pasca transaksi urusan selesai, tidak perlu ditagih di kemudian hari seperti ketika menggunakan kartu kredit. Manfaat sosial lain, jika dalam kartu kredit, khususnya para pengguna pemula, terjadi kecenderungan berbelanja melebihi kemampuan membayar, sehingga pada suatu hari harus menanggung hutang yang akan selalu bertambah, maka dalam APMP hal tersebut tidak akan terjadi. Artinya, secara tidak langsung, perilaku belaja jor-joran dapat dihambat dengan “membatasi” daya beli.
Pertanyaan terkait dengan aspek hukum yang muncul adalah “apakah operator selular akan berubah, dan diizinkan menjadi lembaga penyimpan uang deposit dan fasilitator transaksi keuangan? Di banyak negara yang telah menyelenggarakan APMP atau dengan istilah lain, e-wallet, digital money, e-purse, dan lain sebagainya, penyelenggaranya dibedakan menjadi tiga: operator telepon, bank, atau integrater. Di Indonesia, operator selular yang sudah mulai menyelenggarakan APMP adalah Telkomsel.
20 April 2008
Source:http://maswigrs.wordpress.com/2008/04/20/ketika-pulsa-berperan-sebagai-alat-pembayaran/
No comments:
Post a Comment