Komoditas Beras Bisa Menjadi Pelajaran Berharga
”Kalau tidak ada keberanian dari pemerintah, apalagi kalau hanya saling menyalahkan antarmenteri maupun departemen, dalam lima tahun ke depan tidak akan tercapai keinginan untuk swasembada pangan,” ujar Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia MS Hidayat, Senin (24/8) di Jakarta.
Indonesia kini tergantung cukup dalam pada impor pangan. Lebih dari 5 miliar dollar AS atau setara Rp 50 triliun lebih devisa dikeluarkan untuk mengimpor pangan. Indonesia, yang punya panjang pesisir 95.181 kilometer dengan luas perairan 5,7 juta kilometer persegi dari luas total sekitar 8 juta kilometer persegi, bahkan harus mengimpor 1,58 juta ton garam per tahun senilai Rp 900 miliar. Indonesia juga mengimpor ikan kembung.
Keberanian itu, kata Hidayat, bisa dalam bentuk penghentian kebijakan impor bahan pangan secara bertahap. ”Atau dengan memberikan disinsentif terhadap importir. Kalau itu dilakukan, tahun-tahun mendatang, saya yakin satu demi satu swasembada akan tercapai,” katanya.
”Saya ingat ketika bangsa kita ada masalah dengan impor beras. Kemudian kita bertekad impor distop dan Bulog diberi kewenangan penuh (membeli beras dalam negeri). Ada upaya bersama antardepartemen dan akhirnya berhasil swasembada dan ekspor,” katanya.
Hidayat juga mengungkapkan rasanya malu sebagai negara maritim Indonesia harus mengimpor garam dan ikan. Padahal, laut terbentang luas dan kalau mau, kita mampu melakukannya.
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati menegaskan, kondisi pangan dalam negeri tidak separah yang diberitakan.
Menurut Sri Mulyani, hal itu karena pemerintah sudah memiliki sejumlah program prioritas yang dilakukan untuk mengamankan pasokan dan memperkuat industrinya, yakni untuk komoditas daging sapi dan kedelai.
”Pemerintah sudah memiliki program mendorong produksi daging sapi dan kedelai menjadi prioritas di Departemen Pertanian. Lalu pemberian subsidi bunga kepada peternak sapi dan petani kedelai. Itu adalah kebijakan pemihakan.
Memang pada saat harga di luar tinggi, petani akan bersemangat bertahan di komoditas ini. Namun, pada saat harga turun, para petani juga memiliki persepsi risiko terhadap harga itu,” ujarnya.
Berdasarkan catatan Kompas, program peningkatan populasi sapi dilakukan dengan memberikan bantuan subsidi bunga kredit. Anggaran yang diberikan Rp 145 miliar. Adapun impor daging dan jeroan sapi per tahun mencapai Rp 4,8 triliun.
Begitu pula target peningkatan produksi kedelai Departemen Pertanian pada tahun 2008 dan 2009 tidak pernah tercapai. Nilai impor kedelai per tahun mencapai 595 juta dollar AS atau setara Rp 5,95 triliun.
Guru besar ekonomi pertanian Universitas Negeri Lampung, Bustanul Arifin, mengungkapkan, Indonesia tidak tepat mendesain kebijakan politik pertanian selama ini.
Sejak gerakan revolusi hijau dimulai, negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, tahun 1970-1980, mengadopsi desain kebijakan politik pertanian negara maju dengan alih teknologi yang melupakan kearifan lokal.
Di satu sisi Indonesia berhasil meningkatkan produksi beras secara tajam, tetapi rupanya adopsi teknologi tak pernah sampai di level paripurna. Saat negara maju sampai di level aman karena kebutuhan pangan bisa dipenuhi dari dalam negeri, Indonesia tak sanggup mewujudkannya. Strategi mekanisasi produksi pangan tidak sesuai dengan kearifan lokal bangsa yang mengutamakan sistem kekerabatan. Akibatnya, Indonesia terus tertinggal.
”Cara mereka (negara maju) agak sulit dipaksakan di sini sehingga kita sulit menyamai negara-negara yang sudah aman dalam pangan. Karena itu, kita tak bisa melepaskan masalah-masalah yang dirancang dari kacamata mereka,” ujar Bustanul.
Selain mengimpor garam, Indonesia dengan luas laut 5,7 juta kilometer persegi juga masih mengimpor ikan kembung. Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, Jumat, mengakui, industri perikanan di Indonesia mengimpor beberapa komoditas yang sebenarnya bisa diproduksi oleh pelaku usaha di dalam negeri, di antaranya ikan kembung. Padahal, Indonesia juga mencatat sebagai pengekspor komoditas serupa.
”Pasti ada kebutuhan-kebutuhan terhadap produksi. Memang kita harus share (impor) juga, tetapi seberapa jauh impor harus kita pertanyakan juga,” ujar Freddy.
Besaran impor, ujar Freddy, harus dipantau untuk tetap menjaga pasar dalam negeri. Karena itu, pihaknya akan melakukan koordinasi dengan instansi, di antaranya Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan.
”Pembatasan impor produksi perikanan perlu memikirkan dampak terhadap industri dan tenaga kerjanya. Karena itu, diperlukan solusi yang paling tepat,” ujar Freddy.
Impor produk perikanan menunjukkan tren meningkat. Tahun 2008, volume impor produk perikanan 280.179,34 ton dengan nilai 268 juta dollar AS. Nilai impor itu naik 68 persen dibandingkan dengan tahun 2007 yang hanya 160 juta dollar AS dengan volume impor 120.000 ton.
Kenaikan impor perikanan antara lain dari produk ikan segar dan beku yang naik 150 persen dibandingkan dengan tahun 2007.
Tahun 2008, produk ikan kembung yang diimpor dari Pakistan yang beredar di pasaran domestik terbukti mengandung formalin.
Menurut Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung, pemerintah hingga kini belum menerbitkan aturan tentang impor produk perikanan sebagai katup pengendali impor.(MAS/OIN/LKT)
Selasa, 25 Agustus 2009 | 03:10 WIB
2 comments:
RAMAH IMPORT UNTUK MEMISKINKAN RAKYAT!!
Demi program ketahanan pangan, tim ekonomi pemerintahan (SBY) Susilo Bambang Yudhoyono menggelontorkan Lebih dari 5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 50 triliun untuk import kebutuhan pangan agar tercukupi kebutuhan pangan nasional.
Komoditas import tersebut meliputi kedelai, gandum, daging sapi, susu, dan gula. Bahkan, garam yang sangat mudah diproduksi di dalam negeri karena sumber dayanya tersedia secara cuma-cuma dari alam tetap masih harus diimpor. Nilai nya cukup fantastis 1,58 juta ton per tahun senilai Rp. 900 miliar.
Dampak kebijakan ramah import ini jelas, mengabaikan pengembangan potensi pangan lokal akibatnya puluhan ribu petani garam di sebagian besar pesisir Nusantara secara perlahan menganggur. Petani yang berlahan sempit harus berhadapan dengan komoditas pertanian impor yang disubsidi besar. Ini sama halnya dengan pemerintah membiarkan ketidakadilan berlaku di negara kita.
Sebagian ahli ekonomi berpendapat, kebijakan ini diambil karena kualitas barang import yang lebih baik dan harga lebih murah. Namun, kebijakan ini akan berdampak berupa kehilangan peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar dan pengurangan jumlah penganggur tidak akan maksimal. Dengan kata lain kebijakan ramah impor tidak bisa menyubstitusi kebutuhan masyarakat terhadap pekerjaan!!
“Coba bayangkan dengan anggaran 5 miliar dollar AS akan menyerap berapa banyak tenaga kerja!!”
Karena itu, komoditas apa pun yang memungkinkan untuk diproduksi sendiri harus dilakukan secara optimal oleh pemerintah dan semua pemangku kepentingan.
setuju pendapat anda bung. Kasihan petani kita.
Post a Comment