Sunday, August 16, 2009

Refleksi Indonesia Ke-64: “Kisanak dan Tuanku”

Genaplah sudah besok (17/08/09) Indonesia memasuki angka 64 dalam perjalanannya sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Dalam rentang usia yang secara “biologis” negara kita harusnya sudah menjadi negara matang dan mandiri. Namun kenyataannya negeri ini masih dalam taraf “tertinggal” dalam berbagai bidang. Usia 64 ternyata bukanlah gambaran ideal sebagai bangsa besar dan bermartabat. Apa yang mau saya sampaikan disini adalah sebuah “kerisauan” dan sekaligus “gugatan” kepada para pemimpin republik agar negeri ini harus segera kembali kepada “kithohnya” yakni negara berdaulat secara politik dan ekonomi. Semenjak kemerdekaan hingga detik-detik 64 tahun kita merdeka, negara ini justru malah kehilangan identitasnya sebagai bangsa merdeka. Merdeka dari penindasan ekonomi dan politik.

Bangsa ini masih terbelenggu oleh aksi penjajahan ekonomi yang tak kuasa para pemimpin republik ini melawannya. Penghisapan kekayaan negara secara berlebih-lebihan melalui jaringan konglomerasi tambang, minyak dan gas berskala internasional semakin membawa bangsa ini menjadi “pecandu” bantuan negara lain. Penjajahan ekonomi ini sangat mengkhawatirkan karena anak-anak negeri ini justru menjadi “karyawan” dari bangsa-bangsa lain. Ya kita menjadi bangsa “kisanak” yang tak kuasa mampu melawan “tuan-tuan” negara lain.

“Kisanak”

Bangsa ini sejujurnya mengidap penyakit “inferiority complex”, yakni sindrom kerendahan –diri. Ini bisa diakibatkan rakyat jelata selama ini terlalu dimarjinalkan, hak-hak pendidikan dan kesehatan dipinggirkan bahkan sulit untuk dipenuhi. Pembangunan tidak merata mengakibatkan konsentrasi pembangunan kebanyakan di Jakarta dan P.Jawa. Ini menimbulkan penyakit kebodohan di beberapa tempat di luar Jawa dan pada akhirnya terakumulasi sifat rendah-diri karena kurangnya rasa kepercayaan diri dan kesempatan untuk maju.

Setali tiga uang, para penguasa di berbagai bidang khususnya perekonomian, juga mengalami sindrom ini karena mereka lebih terbiasa mencari dana APBN secara cepat, taktis dan kreatif. Sayangnya sifat-sifat tersebut muncul ketika menjual aset bangsa. Pada akhirnya pun kemampuan mereka hanya sebagai negosiator ulung dalam memperdagangkan aset bangsa tanpa memberikan nilai tambah dan “confidence” bagi bangsa ini di kemudian hari.

Indikator bangsa “kisanak” adalah mulai merajainya perusahaan-perusahaan asing bebas-masuk ke negeri ini. Ini konsekuensi dari liberalisme perdagangan yang output-nya penjualan aset-aset strategis bangsa. Beberapa BUMN strategis yang go public sebagian sahamnya mulai dikuasai bangsa asing dimana secara telanjang mereka telah memetakan Indonesia dari dalam tubuhnya sendiri. Lebih mudahnya adalah sepanjang jalan sudirman-thamrin adalah mulai menjamurnya kaum ekspatriat asal negeri tetangga yang mulai percaya diri menjadi tuan di negeri kita. Lucunya Kebijakan privatisasi sebenarnya bentuk ketidakpercayaan terhadap kemampuan anak bangsa sendiri meski cukup banyak CEO Indonesia yang kapasitas dan kompetensinya diakui oleh dunia luar. Privatisasi selalu digadang-gadang sebagai jalan terbaik untuk memperbaiki BUMN dan perusahaan nasional besar lainnya untuk menghapus perilaku korupsi ! Cara ini adalah sebuah eskapisme yang diartikan sebagai jalan keluar terbaik atas ketidakmampuan orisinil anak-anak nusantara sehingga diperlukanlah “tuan-tuan” dari negeri seberang untuk masuk memperbaiki jajaran korporasi kita.

“Tuanku”

Ironisnya, tuan-tuan yang datang berbondong-bondong ke Indonesia sebenarnya adalah orang-orang nasionalis di negaranya masing-masing. Hal ini bisa kita tengok dari Singapura dimana 80 persen ekonominya ditopang keberadaan BUMN. Demikian juga Malaysia yang tidak memberikan tempat strategis di Petronas untuk diduduki asing. Jadi tuan-tuan tersebut mencoba melakukan infiltrasi imperialistis yang secara legal dipersilahkan masuk oleh para pemimpin republik ini sebagai tamu investor. Sekali lagi atas nama investor asing demi menutup defisit APBN !

Konsekuensi dari mudahnya tuan-tuan negeri seberang masuk adalah akan mudahnya mereka mendikte kebijakan negeri ini baik itu terkait masalah gaji buruh, perilaku ekspatriat yang “underestimate” terhadap karyawan-karyawan lokalnya hingga masalah psikologis tenaga kerja kita yang “memuja” asing serta menjadi individualis (atas nama karir) yang tidak peka terhadap nasib bangsa ini.

Selain minyak dan gas yang sudah dikuasai asing, menurut beberapa pengamat ekonomi, 75% transaksi saham di Bursa Efek Indonesia dikuasai asing. Hal ini juga terjadi dengan 50% saham di bank-bank nasional dan BUMN yang sudah dikuasai asing. Belum lagi kalau kita bicara pertambangan batu bara, dimana hampir setengah industri batu bara di Kalimantan juga dikuasai asing. Plus penguasaan asing atas 20.000 hektar lahan perkebunan sawit milik PTPN II di Sumatera Utara.

Kisanak dan Tuan: Lingkungan Yang Rusak

Menariknya minat asing untuk investasi di Indonesia selama bertahun-tahun ternyata oleh sebagian pemimpin “berjiwa kisanak” plus ”korporat asing yang rakus” mengubah Indonesia menjadi tanah hisapan yang tak ada habis-habisnya. Hal ini mengakibatkan lingkungan Indonesia menjadi area raksasa yang hancur. Dari beberapa data LSM-LSM lingkungan terhampar fakta sbb: Selama dasawarsa terakhir ini luas hutan hujan di Indonesia semakin menurun. Pada era 1960-an Indonesia masih memiliki 82 % hutan hujan lalu menurun menjadi 68 % di tahun 1982, kemudian menjadi 53 % di tahun 1995, dan akhirnya tinggal 49 % di tahun 2000-an. Jumlah hutan yang turun tersebut diakibatkan antara lain yakni: penebangan hutan, penambangan, perkebunan agrikultur dalam skala besar, kolonisasi, dan aktivitas lain yang substansial, seperti memindahkan pertanian dan menebang kayu untuk bahan bakar.

Di samping itu sebanyak 1,8% lahan hijau di Indonesia hilang dan rusak setiap tahun. Hal ini disebabkan lahan hijau banyak berubah fungsi menjadi bangunan, seperti kantor, apartemen, mal atau gedung-gedung pencakar langit. Kurangnya lahan hijau ini terjadi di berbagai daerah, antara lain sbb:

Ø Jakarta, dimana lahan hijau hanya menyisakan 9,9% dari luas wilayah DKI.

Ø Jawa Timur, dimana luas hutan berkurang sebesar 63%.

Ø Medan, dimana luas hutan kota tinggal 0,12%.

Ø Yogyakarta, dimana lahan hijau terbuka tinggal 35%.

Ø Malang, dimana luas hutan kota tinggal 71,6 hektar.

Kondisi ekologis yang parah di beberapa daerah ini sangat mengerikan mengingat ketersediaan ruang terbuka hijau yang ideal adalah sebesar 30% (mengacu pada Undang-undang Penataan Ruang No.26 Tahun 2007). Kurangnya lahan hijau pada akhirnya membawa pengaruh yang buruk terutama dalam menghadapi pemanasan global. Di samping itu banyak gedung perkantoran atau bangungan-bangunan yang kurang memperhatikan aspek ramah lingkungan sehinga hal ini turut menambah daya dukung lingkungan yang semakin kritis.

Atas dasar kondisi lingkungan Indonesia yang krisis itulah maka investasi-investasi tersebut nampaknya menjadi sia-sia. Upaya rehabilitasi lingkungan, menurut Menteri KLH Rahcmat Witoelar pada satu kesempatan, bisa mencapai dua generasi. Maka dari itu, lingkungan yang terdegradasi dan amburadul ini menjadi tanggungjawab siapa? Sudah jelas itu tanggungjawab para pemimpin “berjiwa kisanak” yang “terilusi” oleh rayuan tuan-tuan asing memberikan banyak izin kuasa penambangan, eksplorasi-ekploitasi minyak dan gas serta banyak bentuk lain perizinan tata-kota yang mengubah lahan hijau menjadi pusat-pusat belanja mewah skala internasional.

Oleh karena ini masih relevankah kemerdekaan ke-64 ini kita rayakan meski negeri ini secara urat-nadinya sudah perlahan-lahan dikuasai bangsa asing dimana sumber daya alam mulai habis dan lingkungan kita rusak berat??? Hati nuranimu lah yang menjawab !

Salam (ingin benar-benar) merdeka,

Penulis: Leonard T. Panjaitan

- Komunitas Warga Hijau Indonesia-

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...