Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal meresahkan dunia usaha. Dalam RUU itu, sertifikasi halal yang semula bersifat sukarela diubah menjadi wajib.
Keresahan itu disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Moneter, Fiskal, dan Kebijakan Publik Hariyadi Sukamdani dan sejumlah asosiasi di Jakarta, Selasa (25/8).
RUU Jaminan Produk Halal kini dibahas di DPR. RUU ini akan berdampak langsung pada produsen makanan, minuman, farmasi, produk kosmetik, dan rekayasa genetika.
Menurut Hariyadi, muncul semangat dari sejumlah fraksi di DPR untuk mewajibkan sertifikasi halal. Kewajiban sertifikasi akan berdampak pada biaya komponen produksi. Apalagi bila label halal yang sudah tercantum dalam kemasan produk sebuah industri diragukan oleh tim sertifikasi, baik dari aspek peralatan, proses produksi, asal bahan baku , maupun kompetensi sumber daya manusia. Jika itu terjadi, industri harus menyiapkan dana untuk tim sertifikasi guna mengecek aspek tersebut.
”Biaya sertifikasi memang Rp 1 juta-Rp 2 juta, tetapi proses pengecekan oleh tim sertifikasi butuh tiket dan biaya akomodasi. Bayangkan, industri farmasi yang bahan bakunya didatangkan dari luar negeri,” kata Hariyadi.
Oleh karena itu, Kadin meminta agar RUU tersebut dikaji lebih dalam dengan berbagai pihak yang kompeten agar tidak berbenturan dengan UU kesehatan dan pangan.
Pemerintah juga harus menyosialisasikan RUU itu ke kalangan pengusaha makanan dan minuman, terutama yang skala kecil dan menengah, karena konsekuensi hukumnya berat.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Franky Sibarani berpendapat, kewajiban sertifikasi halal itu tidak akan efektif dalam pelaksanaannya. ”Sebab, negara hanya bikin peraturan yang sesungguhnya tidak bisa diimplementasikan,” katanya.
Bila RUU itu disahkan menjadi UU, lanjut Franky, dunia usaha akan hancur karena seakan dipaksa berinvestasi baru untuk mesin yang sesuai dengan aturan sertifikasi halal.
”Dari bahan baku , misalnya, industri makanan dan minuman butuh sedikitnya 15 jenis kandungan bahan makanan. Kalau semua kandungan diwajibkan bersertifikasi halal, industri harus menarik semua produknya di pasaran supaya tidak dinilai melanggar hukum,” ungkap Franky.
Pendapat senada disampaikan Chrisma Albandjar, pengusaha farmasi. Dia menjelaskan, untuk satu jenis obat, misalnya, dibutuhkan sekitar 13.000 kandungan bahan. ”Proses sertifikasi butuh waktu panjang. Industri farmasi bisa hancur,” katanya. (OSA)
Rabu, 26 Agustus 2009 | 04:24 WIB
No comments:
Post a Comment