G-20 Mendengarkan Pengalaman Indonesia
Para pemimpin Kelompok 20 (G-20) tampak makin serius mengatur dan menegakkan aturan di sektor finansial. Ini adalah salah satu topik yang dibahas G-20, di samping berbagai isu lain, yang bertujuan mencegah makin dalamnya resesi global.
Pertemuan hari pertama para pemimpin G-20, kumpulan negara maju dan berkembang, di London, Kamis (2/4), memasukkan rincian mengenai reformasi pengaturan sektor keuangan. Ini adalah isu yang gencar diusulkan oleh Perancis dan Jerman.
Sehari sebelumnya, Perancis dan Jerman mengancam tidak akan menandatangani komunike G-20 jika pengaturan sektor keuangan tidak dimasukkan. Kedua negara ini menilai bahwa krisis global dipicu liarnya sektor keuangan, bukan karena kurangnya stimulus ekonomi. Inggris dan AS, pusat dari pelaku aksi-aksi spekulasi, mendorong G-20 meningkatkan stimulus. Hal ini membuat Presiden Perancis Nicolas Sarkozy dan Kanselir Jerman Angela Merkel berang. Mereka menilai, biang keladi krisis adalah aksi-aksi spekulasi di sektor keuangan yang memunculkan fenomena kanibal dan ”saling makan”.
Harus dibantu
Isu pengaturan sektor keuangan juga menjadi keinginan negara berkembang yang ada di G-20, termasuk Indonesia. Hal itu juga menjadi imbauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang isinya meminta pencegahan kesalahan di sektor keuangan. Presiden mengatakan bahwa hal itu juga dia sampaikan di G-20, termasuk untuk mewakili kepentingan negara berkembang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dalam pembahasan di pertemuan G-20 terjadi semacam ”rekonsiliasi” di antara para anggota soal pentingnya stimulus dan pengetatan regulasi keuangan.
Terkait dengan reformasi institusi keuangan global, Sri Mulyani mengatakan, suara Indonesia didengar karena memiliki pengalaman krisis 1997/1998. ”Pandangan Indonesia mengenai apa yang harus dikoreksi dari IMF dan Bank Dunia didengarkan dan telah ada perubahan fundamental operasi,” ujarnya.
Oleh banyak negara, IMF dan Bank Dunia dianggap sebagai beban, bukan solusi.
Menkeu juga mengatakan, pada pertemuan G-20, Indonesia memunculkan isu soal pentingnya dukungan dana bagi negara berkembang dan miskin yang terkena krisis. ”Pihak Eropa mengatakan, negara berkembang menjadi korban krisis yang bukan karena kesalahan sendiri. G-20 menilai, negara korban ini wajib dibantu,” ungkapnya.
Mekanisme bantuan sudah disepakati, yakni melalui Bank Dunia maupun bank pembangunan kawasan serta IMF. ”Bantuan ini pun diberi tanpa persyaratan, khususnya Meksiko yang dianggap memiliki reputasi dan kebijakan baik,” ujar Sri Mulyani.
Sehubungan dengan hal itu, G-20 sepakat menambah dana IMF lebih dari 500 miliar dollar AS menjadi 750 miliar dollar AS dari para anggota. Tujuannya, sebagaimana ditekankan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown, agar IMF dapat membantu lebih banyak negara korban krisis.
Anggota G-20 sepakat pula mengenai paket penyediaan dana 250 miliar dollar AS bagi negara berkembang untuk membiayai perdagangan internasional.
FSF akan mengawasi
Soal isu peraturan dan pengawasan sektor keuangan, G-20 sepakat mengatur hedge fund (kumpulan dana investasi yang juga dipakai berspekulasi), yang selama ini terlepas dari pengawasan dan termasuk penyebab krisis global.
G-20 mengubah fungsi Forum Stabilitas Finansial (FSF), kelompok pemikir informal milik sejumlah bank sentral, menjadi lembaga pengawas sistem keuangan. FSF akan mempresentasikan proposal dan rekomendasi mengenai pengawasan perbankan serta pembatasan bonus para bankir. ”Perubahan status FSF ini akan meningkatkan cakupan kegiatan FSF,” ujar Ketua FSF yang juga Gubernur Bank Sentral Italia Mario Draghi.
G-20 juga akan menekankan pentingnya pengawasan terhadap tax haven (seperti Singapura). Tax haven akan dituntut kooperatif atau menghadapi sanksi dan dimasukkan ke dalam daftar hitam. Stephen Timms, pejabat sektor keuangan Inggris, mengatakan, kesepakatan mengenai tax haven sedang disusun.
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/03/02441173/sektor.keuangan.diatur.ketat
No comments:
Post a Comment