Pendanaan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi atau REDD perlu dipahami sebagai pendanaan iklim. Model pendanaan dari luar negeri tersebut bukan upah karena Indonesia memiliki hutan luas.
”Dengan kata lain, Indonesia dapat uang karena mampu mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim Agus Purnomo pada peluncuran situs REDD-I kerja sama Center for International Forestry Research (Cifor), World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, dan PILI-Green Network, atas biaya Yayasan David serta Lucile Packard di Jakarta, Selasa (25/8).
Hutan luas tanpa dibarengi kemampuan menjaga peran hutan sebagai penyeimbang iklim dan penyimpan karbon tidak akan menghasilkan apa pun. Pemahaman itu perlu diketahui para pihak, baik pemerintah daerah, LSM, maupun swasta.
Di daerah, REDD sebagai pendanaan iklim membawa konsekuensi pendataan kawasan. ”Data yang detail untuk memastikan unsur gas rumah kaca tetap tersimpan di hutan,” kata Agus.
Oleh karena itu, peningkatan pemahaman dan kemampuan swasta dan daerah patut terus dilakukan. Keengganan berbenah akan membuat proyek REDD jauh dari harapan.
Salah satu bentuk menjaga hutan di daerah, lanjut Agus, adalah pemerintah daerah diharapkan tidak asal menerima ajakan kerja sama berupa nota kesepahaman (MOU) dengan siapa pun. ”Jangan dulu menyerahkan hak penguasaan hutan ke pihak lain,” kata Agus.
Di tempat yang sama, peneliti Cifor, Daniel Murdiyarso, menyatakan, potensi hutan amat besar menyeimbangkan iklim. Sekitar 20 persen persen emisi dihasilkan dari hutan.
Namun, butuh upaya global sebelum REDD diadopsi dalam rezim baru setelah Protokol Kyoto. ”Kalaupun disetujui di Kopenhagen, butuh waktu menerapkan REDD,” kata dia.
Salah satu cara mempercepat kemungkinan penerapan adalah pembelajaran melalui proyek percontohan. Di sana dipelajari metode penghitungan lepasan karbon, pengukuran serapan karbon, pengawasan, dan verifikasinya.
”Selain metodologi, perlu pembelajaran juga soal peraturan terkait legitimasi proyek,” kata Daniel. Untuk itu, Cifor mengembangkan riset di lima negara, termasuk Indonesia.
Indonesia tergolong salah satu negara dengan faktor kesulitan tinggi. Keragaman fisik dan biologis membutuhkan metode pengukuran dan pengawasan yang berbeda-beda sehingga butuh waktu.
Di Indonesia, setidaknya ada dua proyek percontohan (demonstration activities) di Kalimantan hasil kerja sama Indonesia dengan Jerman dan Australia.
”Jumlah itu jauh dari cukup,” kata Koordinator Substansi REDD, yang juga mantan Sekretaris Badan Litbang Departemen Kehutanan Nur Masripatin. Idealnya, proyek percontohan ada di setiap provinsi yang memiliki hutan. Pembelajaran penting lain di proyek percontohan adalah pendistribusian insentif. ”Baik berupa uang atau transfer teknologi, model pendistribusiannya harus dipelajari sejak sekarang,” kata dia.
Direktur Iklim dan Energi WWF Indonesia Fitrian Ardiansyah memperingatkan agar pemerintah mewaspadai persoalan tumpang tindih pengelolaan lahan di Indonesia. Kejelasan status lahan menjadi pertimbangan penting lolos-tidaknya proyek. (GSA)
Rabu, 26 Agustus 2009 | 04:45 WIB
”Dengan kata lain, Indonesia dapat uang karena mampu mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim Agus Purnomo pada peluncuran situs REDD-I kerja sama Center for International Forestry Research (Cifor), World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, dan PILI-Green Network, atas biaya Yayasan David serta Lucile Packard di Jakarta, Selasa (25/8).
Hutan luas tanpa dibarengi kemampuan menjaga peran hutan sebagai penyeimbang iklim dan penyimpan karbon tidak akan menghasilkan apa pun. Pemahaman itu perlu diketahui para pihak, baik pemerintah daerah, LSM, maupun swasta.
Di daerah, REDD sebagai pendanaan iklim membawa konsekuensi pendataan kawasan. ”Data yang detail untuk memastikan unsur gas rumah kaca tetap tersimpan di hutan,” kata Agus.
Oleh karena itu, peningkatan pemahaman dan kemampuan swasta dan daerah patut terus dilakukan. Keengganan berbenah akan membuat proyek REDD jauh dari harapan.
Salah satu bentuk menjaga hutan di daerah, lanjut Agus, adalah pemerintah daerah diharapkan tidak asal menerima ajakan kerja sama berupa nota kesepahaman (MOU) dengan siapa pun. ”Jangan dulu menyerahkan hak penguasaan hutan ke pihak lain,” kata Agus.
Di tempat yang sama, peneliti Cifor, Daniel Murdiyarso, menyatakan, potensi hutan amat besar menyeimbangkan iklim. Sekitar 20 persen persen emisi dihasilkan dari hutan.
Namun, butuh upaya global sebelum REDD diadopsi dalam rezim baru setelah Protokol Kyoto. ”Kalaupun disetujui di Kopenhagen, butuh waktu menerapkan REDD,” kata dia.
Salah satu cara mempercepat kemungkinan penerapan adalah pembelajaran melalui proyek percontohan. Di sana dipelajari metode penghitungan lepasan karbon, pengukuran serapan karbon, pengawasan, dan verifikasinya.
”Selain metodologi, perlu pembelajaran juga soal peraturan terkait legitimasi proyek,” kata Daniel. Untuk itu, Cifor mengembangkan riset di lima negara, termasuk Indonesia.
Indonesia tergolong salah satu negara dengan faktor kesulitan tinggi. Keragaman fisik dan biologis membutuhkan metode pengukuran dan pengawasan yang berbeda-beda sehingga butuh waktu.
Di Indonesia, setidaknya ada dua proyek percontohan (demonstration activities) di Kalimantan hasil kerja sama Indonesia dengan Jerman dan Australia.
”Jumlah itu jauh dari cukup,” kata Koordinator Substansi REDD, yang juga mantan Sekretaris Badan Litbang Departemen Kehutanan Nur Masripatin. Idealnya, proyek percontohan ada di setiap provinsi yang memiliki hutan. Pembelajaran penting lain di proyek percontohan adalah pendistribusian insentif. ”Baik berupa uang atau transfer teknologi, model pendistribusiannya harus dipelajari sejak sekarang,” kata dia.
Direktur Iklim dan Energi WWF Indonesia Fitrian Ardiansyah memperingatkan agar pemerintah mewaspadai persoalan tumpang tindih pengelolaan lahan di Indonesia. Kejelasan status lahan menjadi pertimbangan penting lolos-tidaknya proyek. (GSA)
Rabu, 26 Agustus 2009 | 04:45 WIB
No comments:
Post a Comment