Thursday, July 30, 2009

Tangkal Banjir dengan Biopori

Ada masalah klasik di kota besar tepi pantai maeam Jakarta: krisis air bersih. Saat kemarau kekeringan, masuk musim penghujan kebanjiran. Belum lagi aneaman merembesnya air laut karena terkurasnya air tanah. Ada tiga cara mengatasinya, yaitu dengan menanam mangrove (bakau), mengurangi pemanfaatan air tanah, dan memperluas resapan air. Dua yang terakhir mudah dilakukan kebanyakan warga.

Mengurangi pemanfaatan air tanah, misalnya dengan berlangganan ledeng. Sedangkan upaya memperluas resapan air adalah dengan membuat sumur resapan. Ini sudah keharusan, sebab sudah diatur melalui Perda 57/1996. Bahkan sumur resapan jadi syarat penerbitan izin mendirikan bangunan (1MB) di Jakarta sesuai Pergub 68 dan 112/2005 tentang lingkungan Hidup dan IMB.

Sumur resapan diharapkan bisa mengganti air tanah yang terkuras. Sampai saat ini, dan minimal satu juta yang dibutuhkan Jakarta, baru ada 29.000 sumur resapan. Berarti, kewajiban itu belum dipatuhi. Banjir tahunan dan banjir besar lima tahunan mengisyaratkan 75% air hujan di Jakarta mengalir di permukaan tak masuk ke tanah lewat sumur resapan. Belum lagi kiriman dari Bogor yang ditaksir menyumbang 30% banjir Jakarta.

Masalahnya, mengapa warga enggan membuat sumur resapan? Apakah karena secara teknis lebih sulit dibuat, mahal, khawatir terjadinya longsor, dan sulit dipenuhi di halaman warga yang kian menyempit? Solusi yang ditawarkan Kamir R Brata, pengajar Konservasi Tanah dan Air pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB, ini patut dilirik. Namanya biopori, dan mulai diperkenalkan di Bogor menjelang Hari Bumi 2007 dengan merintis 5.250 biopori di 21 kelurahan di enam kecamatan yang dikerjakan 4.000 relawan mahasiswa, pelajar, pramuka dan pegawai pemerintah.

Tiap biopori hanya bergaris tengah 10- 30 cm dengan kedalaman 80 - 120 cm atau disesuaikan jenis tanah. Selain sebagai sumur resapan, biopori bisa mengatasi satu lagi krisis warga: sampah. Sebab, biopori juga berfungsi sebagai tempat sampah organik (sampah basah seperti sisa makanan dan dedaunan). Lubang diisi 2 - 3 kg sampah organik sebagai bahan makanan cacing. Si hewan penggali tanah ini membantu biopori menjadi resapan air yang lebih baik.

Karena garis tengahnya tak besar, untuk mencegah orang atau hewan peliharaan terperosok cukup ditutup kawat jaring. Lubang kecil membuat air menyerap lebih cepat, karena air yang masuk sedikit dan menyebar. Sampah organik pun menyuburkan tanah. Sekali lagi, karena garis tengah biopori relatif kecil, jadi mudah dibuat di halaman rumah, pinggir jalan raya, maupun lahan yang tertutup perkerasan sekalipun, macam halaman parkir. Idealnya di lahan 100 m2 dibuat sekitar 24 lubang.

Bila tiap rumah menyisakan beberapa meter persegi untuk biopori, tentu lebih banyak air hujan meresap. Karena tak perlu banyak menggali tanah, biopori pun mudah dibuat hanya dengan bor tanah manual yang di pasaran hanya berkisar Rp 150.000,-Rp 300.000,- saja. Pengadaan bor pun bisa patungan, iuran warga, misalnya satu RT mempunyai satu bor yang bisa dipakai bergantian.

Tiap orang yang menggunakan air dan menghasilkan sampah wajib menjaga sumber airnya, dengan memungkinkan celah air meresap dan mengolah sampahnya sendiri. Nah, tunggu apa lagi? Ayo, buat biopori!

(Soehartono Soedargo/Ehrist, di Jakarta)

HALAMAN HIJAU / Intisari No.533/ DESEMBER 2007

Hlm 108 - 109

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...