Pembukaan hutan tanaman industri (HTI) dikhawatirkan berdampak pada bencana ekologi, meningkatnya konflik masyarakat, serta punahnya satwa liar yang dilindungi.
”Kawasan yang akan dijadikan HTI itu merupakan area resapan air dan sejumlah hulu bagi Sungai Batanghari. Perubahan fungsi kawasan akan menimbulkan bencana bagi masyarakat di sepanjang sungai,” ujar Eko Waskito, koordinator petisi yang juga Direktur Lembaga Tiga Beradik, Minggu (26/7) di Jambi.
Petisi itu ditandatangani 18 lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan dan organisasi mahasiswa pencinta alam. Organisasi itu antara lain Walhi Jambi, Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, LBH-Lingkungan, Perkumpulan Hijau, Perkumpulan Gita Buana, Mapala Gitasada, dan Mapala Himapasti.
Menurut Eko, petisi itu telah disampaikan kepada Kepala Dinas Kehutanan serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Jambi. Petisi tersebut juga akan disampaikan kepada Gubernur Jambi dan Menteri Kehutanan pada Senin ini.
Kawasan yang akan dikonversi menjadi HTI itu rencananya dikelola PT Duta Alam Makmur. Kawasan tersebut merupakan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat pada wilayah barat. Lahan yang akan dijadikan HTI seluas 118.955 hektar, terdiri atas eks hak pengusahaan hutan PT Sarestra II (47.645 hektar), Nusa Lease Timber Coorperation (56.770 hektar), dan Rimba Kartika Jaya (14.540 hektar).
Selain sebagai area hulu sungai bagi Batanghari, kawasan yang akan dikonversi itu dinilai tidak layak untuk dijadikan HTI mengingat kondisi topografinya yang curam, 45-70 derajat.
Hutan alam tersebut juga merupakan habitat bagi satwa liar yang dilindungi dan hampir punah, seperti harimau sumatera, ungko, siamang, tujuh jenis burung rangkong, macan dahan, kucing mas, dan tapir. Di sana juga terdapat kambing gunung (Muntiacus montanus), spesies yang ditemukan di kawasan tersebut pada tahun 2008.
Senin, 27 Juli 2009 | 03:44 WIB
No comments:
Post a Comment