Terjadinya ledakan bom di JW Marriott dan Ritz-Carlton hampir dua minggu lalu merupakan indikasi lemahnya sistem pengamanan hotel tersebut. Sistem yang ada tidak mampu mendeteksi lalu lintas benda-benda berbahaya, termasuk bom.
Akibat yang ditimbulkan bukan hanya korban jiwa. Lebih dari itu, citra Kota Jakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya adalah tidak aman. Akibat langsungnya adalah batalnya kunjungan tim Manchester United (MU) ke Jakarta. Akibat lain, mungkin memengaruhi para investor dan turis yang tadinya ingin datang ke Indonesia. Bisa dibayangkan betapa besar kerugian ekonomi yang ditimbulkan.
Menghadapi situasi di atas, biasanya kita cenderung reaktif. Di mana-mana dianjurkan mengaktifkan dan meningkatkan sistem keamanan. Petugas keamanan secara teliti memeriksa setiap orang yang masuk ke fasilitas-fasilitas publik, pos-pos siskamling diaktifkan, dan lain sebagainya.
Biasanya itu bersifat hanya sesaat. Setelah beberapa waktu berselang akan kendur lagi. Begitu seterusnya. Pola ini tentu diamati pelaku teror sehingga dia tahu kapan harus bertindak dan kapan harus bersembunyi.
Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem yang mampu mendeteksi dini terhadap lalu lintas benda-benda berbahaya secara terus-menerus. Sistem yang mampu bekerja secara maksimal tanpa harus banyak bergantung pada orang (penjaga).
Contoh paling mudah adalah penggunaan pesawat sinar-X bagasi pada bandara. Demi alasan keamanan bersama, setiap benda yang akan masuk ke fasilitas penting (hotel) harus melewati pemeriksaan dengan alat tersebut. Tanpa terkecuali.
Cara ini merupakan sistem deteksi yang mampu melihat secara jelas benda-benda yang melewati tanpa harus membongkarnya (non-destructive test). Sistem ini diyakini mampu mencegah benda-benda berbahaya masuk dan sekaligus menjaga privacy pelanggan (tidak harus membongkar isi koper).
Bom yang meledak di beberapa tempat di Indonesia selama ini adalah jenis bom konvensional. Artinya, bom yang menggunakan bahan peledak konvensional dicampur benda-benda yang mampu menghasilkan efek lebih saat meledak (seperti baut). Selain bom konvensional, belakangan juga dikenal bom kotor (dirty bomb). atau yang lebih dikenal dengan radioactive dispersal devices (RDD).
Bom kotor merupakan salah satu jenis bom yang mengombinasikan bahan peledak konvensional (dinamit) dan bahan radioaktif. Tingkat keparahan akibat bom tergantung dari jenis dan aktivitas (kekuatan) bahan radioaktif yang digunakan. Target utamanya adalah untuk menimbulkan kepanikan luar biasa ketika orang tahu bom yang meledak memancarkan radiasi.
Kepanikan luar biasa ini akan mengakibatkan efek berantai, seperti kecelakaan di jalan raya karena orang berusaha secepatnya menjauh dari lokasi ledakan. Pada akhirnya juga menimbulkan banyak korban. Akibat lain dari ledakan bom kotor adalah terjadinya kontaminasi radioaktif di lokasi ledakan sehingga lokasi tersebut memancarkan radiasi dalam rentang waktu yang lama.
Sebagai contoh, apabila bahan radioaktif yang digunakan adalah Cesium-137, lokasi itu akan memancarkan radiasi hingga ratusan tahun mengingat waktu paro bahan radioaktif tersebut 30 tahun. Jika itu yang terjadi, perlu usaha luar biasa untuk mengembalikan ke kondisi semula (dekontaminasi).
Sebagai ilustrasi, adalah bom kotor dengan sumber radioaktif Cs-137 dengan aktivitas 100 Ci—satuan aktivitas pemecahan diri sebuah unsur radioaktif. Sumber ini biasa dipergunakan dalam kegiatan non-destructive test (NDT) untuk menguji sambungan pipa pada industri pertambangan minyak dan gas atau pengukuran ketinggian fluida dalam tangki (gauging).
Dari segi dimensi, ukuran sumber radiasi ini sangat kecil (sebesar kancing baju), tetapi mampu menghasilkan pancaran radiasi gamma sekitar 40 microsievert per jam dalam radius 100 meter. Nilai ini signifikan tinggi ditinjau dari ukuran keselamatan. Radiasi jenis ini mampu menembus beton sehingga untuk mengurangi intensitas pancaran radiasi sampai menjadi setengahnya diperlukan beton setebal 4,8 cm.
Menurut data Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), dari tahun 1993 sampai dengan 31 Desember 2007 telah terjadi 1.340 peristiwa perdagangan gelap yang melibatkan bahan nuklir dan radioaktif. Peristiwa itu bisa merupakan jalan singkat penyebaran persenjataan bom kotor dan terorisme. Di Indonesia penggunaan bahan radioaktif berkembang sangat pesat untuk berbagai tujuan positif.
Misalnya, penggunaan bahan radioaktif Iridium-192 dan Cobalt-60 untuk memeriksa sambungan pipa-pipa pertambangan (NDT), Cesium-137, Americium-241, Stronsium-90 untuk merekam sifat-sifat hidrokarbon pada industri pertambangan, bahan-bahan radioaktif yang dipakai mengukur level cairan dalam suatu tangki/kaleng (gauging), dan masih banyak lagi.
Melihat kondisi tersebut, diperlukan suatu sistem pengawasan yang lebih terintegrasi terhadap bahan-bahan radioaktif. Sistem yang mampu mendeteksi secara dini lalu lintas bahan radioaktif.
Hal tersebut bisa dilakukan, misalnya dengan pemasangan alat surveymeter atau monitor radiasi secara permanen (fixed monitor) di lokasi strategis (jalan protokol, pelabuhan, pintu masuk hotel berbintang, dan
Prinsip kerja peralatan tersebut hampir sama dengan prinsip pengukuran ketinggian fluida (cairan) di dalam kaleng. Ketika ada pancaran radiasi dari bahan radioaktif yang melewati detektor, muncul respons dalam bentuk audio atau bahkan audiovisual.
Sistem ini mampu bekerja penuh 24 jam sehingga benar-benar efektif untuk mendeteksi benda-benda mengandung bahan radioaktif. Agar responsif, detektor ini dapat diatur di skala paling kecil (paling sensitif).
Sistem itu dapat dibangun dengan menggiatkan kerja sama antara pihak Badan Pengawas Tenaga Nuklir, kepolisian, Departemen Perhubungan, dan instansi terkait yang lain. Semoga dengan cara ini, meletusnya bom oleh tangan-tangan tidak bertanggung jawab tidak perlu terulang lagi. Apalagi sampai melibatkan bom kotor, bom radioaktif. Semoga.
Selasa, 28 Juli 2009 | 04:01 WIB
Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/28/04013627/deteksi.dini.bahan.radioaktif
No comments:
Post a Comment