Kebutuhan air bersih selalu menjadi kendala di lokasi bencana. Tidak jarang kebutuhan ini luput dari perhatian hingga muncul persoalan baru karena krisis air bersih. Akibatnya, korban bencana kerap mengonsumsi air apa adanya di sekitar lokasi bencana. Ket.Foto:Peneliti Universitas Sumatera Utara, Sofyan Badrun, di antara tabung ferro filter di bengkelnya.
Peneliti senior Universitas Sumatera Utara (USU), Sofyan Badrun, meyakini perlunya inovasi baru untuk mengatasi persoalan ini. Dasar pemikiran tersebut menuntunnya merekayasa alat penjernih air yang efektif. Penjernih air yang ada belum bisa memenuhi kebutuhan air bersih korban bencana dengan cepat.
Setelah melalui uji coba berulang kali sejak 2002, Sofyan akhirnya berhasil merekayasa alat penjernih air bernama ferro filter. Nama ferro diambil dari nama zat besi, yaitu Fe, sementara filter berarti saringan. Alatnya memang mampu menyaring zat besi hingga menjadi 0,05 part per million (ppm). Angka ini lebih baik dari standar maksimal yang ditetapkan Departemen Kesehatan, yaitu 0,3 ppm.
Rendahnya kandungan zat besi ini mengurangi risiko gangguan ginjal pada manusia yang mengonsumsinya. Tidak hanya mengurangi kandungan Fe, ferro filter mampu mengurangi kandungan mangan (Mn) dan amoniak (NH) dalam air minum. Air produksi ferro filter berwarna jernih, tidak berbau, rendah kandungan logam, dan bahkan siap dikonsumsi langsung.
Penampang kecil
Ada yang istimewa dari alat ciptaan Sofyan. Perbedaan alat ini dengan alat penjernih air umumnya terletak pada pipa yang disebutnya sebagai nozzle. Nozzle ini dirancang mempunyai penampang kecil berdiameter 16 milimeter (untuk kapasitas produksi air sebesar 500 liter per jam). Penampang kecil ini akan membuat aliran air menjadi deras sehingga menyedot udara luar. Pada penampang kecil ini terdapat lubang udara berdiameter 6 -8 milimeter (tergantung dari produksi air yang dihasilkan). Lubang inilah yang menyedot udara untuk mengikat kandungan logam berat yang ada di dalam air.
Pada alat penjernih lain penguraian logam berat dilakukan alami dengan membiarkan air mengalir dari tempat penampungan satu ke penampungan yang lain. Tentu ini tak efektif karena membutuhkan tempat yang lebih banyak dan proses airasi (proses bercampurnya oksigen dengan air) tidak berjalan maksimal.
Zat besi, yang semula tak kelihatan, setelah melalui proses ini menjadi terlihat kuning. Air ini kemudian disaring oleh pasir kuarsa dalam tong fiberglass setinggi 70 sentimeter. Sofyan berani meminum langsung air yang keluar dari proses penyaringan ini. ”Rasanya segar dan sehat,” katanya setelah mencecap air dari keran.
Mengoperasikan ferro filter hanya memerlukan waktu satu hari. Pengoperasian ini mulai dari pengeboran sumur hingga pemasangan alat penjernih. Alat ini juga dilengkapi dengan panel otomatis yang memantau air dalam fiberglass. Jika air penuh, mesin pompa akan mati sendiri.
Jangkau tempat sulit
Seperangkat ferro filter terdiri dari tabung fiberglass, pompa air, dan panel pemantau air. Sofyan merancang alat ini bisa dibawa ke mana-mana karena beratnya hanya 10 kilogram (tidak termasuk pasir). Dengan modifikasi tersebut, regu penolong bisa membawa alat ini ke lokasi bencana yang sulit dijangkau.
Produksi air bersih alat ini mampu memenuhi kebutuhan untuk 200 orang. Asumsi ini berdasarkan standar kebutuhan air bersih per orang per hari sebanyak 60 liter sesuai ketetapan Departemen Kesehatan.
Sejak merekayasa penjernih air tahun 2002 alatnya sudah banyak teruji. USU mengirimkan 30 ferro filter ke lokasi bencana tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam pada 2004. Kali ini USU kembali mengirim ferro filter ke Sumatera Barat.
Inovasi Sofyan mendapat perhatian perusahaan air minum di Sumatera Utara. Perusahaan air minum di Medan, Asahan, Rantau Prapat, dan Tanjung Balai memakai alat ini dalam kapasitas tinggi. Kapasitas ferro terbesar buatannya mampu memproduksi air sebanyak 35.000 liter per jam.
Kepala Lembaga Penelitian USU Harmein Nasution mengatakan, inovasi penjernih air Sofyan merupakan temuan berharga bagi banyak orang. Meski sederhana, alat tersebut terbukti tepat guna. Dia berharap pemerintah memberi apresiasi positif terhadap temuan Sofyan. Sayangnya, sejak diajukan ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pemerintah belum mengeluarkan hak paten temuan Sofyan.
”Terlalu banyak lembaga yang mengurusi hak paten. Jadi apresiasi terhadap karya yang berharga seperti ini menjadi terlambat,” katanya.
Sabtu, 17 Oktober 2009 | 04:08 WIB
Oleh Andi Riza Hidayat
No comments:
Post a Comment