Tuesday, October 6, 2009

Kawasan Kumuh Kota 54.000 Hektar



Selasa, 6 Oktober 2009 | 03:37 WIB

Palembang, Kompas - Kawasan kumuh kota secara nasional terus meningkat dan meluas sekitar 54.000 hektar atau lebih dari tiga kali luas Kota Bandung. Ketidaklayakan hunian di perkotaan itu masih ditambah 21,1 persen rumah tangga yang tidak dapat mengakses air bersih dan sebanyak 22,86 persen tidak memiliki akses jamban.

”Kondisi hunian tidak layak seperti itu perlu diperbaiki dengan merencanakan masa depan kota yang melibatkan partisipasi warga,” kata Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Senin (5/10) di Palembang, dalam puncak peringatan Hari Habitat Dunia Ke-23.

Hari Habitat Dunia diperingati secara global setelah Perserikatan Bangsa-bangsa merumuskan Deklarasi Vancouver pada 1976. Deklarasi itu menekankan prinsip hunian yang layak bagi semua sebagai agenda habitat dunia. Peringatan tahun ini mengambil tema global ”Merencanakan Masa Depan Perkotaan”.

Djoko menekankan, perencanaan dan pembangunan perkotaan itu sekarang bertumpu pada kapasitas pemerintah daerah. Perencanaan ditekankan untuk pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan, yang diharapkan mampu merealisasikan agenda penting habitat di Indonesia pada 2015, meraih 350 kota tanpa kekumuhan.

Pada peringatan di Palembang itu hadir pula Menteri Negara Perumahan Rakyat Muhammad Yusuf Asy’ari dan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin. Di dalam peringatan itu digelar eksposisi perencanaan dan penanganan kawasan kumuh sembilan kota meliputi Palembang, Surakarta, Yogyakarta, Pekalongan, Surabaya, Blitar, Balikpapan, Bontang, dan Tarakan.

Yusuf Asy’ari mengemukakan, pembangunan permukiman layak huni di perkotaan seperti di Jakarta tak jarang juga menemui kegagalan. Dia mencontohkan, beberapa tahun sebelumnya direncanakan pembangunan rumah susun sederhana milik dengan jumlah pendaftar 660 perusahaan, tetapi sampai sekarang hanya terealisasi 35 tower.

”Pembangunan rumah susun sederhana sewa khusus untuk pekerja di Jakarta juga telah direncanakan sebanyak 350.000 unit, tetapi hingga sekarang tidak berjalan. Perusahaan-perusahaan tidak tertarik mengambil kesempatan untuk pembangunan permukiman layak bagi para pekerjanya,” kata Yusuf Asy’ari.

Kriteria kumuh

Direktur Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum Budi Yuwono menjelaskan, perkembangan kota-kota saat ini masih bersifat reaktif, belum bersifat antisipatif terhadap berbagai persoalan yang mungkin dihadapi warga.

Budi juga menyebutkan, pemerintah, seperti ditetapkan di dalam Deklarasi Vancouver, memiliki tanggung jawab terhadap penyediaan hunian layak bagi warga yang tidak mampu.

Menurut Budi, ada beberapa hal yang menjadi kriteria permukiman kumuh, di antaranya meliputi ukuran bangunan sangat sempit tidak memenuhi standar kesehatan. Kondisi bangunan berimpitan sehingga rawan kebakaran. Kurangnya suplai air bersih serta jaringan listrik tidak tertata dan tidak terpasang dengan baik.

Kriteria berikutnya, sistem drainasenya buruk. Jalan lingkungan juga tidak memadai. Kemudian, ketersediaan sarana mandi, cuci, dan kakus juga sangat terbatas.(ONI/NAW)

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...