Wednesday, October 21, 2009

Membangun Rumah, Menahan Gempa


Gempa berkekuatan 7,6 skala Richter di Padang Pariaman, Sumatera Barat, Rabu (30/9) sore, dan 7,0 SR di Jambi pada Kamis (1/10) pagi harusnya menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Bukan apa-apa, gempa itu telah merusakkan segalanya. Hanya dalam tempo sekejap, keindahan ranah Minang itu meredup.

Lebih dari 800 orang tewas, ribuan terluka, dan ribuan rumah ambruk, rata dengan tanah. Total kerugian ditaksir lebih dari Rp 2 triliun. Daerah dengan dampak terbesar adalah Kota Padang, Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman, dan Kabupaten Pasaman Barat.

Menurut pengamatan penulis setelah melihat langsung ke berbagai lokasi, konstruksi mayoritas rumah yang rusak ternyata tidak memenuhi syarat teknis (non-engineered housing).

Hancurnya rumah disebabkan beberapa hal. Di antaranya, konfigurasi rumah. Ketidakteraturan denah mengakibatkan gaya puntir dan konsentrasi tegangan sehingga menghancurkan bagian bangunan.

Selain itu, rumah yang roboh itu tidak memiliki kolom praktis, balok keliling (ring balk), dan sloof. Tanpa hal-hal itu, rumah mudah roboh atau ambles. Kalaupun ada, ukurannya tidak memenuhi syarat.

Ketidaksempurnaan sambungan mengakibatkan elemen-elemen struktur tidak terikat baik. Mutu material, seperti bata, kayu, pasir, dan bahan beton yang rendah, juga berdampak pada kualitas bangunan.

Jika kualitas pekerjaannya buruk—adukan beton salah, campuran adukan salah, penyusunan bata sembarangan, detail pembesian salah, sambungan kayu atau beton buruk, pengangkeran (anchoring) buruk, dan lain sebagainya, rumah gampang roboh. Kurangnya pemeliharaan juga memperlemah kekuatan bangunan.

Rumah ramah bencana

Berdasarkan fenomena tersebut, sudah saatnya kita berbenah. 

Departemen Kelautan dan Perikanan telah menginisiasi pembangunan rumah ramah bencana sejak 2006. Sampai 2008 telah dibangun sekitar 497 rumah di 18 kabupaten/kota. Rumah-rumah itu telah terbukti ampuh dan tetap kokoh berdiri walaupun digoyang gempa. Di Kota Pariaman dan Kabupaten Agam, misalnya, semua rumah itu mampu bertahan.

Demikian juga rumah ramah bencana yang dibangun di Kabupaten Pesisir Selatan. Rumah- rumah itu tahan terhadap gempa Bengkulu 7,4 SR, Rabu (12/9), dua tahun lalu.

Pada tahun 2009 sedang dibangun 2.236 unit rumah nelayan ramah bencana di 55 kabupaten/kota. Di Kabupaten Agam, dari 50 rumah yang sedang dibangun, 14 rumah dindingnya roboh digoyang gempa Padang Pariaman. Pasalnya, dinding baru dikerjakan setinggi 1 meter dan kondisinya masih basah. Kolom praktis belum dicor sehingga belum ada ikatan yang baik antara dinding dan kolom praktis.

Ada dua tipe rumah yang dikembangkan, yakni nonpanggung dan panggung. Bagi daerah di luar rayapan tsunami, rumah berbentuk nonpanggung. Adapun kawasan yang rawan tsunami dengan kedalaman genangan tsunami kurang dari 3 m dibuat rumah panggung.

Dibentuk panggung agar tsunami dapat leluasa lewat sehingga mengurangi beban horizontal pada struktur. Di hari biasa, lantai bawah dapat digunakan untuk santai, parkir, kios, memperbaiki jaring, menimbang ikan, dan lain sebagainya. Lantai-lantai di atasnya bisa dipakai untuk mengungsi saat tsunami.

Denah bangunan sederhana, simetris, satu kesatuan, dan seragam. Ukuran rumah rata-rata 27,5 meter persegi. Arah bangunan dibuat sedapat mungkin sejajar dengan arah penjalaran gelombang tsunami atau tegak lurus garis pantai agar tekanan air ke bangunan lebih kecil.

Sloof dipasang di atas seluruh panjang fondasi untuk mendukung dan meratakan beban tembok di atasnya dan meneruskannya ke fondasi di bawahnya. Sloof juga berfungsi mencegah naiknya air dari bawah ke atas tembok. Khusus untuk rumah panggung, sloof dipasang untuk menghubungkan tiap-tiang panggung dan dapat berfungsi sebagai lateral bracing (penguat horizontal) terhadap hantaman tsunami.

Kolom praktis dibuat untuk menguatkan tembok dan tiang pendukung, dipasang. Jarak maksimum 3 meter, pada pasangan tembok lurus dan pertemuan-pertemuan tembok. Balok keliling fungsinya untuk meratakan beban kuda-kuda dan rangka atap, rangka plafon ke dinding, atau kolom bawahnya.

Struktur rumah panggung diperhitungkan guna mengatasi benturan benda keras akibat kapal atau benda lain yang terlempar ke pantai. Tiang rumah panggung sebaiknya dari beton dan berbentuk silinder—agar bidang sentuhan dan benturan dengan puing yang hanyut sekecil mungkin.

Fondasi rumah panggung berbentuk telapak (foot plate) dan terhubung kuat dengan sloof dan tiang rumah. Fondasi diletakkan 1,5 meter di bawah permukaan tanah agar ketahanannya lebih baik, guna me- nahan gerusan akibat arus air deras. Tsunami dapat menggerus tanah hingga sedalam 1,5 meter.

Pola Bantul dan Klaten

Untuk membangun rumah tahan gempa dan tsunami secara efisien dan efektif, kita layak meniru kegiatan rekonstruksi rumah akibat gempa di Bantul dan Klaten, model Java Reconstruction Fund (JRF).

Sekitar 6.080 rumah tahan gempa dibuat JRF tanpa tender. Kontraktor tak dilibatkan. Masyarakat melaksanakan dan mengawasi pembangunan rumahnya secara langsung.

Setiap kepala keluarga yang rumahnya roboh atau rusak berat mendapat bantuan Rp 20 juta untuk membuat rumah tahan gempa 21 m-27 m. Sebagian dari mereka mengeluarkan uang pribadi untuk tambahan agar rumah lebih cantik dan elok.

Agar proses pembangunan berjalan sesuai standar rumah tahan gempa, mereka didampingi konsultan. Konsultan pendamping mengawasi pelaksanaan pembangunan rumah, mulai dari mutu material bangunan sampai teknik-teknik pembuatan rumah. Konsultan digaji JRF.

Kini, para korban itu sudah menikmati rumah-rumah tahan gempa tersebut. Hidup mereka jauh lebih tenang. Lebih dari itu, tak ada uang bantuan yang bocor karena berbagai hal.

SUBANDONO DIPOSAPTONO Penulis buku Hidup Akrab dengan GEMPA dan TSUNAMI
 
Selasa, 20 Oktober 2009 | 17:03 WIB
KOMPAS.com -  http://properti.kompas.com/read/xml/2009/10/20/17033787/membangun.rumah.menahan.gempa

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...