Wednesday, April 11, 2007

Acquring Bank

Melihat Proses dan Potensi Acquiring Bank*

Selain menjadi issuer kartu kredit, pertengahan tahun 2001 lalu Bank BNI telah resmi terjun sebagai acquirer. Aktivitas bisnis co-branding yang bertumpu pada transaksi on line ini rupanya cukup menarik minat kalangan bank untuk lebih mendiversifikasikan usaha-usahanya secara terpadu dan sinergis. Dalam dunia kartu kredit interaksi antara issuer dan acquirer begitu erat sekali yang mana issuer bank merupakan bank penerbit kartu kredit dimana para pemegang kartu ini dapat menarik uang tunai dan berbelanja pada berbagai macam merchant atau toko yang menyediakan alat pembayaran dengan kartu kredit baik yang berlogo visa atau master dan kemudian bank akan menerima pembayaran dari pemegang kartu melalui billing statement pada periode yang telah ditetapkan. Di lain pihak acquiring bank adalah bank yang melakukan bisnis dengan merchant atau toko yang menerima kartu kredit dan sebuah merchant harus memiliki suatu account di bank tersebut yang mana setiap hari merchant mencatat nilai penjualannya. Atau dengan kata lain acquirer membeli slip transaksi merchant dan meng-credit-kan nilai transaksi itu ke dalam account merchant yang ada di bank bersangkutan.

Proses Issuing dan Acquring Bank




Dalam menjalankan bisnis co-branding ini sebuah bank dapat berperan baik sebagai issuer dan acquirer atau memilih salah satu saja. Pertimbangan bank dalam memilih jalur bisnis mana yang dilakukan tentunya sudah mencakup kalkulasi ekonomis, komersial, utilitis bahkan kesiapan teknologi yang sangat berperan besar dalam menunjang keberhasilan usaha ini. Untuk lebih memahami alur bisnis issuer, di bawah ini disajikan diagram sebagai berikut :

Dari diagram di atas maka dapat dijelaskan seperti :

1. Customer membeli barang dan membawa barang tersebut ke kasir dan menyerahkan kartu kreditnya ke merchant tersebut.

2. Kasir merchant men-swipe kartu dan mentransfer informasi ke terminal POS (Point of Sale)

3. Terminal POS mendistribusikan informasi ke Prosesor melalui koneksi dial-up atau telepon (pada diagram di atas, diperlihatkan pula bahwa terminal POS mengambil alih peran dari Payment Gateway pada saat off line) .

4. Prosesor kemudian mengirim informasi berupa data customer kepada bank penerbit (issuing bank).

5. Issuing bank lalu mengirim hasil transaksi (disetujui atau ditolak) kepada prosesor.

6. Prosesor mengirimkan lagi hasil transaksi ke terminal POS.

7. Terminal POS akan menunjukkan kepada merchant apakah transaksi tersebut disetujui atau ditolak. Hal ini disebut authorization atau otorisasi.

8. Merchant memberitahukan kepada customer hasil dari transaksi tersebut. Bila disetujui, merchant akan meminta customer menandatangani slip dan menyerahkannya kepada customer.




Sementara itu alur kerja antara issuing dan acquiring bank merupakan satu kesatuan dan yang membedakan hanya terletak pada pemrosesan pembayaran yang dikenal dengan istilah settlement yang mana proses ini mentransfer sejumlah dana yang disahkan untuk membayar sejumlah nilai transaksi dari account bank kepada account merchant. Settlement ini hanya dilakukan oleh acquring bank dan juga dapat dilakukan pada semua transaksi on line atau pun off line. Untuk lebih memperjelas settlement ini maka di bawah ini ditunjukkan diagram sebagai berikut :

1. Acquiring bank meng-credit account merchant yang ada di bank tersebut.

2. Merchant meminta payment gateway untuk men-settle-kan (menyelesaikan) suatu transaksi.

3. Payment Gateway (berbentuk hardware dan BNI memiliki merk NEC) mengirim semua transaksi agar dapat di-settle pada prosesor.

4. Prosesor yang di BNI merupakan Card Link kemudian mengirim detail pembayaran kepada acquiring bank dari merchant bersangkutan.

5. Lalu pada saat yang bersamaan prosesor mendistribusikan detail pembayaran yang sudah di-settle (diselesaikan) kepada issuing bank dari pemegang kartu tersebut.

6. Issuing bank memasukkan biaya ke dalam billing statement atau tagihan pemegang kartu.

Dengan melihat alur transaksi belanja dan pembayaran pada 2 (dua) diagram di atas maka bagi customer berbelanja dengan menggunakan kartu kredit sungguh terasa mudah dan cepat. Semua proses dilakukan secara elektronis dan efektif. Sementara dari sisi bank penerbit kartu, kenyamanan dan kemudahan seperti ini tentu merupakan service yang harus terus menerus ditingkatkan disamping sebagai tugas dan tanggungjawab perusahaan penerbit kartu agar dapat bersaing secara sehat dengan para competitor lainnya. Di lain pihak, keuntungan merchant atau toko dengan menyediakan perangkat alat acquiring ini (seperti EDC – electronic data capture) adalah volume penjualan yang diharapkan semakin meningkat. Seorang customer biasanya lebih senang berbelanja dengan menggunakan kartu kredit daripada mengeluarkan uang secara tunai. Dari alur proses itu pun sebenarnya selain service yang langsung dirasakan oleh custormer ada suatu benefit berupa business profit yang dihasilkan baik oleh issuer maupun acquirer. Namun sejauh yang dibahas di sini adalah potensi benefit yang diraup oleh acquiring bank.

Potensi Acquiring Bank

Dalam bisnis acquiring bank ada business profit yang wajar diperoleh oleh acquirer dari merchant sebagai akibat transaksi itu. Profit ini berupa discount rate yang hanya diberlakukan pada berbagai jenis transaksi belanja yang disepakati bersama acquirer dan merchant. Discount rate ini biasanya bervariasi dari 4% sampai dengan 1 % dan penentuan besarnya rate ini tergantung dari jenis merchant. Sebagai contoh Ramayana Dept Store dikenakan 2,00% dari setiap transaksi belanja sebagai fee buat Bank BNI. Dengan demikian bila customer berbelanja sebesar Rp. 1.000.000 maka fee yang diraup oleh BNI sebesar 2,00% x Rp. 1.000.000 = Rp. 20.000 per transaksi. Secara teknis proses pengenaan fee ini dilakukan dengan melakukan settlement yang pada tanggal tertentu semua transaksi yang terjadi di mesin EDC milik BNI yang dipasang di merchant (baca Ramayana) itu dihitung totalnya dan kemudian dikalikan dengan discount rate tersebut. Sebagai contoh bila ada total transaksi yang di-settle pada tanggal 1 Desember 2002 sebesar Rp.20.000.000 maka fee atau discount yang diperoleh BNI adalah Rp.20.000.000 x 2,00% sebesar Rp.400.000 atau dengan kata lain pihak BNI hanya membayar sebesar Rp 19.600.000 kepada merchant. Lalu transaksi sebesar Rp 20 juta ini akan dikenakan lagi fee Visa/Master sebesar 1,6 % sehingga net discount rate yang diterima BNI adalah 0,04 % atau sebesar 0,04 % x Rp. 20 juta = Rp.80.000.

Perlu diketahui pula bahwa syarat untuk menjadi merchant BNI adalah merchant itu harus membuka account di bank BNI sehingga akan lebih mudah pihak BNI melakukan settlement dan proses pentransferan dana kepada merchant tersebut. (lihat diagram di atas). Untuk itu marilah kita sekarang melihat sampai sejauh mana potensi BNI dalam menggarap bisnis acquring ini. Data diambil selama tahun 2001 dan 2002.

Tabel 1. Tabel Settlement and Discount Performance in 2001

Year 2001

Month

Settlement

Discount

% Disc

Januari

-

N.A

Februari

-

N.A

Maret

-

N.A

April

-

N.A

Mei

-

N.A

Juni

-

N.A

Juli

100.001

-

0,00%

Agustus

39.141.244

-

0,00%

September

55.336.597

-

0,00%

Oktober

148.685.851

337.745

0,23%

November

2.001.530.510

39.010.114

1,95%

Desember

4.173.137.123

77.870.742

1,87%

Grand Total

6.417.931.326

117.218.601

1,83%

Pada tahun 2001 bank BNI baru melangkah masuk ke dalam bisnis ini dan terlihat pada tabel 1 di atas bahwa total settlement menunjukkan sales volume yang dihasilkan oleh merchant BNI, yakni sebesar Rp. 6,417 milyar sementara discount yang dikenakan sebesar Rp. 117,218 juta. Secara rata-rata total discount yang dihasilkan adalah 1,83 % dari sales volume. Relatif kecilnya discount rate itu disebabkan oleh belum begitu banyaknya merchant BNI yang terpasang dan juga sosialisasi co-branding BNI sebagai acquirer juga sedang berjalan pada tahun itu.

Kemudian di bawah ini disajikan data tahun 2002 sebagai berikut :

Tabel 1. Tabel Settlement and Discount Performance in 2002

Year 2002

Month

Settlement

Discount

% Disc

Januari

7.245.918.232

120.535.240

1,66%

Februari

6.611.560.594

119.787.280

1,81%

Maret

8.847.141.369

166.867.679

1,89%

April

13.110.806.541

245.300.837

1,87%

Mei

11.956.188.779

223.429.690

1,87%

Juni

12.347.173.046

234.201.951

1,90%

Juli

17.325.146.392

341.054.532

1,97%

Agustus

15.301.386.981

303.967.125

1,99%

September

18.701.300.957

374.305.086

2,00%

Oktober

20.575.154.938

416.954.588

2,03%

November

21.391.579.106

448.237.502

2,10%

Desember*

23.530.737.017

470.614.740

2,00%

Grand Total

176.944.093.952

3.465.256.250

1,96%

* asumsi settlement dan discount naik rata-rata sebesar 10 % dan 2 % dari bulan lalu

Pada tahun 2002 ini total sales volume ini nampak besar sekali dengan pertumbuhannya sebesar 2657 % dari tahun sebelumnya. Hal ini sangat wajar karena pada tahun 2001 BNI baru melangkah efektif menjadi pemain pada November 2001. Begitu pula dengan total discount yang dihasilkan tahun 2002 sebesar Rp. 3,465 milyar atau 1,96 % dari total sales volume itu. Pencapaian sales volume selama tahun 2002 sebesar 176,944 milyar ini relatif cukup kecil dan belum menampakkan hasil yang signifikan. Sementara itu dari segi cost (biaya) tentunya cukup besar sekali walaupun di sini tidak ditampilkan cost yang dikeluarkan namun kita dapat menggunakan asumsi-asumsi dimana harga 1 (satu) mesin EDC hampir mencapai Rp 10 juta ditambah biaya lain-lain maka secara kasar total biaya mesin EDC ini sampai akhir tahun 2002 ini saja bisa mencapai lebih dari Rp 10 milyar (diperkirakan terpasang 1000 mesin EDC).

Dilihat secara kuantitatif peluang BNI untuk meraup discount sebesar-besarnya sangat terbuka luas apalagi BNI yang baru bergerak sebagai acquirer dalam 2 tahun ini, jelas belum cukup untuk menghasilkan profit yang diharapkan stake holder apalagi discount rate yang ada harus dipotong lagi dengan fee sebesar 1,6 % buat Visa/Master. Secara internal perlu adanya terobosan dari manajemen untuk lebih memaksimalkan volume penjualan itu dengan berbagai cara antara lain :

a) Selain mengadakan kerjasama sebanyak-banyaknya dengan retailer yang telah dikenal juga perlu dijajaki merchant-merchant yang sering dikunjungi oleh customer seperti kafe-kafe, klub malam, bioskop, toko-toko penjual hand phone dan komputer.

b) Membuka acquiring bank melalui internet. Hal ini dapat menjadi cara baru terutama pada saat ini penggunaan internet begitu luas dan pangsa pasar dari pemegang kartu yang menggunakan internet dapat direbut. Namun sudah sepantasnya dipertimbangkan pula perangkat teknologi yang canggih untuk mencegah terjadinya fraud (kejahatan kartu kredit).

Secara eksternal perusahaan, iklim pereknomian domesik tentunya memberikan andil yang besar dalam masyarakat untuk membelanjakan penghasilannya. Harapan kita di tahun mendatang kondisi pereknomian semakin kondusif sehingga spending masyarakat melalui kartu kredit semakin besar.

Dari uraian-uraian di atas sekali lagi dapat disimpulkan bahwa mekanisme penggunaan kartu kredit terjadi dalam 3 (tiga) tahap yakni :

1. Authorization atau otorisasi adalah proses yang mana sebuah issuing bank dapat menyetujui (approve) atau menolak (decline) suatu transaksi.

2. Clearance adalah proses dimana suatu acquiring bank mengumpulkan data transaksi dari sebuah merchant dan mengirimkan data itu ke payment service provider (Visa atau Master) yang kemudian oleh Visa atau Master dikirim lagi ke issuing bank yang akan dipakai dan di-debet-kan ke account pemegang kartu.

3. Settlement adalah proses dimana Visa atau Master mengambil sebagian fee dari issuing bank. Proses ini juga berlaku bagi issuing bank ketika membayar sejumlah dana kepada merchant untuk melunasi sejumlah transaksi.

*Ditulis oleh

Leonard T. Panjaitan


Tuesday, April 10, 2007

Masalah Monopoli POS

Pos Indonesia vs Kurir Express : Monopoli vs Pasar Bebas

“Pertempuran” Klasik Dalam Bisnis Jasa Delivery di Indonesia

Oleh Leonard T. Panjaitan *)

“Berilah kami hak ekslusif”, begitulah kata Hana Suryana, Dirut PT Posindo ketika melakukan dengar pendapat dengan Komisi I DPR tanggal 10 September 2006 lalu. Hak eksklusif yang dimaksud oleh mantan Kawilpos IV Jakarta ini adalah pemberian layanan delivery surat sampai dengan berat 500 gram per pucuk. Ini berarti mencakup semua warkat pos, kartu pos milik pemerintah dan juga dokumen. Dalam kata lain, perkataan sang Dirut adalah dalam rangka monopoli bisnis pengantaran surat secara nasional. Posindo berkilah bahwa pemberian hak monopoli ini adalah suatu kompensasi dari peran Posindo sebagai penyedia jasa pengiriman surat sampai ke seluruh pelosok wilayah Indonesia.

Permintaan Posindo di atas ini diajukan dalam rangka revisi UU No.6 th 1984 tentang Pos yang sekarang sedang digodok di DPR. Menurut UU tersebut, pasal 4 ayat 1 berbunyi : “Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) [maksudnya Posindo-red] adalah satu-satunya badan yang bertugas menerima, membawa dan/atau menyampaikan surat, warkatpos, serta kartupos dengan memungut biaya”. Selain pasal ini, terdapat Surat Keputusan Menteri Parpostel No : KM.38/PT.102/MPPT-94 tentang Pengusahaan Jasa Titipan, yang mana pasal 13 ayat 2 berbunyi : Penyelenggara [Perusahaan jasa titipan-red] dilarang untuk menerima, membawa dan/atau menyampaikan kiriman berupa korespondensi bisnis yang bersifat aktual dan pribadi antara Bank dan nasabah, antara pengusaha dan kliennya, kecuali perjanjian kerjasama/kontrak, bill of lading, saham, akta, sertifikat, ijazah, skripsi, makalah, proposal dan laporan perusahaan.

Pada kesempatan yang terpisah, Asperindo [Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia] menyatakan keberatan dengan usulan PT. Pos Indonesia. Hal ini disebabkan monopoli dilarang dalam UU No. 5 th.1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hal senada juga dikatakan oleh Soy Pardede, salah satu anggota KPPU [Komisi Pengawas Persaingan Usaha], bahwa rencana hak monopoli ini tidak sejalan dengan UU anti monopoli dimaksud. Tanpa mengurangi rasa hormat, pemberian hak ini akan mengikis habis bisnis kurir swasta khususnya sektor persuratan, yang kemudian berujung pada melonjaknya angka pengangguran. Menghadapi banyaknya pihak-pihak yang menentang, Posindo tetap bersikeras bahwa hak monopoli ini perlu diterapkan mengingat lebih dari 90% negara lain di dunia menerapkan aturan main yang sama. Negara tetangga seperti Malaysia, Australia, Singapura menjamin hak ekslusif layanan mail delivery pada operator milik pemerintah ybs. Bahkan Pemerintah AS yang sekali pun “mahaguru” pasar bebas masih menjamin pengelolaan tunggal jasa mail delivery pada USPS [United States Postal Service].

Inilah dilemma yang saat ini sedang dihadapi oleh Posindo, operator publik perposan yang sejak tahun 1887 sudah bergabung dengan badan pos dunia, UPU [Universal Postal Union]. Bahkan ketika itu RI belum lahir alias masih bernama Hindia Belanda. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, secara historis, Posindo telah banyak memberikan kontribusi dalam pembangunan nasional khususnya sebagai distributor informasi-berita-uang mulai dari sabang sampai merauke. Oleh sebab itu apa dan bagaimana seharusnya kita menempatkan Posindo dalam konteks bisnis yang sehat dan kompetitif ?

Sekilas Tentang Manajemen Pos di Dunia

Sebelum kita menemukan sebuah win-win solution untuk permasalahan antara Posindo dengan kurir swasta maka alangkah baiknya kita melihat aturan main perposan di beberapa negara di dunia, antara lain AS, Eropa, Australia dan Malaysia.

1. Amerika Serikat

Di AS, USPS [United States Postal Service] yang adalah kantor pos resmi milik pemerintah. Bahkan USPS merupakan cabang eksekutif pemerintahan yang independen. USPS didirikan tahun 1775 dengan Postmaster General [semacam Dirut Posindo-red] pertama adalah mantan Presiden AS, Benjamin Franklin. USPS dijamin oleh seperangkat hukum yang bernama The Private Express Statutes [PES]. Undang-undang tersebut melegalisasi dan memberikan hak monopoli pengiriman surat melalui kantor Pos AS. Pengecualian diberikan untuk beberapa layanan delivery seperti : surat-surat berkategori extremely urgent, lawful private carriage, free delivery, special messenger service dan cargo delivery. Definisi surat menurut PES adalah pesan yang ditujukan secara spesifik kepada seseorang atau alamat dan dicatat di dalam atau pada suatu objek yang nyata. Namun ada beberapa eksepsi terhadap terminologi surat yang mana pihak kurir swasta di AS dapat melakukan mail delivery. Dalam hal ini istilahnya adalah material yang tidak dianggap sebagai surat, yakni telegrams, instrument keuangan seperti : check, draft, promissory notes, bonds, stock sertificate, securities, title policies, dan insurance policies. Di samping itu, pengecualian mencakup : surat khabar, buku-buku dan catalog yang terdiri dari 24 halaman atau lebih, buku telepon, stiker, tags, label, bahan-bahan yang berkaitan dengan computer, printer, stasioneri dan juga material yang berkaitan dengan fotografi, film, musik.

Sistem monopoli Pos AS dengan dukungan 700.000 pegawai telah memberikan pendapatan sebesar $ 69 miliar tahun 2004. Sistem ini melahirkan sejumlah kritik, salah satunya datang dari pemenang hadiah nobel bidang ekonomi Milton Friedman. Dia berujar, “tidak ada alasan apa pun untuk membenarkan monopoli publik seperti kantor Pos ini”. “Membawa surat secara teknis adalah tindakan monopoli dan pemerintah setidak-tidaknya telah melakukan perbuatan iblis tersebut”, lanjutnya. Oleh sebab itu, banyak ekonom dan pelaku pasar bebas menuntut pemerintah AS melepaskan monopoli dan membiarkan orang-orang masuk ke dalam bisnis jasa delivery. Menanggapi kritik seperti ini, Pos AS berkilah bahwa monopoli diperlukan untuk menyediakan jasa system perposan yang ekonomis dan dapat menjangkau seluruh wilayah termasuk area terpencil pada saat yang sama. Kalau sampai kurir swasta masuk dalam bisnis pengantaran maka Kantor Pos AS tidak akan bisa mengantar surat-surat milik masyarakat ke seluruh area dengan harga yang sama.

2. Australia

Sistem monopoli yang sama juga dianut oleh Australia melalui Australian Post [AP]. Monopoli dibatasi pada surat dengan berat sampai 250 gram per pucuk atau kurang dari 4 kali tarif rata-rata surat standar. Dengan menikmati monopolinya serta ditunjang dengan pegawai yang berjumlah ± 34.800 orang, sepanjang tahun 2005 lalu AP meraup pendapatan $ 4,32 miliar, profit sebesar $ 524,5 juta. Selain itu, sebesar $ 286 juta diberikan kepada pemerintah Australia sebagai dividen. Pendapatan sebesar itu merupukan output dari 4,97 miliar pucuk surat yang dikirim, atau rata-rata sebesar 20 juta pucuk per hari. Tingkat kesuksesan penyampaian surat rata-rata sebesar 94,9%.

3. Malaysia

Selain Australia dan AS, negara tetangga kita Malaysia juga menerapkan sistem monopoli Pos. Perangkat hukum yang bernama Postal Services Act 1991 ini mengatur Pos Malaysia Berhard sebagai operator resmi pemerintah untuk menyediakan layanan pengantaran surat. Surat didefinisikan sbb : setiap bentuk atau komunikasi tertulis atau dokumen lain yang ditujukan kepada seseorang tertentu atau ke alamat tertentu dan yang diantar selain menggunakan sarana elektronis; surat termasuk juga paket surat, paket bungkusan, sampul atau bahan-bahan yang mengandung bentuk komunikasi. Di lain pihak, kurir swasta diperbolehkan menjadi operator jasa delivery surat melalui ijin khusus yang dikeluarkan oleh menteri komunikasi Malaysia. Namun kurir swasta tak perlu meminta ijin untuk delivery dengan kategori antara lain : surat khabar, iklan, trade announcement, surat yang dikirim oleh karyawan dari si pengirim, surat yang diantar secara gratis, surat-surat dengan berat lebih dari 2 kg per pucuk. Hingga 01 September 2006 terdapat 109 kurir yang telah mendapat ijin dari pemerintah Malaysia.

4. Jerman

Sebaliknya dengan monopoli, beberapa negara di Eropa telah mengubah kebijakan mereka di sektor perposan dengan membuka pasar yang kompetitif. Hal ini mengakibatkan beberapa negara, manajemen Pos menganut sistem liberal, privatisasi atau setengah privatisasi. Sebagai contoh Jerman, Kantor Pos Jerman resmi milik pemerintah dulu bernama Deutsche Bundespost [DB] yang didirikan tahun 1974. Kantor pos ini lebih dikenal dengan sebutan Deutsche Post. Sampai tahun 1989 Deutsche Bundespost merupakan perusahaan negara. Melalui reformasi pada tanggal 1 Juli 1989, Bundespost dipecah menjadi 3 divisi, yakni : DB Postdienst untuk jasa pos, DB Telekom untuk jasa komunikasi dan DB Postbank untuk jasa bank pos. Baru pada tanggal 1 Januari 1995, kantor pos Jerman DB Postdienst diprivatisasi sehingga menjadi Deutsche Post AG. Singkat kata, Deutsche Post AG beroperasi melalui 4 divisi bisnis, salah satunya adalah menggunakan brand DHL yang mengurusi jasa express, kurir, parcel, logistik ke seluruh dunia. Saat ini Deutsche Post AG melayani kiriman rata-rata kiriman surat 70 juta pucuk per minggu hanya di Jerman. DHL kemudian diprivatisasi tahun 2000 dan sekarang telah menjelma menjadi salah satu provider logistik terbesar di dunia.

5. Belanda

Negara ini menganut sistem liberal dalam pengelolaan Pos. Secara historis, Ducth Post atau yang dilebih dikenal dengan nama PTT Post, adalah badan Pos milik pemerintah Belanda yang berdiri tahun 1799. Baru pada tanggal 1 Januari 1989, PTT Post dan PTT Telecom membentuk induk perusahaan baru dengan nama KPN. Pada bulan Desember 1996, PTT Post mengakuisisi TNT, sebuah perusahaan dari Australia. Pada tahun 1998 KPN dipecah menjadi 2, yakni PTT Post dan PTT Telecom. TNT dan PTT Post menjadi TNT Post Group [TPG]. Sementara PTT Telecom menjadi Royal KPN NV. PTT Post dan TNT kemudian menggunakan brand TPG dalam layanan bisnis jasa pengiriman surat. Pada tahun yang sama, TPG menjadi mail company pertama yang go public di bursa-bursa saham Eropa. Pada tanggal 1 Mei 2002, PTT Post kembali mengubah namanya menjadi TPG Post.

Goliath vs David : PT. Pos Indonesia vs Kurir swasta

Melihat sekilas Posindo dalam industri jasa pengiriman maka kita seakan melihat sosok Goliath dalam “pertempuran” dengan kurir di industri jasa delivery. Secara histrois, kantor pos di Indonesia telah hadir pada zaman pemerintah Hindia Belanda. Masuk menjadi anggota UPU [Universal Postal Union] pada tanggal 01 Mei 1877, kini Posindo telah menjelma menjadi sebuah entitas bisnis “raksasa” untuk jasa pengiriman di Tanah Air. Dengan fasilitas layanan pos yang menggurita, aktivitas Posindo telah hadir di 34.722 desa atas sekitar 54% dari seluruh desa di Indonesia. Jumlah kantor pos sebesar 3.876 unit, Pos keliling kota 290 unit, pos keliling desa 3.040 unit, rumah pos 378 unit, kantor pos desa 878 unit, agen pos 1.673 unit, agenpos desa 344 unit, agen pos koperasi 452 unit, dipo BPM 5.389 unit. Volume produksi selama tahun 2003 adalah sebanyak 388.991.000 kiriman pucuk surat, 3.145.000 kilo kiriman logistik. Dengan dukungan pegawai sekitar 25.982 orang, Posindo pada tahun 2005 menghasilkan pendapatan sebesar ± Rp. 2,167 triliun dan laba sebelum pajak ± Rp. 50 miliar.

Di lain pihak, perusahaan kurir swasta relatif baru 4 dekade berkecimpung di dunia bisnis di Tanah Air. Sebut saja KGP, Elteha, Tiki dan beberapa pemain lokal lainnya. Menurut Asperindo - berdiri 26 Maret 1986-, saat ini terdapat ± 500 perusahaan kurir swasta yang memegang ijin SIPJT [Surat Ijin Pengusahaan Jasa Titipan]. Dari jumlah tersebut, secara total terdapat 2.000 cabang yang tersebar di 27 Propinsi dengan jumlah pengawai mencapai 36.000 orang. Dengan data yang ada ini, kumpulan kurir swasta ini secara business network masih kalah dibandingkan dengan posindo. Sayang sekali penulis kesulitan mendapatkan data pangsa pasar atau volume produksi dari pihak kurir swasta. Sungguh aneh memang, asosiasi sebesar Asperindo sampai saat ini belum mampu mengakomodir data-data statistik pengiriman para anggotanya.

Kalau posindo diibaratkan Goliath maka mungkin kurir swasta adalah Daud. Kedua sosok entitas ini memiliki peran yang berbeda. Di satu sisi, kurir swasta adalah express company yang murni bergerak secara komersial alias menangguk profit dari jasa pengiriman. Dari pengalaman kurir swasta, mereka banyak bergerak di kota-kota besar yang terjangkau oleh penerbangan cargo. Sehingga otomatis, kurir swasta ikut mendapatkan “kue” dari jalur-jalur gemuk tersebut. Di sisi lain, posindo bermain secara ganda, yakni sebagai commercial dan pubic service entity. Sebagai entitas bisnis, posindo diwajibkan meraih laba sebesar mungkin sehingga dapat memberikan deviden kepada pemerintah. Namun ironisnya, posindo selama ini justru banyak bergerak di jalur kurus, yakni meliputi daerah-daerah kabupaten hingga desa-desa terpencil. Bahkan ada 1 [satu] kantor pos unit desa yang hanya mengirimkan tidak lebih dari 10 surat per bulan. Padahal investasi untuk membuat satu buah kantor tersebut mencapai ratusan juta rupiah. Ini lah fungsi posindo sebagai agen penyedia jasa layanan publik yang mau tidak mau, harus dilakoni oleh posindo. Dengan kata lain public service entity memakan operation cost yang cukup besar. Namun sebagai provider PSO [Public Service Obligation], tak bisa dipungkiri Posindo mendapatkan kucuran dana dari Pemerintah per tahun melalui penyertaan modal. Hal ini tertuang dalam PP No.65 tahun 2000. Penyertaan modal pemeritah dilakukan sebab entitas usaha ini harus melayani area-area yang secara ekonomis merugikan.

Solusi Bisnis Jasa Delivery : Lepaskan Hak Monopoli Posindo

Secara regulasi seperti yang disinggung diawal tulisan ini, Posindo adalah satu-satunya perusahaan negara yang memonopoli jasa pengiriman surat. Instrumen hukum sebenarnya sudah tersedia buat Posindo mulai dari UU hingga Surat Keputusan Menteri. Bahkan melalui perangkat-perangkat regulasi tersebut, pemerintah telah memproteksi Posindo khusus dalam pengantaran surat. Sebagai regulator, pemerintah justru memberikan fasilitas privilege kepada Posindo dengan penyertaan modal yang besarnya dapat mencapai Rp. 80 miliar di th 2003 lalu. Namun di satu sisi, terjadi ambiguitas pemerintah dalam menegakkan hukum yang berlaku. Hal ini nampak dari banyaknya perusahaan jasa kurir ekspress yang diberikan ijin melakukan jasa titipan surat. Dari sisi kurir, hal ini membuat mereka dapat masuk bermain di industri yang potensial ini. Selain dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang besar, masuknya kalangan kurir swasta jelas ikut meramaikan iklim persaingan yang sehat di bisnis ini. Sebagai informasi, diperkirakan perputaran uang untuk bisnis pengantaran secara total di tahun 2005 adalah mencapai Rp. 4 triliun. Betapa menggiurkan tentunya !

Dengan masuknya kalangan kurir swasta, kastemer dapat memilih provider jasa pengiriman yang terbaik. Kebanyakan kastemer tentunya lebih memilih kurir swasta. Hal ini disebabkan pengiriman yang cepat, harga murah, barang aman sampai di tujuan. Lambat-laun Posindo digerogoti secara eksternal. Hal ini membuat sang Goliath mulai limbung dan porsi kiriman surat untuk tujuan dalam kota mulai menunjukkan penurunan. Sampai saat ini penulis masih kesulitan mencari angka pasti dari Posindo namun berdasarkan pantauan singkat memang volume kiriman surat cenderung menurun di kota-kota besar propinsi.

Melalui berbagai upaya internal dan serta adanya business plan Posindo 2003-2007 lewat jargon transformasi bisnis 6 R-nya [repositioning, restructuring, rightsizing, reinventing, reengineering, dan resources], perlahan-lahan Posindo mulai kompetitif. Strategi aliansi bisnis dengan kalangan perbankan seperti BNI, BTN, Bank Muamalat membuat kinerja pos secara keseluruhan menunjukkan peningkatan. Tapi hal ini hanya membawa pengaruh bagi Posindo dari sisi bisnis keuangannya [finansial services]. Bisnis komunikasi yang selama ini menjadi lahan klasik Posindo mulai digerogoti oleh kurir swasta. Apalagi dengan masuknya beberapa operator swasta kelas dunia macam DHL, Fedex, TNT, UPS dengan mitra lokal mereka masing-masing, tentu membawa pengaruh bagi kinerja Posindo di masa mendatang. Jadi bagaimana dengan isu hangat revisi UU No.6. thn. 1984 ? Apakah tindakan Posindo untuk meminta monopoli merupakan perilaku manja atau wajar ? Apakah hal ini tidak bertentangan dengan UU Anti Monopoli ?

Sebagai pengguna jasa layanan Pos secara B to B atau secara corporate, penulis dapat merasakan perbedaan saat ini dengan beberapa tahun lalu. Ketika itu, Posindo cenderung lambat, tarif pengiriman surat jauh lebih mahal dengan kurir swasta, laporan status pengiriman sangat lama diterima kastemer, kurang responsif terhadap suara pelanggan [voice of customer]. Pokoknya semua serba lambat. Namun saat ini, layanan Posindo menunjukkan peningkatan, harga mulai bersaing dengan industri, laporan pengiriman surat mulai cepat, respon terhadap complaint relatif cepat meski beberapa kiriman surat masih kerap missing di alamat tujuan. Oleh sebab itu, Posindo harus merubah “kultur lambat” terutama di kantor-kantor pos di daerah, memperbaiki gap of knowledge dari para aparatur lapangan, dan menitikberatkan pada sisi critical to quality [CTQ].

Untuk menjembatani semua pemangku kepentingan baik dari sisi regulator maupun pelaku binis jasa pengiriman di tanah air maka ada baiknya hak monopoli Posindo dilepaskan saja namun berstatus milik pemerintah. Hal ini disebabkan antara lain :

a. law enforcement dari pihak pemerintah tidak maksimal sehingga sampai saat ini pemerintah masih bias dalam menegakkan aturan. Sebagai contoh apabila pemerintah konsisten, tentunya pemilik kurir swasta harus dihukum pidana selama 2 tahun atau denda Rp. 400 juta karena mereka telah mengambil alih peran Posindo yang dilarang dalam UU No.6 th. 1984.

b. Pemerintah sudah terlanjur memberikan ijin kepada kurir swasta sehingga apabila seluruh ijin itu dicabut maka efek social cost akan lebih besar seandainya hak monopoli dipaksakan. Pengganguran akan meningkat drastis, terjadi gejolak sosial.

c. Hak monopoli nantinya akan mengakibatkan terjadinya “sklerotic performance”, yakni semacam kinerja yang mengalami semacam pengapuran/pengeroposan. Dalam teori ekonomi, biasanya si pelaku monopoli tidak inovatif, boros, cenderung korupsi, miskin kreasi produk, seenaknya menaikkan harga sehingga konsumen tak berdaya.

d. Bercermin lah pada PT. Telkom. Dulu di era 70 dan 80-an, Posindo dan Telkom adalah semacam dua anak kembar. Sekarang PT. Telkom sudah meroket dan menjadi operator kelas dunia yang disegani oleh para pesaing. Saatnya buat Posindo mencontoh saudaranya itu, yang saat ini menjadi company brand di tanah air.

Biar bagaimana pun juga, Posindo tidak boleh cengeng, dengan network dan armada lapangan yang besar serta daya jelajah wilayah yang luas, Posindo seharusnya menyadari adanya blessing in disguise. Ini yang harusnya dieksplorasi seoptimal mungkin. Jangan manja dan kolokan ! Posindo sudah berumur 129 tahun. Sebagai orang yang kenyang makan asam garam dalam industri jasa pengiriman, sudah tidak relevan lagi Posindo minta hak ekslusif. Namun bicara tentang sejarah, kita harus mengakui dan mendukung Posindo sebagai number one public service operator yang melayani seluruh rute tanpa batas dengan harga yang ekonomis. Pengalaman dalam ratusan tahun bergelut di bidang ini tentu membuat Posindo memiliki positioning tersendiri. Inilah added value Posindo yang mungkin sulit disaingi oleh kurir swasta. Bukan kah bergabung dengan UPU dan menjadi bagian dari area coverage dunia maka Posindo adalah the only one flag carrier di bumi pertiwi ini ??? Di sini lah keunggulan Posindo yang sekaligus dapat mempromosikan national identity kita ke dunia internasional di bidang layanan kiriman surat dan barang.

Bagaimana pun juga Posindo tidak perlu berkecil hati, sebab suka atau tidak suka Posindo tetap dibutuhkan terutama oleh jutaan orang yang tinggal di kota-kota kecil dan pedesaan. Ini tentunya pangsa pasar yang perlu digarap secara serius. Oleh sebab itu pemerintah dan parlemen perlu bersikap adil dan bijaksana terhadap keberadaan Posindo mengingat fungsi sosial Posindo yang mutlak dijalankan. Penulis hanya mengusulkan bahwa hak mendapatkan penyertaan modal dari pemerintah RI ini lah yang tetap menjadi hak ekslusif PT. Pos Indonesia [Persero]. Dengan melepas hak monopoli, Posindo dituntut kematangannya bersaing dengan kalangan kurir swasta. So pasti, kesetaraan ini akan membuat peta persaingan industri jasa delivery menjadi semakin sehat.

Selain hal-hal tersebut di atas, tidak tertutup kemungkinan Posindo dapat melakukan privatisasi secara terbatas. Dengan privatisasi ini, Posindo diharapkan dapat merubah corporate image yang birokratis dan lambat. Selain itu, diharapkan kesejahteraan pegawai Posindo ikut meningkat. Dengan demikian sang Goliath menjadi pria yang perkasa dan kreatif dalam memanfaatkan celah bisnis jasa pengiriman yang masih terbuka lebar. Hal ini bisa dimulai dengan kreasi pada lini bisnis kargo. Potensi ini sangat besar mengingat Indonesia adalah negara kepulauan dan merupakan jalur transit barang-barang ekspor import manca negara. Seperti yang dilansir oleh Asperindo, Indonesia ternyata baru memiliki hub dan spoke kargo di Jakarta dan Surabaya. Posindo mungkin dapat menjadi pionir dalam mem-provide hub dan spoke sendiri di kota-kota lain terutama wilayah Timur. Hal ini bisa menjadi pintu gerbang distribusi barang ke wilayah Pasifik seperti Semenanjung Korea, Jepang, AS dan Australia. Di samping itu, di era digital sekarang ini, penyediaan IT sangat penting dan akan mendominasi transaksi bisnis delivery. Kastemer akan cepat puas apabila mereka dapat men-tracking status pengiriman barang secara on-line.

Dengan demikian diharapkan, Posindo dapat menjadi operator kelas dunia, bersaing dengan FedEx, TNT, UPS yang sudah mencapkan kukunya di sini. Jangan lupa, meski sudah berumur ratusan tahun, Posindo bahkan tak memiliki satu pun armada pesawat kargo milik sendiri. Ironis memang ! Bahkan RPX yang belum berumur 10 tahun sudah sanggup membeli sebuah pesawat kargo Airbus A 310.

“Untuk Anda Kami Ada”, inilah slogan sang merpati Pos kita. Semoga Posindo mampu mewujudkan slogan ini di masa kini dan mendatang. Kita tunggu.

Sumber :

1. UU No.6 th.1986 tentang POS.

2. PP No.65 th.2000 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara RI Ke Dalam Modal

Saham Perusahaan Perseroan [Persero] PT. Pos Indonesia.

3. UU No.5 th.1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat.

4. Postal Regulation and Principle UPU, 2004.

5. Postal Market Review and Outlook, 2004.

6. Understanding the Private Express Statutes, Publication 542, USPS, 1998.

7. Corporate Intent PT. Pos Indonesia [Persero], 2003.

8. www.wikipedia.org

9. www.asperindo.or.id

*) Pegawai Divisi BSK Unit Produksi dan Distribusi

[Pengguna layanan Pos dan Kurir]

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...