Showing posts with label Satwa. Show all posts
Showing posts with label Satwa. Show all posts

Monday, March 1, 2010

Deforestasi Mengancam Kehidupan Satwa Endemik

Hutan di Pulau Jawa terus terancam deforestasi. Hal ini dinilai akan mengancam kehidupan masyarakat dan kelestarian satwa endemik Jawa.

Berdasarkan data laju deforestasi (kerusakan hutan) Departemen Kehutanan periode 2003-2006, diketahui laju deforestasi di Pulau Jawa sebesar 2.500 hektar per tahun (0,2 persen) dari total deforestasi di Indonesia. Laju deforestasi di Indonesia sebesar 1,17 juta hektar per tahun.

Profauna mengajak masyarakat menyadari bahwa kondisi hutan di Pulau Jawa sangat terancam. ”Tanggung jawab pelestarian bukan hanya pada pemerintah, melainkan juga masyarakat secara luas,” kata juru kampanye hutan Profauna, Radius Nursidi, Senin (22/2) di Malang, Jawa Timur.

Terkait hal itu, Profauna menggelar unjuk rasa di Jalan Simpang Balapan, Kota Malang. Sejumlah anggota Profauna berdiri bagai pohon, berjajar menghadap jalan sambil membawa tulisan ”Save Forests in Java”.

”Rata-rata deforestasi hutan terjadi karena perambahan untuk ladang atau dijadikan lokasi pabrik. Hal ini menyebabkan bencana banjir atau tanah longsor, seperti yang terjadi di Pujon dan Cangar (Malang),” katanya.

Dampak buruk lain akibat kerusakan hutan adalah terancamnya kelestarian satwa endemik Jawa, misalnya lutung jawa (Trachypithecus auratus), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), macan tutul (Panthera pardus), elang jawa (Spizaetus bartelsi), dan merak (Pavo muticus), akibat hutan yang menjadi habitat mereka rusak.

Direktur Profauna Malang Rosek Nursahid mencontohkan, populasi lutung jawa di Malang Raya saja terus merosot. Sekitar 15 tahun lalu di sekitar Pegunungan Panderman, Batu, ditemukan lebih dari lima kelompok lutung jawa (setiap kelompok terdapat 5 hingga 25 ekor). Kini lutung jawa tidak lagi ditemukan.

Di lokasi lain, lereng timur Gunung Arjuno, 15 tahun lalu Rosek menemukan 7 hingga 10 kelompok lutung jawa. Sekarang jumlahnya tidak lebih dari dua kelompok.

Padahal, lutung jawa merupakan indikator tingkat kerusakan hutan. Lutung jawa dikenal sebagai binatang dengan sensitivitas tinggi, yang hanya bisa hidup di hutan dengan kondisi masih bagus, makanan masih banyak, minim aktivitas manusia, dan masih banyak pohon.

”Lutung jawa jenis binatang arboreal (hidup di atas pohon). Kalau vegetasi sudah rusak, lutung tidak akan bisa bertahan,” katanya. Lutung juga banyak ditangkap untuk dimakan sebagai obat peningkat stamina. (DIA)

Selasa, 23 Februari 2010 | 03:40 WIB

Tuesday, October 6, 2009

Kepunahan Masal Makin Dekat


Para ahli biologi memperkirakan dunia tengah menghadapi ancaman kepunahan keanekaragaman hayati secara masal. Dugaan ini muncul dari krisis keanekaragaman hayati yang semakin parah. Diperkirakan, saat ini sebanyak 50-150 spesies bumi punah setiap harinya.

"Perkiraan ini berdasar atas proyeksi laju kepunahan yang terjadi saat ini. Proyeksi tersebut menyebutkan Sekitar 50 persen dari sekitar 10 juta spesies yang ada saat ini diprediksi akan punah dalam kurun waktu 100 tahun ke depan. Laju kepunahan beragam spesies saat ini mencapai 40-400 kali lipat dari laju kepunahan 500 tahun yang lalu," kata Ign Pramana Yuda, Peneliti Teknobiologi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) dalam pidato ilmiah dies natalies ke-44 universitas tersebut di Yogyakarta, Jumat (2/10).

Laju kepunahan burung dan binatang menyusui antara tahun 1600-1975, misalnya, telah diperkirakan mencapai 5-50 kali lipat dari laju kepunahan sebelumnya. Tidak hanya spesies, kepunahan juga mengancam gen dan ekosistem di mana spesies tersebut tinggal.

Menurut Pramana, Indonesia adalah salah satu kawasan yang memiliki ancaman kepunahan terbesar. Ekosistem hutan tropis berkurang 10-20 juta hektar setiap tahunnya. Sebanyak 70 persen terumbu karang di Indonesia juga mengalami kerusakan sedang hingga berat. Kerusakan juga terjadi di sejumlah ekosistem khas di Indonesia lainnya seperti hutan bakau, sungai, danau, dan kawasan pertanian.

Pramana mengatakan, kepunahan massal kali ini terjadi dalam skala yang jauh lebih luas dan laju l ebih cepat dari lima kepunahan massal yang pernah terjadi di Bumi sebelumnya. Kepunahan massal yang terbaru terjadi sekitar 65 juta tahun lalu. Luasnya skala kepunahan massal kali ini bisa dilihat dari banyaknya spesies yang punah dan makin pendeknya usia kelestarian satu spesies. Saat ini usia spesies kurang dari 35 ribu tahun, padahal jutaan tahun yang lalu satu spesies bisa berusia 10 juta tahun.



JUMAT, 2 OKTOBER 2009 | 19:37 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Irene Sarwindaningrum



Rata-rata 10 Persen Spesies Terancam



Dampak perubahan iklim dan faktor lain diperkirakan saat ini mengancam rata-rata populasi 10 persen spesies yang ada di dunia. Pemerintah Australia melaporkan hal ini, Selasa (29/9), dari hasil studi melalui sensus. Ket.Foto:Spesies katak Phyllomedusa azurea yang ditemukan di Cerrado, Brazil sudah sangat langka. Kulitnya mengandung zat yang berkhasiat.

Secara rinci diperkirakan, spesies yang terancam punah tersebut meliputi 29,2 persen jenis amfibi, 20,8 persen jenis mamalia, 12,2 persen jenis burung, 4,8 persen jenis reptil, dan 4,1 persen jenis ikan.

Menteri Lingkungan Hidup Australia Peter Garrett menjelaskan, sebanyak 87 persen mamalia dan 93 persen reptil yang terdapat di Australia saat ini tidak terdapat di belahan dunia lain. Data itu menunjukkan bahwa keunikan tersendiri untuk dijaga dan diselamatkan dari ancaman kepunahan. (AFP/NAW)


RABU, 30 SEPTEMBER 2009 | 11:45 WIB


Wednesday, September 30, 2009

Gajah Sumatera Pun Perlu Ruang Hidup

Amukan puluhan ekor gajah di perbatasan Provinsi Jambi-Provinsi Riau menyebabkan dua penduduk tewas, Sabtu (26/9). Lima rumah warga dan puluhan hektar kebun sawit juga rusak. Warga ketakutan, dan Minggu malam sebagian mengungsi.

Berdasarkan pantauan Wildlife Protection Unit, kerja sama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi dan Frankfurt Zoological Society (FZS), kawanan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) sebelumnya terpantau kerap berada di areal eks hutan produksi PT Industries et Forest Asiatiques (IFA). Kawasan ini adalah habitat gajah karena topografinya landai dan menyimpan banyak sumber makanan.

Pemerintah lalu mengubah jalur pelintasan gajah yang terletak di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) itu menjadi lokasi transmigrasi dan perkebunan sawit sekitar 10 tahun lalu. Hampir semua jalur lintasan gajah berubah menjadi permukiman dan perkebunan.

Gajah sempat menghilang tiga tahun, kembali melintas ketika tanaman sawit mulai tumbuh. Gajah keluar menuju perbatasan hutan hingga ke perkebunan sawit. Pucuk-pucuk sawit muda milik warga yang tingginya belum sampai 2 meter menjadi santapan.

Kecerobohan pemerintah

Krismanko Padang, counterpart FZS-BKSDA Jambi, mengatakan, konflik satwa liar dengan manusia adalah buah dari kecerobohan pemerintah mengeluarkan izin pengelolaan hutan. Aspek ekologi dan kepentingan satwa kurang diperhatikan dalam menentukan peruntukan kawasan. Padahal, satwa pun membutuhkan ruang hidup.

”Untuk mencegah konflik berulang, pemerintah perlu mengalokasikan kawasan khusus untuk gajah sumatera. Masih ada hutan alam di Blok Punti Anai dan eks PT IFA, perbatasan Indragiri Hulu (Riau), dan Tebo (Jambi) yang kondisinya cocok untuk habitat gajah,” ujar Krismanko.

Jika area ini dikembangkan, dapat menjadi penghubung antara koridor TNBT dan Taman Nasional Tesso Nilo.

Korban manusia dan gajah dikhawatirkan terus berjatuhan jika konflik dibiarkan berlarut-larut. Gajah sumatera yang merupakan subspesies gajah asia ini hanya tinggal di Pulau Sumatera. Jumlahnya kini kurang dari 3.000 ekor. Sekitar 120 ekor di antaranya ada di blok Bukit Tigapuluh.

Sebagian besar gajah sumatera mati dibunuh manusia dengan cara diracun atau ditembak. Pembukaan hutan secara agresif untuk perkebunan juga telah merenggut 80 persen habitat gajah sumatera.

Direktur Jenderal Pengendalian Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Darori pernah mengingatkan pemerintah daerah dan BKSDA mengkaji lebih dalam upaya penanggulangan konflik gajah dan masyarakat. Baik Jambi maupun Riau termasuk daerah yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati. Satwa langka dan dilindungi membentuk habitat, seperti gajah sumatera dan harimau sumatera.

Menurut Darori, pemerintah daerah cenderung mengesampingkan keberadaan satwa liar dalam penataan kawasan.

Perlu ada penanganan konflik yang mempertimbangkan kebutuhan hidup satwa, setidaknya dengan mengembalikan area perlintasan satwa dilindungi sebagai kawasan konservasi. Satwa seperti gajah sumatera memerlukan ruang untuk tetap hidup. Jika habitatnya tidak diganggu, gajah tentu tak akan mencelakakan manusia.

(Irma Tambunan)

Selasa, 29 September 2009 | 04:15 WIB 
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/29/0415240/gajah.sumatera.pun.perlu.ruang.hidup

Thursday, September 24, 2009

Ikan Pari Raksasa Kejutkan Wisatawan Tanjung Bira


Wisatawan di Pantai Tanjung Bira, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, dikagetkan dengan munculnya seekor ikan pari raksasa jenis Manta Ray (Manta birostris), Rabu (23/9). 

Ikan yang memiliki dua sirip kepala berbentuk tanduk dengan panjang mencapai enam meter ini diperkirakan memiliki berat ratusan kilogram.

Kehadiran ikan pari ini menjadi pusat perhatian dan objek photo pengunjung yang sedang menikmati masa liburan di pantai yang terkenal dengan keindahan pasir putihnya itu.

Ratusan wisatawan domestik dan mancanegara yang sedang berlibur ke daerah itu terlihat bergantian mengabadikan peristiwa yang langka tersebut.

Ikan pari itu ditemukan terperangkap di jaring milik seorang nelayan Bulukumba bernama Mohammad (41) yang diperkirakan ditemukan di sekitar kawasan wisata Pantai Bira.

Mohammad sempat mengalami kesulitan saat akan menarik hasil tangkapannya itu ke bibir pantai, meski dia telah dibantu oleh puluhan pengunjung Pantai Tanjung Bira dengan menarik menggunakan tali.

Nelayan dan rekannya berencana akan melepaskan kembali ikan pari tersebut ke laut lepas, namun ikan yang ditemukan itu dalam kondisi lemah dan banyak luka.

Akhirnya, para nelayan ini terpaksa memutuskan memotong daging ikan tersebut menjadi beberapa bagian untuk dijual.

Menurut nelayan setempat, dalam beberapa tahun terakhir ini jarang sekali nelayan yang berhasil menangkap ikan pari berukuran raksasa di sekitar Pantai Tanjung Bira.

Tanjung Bira sendiri terletak sekitar 40 kilometer dari pusat Kabupaten Bulukumba, atau sekitar 200 km dari Kota Makassar.

Perjalanan dari Kota Makassar ke Kota Bulukumba dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan umum berupa mobil Kijang, Panther atau Innova.

Kawasan wisata Pantai Tanjung Bira dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti restoran, penginapan, vila, bungalow, dan hotel.

Wednesday, September 16, 2009

Ikan Purba Coelacanth Ditemukan Lagi

Peneliti Indonesia dan peneliti dari Fukushima Aquamarine, Jepang, Senin siang tadi menemukan keberadaan ikan purba coelacanth di perairan Talise, Minahasa Utara, pada kedalaman 155 meter. Ikan ditemukan pada hari pertama tim yang bekerjasama beberapa kali itu memulai penelitiannya menggunakan wahana bawah laut tanpa awak (remotely operated vehicle/ROV). Ket.Foto: Tim peneliti dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan (BRKP-DKP) meneliti sampel ilmiah ikan purba Coelacanth (Latimeria menadoensis) di Sea World Indonesia, Ancol, Jakarta, Selasa (11/8).

Pada siarannya melalui surat elektronik Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FPIK) Universitas Sam Ratulangi Prof Alex Masengi mengatakan, perjumpaan itu terjadi pada jam pertama penelitian di hari pertama. "Ikan dalam keadaan hidup dan tetap bebas di habitatnya," tulisnya.

Kelompok peneliti yang sama, 27 Juni 2007 lalu, juga menemukan ikan coelacanth di perairan Malalayang, Teluk Manado, Sulawesi Utara. Pada kedalaman 190 meter. Secara teori, habitat ikan coelacanth berada pada kedalamanan lebih dari 180 meter dengan suhu maksimal 18 derajat Celsius.

Ikan coelacanth hanya hidup di kawasan perairan barat Afrika Selatan dan kawasan timur Indonesia. Ikan coelacanth juga disebut sebagai ikan purba, karena diduga sudah ada sejak era Devonian sekitar 380 juta tahun silam. Dan, hingga kini bentuknya tidak berubah.

Para ahli sepakat, berbagai keunikan yang ada pada coelacanth yang belum terungkap merupakan kunci tabir evolusi makhluk bawah air. Karenanya, banyak ahli ikan dunia berlomba-lomba meneliti dan mengoleksi ikan tersebut, termasuk Jepang.

Senin, 14 September 2009 | 20:55 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Gesit Ariyanto
KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/14/20554485/ikan.purba.coelacanth.ditemukan.lagi

Tuesday, September 8, 2009

Spesies Baru, Tikus Sepanjang Hampir Satu Meter

Beberapa ilmuwan dan pembuat film telah menemukan spesies baru tikus raksasa jauh di pedalaman hutan Papua Niugini, bersama dengan hewan lain yang selama ini tak pernah disaksikan.

Tikus berbulu tebal itu adalah pemakan sayuran. Tubuhnya sangat besar, dengan panjang 82 sentimeter dan berat 1,5 kilogram. Ukurannya membuat hewan tersebut termasuk spesies tikus yang paling besar dari yang pernah diketahui di seluruh dunia.

Hewan tersebut ditemukan tim ekspedisi yang membuat film untuk program BBC, Lost Land of the Volcano. Namun, tikus besar tersebut hanyalah satu dari puluhan hewan baru yang ditemukan di bawah gunung berapi Bosavi. Tim itu juga menemukan sejumlah laba-laba asing dan 20 spesies serangga.

"Yang menjadi pusat perhatian meliputi bunglon, satu katak bertaring, dan satu jenis ikan yang disebut ’Henamo Grunter’. Diberi nama demikian karena makhluk tersebut mengeluarkan suara mendengkur dari kantung udara saat berenang," kata Steve Greenwood, produser serial Lost Land of the Volcano. Adapun katak bertaring adalah satu-satunya dari 16 katak baru yang ditemukan.

Masuk ke pedalaman menuju tempat penemuan hewan-hewan tadi terbilang sulit. Tim tersebut menghabiskan waktu beberapa pekan untuk mendaki puncak setinggi 2.800 meter dengan bantuan pencari jejak lokal. Namun, begitu sampai di sana, sangat mudah untuk menemukan makhluk-makhluk tadi.

Selasa, 8 September 2009 | 13:31 WIB

BEIJING, KOMPAS.com —  http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/08/1331047/spesies.baru.tikus.sepanjang.hampir.satu.meter

Kasihan, Penyu Sumbar Terancam Punah

Populasi penyu Sumatra Barat (Sumbar) makin terancam akibat makin maraknya aktivitas perdagangan telur penyu di Kota Padang.

"Dari data kami beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan kenaikan perdagangan telur penyu dari 28 butir per hari pada 2004, menjadi 77 butir per hari," kata Ketua Pusat Data dan Informasi Penyu Sumbar, Harfiandri Damanhuri, di Padang, Selasa (8/9).

Seharusnya ada sosialisasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Provinsi Sumbar, kepada para pedagang telur penyu, terutama yang berada di kawasan pantai Padang.

Sumbar merupakan satu dari 15 provinsi di Indonesia yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi penyu. Penyu termasuk salah satu hewan terancam punah, yang dilindungi dari perdagangan sesuai Konvensi Perdagangan Internasional Satwa dan Flora Liar (CITES).

Konvensi itu telah diratifikasi Indonesia pada 1978 dan memasukkan penyu dalam Apendix I, yaitu kategori harus dilindungi dan tidak bisa diperdagangkan. Menurut Harfiandri, harus ada upaya untuk memutus mata rantai perdagangan telur penyu di Sumbar.

Ini, dapat dilakukan dengan membuat peraturan yang melarang penjualan telur penyu, membatasi jumlah telur yang diperdagangkan, dan mencarikan alternatif usaha masyarakat, yang selama ini bergerak di bidang perdagangan telur penyu. "Tindakan ini harus dilakukan DKP," kata Harfiandri.

Di Sumbar terdapat sebanyak 31 pulau kecil sebagai tempat pendaratan penyu. Pulau-pulau itu di antaranya, Kerabak Gadang, dan Pulau Gosong di Pesisir Selatan, Pulau Pieh di Pariaman, dan Pulau telur di Pasaman.

Sementara Pemprov Sumbar melalui DKP telah menetapkan dua pulau kecil sebagai konservasi penyu yakni Pulau Garabak Ketek dan Pulau Penyu di Pesisir Selatan.

Di pulau-pulau itu, penangkaran penyu dilakukan. Hanya saja, aktivitas perdagangan juga terus meningkat. "Kalau terus dibiarkan, populasi penyu di Sumbar bisa punah," katanya.

Di Sumbar terdapat tiga jenis penyu, yakni penyu hijau (Chelonia mydas), belimbing, dan sisik.

Selasa, 8 September 2009 | 15:48 WIB

PADANG, KOMPAS.com -  http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/08/15484437/kasihan.penyu.sumbar.terancam.punah

Sunday, August 23, 2009

Populasi Orangutan Terancam Sangat Serius

Populasi orangutan Sumatra (Pongo abelii) di Jambi dalam ancaman serius seiring rencana pembukaan hutan tanaman industri (HTI) seluas lebih dari 30.000 hektare di areal eks hutan produksi (HP) PT Dalek Hutani Esa, di Dusun Semarantihan, Desa Suo-suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi.


Pimpinan Program Frankfurt Zoological Society (FZS) Peter Pratje, Minggu (23/8), mengatakan, lokasi pembukaan HTI itu sangat dekat dengan stasiun reintroduksi orangutan Sumatra yang telah merehabilitasi 20-an ekor orangutan per tahunnya.

"Pembukaan HTI secara langsung akan menghilangkan seluruh potensi sumber daya alam yang ada. Langkah untuk melestarikan kembali populasi orangutan Sumatra yang terus berkembang dalam delapan tahun ini juga akan sia-sia," kata Peter.

Selama ini pihaknya telah melepasliarkan 108 orangutan di areal pelepasan seluas 200 hektare pada pinggiran Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), namun, karena daerah TNBT curam, orangutan lebih memilih untuk tinggal di areal eks hutan produksi.

Hutan produksi juga memiliki banyak tanaman buah-buahan yang menjadi sumber makanan utama orangutan Sumatera. Tanaman buah ini kemungkinan sengaja tidak ditebang karena pengelola hutan produksi hanya mengambil jenis pohon-pohon keras.

FZS juga memantau setidaknya ada tiga ekor bayi orangutan yang dilahirkan oleh induk yang telah dilepasliarkan, ini menandakan hutan produksi tersebut merupakan lokasi yang cocok bagi primata endemik Sumatera ini.

Orangutan juga termasuk dalam hewan yang mempunyai kemampuan reproduksi rendah. Orangutan betina hanya mampu melahirkan tiga ekor anak selama masa hidupnya.

Peter menegaskan, pembukaan HTI tidak hanya mengancam keberadaan orangutan Sumatera tetapi juga TNBT secara langsung, sebab perambahan, pemanfaatan kayu, serta sumber makanan bagi satwa liar banyak berada di areal hutan produksi.

"Komunitas suku terasing seperti warga Talang Mamak dan Suku Anak Dalam juga akan pindah ke TNBT bila hutan produksi ini dialihfungsikan menjadi HTI," kata Peter.

Manajer Stasiun Reintroduksi Orangutan Sumatra, Julius Paolo Siregar mengatakan, orangutan Sumatra termasuk dalam kategori satwa yang terancam punah, diperkirakan jumlah orangutan Sumatera saat ini antara 6.000-7.000 ekor saja.

"Dibandingkan dengan orangutan Kalimantan, orangutan Sumatra lebih rentan hidupnya. Bukan saja jumlahnya yang sedikit tetapi luas wilayah habitatnya juga sangat sedikit," ujar Julius.

Rencananya FZS akan kembali melepasliarkan sekitar 10 orangutan pada Oktober 2009, dan pada bulan ini hingga Januari 2010 diperkirakan sumber makanan dalam hutan sudah cukup seiring masa musim buah.

MINGGU, 23 AGUSTUS 2009 | 20:37 WIB

JAMBI, KOMPAS.com - http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/23/20371491/populasi.orangutan.terancam.sangat.serius

Saturday, August 22, 2009

Cacing Laut "Pengebom" Bercahaya


Ini bukan cacing biasa, tetapi cacing istimewa yang mengeluarkan cahaya warna-warni pada kedalaman laut lebih dari 3.500 meter.

Para peneliti dari Scripps Institution of Oceanography di Universitas California, San Diego, AS, menemukan keberadaannya ribuan kaki di bawah permukaan laut sisi barat dan timur laut Samudra Pasifik. Mereka menyebut kelompok cacing spesies baru Swima bombiviridis itu sebagai ”pengebom hijau”.

Ket Foto 1: Panah menunjukkan bom-bom hijau yang dilepaskan cacing untuk menghindari pemangsa. Ket Foto 2: Seekor pengebom hijau, Swima bombiviridis, yang diambil dari Monterey Bay, California. Beberapa bom hijaunya terlihat di tubuh cacing itu.

Bukan hanya tubuh yang bercahaya, tetapi bagian tubuh yang dilepaskannya pun hijau kemilau. Cacing berukuran 3/4 hingga 4 inci itu melepaskan bagian tubuhnya yang berwarna satu atau dua kali. Diameter bagian tubuh yang terlepas atau ”bom” itu antara 1-2 milimeter.

Para peneliti menginterpretasikannya sebagai mekanisme menghindari mangsa. Pasalnya, cacing-cacing itu langsung berenang menjauh seusai melepaskan ”bom”, yang bisa tergantikan lagi itu.

Ketua tim peneliti, Karen Osborn, menyatakan, cacing itu sebenarnya bukan binatang langka. Sering kali, melalui wahana bawah laut yang dikendalikan jarak jauh, mereka menemukan koloni serupa. Keunikannya, cara mengambil sampel di habitatnya itulah yang tidak mudah.

Kini tim peneliti memiliki sejumlah cacing di laboratorium. Salah satunya untuk mengetahui kandungan bahan kimia yang menghasilkan tubuh bercahaya.

Temuan itu, lanjut Osborn, menjelaskan seberapa banyak informasi yang dunia ketahui tentang organisme dan keanekaragaman laut dalam. (GSA)

SABTU, 22 AGUSTUS 2009 | 08:24 WIB

SAN DIEGO, KOMPAS.com - http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/22/0824318/cacing.laut.pengebom.bercahaya

Saturday, July 25, 2009

Menjaga Lingkungan Melestarikan Kupu-kupu

Kupu-kupu yang lucu kemana engkau terbang hilir mudik mencari bunga-bunga yang kembang berayu-ayun pada tangkai yang lemah tidakkah sayapmu merasa lelah?

Generasi yang kini berusia di atas 30 tahun tentu akrab dan dibesarkan dengan lagu indah gubahan Ibu Soed itu. Mereka juga masih banyak yang mengenali binatang bersayap indah ini. Tapi bagaimana dengan anak-anak masa kini?

“Lihat, kupu-kupu itu besar sekali, ada mata besar di sayap bawahnya!” seru seorang anak kala ia berakhir pekan di Bodogol, Lido, Jawa Barat, awal 2004. Padahal, yang ditunjuknya itu ngengat besar. Artinya, anak-anak masa kini masih ada (mungkin juga banyak) yang tidak mengenal kupu-kupu.

Atas situasi macam itulah, “Saya ingin anak-anak sekarang, terutama yang tinggal di perkotaan dan lahan sempit, yang kurang berkesempatan menikmati keindahan alam, kembali peka, bisa mengenal dan menikmati makhluk kecil ciptaan Tuhan yang merupakan bagian penting dari sistem saling ketergantungan hidup di alam,” papar Sumarto Kepala Balai Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, maka dibuatkanlah rumah kupu-kupu hidup di Pulau Pramuka. Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Kupu-kupu itu didatangkan dan seluruh pelosok Nusantara.

Masih untuk mengenal kupu-kupu, Peggie Djunianti, M.SC., PHD., peneliti Zoologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Bogor, penyusun buku Butterflies of Bogor Botanic Garden mengajak kita ke Kebun Raya Bogor. Di kebun yang berada di tengah Kota Hujan itu kita bisa menikmati keindahan sekitar 96 jenis kupu-kupu yang bebas berterbangan.

Sayangnya, hal yang sebaliknya terjadi di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Maros, Sulawesi Selatan. Saat ini. Kawasan yang dulu dikenal sebagai surganya kupu-kupu sudah rusak oleh ulah manusia. Dulu, sebelum rusak, di kawasan ini ada sekitar 250 jenis kupu-kupu. Wajar kalau Alfred Russel Wallace (1823 - 1913) dalam The Malay Archipelago menjulukinya sebagai Kerajaan Kupu-kupu. Situasinya mirip dengan daerah singgah kupu-kupu raja di benua Amerika. Tapi kini hanya tersisa separo dari jumlah jenisnya. Penyebabnya mudah ditebak. Habitatnya rusak akibat kegiatan manusia memanfaatkan lahan dan kekayaan alam bukit kanrs tanpa kendalit.

Rupanya, banyak pula orang yang tidak memahami bahwa rusaknya alam akan mengganggu populasi kupu-kupu. Padahal kupu-kupu termasuk penting perannya dalam ekosistem. Bersama serangga lain dan kelelawar, kupu-kupu membantu penyerbukan tanaman. Kita bisa menyantap aneka buah lezat karena jasa mereka. Sebaliknya, kelangsungan hidup kupu-kupu di alam pun tergantung tumbuhan inangnya. Ada kupu-kupu yang bisa meletakkan telurnya di beberapa jenis tanaman. Ada pula yang sangat pemilih, hanya di pohon tertentu. Jadi, hilangnya suatu jenis kupu-kupu bisa menjadi penanda kesehatan lingkungan.

Ancaman lain juga datang dan perburuan liar terhadap kupu-kupu yang tak terkendali untuk dijadikan cendera mata.

Soal pelestarian kupu-kupu, ada kisah menarik dari Victor Mason, pria kelahiran Sussex, Inggris yang kini menetap di Ubud, Bali. Sejak kecil, ia telah berburu kupu-kupu hidup dan mengawetkannya. Kegemaran ini berlanjut kala menetap di Ubud sejak 1969. Sampai suatu hari di akhir 1970-an ia akhirnya berhenti mengorbankan kupu-kupu demi kesenangan sendiri. Itu terjadi karena ada seekor kupu-kupu belang jingga hitam (Dryadula phaetusa), yang hendak ia awetkan dan ia kira sudah mati, melepaskan diri dari tempat pengawetan dan terbang dengan jarum di tubuhnya! Sejak itu Victor menggantung jaring kupu-kupunya dan puas dengan mengamati mereka terbang bebas di alam.

Kalau saja banyak orang yang tidak mengganggu kehidupan kupu-kupu baik secara langsung maupun tidak, tentulah kupu-kupu aka tetap terbang di sekitan kita. Anak-anak pun tak akan asing dengan datwa bersayap yang indah ini.

(Christ)

Sumber: Intisari Januari 2007

Saturday, July 18, 2009

KONSERVASI SATWA 40 Ekor Kura-kura Berkepala Ular Dilepas

Sebanyak 40 kura-kura berkepala ular dilepas Menteri Kehutanan MS Kaban ke habitat semula di Danau Peto, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, Kamis (16/7). Satwa langka endemik di Kabupaten Rote Ndao ini sudah terancam punah.

Penurunan populasi kura-kura leher ular ini karena pengambilan langsung dari alam guna memenuhi permintaan perdagangan internasional, terutama di pasar Eropa, Amerika, dan Jepang, pengurangan lahan basah, kebutuhan konsumsi, serta tak adanya perlindungan bagi habitat..

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam NTT Luhut Sihombing di Kupang, Jumat (17/7), mengatakan, pelepasan kura-kura berkepala ular (Chelodina mccordi) ini merupakan upaya mempertahankan kura-kura langka ini di NTT.

”Kura-kura leher ular Pulau Rote awalnya dianggap satu spesies dengan kura-kura leher New Guinea (Chelodina novaguinea). Namun, nama mccordi diberikan oleh William P Mccordi, peneliti dari New York, 1994. Tahun 2004 kura-kura ini masuk kategori satwa terlindungi karena populasinya terus menurun,” kata Sihombing.

Kura-kura ini memiliki bentuk unik karena kecil, leher dan kepala menyerupai ular, serta sisi karapas melengkung ke atas. Panjang leher sama dengan karapas sehingga untuk menyembunyikan kepala, lehernya harus dilipat melingkari karapas.

Kura-kura yang dilepas Menteri Kehutanan di habitat semula adalah hasil penangkaran dari PT Alam Nusantara Jayatama—sebelumnya diambil dari Danau Peto. Lokasi pelepasan kura-kura ini adalah Danau Peto, Dusun Peto, Desa Maubesi, Kecamatan Rote Tengah, Rote Ndao.

Sampai tahun 1970-an masyarakat setempat meyakini kura-kura ini sebagai perwujudan arwah leluhur di Danau Peto dan tidak pernah diperdagangkan. Namun, memasuki 1980-an, kura-kura ini mulai diperdagangkan oleh para pedagang yang datang dari luar Rote.

Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Kehutanan NTT Hengki Manesi mengatakan, kura-kura ini dijual di luar negeri dengan harga sampai 15.000 dollar AS per ekor, sementara di Rote Ndao hanya Rp 30.000-Rp 50.000 per ekor.(KOR)

Kupang, Kompas -Sabtu, 18 Juli 2009 | 04:57 WIB
Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/18/04573334/40.ekor.kura-kura.berkepala.ular.dilepas

Elang Hitam dan Elang Bido Diduga Telah Punah

LEBAK, KOMPAS.com — Elang hitam (Ictinaetus malayensis) dan elang bido (Spilornis cheela) telah lama menghilang dari habitatnya di hutan di Kabupaten Lebak, Banten, diduga karena menyusutnya makanan dan perburuan manusia.

"Sampai saat ini, kami belum menemukan jejak kedua spesies burung elang itu," kata Kepala Seksi Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lebak Nurly Edlinar.

Nurly mengatakan, elang hitam dan elang ular bido selama ini berkembang di hutan di Kabupaten Lebak termasuk di kawasan hutan konservasi hutan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS).

Namun, keberadaan burung yang dilindungi itu sekarang sudah tidak tampak lagi di habitatnya. Tahun 1980-an, spesies elang hitam dan elang ular bido masih bisa ditemukan di hutan di Lebak.

Terkait menghilangnya elang hitam dan elang ular bido itu, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lebak berencana memantau habitat dan keberadaan satwa langka tersebut.

Elang hitam dan elang ular bido kemungkinan juga bermigrasi ke daerah lain, seperti ke kawasan Gunung Salak, Kabupaten Bogor; dan Sukabumi, Jawa Barat.

"Kami akan berkoordinasi dengan Balai TNGHS Sukabumi," katanya.

Burung elang hitam memiliki warna bulu hitam dan mulutnya berwarna keemasan, sedangkan elang ular bido berwarna hitam dengan garis putih di ujung belakang sayap.

"Burung elang saat terbang sambil mengeluarkan suara seperti 'kiiiik...' panjang dan diakhiri dengan penekanan nada," katanya.

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pencinta fauna dan flora Provinsi Banten mengaku prihatin jika sampai elang hitam dan elang ular bido punah. Burung itu pada 1970-an masih banyak ditemukan di hutan-hutan di Kabupaten Lebak dan Pandeglang.

"Sejak saya kecil masih melihat elang hitam terbang di areal persawahan," ujar Uce Kelana, Sekretaris LSM Wahana Banten.

SELASA, 14 JULI 2009 | 15:23 WIB

Hati-hati, Penyu Makin Langka

BADUNG, KOMPAS.com - LSM Pro Fauna Indonesia (PFI) membentangkan spanduk sepanjang 100 meter di Pantai Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Kamis (16/7), dalam rangka kampanye perlindungan dan pelestarian fauna penyu.

Ketua PFI, Rosek Nursahid mengungkapkan, pemasangan spanduk bertuliskan "Only 1 From 1.000 Will Survive", intinya mengingatkan bahwa dari sekitar seribu tukik atau anak penyu, yang bisa bertahan hidup sampai dewasa rata-rata hanya satu ekor.

"Selain memasang spanduk kami juga membagikan ribuan stiker kepada wisatawan di pantai Kuta yang berisi ajakan untuk melestarikan penyu yang kini makin langka," tandas Rosek.

Dia yang didampingi panitia kampanye juga melakukan pelepasan 150 ekor tukik ke laut melalui Pantai Kuta. Selama ini, konservasi telur penyu hingga menetas dilakukan Satgas Pantai Kuta yang dinilainya peduli terhadap pelestarian penyu di Bali.

Sementara Koordinator Pro Fauna Bali, I Wayan Wiradnyana menerangkan, ancaman utama penyu saat ini adalah tindakan penangkapan secara ilegal untuk diperdagangkan.

Hal tersebut menurutnya merupakan perbuatan kriminal karena penyu termasuk satwa yang dilindungi berdasarkan UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

"Perdagangan penyu secara ilegal diancam hukuman lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 100juta. Kini penyu di Bali terancam punah akibat perburuan oleh manusia," tandasnya.

Dikatakan, pada sejumlah daerah ada penyu yang sudah benar-benar punah, karena terus diburu untuk diambil dagingnya lalu dijual.

Berdasarkan hasil berbagai penelitian, dari rata-rata 1.000 ekor anak penyu, umumnya hanya satu ekor yang bisa bertahan hidup hingga dewasa. Akibatnya penyu termasuk satwa yang sulit berkembang, dan perlu dilestarikan.

KAMIS, 16 JULI 2009 | 16:03 WIB

Friday, July 17, 2009

Enam Burung Sumatera Terancam Punah untuk Prangko

Jakarta, Kompas - Sebanyak enam jenis burung yang terancam punah dengan habitat hutan tropis di Sumatera dijadikan gambar prangko baru. Prangko senilai Rp 2.500 yang diterbitkan masing-masing 300.000 lembar tersebut akan diluncurkan pada Rabu (15/7) ini oleh Menteri Kehutanan MS Kaban berkaitan kegiatan Perayaan Keragaman Burung di Indonesia.

”Kita turut prihatin, pembukaan hutan terus berlangsung dan mengancam kepunahan burung-burung,” kata Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Darori pada konferensi pers, Selasa di Jakarta.

Darori didampingi Direktur Pos pada Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Komunikasi dan Informatika Ingrid R Pandjaitan serta Ketua Dewan Burung Indonesia Ani Mardiastuti.

Dari keenam jenis burung tersebut, menurut Lembaga Konservasi Dunia (International Union for Conservation of Nature/IUCN), dinyatakan mendekati terancam punah (near threatened) meliputi luntur kasumba (Harpactes kasumba), julang jambul hitam (Aceros corrugatus), cekakak hutan melayu (Actenoides concretus), dan kuau raja (Argusianus argus).

Dua jenis burung berikutnya, mentok rimba (Cairina scutulata) dan bangau storm (Ciconia storm), dinyatakan IUCN dalam status genting (endangered).

”Jenis burung mentok rimba itu dulu ada di Jawa, tetapi sekarang sulit ditemui lagi. begitu pula untuk bangau storm,” kata Ani Mardiastuti.

Di samping kiri adalah Gbr. Burung Cekakak hutan melayu (Actenoides concretus)

Ingrid Pandjaitan mengungkapkan, penerbitan prangko dengan gambar enam burung terancam punah yang saat ini masih bisa ditemui di Sumatera itu selain menjadi alat tukar bayar, juga menjadi wahana edukasi.

Darori mengatakan, penyelamatan jenis burung yang terancam punah dapat dilakukan dengan mencontoh perlakuan pada burung jalak bali (Leucopsar rothschildi) yang ditangkap, kemudian ditangkarkan.

Sekitar 10 tahun yang lalu, sulit sekali ditemukan jalak bali ini, tetapi dengan bantuan berbagai lembaga swadaya masyarakat, sekarang dapat dikembangbiakkan. ”Baru-baru ini data di Yokohama, Jepang, saja ada 300 ekor jalak bali,” kata Darori.

Darori mengatakan, kepunahan satwa, seperti harimau jawa, akibat larangan penangkapannya untuk ditangkarkan. Kebijakan seperti ini semestinya dihindarkan. (NAW)

Rabu, 15 Juli 2009 | 04:32 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/15/04324469/enam.burung.sumatera.terancam.punah..untuk.prangko

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...