Showing posts with label Green Life Style. Show all posts
Showing posts with label Green Life Style. Show all posts

Thursday, October 8, 2009

Kompas Gramedia Bangun "Green Building"


Kota Jakarta dalam waktu dekat ini memiliki green building atau gedung ramah lingkungan di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Pembangunan gedung ramah lingkungan ini merupakan upaya mengurangi pemanasan global dan mendukung penerapan peraturan daerah (Perda) DKI Jakarta tentang konsep green building bagi gedung pemerintah dan swasta. Ket.Foto:Presiden Direktur Kompas Gramedia Jakob Oetama saat ground breaking Allianz Tower di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (5/7) pagi. Gedung berlantai 28 di atas lahan 7.000 m2 ini merupakan green building di Jakarta.

Chairman Kelompok Kompas Gramedia Jakob Oetama dalam sambutannya saat acara ground breaking atau pembuatan tiang bor uji (test pile) di kawasan Kuningan, Jaksel, hari Minggu (5/7) siang, mengungkapkan, kepedulian terhadap isu pemanasan global (global warming) perlu diwujudkan dalam tindakan nyata, baik dalam skala kecil yaitu tindakan sehari-hari maupun dalam skala besar, seperti membangun gedung berkonsep hijau yang ramah lingkungan.

Hadir antara lain CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo, CEO Allianz Jens Reisch dan Volker Miss, Komisaris Utama PT Medialand International Harli Ojong, Direktur PT Medialand International Teddy Surianto, Direktur Procon Hendra Hartono, dan sejumlah undangan lainnya.

Gedung berkonsep hijau yang dinamakan Allianz Tower ini dibangun PT Medialand, perusahaan properti grup Kompas Gramedia, dijadwalkan beroperasi tahun 2010 dan diharapkan menjadi ikon baru bagi gedung perkantoran di Jakarta.

"Sejauh ini masyarakat mengenal Kompas sebagai perusahaan media massa dengan grup majalah Intisari, Bobo, serta toko buku Gramedia dan penerbit PT Gramedia. Tapi masyarakat belum mengenal usaha di bidang real estate yaitu Medialand. Gedung ini dibangun Medialand yang kini tidak setengah-setengah terjun dalam bidang properti. Grup Kompas Gramedia ingin menjadi pionir membangun gedung yang ramah lingkungan," kata Jakob Oetama.

Gedung berlantai 28 yang dibangun di atas lahan seluas 7.000 meter persegi ini mengacu pada kepedulian terhadap kondisi alam dan bumi tempat manusia hidup. Untuk itu, kata Jakob, perlu diciptakan bangunan yang hemat dalam penggunaan energi dan air sehingga gedung itu ramah lingkungan. "Arsitektur Allianz Tower ini memiliki nilai seni dan filosofi tinggi serta fungsional. Gedung ini memadukan nilai seni gedung dan fungsi, dan ramah terhadap alam," ungkap Jakob Oetama.

Perbandingan lahan dalam gedung ini, sebanyak 70 persen merupakan lahan hijau, dan 30 persen merupakan bangunan. Gedung ini betul-betul ramah lingkungan karena semua aspek bangunan dibuat dengan konsep green building, seperti desain, gedung yang langsing dan pipih, penggunaan teknologi kaca gedung, resapan air, pemanfaatan air hujan, proses daur ulang, penggunaan lampu hingga jenis tanaman yang menghiasi gedung dipilih yang ramah lingkungan.

Jakob Oetama mengatakan, Allianz Tower diibaratkan sebuah buku yang terbuka, yang terdiri dari dua bagian. Bangunan ini memiliki filosofi tentang sebuah sumber atau jendela pengetahuan dan pentingnya suatu informasi, terutama informasi yang prosesnya sangat dinamis, tetapi harus disajikan secara berimbang. Visualisasi lembaran surat kabar, baris, dan kolom yang akrab kita lihat di sebuah media, dituangkan dalam desain bangunan dalam bentuk horizontal dan vertikal sehingga karakter yang muncul dari gedung ini menggambarkan kedinamisan.

Dirut PT Medialand International Teddy Surianto menjelaskan, Allianz Tower sudah memiliki penyewa utama yaitu Allianz, perusahaan asuransi dan jasa finansial terkemuka asal Jerman yang memiliki 77 kantor perwakilan di seluruh dunia.

Desain ramah lingkungan

Sebagai ikon baru bagi kawasan segi tiga emas Jakarta, Allianz Tower berpegang teguh pada pandangan-pandangan desain mengenai environmental sustainable design (ESD). Gedung ini didesain langsing dan pipih di bagian timur dan barat sehingga mengurangi terik cahaya dan panas matahari yang langsung menimpa bagian-bagian ini.

Allianz Tower hanya sedikit membangun basement sehingga 70 persen dari seluruh luas tanah digunakan sebagai kawasan resapan air hujan. Hal ini sangat penting sebagai usaha penanggulangan banjir di Kota Jakarta. Cara ini dibarengi dengan penerapan daur ulang air hujan dan air kotor sehingga mengurangi jumlah air yang dibuang melalui saluran kota ke sungai-sungai. Tanah di gedung ini akan dimaksimalkan sebagai resapan alami. Pemprov DKI Jakarta menganjurkan daerah resapan sekitar 30 persen.

Allianz Tower menggunakan sistem double glazing untuk kulit luar gedung, yaitu kombinasi antara 8 mm reflective glass dan 6 mm clear glass, yang dipasang dengan 12 mm ruang hampa udara di antaranya. Kulit luar double glazing ini akan mengurangi masuknya panas ke dalam gedung secara drastis dan menghilangkan polusi suara dari luar gedung.

Teddy juga mengungkapkan, konsep daur ulang dipakai untuk menghargai lingkungan. Rain water harvesting atau penampungan air hujan pada atap gedung disimpan di tangki-tangki air di basement untuk dipakai bersama air yang sudah didaur ulang dari sewage treatment plant.

Sebanyak 80 persen air kotor akan didaur ulang menjadi air bersih untuk menyirami tanaman, flushing water untuk toilet dan pemakaian air di cooling tower untuk mendinginkan ruang-ruang kerja melalui sistem water cooled air conditioning. Sebanyak 20 persen air kotor harus dibuang ke waduk limbah DKI Jakarta yang sudah ada di utara gedung ini.

Teddy menambahkan, gedung ini menggunakan lampu-lampu LED dan TS fluorescence yang hemat energi, terutama di sebagian besar ruang perkantoran.

Untuk memudahkan resapan di bawah jalan mobil, di sekeliling gedung disediakan cobble stone untuk paving. Secara energi, parkiran semacam ini tidak membutuhkan ventilasi secara mekanikal dan lampu di siang hari. Ini lebih hemat dibandingkan parkiran basement.

Upaya menjadikan gedung ini ramah lingkungan, diwujudkan pula dengan penanaman pohon-pohon besar yang rindang di taman-taman sekeliling gedung. Ini tentu saja akan mengurangi panas matahari dan temperatur di area sekeliling gedung. "Ini menjadi teras teduh bagi karyawan untuk makan dan beristirahat di bawah pepohonan di luar gedung," katanya.

Minggu, 5 Juli 2009 | 16:46 WIB Laporan wartawan KOMPAS R Adhi Kusumaputra

JAKARTA, KOMPAS.com —  http://properti.kompas.com/read/xml/2009/07/05/16462780/kompas.gramedia.bangun.green.building

Rame-Rame Bangun Mal Berwawasan Lingkungan


TAK cuma pemukiman yang mengusung konsep kawasan berwawasan lingkungan hijau alias green property. Mal atau pusat perbelanjaan pun mulai menerapkan konsep serupa. Sebab, mereka yakin, cara ini merupakan salah satu strategi pemasaran untuk memikat calon konsumen.

Manajer Divisi Pelayanan Riset Colliers International Indonesia Ferry Salanto mengatakan, pengembang memang harus bisa menawarkan konsep mal yang berbeda. Misalnya, dengan mengusung konsep hijau. “Green mall bisa juga menarik perhatian pasar,” katanya.

Contoh pusat perbelanjaan yang menerapkan konsep tersebut adalah Orchard Walk Mall yang berada di Bogor Nirwana Residence. Kenapa? “Sebab, letak mal di bawah kaki Gunung Salak yang memang daerahnya masih hijau,” ujar Manajer Pemasaran Bogor Nirwana Residence, Atang Wiharna.

Mengaku bulan lantaran latah memakai konsep green mall, Atang bilang, pihaknya menggunakan konsep hijau pada Orchard Walk Mall yang berdiri di atas lahan seluas 2,3 hektare untuk menyesuaikan dengan lokasi sekitar.

Karena itu, Orchard Walk Mall merupakan pusat perbelanjaan yang punya bangunan terbuka atau beken dengan sebutan eco mall. Sebab, tidak menggunakan penyejuk udara atau air conditioner (AC) seperti mal pada umumnya. “Kami menyediakan banyak ruang terbuka untuk sirkulasi udara,” kata Atang.

Di timur Jakarta, siap berdiri Indonesia Green Mall yang juga mengusung konsep berwawasan lingkungan. Pusat perbelanjaan ini akan hadir di Sentra Niaga TMII. Rencananya, mal tersebut akan dibangun di atas lahan dengan luas 6,7 hektare.

Hanya 20% dari area itu yang akan berupa bangunan, sisanya merupakan kawasan hijau yang ditumbuhi aneka pohon dan tumbuhan. Indonesia Green Mall bakal memakai konsep terbuka. Tak semua fasilitas ada di dalam gedung.

PT Alam Sutera Realty Tbk juga berencana membangun pusat belanja dengan konsep green mall bernama Alam Sutera Mall. Lokasinya, di tengah-tengah perumahan Alam Sutera yang berada di Serpong, Tangerang. “Mal maupun perumahan kami punya konsep green property,” ujar Hendra Kurniawan, Sekretaris Perusahaan Alam Sutera.

Alam Sutera Mall terintegrasi dengan taman bertema (theme park). Mal tersebut digadang bakal menjadi mal pertama di daerah Tangerang yang memadukan kawasan perbelanjaan dengan hiburan sekaligus, dalam maupun luar ruangan. Luas bangunan mal dirancang sekitar 7 hektare. Sedangkan tamannya seluas 15,75 hektare. Pembangunannya bakal melahap biaya sebanyak Rp 450 miliar. (KONTAN/Hans Henricus Benedictus/Lamgiat Siringoringo)

Senin, 5 Oktober 2009 | 07:35 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -  http://properti.kompas.com/read/xml/2009/10/05/07352269/rame-rame.bangun.mal.berwawasan.lingkungan

"Green Building", Mengejar Piala atau Untung?


Isyu green building terus bergulir kencang seiring dengan menghebatnya akibat-akibat dari pemanasan global. Kesadaran umat manusia untuk jauh lebih bersahabat dengan alam juga menjadi faktor menentukan. Ket.Foto: ilustrasi hutan atap.

Besarnya kesadaran merawat lingkungan di antaranya tampak dari gegap gempitanya upaya melahirkan gedung-gedung atau rumah ramah lingkungan. Dari sini lalu muncul industri yang berlomba menghasilkan material rumah atau gedung yang sangat ramah lingkungan, dengan harga "lebih baik".

Riuhnya pengembang berkomitmen tinggi pada lingkungan terutama tampak pada negara-negara yang secara ekonomi lebih maju. Di Amerika Serikat, sejumlah kota bahkan sudah memberi imbuhan wajib bagi pengembang untuk mengkonstruksikan bangunannya berdasarkan pendekatan ramah lingkungan. Datanglah ke beberapa kota, di antaranya di Washington, Chicago, dan Boston, kemudian lihatlah bagaimana gedung-gedung peraih langit bersahabat dengan lingkungan.

Di sejumlah teras bangunan tampak menyembul tanaman aneka jenis. Lalu di lantai tertentu dibuat lantai dengan konstruksi lebih kokoh agar di situ dapat dijadikan areal tanaman dengan pohon lima meter. Datanglah pula ke beberapa kota lain seperti Wellington, Melbourne, Tokyo, Yokohama, Kyoto, Kopenhagen, Wina, Singapura dan sebagainya.

Menariknya, ramah lingkungan tidak lagi diidentikkan dengan menanam sebanyak mungkin pohon dan rumput termasuk di atap dan teras-teras gedung. Tidak pula selalu dicirikan dengan membuat sumur resapan, dan kolam penampung air hujan.

Ramah lingkungan ditunjukkan dengan mereduksi penggunaan listrik hingga 40 persen. Caranya menggunakan bohlam yang lebih mahal tetapi tahan lama dan wattnya amat kecil. Atau mesin pendingin AC yang akan menurunkan kerakusan AC menyedot energi.

Handy, seorang konsultan green building menuturkan, lampu hemat energi, satu buah per satu titik rata-rata hanya 0.02 watt LED. Kalau satu rangkaian lampu mempunyai 48 buah titik, maka seluruhnya hanya terdiri atas 0,96 watt. Kalau dihitung dengan sederhana, maka satu rangkaian lampu senilai Rp 1,8 juta. Ini jelas sangat mahal, dibanding bohlam dengan pancaran sinar yang sama (50 watt), yang hanya senilai Rp 150.000.

Anda hendak memilih yang mana, lampu 0,96 watt tetapi harga per buahnya Rp 1,8 juta, atau 50 watt dengan harga Rp 150.000. Para pencinta lingkungan tentu akan memilih yang Rp 1,8 juta, sebab memang awalnya mahal, tetapi pada ujungnya menjadi hemat sebab energi listrik yang terpakai hanya 0,96 watt. Ini tidak genap satu watt, bandingkan dengan bohlam 50 watt. Aspek lain, tutur Handy, bohlam dengan total 0,96 watt itu biasanya tahan lama, bisa sampai tiga tahan. Nah, lebih suka yang mana?

Hemat energi, yang berarti ramah lingkungan, diwujudkan pula dengan menggunakan jenis kaca yang benar-benar low energy (LE). Sinar matahari yang masuk melalui kaca itu dihambat ruang yang ditutup kaca tidak terlampau panas. Jika pakai AC, cukup dengan watt kecil. Tetapi, nah ini logikanya, makin canggih kaca LE itu menolak panas, makin besar rupiah yang perlu dikeluarkan.

Selain kaca low energy, ada juga kaca jenis lain, yakni kaca dengan teknologi double glass. Tapi, itu tadi, harganya dua setengah kali harga kaca biasa. Kalau beli hanya selembar atau dua lembar kaca sih masih bisa ditoleransi. Tetapi kalau dalam satu gedung dibutuhkan 2.000 lembar kaca sejenis, lumayan juga anggaran yang mesti dikeluarkan. Inilah yang membuat para pengembang berpikir keras merealisasikannya.

Bersamaan dengan munculnya gerakan tersebut, muncul sejumlah lembaga yang mengamati siapa saja yang memberi perhatian pada masalah ramah lingkungan, siapa saja yang membangun gedung yang memberi award platinum, gold plus, gold dan sertifikat hijau.

Lembaga-lembaga nirlaba tersebut menariknya sangat berwibawa, dan karena itu suaranya sangat didengar. Di Indonesia, lembaga-lembaga seperti itu mulai muncul dan pada saatnya akan memberi sertifikasi dan penghargaan platinum, emas plus dan emas kepada pengembang, arsitek, konsultan dan media massa yang mengembangkan konsep green building.

Gede Widiade, eksekutif properti di Indonesia menyatakan, suka tidak suka, pada saatnya Indonesia harus masuk ke panggung hemat energi. Para pengembang diajak mengembangkan green building sebagai wujud tanggung jawab terhadap lingkungan.

Gede menjelaskan, memang ada, pertanyaan klasik seperti ini, pengembang berbisnis untuk meraih untung sebesar-besarnya, bukan mencari piala atau medali platinum. Kalau membangun gedung yang benar-benar ramah lingkungan, ongkos bangunnya bisa lebih mahal 20 persen - 30 persen dari gedung biasa. Persentase 20 - 30 persen itu tentu sangat signifikan. Pengembang bukannya untung, tetapi malah rugi.

"Repotnya begitu gedung selesai, clan dijual ke konsumen, yang akhirnya menikmati gedung serba ramah lingkungan itu adalah pembeli, bukan pengembang. Pikiran seperti inilah yang kerap hidup di kalangan pengembang Indonesia. Kita tidak bisa menyalahkan mereka," ujar Gede.

Ada baiknya, tutur Gede, pemerintah mencari solusi bijak untuk memberi insentif dan bonus kepada para pengembang agar mereka bersemangat membangun green building. Jika itu bisa dilakukan, pertanyaan apakah membangun untuk meraih laba atau dapat piala akan lenyap disapu angin. (Abun Sanda)

Kamis, 8 Oktober 2009 | 09:09 WIB

JAKARTA, KOMPAS.COM -  http://properti.kompas.com/read/xml/2009/10/08/09090482/quotgreen.buildingquot.mengejar.piala.atau.untung

Wednesday, September 16, 2009

Indomaret Gunakan Kantong Plastik Ramah Lingkungan

INDOMARET kini memakai kantong plastik ramah lingkungan. Penggunaannya diluncurkan Marketing Director PT Indomarco Prismatama, Laurensius Tirta Widjaja pada hari Jum’at (4/09/09) di Jakarta. Pemakaian kantong oxi degradable (oxium) yang mudah terurai ini telah dimulai Indomaret sejak Juli 2009 secara bertahap. Hal ini menjadi komitmen Indomaret dalam menjaga kelestarian lingkungan dan mendukung program pemerintah tentang pengelolaan sampah. Kantong plastik oxium terbuat dari campuran zat degradable sehingga plastik akan hancur dalam 2 tahun.

Periode kehancurannya tergantung dari panas dan kelembaban penyimpanannya. Indomaret sebagai tempat yang menjual kebutuhan pokok dan sehari-hari memakai plastik rata-rata 48 kg per toko atau 173.952 kg per bulan dengan total 3.624 toko. Kebutuhan yang terus meningkat membuat penggantian kantong plastik konvensional dengan degradable tidak dapat ditunda-tunda, meski biayanya lebih besar dan masih ada kendala pasokan pabrik (INO).

Sumber: http://www.wargahijau.org/index.php?option=com_content&view=article&id=633:indomaret-gunakan-kantong-plastik-ramah-lingkungan&catid=6:green-corporation&Itemid=11

Saturday, September 12, 2009

Burung Angsa Dari Sampah Bungkus Kopi

Sebagian besar peminum kopi mungkin akan membuang wadahnya begitu selesai memindahkan isinya ke dalam cangkir atau gelas. Ket.Foto: Oom Rosliawati dengan karya seninya dari sampah bungkus kopi

Tapi, bagi orang kreatif, bungkus kopi itu mungkin lebih berharga dibandingkan dengan isinya. Bahan yang sekilas tampak tak berguna itu bisa juga menjadi bahan untuk hasil karya berupa hiasan di rumah atau karya lain yang indah. Itulah yang dilakukan Oom Rosliawati, warga Jalan Encep Kartawirya, Citeureup, Cimahi Utara. Di usianya yang sudah mencapai 59 tahun, ia masih terus mengembangkan karyanya dengan bahan bungkus kopi.

Lebih dari 20 model sudah diciptakannya. Mulai model tas tangan yang biasa digunakan sebagai wadah kosmetik dan keperluan perempuan, wadah buah, dompet, sarung telepon seluler, hingga vas bunga.

Namun, yang paling menarik adalah model angsa yang dipajang di rak televisi rumahnya. Model itu menghabiskan 1.827 bungkus kopi dan dikerjakan selama dua pekan.

"Angsa itu bisa mengambang di atas air karena saya beri dandang plastik di bawahnya," ujar istri dari Anang Hendi (61).

Menurut Oom, satu karya angsanya pernah dibeli istri Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf, Sandy Dede Yusuf, pada suatu pameran. Beberapa karyanya dipajang di ruang tengah rumahnya.

Saat ini Oom sedang mengerjakan topi koboi dari bungkus kopi untuk dipajang pada pameran ulang tahun Kota Cimahi, Juni mendatang.

Perempuan yang juga Ketua RT 05 Kampung Sukareja ini mengaku, karya ini berawal dari keprihatinannya saat sampah Leuwigajah tidak bisa digunakan lagi.

Oom sudah sejak kelas 6 SD suka melipat-lipat wadah bekas rokok. Setelah berhenti cukup lama, akhirnya setahun lalu, ibu tiga anak ini memulai kembali hobinya untuk melipat-lipat bungkus kopi yang sudah tidak terpakai. Bahkan, kertas koran pun dijadikan rak buku.

"Saya tidak biasa mematok harganya. Terkadang sungkan untuk membuka harga karena hanya terbuat dari bungkus kopi. Biar konsumen saja, mau beli berapa saja silakan," ujarnya.

Demi mempercepat waktu pembuatan, ia dibantu tiga ibu-ibu tetangganya. "Sebenarnya pengen buka galeri di depan rumah, tetapi saya butuh bantuan banyak ibu-ibu," jelasnya. (agung yulianto wibowo)

Friday, September 11, 2009

Potensi Stok Karbon Terancam

Pemekaran Wilayah Rambah Hutan

Pemekaran daerah mengancam stok karbon nasional sekaligus mengurangi potensi hutan yang dapat dijual di bawah skema reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi lahan.

Meski dibutuhkan, hingga kini Indonesia belum memiliki data stok karbon dan emisi karbon nasional. ”Harus hati-hati karena banyak hal, termasuk faktor pemekaran wilayah, yang perlu hutan,” kata Ketua Kelompok Kerja Perubahan Iklim Departemen Kehutanan, sekaligus Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Kemitraan, Wandojo Siswanto di Jakarta, Kamis (10/9).

Hingga kini isu pemekaran daerah masih dimunculkan sejumlah daerah. Sebagian merupakan daerah dengan mayoritas wilayah berupa hutan, yang harus dibuka untuk infrastruktur.

Semasa hidup, pohon merupakan penyimpan karbon—salah satu unsur pembentuk gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Penebangan pohon, apalagi dalam jumlah besar, mengemisikan karbon.

Sesuai kesepakatan global, angka emisi karbon nasional harus didaftarkan resmi kepada Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), sebagaimana kewajiban negara-negara peratifikasi Protokol Kyoto.

Laporan ”Kurva Biaya Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca”, yang dikeluarkan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) memakai metode McKinsey per 27 Agustus 2009, menunjukkan, 80 persen dari 2,3 gigaton emisi karbon nasional berasal dari sektor kehutanan dan lahan gambut. Hasil itu diperdebatkan karena kebakaran lahan gambut, sebagai penyumbang emisi karbon terbesar, tak terjadi tiap tahun.

”Angka DNPI itu bukan angka untuk negosiasi, angka resmi negosiasi sedang disiapkan tim,” kata Wandojo. Angka itu diharapkan selesai 2011. Selain faktor kehati-hatian, kesiapan angka dikaitkan dengan metodologi penghitungan yang rentan gugatan.

Kepala Sekretariat DNPI Agus Purnomo menyatakan, angka emisi nasional 2,3 gigaton itu bukan angka untuk negosiasi. ”Itu angka untuk kebijakan sektor di dalam negeri apabila ingin memitigasi,” kata dia.

Angka emisi nasional yang akan disampaikan ke UNFCCC masih menunggu penghitungan Komunikasi Nasional Kedua.

Wandojo mengatakan, ada versi lain penghitungan emisi nasional, yaitu 1,8 gigaton—ini bukan angka akhir. Setidaknya, ada empat versi, berkisar 400 juta ton hingga 1,8 miliar ton per tahun. Apabila DNPI memakai angka moderat 1 miliar ton, pihak lain mengambil angka emisi minimal sebesar 500 juta ton. (GSA)

Jumat, 11 September 2009 | 03:47 WIB

Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/11/03475490/potensi.stok.karbon.terancam

Sunday, September 6, 2009

Kalimantan: Satu Pohon Cuman Rp 1 Juta

BELUM lama ini penulis Citizen Journalism Tribun Kaltimyang menetap di Perancis, Dini Kusmana Massabuaubertandang ke kantor Tribun Kaltim. Selama dua hari ia jalan-jalan ke sejumlah objek wisata di Balikpapan bersama Adam, anak kandungnya. Berikut laporan perjalanan Dini, anak seorang profesor ahli jantung di RS Harapan Kita, Jakarta. Ket.Foto: Jembatan gantung di Canopy Bridge, amat mempesona. Pengunjung bisa uji nyali ketika melintasinya dari pohon ke pohon.

SEBELUM matahari semakin menyengat, kami bergerak menuju Canopy Brigde. Ditemani Budi, seorang guide, kami berjalan kaki sejauh 1 Km. Saran saya, sebelum masuk ke dalam hutan, sebaiknya perjalanan kali ini menggunakan guide. Mengapa? Saya yakin banyak informasi yang sangat berarti yang akan kami dapat.

Misalnya, mulai soal semua jenis tumbuhan yang kami lewati, lalu kejadian apa saja yang pernah melintasi hutan ini hingga lahirlah pembangunan Canopy Bridge. Dengan begitu, maka khasanah kami soal kekayaan ilmu pengetahuan semakin bertambah. Berjalan di dalam hutan dengan pepohonan menjulang bagaikan bersentuhan dengan langit, pemandangannya begitu mempesona. Sepanjang perjalanan menuju Canopy Bridge, ada bebagai jenis pohon yang bisa diadopsi. ”Untuk mengadopsi pohon, cukup bayar Rp 1 juta setahun lengkap dengan sertifikatnya,” kata Budi. Hemm guman saya, kirain hanya manusia dan hewan saja yang bisa diadopsi. Ternyata pohonpun tak mau kalah.

Kami saling bersenda gurau memikirkan pohon apa yang cocok untuk kami adopsi apalagi nama si pengadopsi akan dipasang pada selembar papan dan ditempatkan di depan pohon yang diadopsi. Dalam hati saya sangat memuji langkah semacam ini. Saya bayangkan andai saja setiap orang mau menyisihkan uang mereka demi kelestarian alam, tentu begitu banyak bencana alam yang bisa dihindari.

Baru beberapa menit berjalan, kami melihat sebuah pohon besar yang sudah tumbang dan melintangi jalan kami. ”Wow..! Besar banget pohonya. Adam mau coba loncatin,” kata seru Adam, anak tertua saya, penuh semangat. Pohon setinggi seratus meter yang melintang itu, kata sang pemandu wisata, usianya mencapai ratusan tahun.

Benar-benar mempesona melihat pohon itu. Apalagi ketika kami mencari ujung pohonnya, wah semakin terpesona saja kami dibuatnya. Adam lalu berdiri di atas pohon raksasa yang tumbang dan meminta saya mengabadikannya dengan kamera. Ia berlagak seperti Indiana Jones. ”Nanti mamah cetak ya karena Adam mau kasih lihat ke teman-teman Adam di sekolah. Petualangan Adam Si Indiana Jones di Borneo,” katanya.

Hari itu kamera kami nyaris tak pernah berhenti mengabadikan semua obyek yang menarik sebagai bahan dokumentasi kami. Mulai dari jenis pohon yang beraneka ragam bentuknya, tingginya, hingga jamur posfor yang bisa menyala dalam kegelapan. Ketika Canopy Brigde sudah berada di depan mata, saat itulah saya menyadari kalau rasa ketakutan saya terhadap ketinggian akan diuji. Canopy Brigde (jembatan tajuk di atas pohon) yang menghubungkan pohon satu dengan pohon lainnya dibangun Januari-Februari 1998, secara bertahap.

Pelaksananya adalah kontraktor dari Amerika Serikat. Yang membuat saya heran, untuk bangunan yang menurut saya hebat ini, hanya dibangun oleh enam orang tenaga asing dan dibantu oleh tiga orang tenaga lokal. Semua bangunan menggunakn kayu bangkirai dan baja antikarat (galvanized) asal dari AS. Konstruksi bangunan diperikarakan mampu bertahan 15-20 tahun, seiring dengan usia pohon penyangga.

***
ADAM sudah tak sabar ingin segera menaiki menara kayu yang tingginya mencapai sekitar 30 meter dari permukaan laut. Canopy ini juga memiliki jembatan penghubung antar pohon sepanjang 64 meter. Saya sebenarnya agak sedikit phobia dengan ketinggian dan ruang tertutup. Demi Adam, rasa takut harus saya hilangkan dan nyali pun terpaksa dilipatgandakan menjadi 10 kali lipat. Lagi pula, belum tentu saya bisa mendapatkan kesempatan dua kali mengunjungi tempat ini.

Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim Achmad Subechi (Mas Bechi) yang mengaku sudah berkali-kali datang ke tempat ini, ternyata kalah nyali dengan Adam. Meski dibujuk dengan segala cara, ia ogah naik dan memilih menunggu di bawah sambil mengabadikan beberapa ekor monyet yang sedang bertenger di atas pohon. Di temani guide, Adam, saya dan Nani Tajriayani (Koordinator Milis Kaltim) kami menaiki menara kayu. Wah lumayan tinggi juga. Anak tangganya saja lebih dari seratus. Napas dibuat terengah-engah. Herannya, anak saya sama sekali tidak kelihatan kecapean. Ia malah setengah berlari menaiki anak tangga.

Sampai di ujung menara, hal yang paling saya takuti harus saya lakukan, menyeberang jembatan yang terbuat dari pohon dan tali tambang. Bayangkan bila memandang secara kasat mata, rasanya mana kuat jembatan ini menampung berat badan. Tapi oleh guide kami diyakinkan bahwa jembatan ini sangat kokoh. Bahkan dalam cuaca burukpun jembatan tetap kokoh menompang tubuh manusia tanpa masalah.
Keujiannya pun telah dibuktikan karena pembuatannya berdasarkan peneletian dan percobaan yang begitu panjang. ”Aduh..!” kata saya kepada Adam yang tiba-tiba sudah berada di tengah-tengah jembatan. Ia meminta saya mengabadikannya dengan kameranya.

Sambil senyam-senyum Adam saya potret berkali-kali. Sementara saya sendiri agak berdebar apalagi ia bolak-balik melintas di atas jembatan. Ketika tiba giliran saya menyeberang, jantung ini rasanya mau copot. Dan semangat Adam menepis rasa takut saya. 

Ternyata memang benar, sekali berhasil melintasi jembatan menegangkan itu, selanjutnya ketakutan terasa berkurang. Pemandangan dari menara tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Antara senang, aneh, kagum dan seru berbaur jadi satu. Obyek wisata ini harus dipromosikan hingga ke luar negeri. Melihat hutan dari ketinggian seperti ini, saya yakin banyak wisatan asing apalagi mereka yang berjiwa petualang, mau datang ke tempat ini. Dalam hati saya berjanji, suatu kelak nanti saya akan datang kembali ke Kalimantan. Suami saya harus diajak untuk menikmati petualangan seru semacam ini.

Selama berada di Canopy Bridge, berkali-kali saya harus membujuk Adam agar mau turun. Rupanya dia merasa sangat terkesan. Saya lalu katakan bahwa esok hari kita sudah harus kembali ke Jakarta, sementara masih ada beberapa obyek wisata lainnya belum kita kunjungi. Alasan itulah yang membuat Adam, mau turun.

Begitu tiba kembali di pos utama Bukit Bangkirai, waktu shalat ashar sudah tiba. Saya ajak Adam untuk shalat bersama. Karena ingin bersembahyang mak, cottage yang sejak tadi hanya bisa saya nikmati dari luar, bisa saya ketahui bagaimana kondisi di dalamnya. Kami lalu diperbolehkan untuk beribadah di dalam salah satu cottage. Ternyata cukup bagus dan besar. Sehabis shalat, saya meminta Adam berdoa. Pintanya, semoga ia diijinkan Tuhan kembali memanjat menara Canopy Brigde bersama papa dan Bazile, adiknya... Amin... Kini saya sudah kembali bersama Adam ke Perancis dengan membawa segudang cerita keindahan Bumi Kalimantan Timur. (*)

MINGGU, 6 SEPTEMBER 2009 | 19:29 WIB

Tuesday, August 11, 2009

Ciptakan Kembali Bumi Kita

Caring for the environment is a way of respecting God and caring for ourselves, say authors Tony Campolo and Gordon Aeschliman. Adopt their God-inspired earth-friendly ideas.



When we care for the environment, we show our deep respect for the Creator in much the same way we would admire the work of a great artist in a museum. When we fail to care for our planet, the world sees our treatment of Creation and unconsciously picks up the message regarding our disrespect.



What is more, caring for Creation is a way of caring for ourselves. Nature has a way of ministering back to us. It provides color, shapes, scents, shade, and sustenance. And by tending Creation, we also show consideration for our children's future. We demonstrate that we love them enough to provide a clean and beautiful garden that paints a stunning picture of the Artist.



Discover 11 ways that Christians--and everyone else--care for the environment.

Adapted from "Everybody Wants to Change the World," (c) 2006 by Tony Campolo and Gordon Aeschliman. Published by Regal Books. Used by permission. All rights reserved.



Project #1: Green Your City



Christians sometimes find it difficult to find common ground with people outside their faith. One way to come together with those who might not be Christians is to simply care for the earth by “greening” your city or community.



Among other ideas, you can: Adopt a block, plant a tree or create a mini-park for the community.



Pick the level that suits your situation. You may want to gather a group of friends, recruit members from your church, or join with other church groups in your region to take on the more ambitious projects.



• Adopt a Block. Landscape the sidewalks or medians of a specific section of town—perhaps even a couple of city blocks

• Stage a Cleanup. Offer to stage a trash cleanup event with your group in an area of your city that desperately needs to be picked clean of trash and rubbish.

• Plant a Tree. Plant trees on city- or county-owned property that is unlikely to be developed.

• Do Some Landscaping. Landscape a city monument or historical building.

• Create a Minipark. This is not a large recreational facility, of course, but a walk-and-sit kind of place where you bring your picnic basket for a slow lunch.



Project #2: Green Your Church or School



One way that you can make a difference in our own community is to volunteer to make sure your church or school’s habits are friendly to the environment.



Three possibilities: Reduce paperwork, avoid waste, recycle.



Some of the ways that you can help green your church or school include:

• Reduce Paperwork. Project announcements or any materials you are using for a presentation on a screen instead of printing them on a sheet of paper.

• Avoid Waste. When possible, use plates, cups and silverware that can be washed.

• Create a System. Create a simple recycling system, if there isn’t one in place, to collect all newspapers, magazines, used office paper and junk mail.



Project #3: Celebrate Earth Day



To really get into the spirit of Earth Day, consider volunteering at an Earth Day event in your city or region.



Volunteer to do a local trash cleanup, start a recycling program and use more recycled goods, plant trees, learn how to keep your house plants growing with less water, dispose of toxins properly, and discover ways to minimize the amount of time you drive your car.



You can do these things each day of the year, or you pick one at a time and implement it into your daily routine.



One of the easiest Earth Day projects that you can do right now is to reduce the amount of energy you use in your home. Begin by replacing the light bulbs in your house or apartment with Compact Fluorescent Light Bulbs (CFLs), which last longer and use less energy. In fact, the Earth Day Network estimates that if every household in the United States replaced just one light bulb with a CFL, it would eliminate the equivalent of the emissions caused by one million cars.4



The single greatest energy eater in your home is probably your refrigerator, so reduce the energy used in this giant appliance by lowering the thermostat one or two degrees.



Project #4: Noah's Ark



Most ancient traditions have stories about protecting animals and plants.



Whether the saving act is for the species themselves or because of some use they bring to humans, the idea of ridding the world of everything but humans and a few crops on which they depend has never been a praiseworthy vision.



There are many ways to get involved to help protect animals and plants. A primary way is to write letters to your senators and congressmen about protecting America’s public lands and wildlife preserves, confronting global warming, and preserving the Endangered Species Act.

Another way to help is to volunteer with a local wildlife society, which will also help you engage in your local community and raise your general awareness level.



Three organizations that provide helpful information on endangered species include the World Wildlife Fund, the National Wildlife Federation, and the World Conservation Union.



Photographs of endangered species and other helpful resources are available at the organization’s website at www.iucn.org.



Project #5: Cut the Trash



America constitutes about 5 percent of the world’s population, yet we consume approximately 30 percent of the world’s resources. We also produce approximately 19 percent of the world’s trash.6



Part of the myth that drives overconsumption is that all of this extra stuff will somehow make our lives better and our spirits happier. This myth is too costly to the earth and to our souls.



One important way to be kind to the earth is to simply use less of it. Some of the ways to begin to make a difference in the world today include: refuse, reduce, reuse, recycle.



• Refuse: Just say no. Don’t buy something just because you can or because you want it. Every time you buy something, you are using up a piece of the earth and causing pollution.

• Reduce: If you cannot say no, perhaps you can reduce your rate of consumption. For example, how about using half of a tank of gas this week rather than three-quarters of a tank of gas?

• Reuse: Sometimes waste is just so meaningless. When you throw out a bottle after drinking its contents, it’s no different from throwing out a mug at the restaurant after drinking the coffee from it!

• Recycle: This is the bottom of the hierarchy—the last stop. It’s better to just say no for starters, but if you can’t (or if you have already reduced and reused), you can often recycle something instead of just throwing it in the trash bin.



Project #6: Take a Bike



One of the best ways to be kind to the environment is to reduce carbon emissions. The car is a chief culprit in creating air pollution.



One way that you can help to reduce carbon emissions and improve the quality of the air is to join with millions of Americans who are discovering a new love affair—the bike.



Cycling to work, to school or to a friend’s house can be a practical and, at the same time, healthy way of commuting around town.



One innovative group that is pushing for more cycling is Yellow Bikes (a takeoff of Yellow Cabs), headquartered in St. Paul, Minnesota. The group’s initial idea was to create a large pool of reconditioned bikes for free public use in cities across America. People could simply pick up a bike at a predetermined location and drop it off when they were done.



If you don’t want to join Yellow Bikes (or there is not one located in your area), you can still help the environment by simply giving your car a break now and then.



Contact Yellow Bikes for ideas on how to make the most of cycling. The web address is www.yellowbikes.org.



Project #7: Be Kind to Animals



There’s a certain edge to human arrogance that views animals as a simple resource to be exploited at all costs.



Some humans have developed a kind of dominion ideology in which they believe that they have the ethical right to do with animals as they please. No compassion or moral thought enters their minds as they treat animals with total disregard.



How you can help:



Change you lifestyle to be more animal-friendly, conduct an education campaign for animals, sign up people for community-wide efforts to end animal cruelty.

The first thing you can do to counteract this is find ways to change your personal lifestyle so that you can go through life’s normal consuming demands without inflicting pain on animals.



One organization that is devoted to kindness to animals is People for the Ethical Treatment of Animals (PETA). The organization posts both the good and the ugly on its website, where you can find the latest campaigns against companies that violate animals, learn which food and clothing products are created without animal testing, and discover other resources for further education. Make a commitment with what you learn from the PETA website to buy only certain kinds of products.



Next, conduct an education campaign on your campus. Set up a creative booth at the student mall or other public place where you can show videos (PETA has plenty), display posters, or hand out relevant literature. You’d be surprised how many students are not aware of the price that animals pay to maintain people’s lifestyle in our society. Be creative.



The final suggestion is to sign people up for current animal cruelty campaigns.



Project #8: Drop Down the Food Chain



One sensible way of being easier on the earth is by eating lower on the food chain.



Central to the principle of eating lower on the food chain is the idea of lessening each person’s net impact upon the earth. Here’s one way to think of it: What is the most efficient means of getting meat protein?



Well, ounce for ounce of net protein, it takes 13 times as much grain to feed a cow as it does a chicken. When you add to that the other costs of feeding cows versus chickens (barns, fences, fields, fuel, equipment, staffing), the cost of cow protein becomes much higher. So, if we are able to get the same nutritional value into our bodies from a bite of chicken as we can from a bite of beef, why not use that means and preserve the earth?



The key to eating low on the food chain is to gain proteins from “low cost” sources. In fact, you don’t even have to eat meat for protein—you can get all the protein you need from a combination of grains and legumes. If you do eat meat, you can make a habit of eating chicken or fish more than beef. (Your doctor will tell you that all of your body’s protein needs for one day can be satisfied with one bite of chicken—it’s not as though we have to eat a side of beef to stay healthy!) The idea here is not to be legalistic about food but to be sensible and creative.



For ideas on eating low on the food chain, go to www.tryveg.com or www.goveg.com. The PETA website also has a friendly vegetarian section at www.peta.org.



Project #9: Go Solar



With our country smarting from the price of overseas oil, it suddenly has become fashionable to consider solar energy as a viable option.



Some states, such as Pennsylvania, give consumers the right to choose the source of the energy they are purchasing (solar and wind are among those choices). Energy companies are required to purchase their energy from whatever source the consumer demands.



That wonderfully progressive law puts the power of consumption back into the hands of citizens rather than a few powerful corporations.



A green campaign will not succeed overnight, because too many people and corporations benefit from our remaining dependent on unhealthy energy sources. But tomorrow’s world does not belong to those corporations—it belongs to today’s women and men who have the moral right to steer this ship on a different course.



For more information on the benefits of switching to green power and green power programs, visit www.greenpower.gov or the Environmental Protection Agency’s green power link at http://www.epa.gov/greenpower/.



Project #10: Save the Rainforest



It has been estimated that the world’s rainforests are being destroyed at the rate of at least 80,000 acres per day.



There is a myth in the West that these lands are destroyed primarily by indigenous people who do slash-and-burn farming. But the true culprits are people outside of the rainforest who go there to access mineral resources (such as gold), build pipelines to export oil, set up fruit farms, or clear thousands of acres to graze cattle.



These economic enterprises capture the benefits of the local rainforest for the exclusive purpose of exporting products for profit.



The devastation as a result of these practices that is wreaked on the roughly 50 million indigenous people who live in the rainforest is unconscionable.11 When we destroy the rainforest, we are directly destroying them.



How can you help? One organization, the Eden Conservancy, is preserving a large section of rainforest in Belize as part of a biological corridor that extends through the continent. The idea is to preserve the local integrity of the rainforest and create a permanent corridor that will ensure the survival of endangered species in that region.



To purchase and permanently set aside an acre of rainforest into the Eden Conservancy Trust costs only $200. This is a great idea for group fundraisers or for holiday gifts and personal donations. When you purchase an acre of rainforest, the Eden Conservancy will send an attractive Certificate of Trust with your name on it to indicate the number of acres that have been saved.



To purchase acreage, contact the Eden Conservancy through the Jaguar Creek environmental center at www.jaguarcreek.org. Or, to learn more about the importance of rainforests and the effects of deforestation, visit www.mongabay.com.



Project #11: Spread the Vision for the Environment



Some ideas that we recommend for spreading the vision for the environment in your church, school or neighborhood include the following: Celebrate Earth Day, join the parade, set up a booth, announce your plans, hold a seminar.



• Celebrate Earth Day. Ask your church’s leadership to make Earth Day a part of the annual church calendar so that at least for one day of the year, your fellow church members will focus on global issues.

• Join the Parade. If your town has an Earth Day parade, strongly urge your fellow churchgoers to join the event as a clear statement that Christians love the creation of their Lord. However, make sure you discourage people from the temptation to show up at the event with placards and slogans that try to “correct” other people’s orientation to the environment. Allow this to be a positive time of public cooperation and affirmation.

• Set up a Booth. Set up an informational table or booth in your church foyer. At your table, be prepared to talk to people who are interested in helping the environment and be sure to have some statistics, information and practical suggestions available to promote environment-friendly tactics.

• Announce Your Plans. Don’t be afraid to ask your pastor or for advice on ways that you can get the word out.

• Hold a Seminar. Get some friends together and hold a Saturday or Sunday afternoon seminar on the environment for those in your church who want to learn more about environmental issues.



Source:

http://www.beliefnet.com/Faiths/2008/09/11-Ways-to-Recreate-the-Earth.aspx

Wednesday, July 22, 2009

Antisipasi Kekeringan dengan Air Akuifer

Air tawar menjadi sumber daya yang mulai langka di banyak daerah di Indonesia, terutama saat musim kemarau panjang. Menghadapi musim yang tidak bersahabat itu, penggalian air tanah dalam di lapisan akuifer perlu dilakukan di beberapa daerah krisis.

Masyarakat di daerah yang secara geografis dan topografis menghadapi kelangkaan air tawar pada musim kemarau mulai khawatir dengan keluarnya prediksi musim yang menyebutkan intensitas curah hujan akan di bawah normal dan berpotensi terjadi kekeringan sepanjang musim kemarau tahun ini, akibat anomali cuaca.

Ini berarti, sumber air tanah permukaan akan terancam habis akibat penguapan sepanjang musim kemarau dan tidak akan terjadi pengisian oleh air hujan. Kondisi ini tentu akan paling berat memukul sektor pertanian yang memerlukan kecukupan air untuk pertumbuhannya.

Air tanah dalam

Upaya yang dilakukan dalam menghadapi kesulitan air di daerah yang tergolong kering adalah memompa sumur air tanah dalam. Namun, untuk mencarinya bukan hal yang mudah.

Untuk mencari sumber air tanah dalam dibutuhkan sentuhan teknologi modern.

Salah satu yang disodorkan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) adalah dengan pendeteksian gas radon.

Gas radon secara alami akan keluar lewat celah bebatuan. Dengan detektor radon di permukaan tanah, gas radon itu akan terlacak. Adanya gas radon mengindikasikan adanya celah bebatuan yang memungkinkan dilakukan pengeboran, tutur Kepala Pusat Bahan Galian Nuklir Batan Johan Barata.

Langkah berikutnya adalah menerapkan teknik geolistrik untuk menentukan kedalaman akuifer atau lapisan yang menampung air. Dalam hal ini, arus listrik dialirkan ke dalam bumi.

Pola arus listrik akan melewati tiap-tiap lapisan di bawah tanah ini yang tampak pada grafik pada layar monitor dapat mengindikasikan lokasi kedalaman lapisan akuifer dan potensi air di dalamnya.

Alat geolistrik ini dapat mendeteksi sumber air hingga kedalaman 450 meter. Namun, pemompaan air pada sumber sedalam itu dengan pompa yang ada saat ini tidak ekonomis, ujar Johan. Dengan pompa pendam di lubang bor (submersible) maksimum kedalaman air yang dapat diangkat, 250 meter.

Pencarian sumber air tanah dalam dengan teknik deteksi radon telah diterapkan paling awal tahun 2000 ketika Batan memulai program Iptek Daerah di Madura, antara lain di Sumenep dan Bangkalan, hingga menemukan delapan titik sumber air tanah dalam.

Hingga kini Batan telah menemukan sumber air di Jepara (4 titik), Magelang (1 titik), Mataram (1 titik), dan Kupang (1 titik).

Pada lokasi yang terdeteksi ada air tanah dalam, setelah dilakukan pengeboran, paling minim menghasilkan air 1,5 liter per detik dan maksimal 10 liter per detik, urai Johan. Di antara yang ditemukan, sumur di Jepara tergolong sumur artesis atau air tanah yang tertahan sehingga tidak memerlukan pengeboran.

Program pemberdayaan

Pengelolaan sumber air tanah dalam di daerah tersebut, lanjut Johan, dikelola oleh perusahaan daerah, tetapi ada beberapa daerah yang melibatkan masyarakat dalam pembelian bahan bakar secara kolektif untuk mengoperasikan generator listrik untuk pemompaan air. Masyarakat kemudian dapat memperoleh air bersih dengan harga yang murah.

Untuk mengatasi masalah, hal itu juga dilakukan lembaga swadaya masyarakat dengan melibatkan pihak swasta melalui program pemberdayaan masyarakat atau tanggung jawab sosial terhadap komunitas (community social responsibility/CSR).

Salah satunya adalah program akses Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) atau Water Access Sanitation Hygiene (WASH) yang dilaksanakan sebuah LSM internasional, Action Contre la Faim (ACF) bekerja sama dengan Aqua Danone untuk menyediakan air bersih bagi penduduk di 10 daerah di 7 provinsi yang diketahui memiliki sumber dan akses air bersih yang minim.

Proyek rintisan WASH dilaksanakan di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, oleh ACF tahun 2007, dengan melibatkan pemangku kepentingan kunci di provinsi ini, antara lain Yasmina Pesat, Rekonservasi Bhumi, dan Yayasan Bina Mandiri Indonesia.

”Program pertama selama dua tahun hingga September 2009 mendatang akan menjangkau sekitar 19.000 jiwa pada empat kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Selatan,” ujar Direktur Corporate Communication PT Tirta Investama, perusahaan swasta yang juga terlibat dalam program itu.

Pada tahap pertama, program itu dilaksanakan di Kecamatan Boking dan Amanatun Utara. Pada putaran kedua, yaitu 2009-2011, ditargetkan desa di Kecamatan Toianas dan Noebana di NTT akan terjangkau.

Secara keseluruhan, lebih dari 35.000 jiwa akan mendapatkan manfaat dari program 1 liter air minum untuk 10 liter air bersih (SUS) dalam empat tahun.

Program SUS bertujuan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat Indonesia dengan cara menyediakan akses air bersih lewat pembangunan sumur, pompa rump, dan pembangunan pipa-pipa.

Peta geologi

Studi perolehan mata air di NTT itu mengandalkan peta geologi. Dalam peningkatan akses ini telah dilakukan rehabilitasi sumur, mata air, dan penggalian sumur baru.

Pengambilan air antara lain dilakukan dengan gravity fed system (GFS) dan ram pumping system (RPS).

Selain peningkatan akses air bersih, juga dilakukan kegiatan lain yang terkait, yaitu penyuluhan manfaat air bersih, kebersihan dan kesehatan, serta pemberdayaan komunitas dengan melibatkan perwakilan masyarakat (yang disebut Komite Air).

Melalui wakil masyarakat juga diajarkan cara merawat infrastruktur yang ada sehingga mereka mengetahui tahapan-tahapan yang harus dilakukan jika air tidak keluar dari salurannya.

Program ini akan mampu meningkatkan kesehatan ribuan keluarga di seluruh negeri ini. Dengan melibatkan masyarakat dan LSM, dibentuk panitia air yang kemudian dilatih untuk merancang fasilitas serta memonitor pengelolaan yang benar untuk jangka panjang.

Proyek ini tidak hanya ditujukan bagi masyarakat di daerah kritis yang terpencil, tetapi juga masyarakat miskin di perkotaan. Upaya rehabilitasi kawasan tangkapan air hujan untuk melestarikan mata air di hulu dilakukan antara lain di Jawa Tengah. Lebih dari 60.000 pohon telah ditanam di sekitar 30 hektar lahan kritis di Gunung Merapi dengan melibatkan 200 petani.

Selain itu, 150 karyawan pabrik air minum mineral itu diminta menanam 100.000 pohon pada tahun 2009 untuk merehabilitasi sekitar 40 hektar lahan hutan melalui model kehutanan agroorganik di Bogor, Jawa Barat.

Selain itu, penghijauan kembali sabuk hijau sepanjang 8 kilometer di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Jawa Barat, pun dilakukan dengan melibatkan pesantren setempat.

Penulis:YUNI IKAWATI
Rabu, 22 Juli 2009 | 03:40 WIB
Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/22/03405030/antisipasi.kekeringan.dengan.air.akuifer

Solusi Hemat Energi Mengusir Udara Panas

Rumah adalah tempat di mana kita berteduh dan tinggal. Kita mendapatkan perlindungan serta kenyamanan dari teriknya sinar matahani dan dinginnya cuaca di saat hujan.



Suhu udara yang ideal di dalam rumah berkisar 24 -26 derajat celcius. Penghuni rumah akan merasa tidak nyaman jika suhu udara dalam ruangan menjadi ekstrim. Contohnya jika di musim panas, akan terasa kegerahan karena udara panas tidak keluar. Udara panas yang terperangkap akibat bukaan ruangan yang tertalu sedikit, bertanggung jawab atas hal ini.



Memakai pendingin udara bisa menjadi jawabannya. Tetapi penggunaan pendingin udara atau air conditioner (AC) bukan jawaban tepat sebagai solusi menghemat energi.



Udara panas dapat diredam dengan beberapa faktor seperti: penataan ruang yang tepat, pengunaan kipas angin plafon, menghindari efek rumah kaca, dan penanaman tumbuhan hijau.



Sirkulasi udara di dalam ruang dipengaruhi o!eh penataan interior. Keterbukaan antar ruang dapat membuat udara bebas mengalir dan ruang depan sampai ke belakang. Pengertian tentang keterbukaan tersebut adalah ruang-ruang yang diusahakan tidak terbatasi oleh material-material masif.



Penempatan furnitur berukuran besar, hendaknya jangan diletakkan di tengah ruangan, sebaiknya dirapatkan ke dinding. Pembatas ruangan pun diusahakan untuk memungkinkan udara dapat melewatinya, misalkan dengan material bambu.



Biasanya, dalam kondisi cuaca panas, suhu panas akan naik ke atas dan banyak berkumpul di area plafon rumah. Penggunaan kipas angin plafon menjadi salah satu solusi. Selain mempercantik ruangan, alat ini dapat difungsikan secara optimal sebagai pengusir udara panas dari area plafon.



Seperti bumi, rumah juga menghadapi kondisi efek rumah kaca. Kondisi yang membuat udara panas terperangkap karena terpapar panas matahari. Material transparan seperti kaca polikarbonat berukuran besar umumnya membuat kondisi tersebut terjadi.



Untuk menghindari panas, usahakan material transparan tidak terpapar langsung oleh matahari. Hal ini dapat disiasati dengan pegunaan penghalang seperti kisi-kisi, kerai ataupun kanopi.



Solusi lain berupa peletakan tanaman hijau diarea bukaan rumah. selain mengeluarkan oksigen dari hasil fotosintesanya tanaman juga bermanfaat sebagai penyerap radiasi sinar matahari. Tidak hanya penanaman pohon di halaman rumah, tetapi area rumah juga memerlukannya.



Caranya dengan meletakkan tanaman hijau dengan tinggi sejajar jendela di sekitar jendela. Untuk jenis tanaman yang dapat dipilih adalah tanaman dengan daun yang lebat.



Dengan menghemat energi untuk mengusir udara panas, merupakan langkah awal untuk mengurangi pemanasan global. (AJG)



Retyped by YK

Sumber: Harian Kompas, Juni 2009

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...