Showing posts with label Daya Saing. Show all posts
Showing posts with label Daya Saing. Show all posts

Sunday, December 20, 2009

Penyakit Cakrawala




SALAH satu tugas yang saya emban sebagai ilmuwan adalah menunjukkan masalah daya saing yang dihadapi bangsa dan bagaimana mengobatinya.

Sehubungan dengan itu, saya teringat beberapa tahun lalu pernah menulis gejala penyakit cakrawala yang banyak melanda dunia usaha kita. Secara perlahan-lahan, di private sector gejala itu mulai memudar. Namun,sebaliknya di sektor pelayanan publik, gejala ini bukan memudar,malah semakin merisaukan. Untuk itulah, topik ini saya angkat kembali. Seperti apakah penyakit cakrawala, apa saja indikasinya, apa akibatnya, dan bagaimana cara mengobatinya?

Indikasi dan Akibat

Penyakit cakrawala adalah suatu penyakit organisasi yang menyerang para staf dan pimpinannya secara merata.Cakrawala yang demikian luas di atas sana, diblok, dikotak-kotakkan dalam batasan-batasan maya (mindset blockages) yang mengakibatkan organisasi mengalami kemandekan dan sulit beradaptasi menerjang cakrawala angkasa jagat raya.

Padahal semakin ke atas diperlukan “helicopter view” untuk membawa organisasi dan misi ke dunia baru yang lebih kompetitif. Dunia baru itu tidak mungkin tampak bila dilihat dengan kacamata myopic. Untuk itulah, cara pandang yang lebih luas, lebih komplementer, lebih bebas, lebih terbuka diperlukan.

Seorang dokter tidak bisa membawa rumah sakitnya menjadi besar semata-mata dengan kacamata dunia kedokterannya saja. Seorang engineer tidak bisa membawa perusahaan konstruksi menembus cakrawala dengan kacamata tekniknya. Dan seorang ekonom tidak akan bisa membawa perekonomian Indonesia lebih dari anggarannya dengan kacamata rationaleconomic behavior-nya.

Persoalannya, hampir semua institusi publik mengembangkan talentanya terlalu sempit. Ilmu pengetahuan atau bidang studi telah membelenggu cara berpikir birokrat ke dalam silo-silo yang sempit. Semua orang merasa memiliki teritorinya masing-masing dan orang lain tidak punya ruang untuk berpartisipasi memperkaya cakrawala.

Dokter menjadi backbone SDM di Departemen Kesehatan, sarjana pertanian di Departemen Pertanian, insinyur di Departemen Pekerjaan Umum, arkeolog di Direktorat Kepurbakalaan, sarjana farmasi di BUMN farmasi, sarjana hukum di Mahkamah Agung, akuntan di Badan Pemeriksa Keuangan, dan seterusnya.

Cakrawala yang sempit telah membuat banyak pemimpin di negeri ini percaya hanya ilmu mereka yang penting dan hanya mereka yang paling tahu tentang masalahmasalah spesifik. Dengan bekal yang sempit seperti itu, mereka tidak bisa membawa kita memasuki dunia yang baru. Dunia baru itu berada jauh di luar jangkauan mereka dan merupakan dunia asing yang berisiko dimasuki pemilik cakrawala yang sempit itu.

Dunia superspecialist adalah dunia para teknisi, dan begitu menapak ke atas, seseorang harus bekerja lebih banyak dengan keahlian yang berbeda-beda pada jaringan yang tersebar luas. Mereka tidak harus menjadi expertpada masing-masing bidang,cukup tahu pihak yang dapat diandalkan, dan tahu bagaimana menyatukan mozaik yang terlepas dan berserakan di mana-mana menjadi sebuah rangkaian produk yang benar-benar baru.

Dengan belenggu cakrawala seperti itu, tidak ada perkawinan pemikiran.Tidak ada terobosan-terobosan baru sehingga dunia penegakan hukum hanya mengenal faktorfaktor hukum yang bersifat legalistik-formal. Suasana kebatinan yang berbasiskan hati nurani dan kepemimpinan sulit mendapat tempat.

Dalam perencanaan pembangunan, para perencana di Bappenas hanya mampu melihat anggaran sebagai sebuah opportunity cost sehingga banyak infrastruktur terhambat dibangun karena mengalami konflik dengan cara berpikir entrepreneur yang lebih melihat opportunity benefitdan value creation. Daftar masalah yang dihadapi public sector akan bertambah panjang dan tak terbatas.

Semua bermula dari mewabahnya penyakit cakrawala yang membelenggu hampir seluruh lembaga publik yang gagal menghasilkan pemimpinpemimpin berwawasan luas. Wawasan luas itu tidak dapat diubah sekejap dengan membukakan mata atau mengajak mereka mendengarkan, melainkan harus ditanam dari bawah.

Talent Code

Daniel Coyle memperkenalkan konsep talent code untuk memperbaiki DNA suatu institusi. Sebaliknya, saya menyebutkan pentingnya lembaga-lembaga publik membuka pintu dan membentangkan jendela. Saat ini sudah sangat mendesak kebutuhan untuk merekayasa ulang DNA birokrasi Indonesia.

Rekayasa itu harus dimulai dari manusia, organisasi, sistem-sistem yang dibangun, tata nilai, dan tentu saja talenta yang dimilikinya. Di tengah-tengah era reformasi yang telah ditaburkan, ada rasa waswas yang muncul di kepala saya melihat cara kerja teman-teman yang terjangkit penyakit cakrawala.

Dapatkah misalnya, kita memperbaiki sistem anggaran, pendistribusian, pelaporan, dan pengawasannya dengan cakrawala yang terbatas? Saat ini kita membutuhkan organisasi yang luwes, lugas adaptif, mampu bergerak cepat dari sekadar organisasi yang tertata namun kaku dan membuatnya tak berdaya.

Niat baik dan sasaran untuk menata hanya akan menghasilkan pemborosan dan kerusakan jangka panjang. Saya mengerti, kata penyakit cakrawala sungguh terdengar di telinga para sarjana. Namun, kita harus mulai mengenali dan menyembuhkannya sebelum reformasi berujung pada penghancuran dan kesulitan yang lebih besar bagi negeri ini. Minggu depan saya akan melanjutkan bagaimana cara membuka pintu dan membentangkan jendela.(*)

Penulis: RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI 

Sumber: Harian Cetak Sindo, Kamis, 17 Desember 2009


Penyakit Cakrawala


SALAH satu tugas yang saya emban sebagai ilmuwan adalah menunjukkan masalah daya saing yang dihadapi bangsa dan bagaimana mengobatinya.

Sehubungan dengan itu, saya teringat beberapa tahun lalu pernah menulis gejala penyakit cakrawala yang banyak melanda dunia usaha kita. Secara perlahan-lahan, di private sector gejala itu mulai memudar. Namun,sebaliknya di sektor pelayanan publik, gejala ini bukan memudar,malah semakin merisaukan. Untuk itulah, topik ini saya angkat kembali. Seperti apakah penyakit cakrawala, apa saja indikasinya, apa akibatnya, dan bagaimana cara mengobatinya?

Indikasi dan Akibat

Penyakit cakrawala adalah suatu penyakit organisasi yang menyerang para staf dan pimpinannya secara merata.Cakrawala yang demikian luas di atas sana, diblok, dikotak-kotakkan dalam batasan-batasan maya (mindset blockages) yang mengakibatkan organisasi mengalami kemandekan dan sulit beradaptasi menerjang cakrawala angkasa jagat raya.

Padahal semakin ke atas diperlukan “helicopter view” untuk membawa organisasi dan misi ke dunia baru yang lebih kompetitif. Dunia baru itu tidak mungkin tampak bila dilihat dengan kacamata myopic. Untuk itulah, cara pandang yang lebih luas, lebih komplementer, lebih bebas, lebih terbuka diperlukan.

Seorang dokter tidak bisa membawa rumah sakitnya menjadi besar semata-mata dengan kacamata dunia kedokterannya saja. Seorang engineer tidak bisa membawa perusahaan konstruksi menembus cakrawala dengan kacamata tekniknya. Dan seorang ekonom tidak akan bisa membawa perekonomian Indonesia lebih dari anggarannya dengan kacamata rationaleconomic behavior-nya.

Persoalannya, hampir semua institusi publik mengembangkan talentanya terlalu sempit. Ilmu pengetahuan atau bidang studi telah membelenggu cara berpikir birokrat ke dalam silo-silo yang sempit. Semua orang merasa memiliki teritorinya masing-masing dan orang lain tidak punya ruang untuk berpartisipasi memperkaya cakrawala.

Dokter menjadi backbone SDM di Departemen Kesehatan, sarjana pertanian di Departemen Pertanian, insinyur di Departemen Pekerjaan Umum, arkeolog di Direktorat Kepurbakalaan, sarjana farmasi di BUMN farmasi, sarjana hukum di Mahkamah Agung, akuntan di Badan Pemeriksa Keuangan, dan seterusnya.

Cakrawala yang sempit telah membuat banyak pemimpin di negeri ini percaya hanya ilmu mereka yang penting dan hanya mereka yang paling tahu tentang masalahmasalah spesifik. Dengan bekal yang sempit seperti itu, mereka tidak bisa membawa kita memasuki dunia yang baru. Dunia baru itu berada jauh di luar jangkauan mereka dan merupakan dunia asing yang berisiko dimasuki pemilik cakrawala yang sempit itu.

Dunia superspecialist adalah dunia para teknisi, dan begitu menapak ke atas, seseorang harus bekerja lebih banyak dengan keahlian yang berbeda-beda pada jaringan yang tersebar luas. Mereka tidak harus menjadi expertpada masing-masing bidang,cukup tahu pihak yang dapat diandalkan, dan tahu bagaimana menyatukan mozaik yang terlepas dan berserakan di mana-mana menjadi sebuah rangkaian produk yang benar-benar baru.

Dengan belenggu cakrawala seperti itu, tidak ada perkawinan pemikiran.Tidak ada terobosan-terobosan baru sehingga dunia penegakan hukum hanya mengenal faktorfaktor hukum yang bersifat legalistik-formal. Suasana kebatinan yang berbasiskan hati nurani dan kepemimpinan sulit mendapat tempat.

Dalam perencanaan pembangunan, para perencana di Bappenas hanya mampu melihat anggaran sebagai sebuah opportunity cost sehingga banyak infrastruktur terhambat dibangun karena mengalami konflik dengan cara berpikir entrepreneur yang lebih melihat opportunity benefitdan value creation. Daftar masalah yang dihadapi public sector akan bertambah panjang dan tak terbatas.

Semua bermula dari mewabahnya penyakit cakrawala yang membelenggu hampir seluruh lembaga publik yang gagal menghasilkan pemimpinpemimpin berwawasan luas. Wawasan luas itu tidak dapat diubah sekejap dengan membukakan mata atau mengajak mereka mendengarkan, melainkan harus ditanam dari bawah.

Talent Code

Daniel Coyle memperkenalkan konsep talent code untuk memperbaiki DNA suatu institusi. Sebaliknya, saya menyebutkan pentingnya lembaga-lembaga publik membuka pintu dan membentangkan jendela. Saat ini sudah sangat mendesak kebutuhan untuk merekayasa ulang DNA birokrasi Indonesia.

Rekayasa itu harus dimulai dari manusia, organisasi, sistem-sistem yang dibangun, tata nilai, dan tentu saja talenta yang dimilikinya. Di tengah-tengah era reformasi yang telah ditaburkan, ada rasa waswas yang muncul di kepala saya melihat cara kerja teman-teman yang terjangkit penyakit cakrawala.

Dapatkah misalnya, kita memperbaiki sistem anggaran, pendistribusian, pelaporan, dan pengawasannya dengan cakrawala yang terbatas? Saat ini kita membutuhkan organisasi yang luwes, lugas adaptif, mampu bergerak cepat dari sekadar organisasi yang tertata namun kaku dan membuatnya tak berdaya.

Niat baik dan sasaran untuk menata hanya akan menghasilkan pemborosan dan kerusakan jangka panjang. Saya mengerti, kata penyakit cakrawala sungguh terdengar di telinga para sarjana. Namun, kita harus mulai mengenali dan menyembuhkannya sebelum reformasi berujung pada penghancuran dan kesulitan yang lebih besar bagi negeri ini. Minggu depan saya akan melanjutkan bagaimana cara membuka pintu dan membentangkan jendela.(*)

Penulis: RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI 

Sumber: Harian Cetak Sindo, Kamis, 17 Desember 2009


Saturday, July 18, 2009

KETENAGAKERJAAN RI Masuk Perangkap Produktivitas Rendah

Hingga kini Indonesia masih menghadapi masalah rendahnya produktivitas kerja nasional. Untuk itu, semua pemangku kepentingan harus bergerak memperbaiki kualitas sumber daya manusia agar Indonesia keluar dari perangkap produktivitas rendah.

Hal itu terungkap dalam diskusi ketenagakerjaan terkait dengan peluncuran buku pengamat ketenagakerjaan, Payaman Simanjuntak, yang bertajuk ”Manajemen Produktivitas” di Gedung Depnakertrans, Jakarta, Jumat (17/7).

Hadir sebagai pembicara mantan Menteri Tenaga Kerja Sudomo, mantan Menteri Kehakiman Oetojo Oesman, serta Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Depnakertrans Masri Hasyar.

Menurut Sudomo, persoalan produktivitas bukan hanya tanggung jawab Depnakertrans. ”Departemen Perindustrian juga memegang peranan penting untuk mendorong produktivitas nasional,” ujar dia.

Sudomo menegaskan, pemerintah dapat mengefektifkan dewan produktivitas nasional untuk menggerakkan semua potensi dan meningkatkan posisi Indonesia di tingkat internasional.

Tingkat produktivitas Indonesia, kata Masri, di posisi ke-59 dari 60 negara. Adapun daya saing bisnis Indonesia pada 2009 di peringkat ke-54 dari 135 negara.

Langkah meningkatkan produktivitas, menurut Masri, dapat diawali dengan kesediaan mengukur tingkat produktivitas instansi pemerintah. Ini untuk mendapat gambaran yang jelas tentang kinerja setiap instansi.

Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Djimanto berpendapat, persoalan produktivitas bukan kesalahan pekerja atau pengusaha. Hubungan sosial dan rantai panjang birokrasi yang menekan produktivitas Indonesia. ”Kalau pemerintah memang memiliki keinginan meningkatkan produktivitas, perbaiki kedua hal ini,” kata Djimanto.

Menurut Payaman, jebakan produktivitas rendah membuat pertumbuhan ekonomi rendah, tingkat pengangguran dan kemiskinan tinggi, serta tingkat penghasilan rendah. Kondisi ini melemahkan daya saing Indonesia. (ham)

Jakarta, Kompas - Sabtu, 18 Juli 2009 | 03:56 WIB

Souce:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/18/03563457/ri.masuk.perangkap.produktivitas.rendah

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...