Showing posts with label Green Industry. Show all posts
Showing posts with label Green Industry. Show all posts

Friday, August 27, 2010

Teknologi: Yang Limbah, yang Kuat

Beton pada dasarnya tersusun dari semen, pasir, kerikil, dan air. Ke depan, semakin banyak bangunan diciptakan, semakin besar pula kebutuhan material untuk membuat beton.

Di satu sisi, harga semen semakin tinggi. Proses fabrikasi semen juga menambah pelepasan karbon dioksida di udara. Efek rumah kaca semakin menjadi. Sementara pasir dan kerikil bahan alam juga perlu dihemat. Bahan alternatif perlu dicari. Untuk Indonesia, bahan alternatif harus murah, mudah diperoleh, dan bisa menggantikan fungsi material penyusun beton. Artinya, material alternatif perlu memiliki sifat pengikat seperti semen.

Material yang sudah mulai dikenal adalah limbah atau abu sisa pembakaran batu bara (fly ash) yang dihasilkan dari proses pembangkit listrik tenaga uap atau pembangkit listrik berbahan bakar batu bara milik perusahaan-perusahaan. Para mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dibimbing para dosennya, memadukan limbah batu bara dengan limbah besi (iron slag) dan limbah tembaga (copper slag).

Dua tim dari Jurusan Teknik Sipil ITS yang menggunakan bahan-bahan alternatif ini mendapat penghargaan dalam Semen Tiga Roda Concrete Competition Award. Kompetisi ini diselenggarakan mulai pertengahan Juli sampai awal Agustus dan diikuti 108 tim dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Tim pemenang pertama terdiri atas tiga mahasiswa semester 7 ITS, yaitu Erlina Yanuarini, Fani Bagus Satria, dan Aditya Irwanto. Mereka memanfaatkan limbah batu bara dan limbah tembaga untuk mengurangi penggunaan semen dan pasir.

Adapun tim lainnya yang terdiri atas mahasiswa semester 5 menjadi pemenang harapan pertama. Tim ini menggunakan bahan limbah batu bara dan limbah besi sebagai bahan alternatif untuk mengurangi semen, pasir, dan kerikil.

Untuk tim pertama, limbah batu bara yang sangat halus, berukuran 45 mikrometer, menggantikan 15 persen semen. Penggunaan limbah batu bara bisa menyubstitusi 15 persen-25 persen semen. Sebab, sifat limbah batu bara hampir seperti semen yang mengikat.

Pada jumlah itu, limbah batu bara meningkatkan durabilitas karena ukuran partikelnya sangat kecil. Pori beton bisa diminimalkan. Karena pori lebih halus, bahan kimia, air, atau udara lebih sulit masuk ke beton. Karena itu, menurut Kepala Laboratorium Beton dan Bahan Bangunan Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITS Tavio, beton menjadi lebih awet.

Limbah tembaga, menurut Erlina, porositasnya kecil, sementara kepadatan, kekedapan, dan kekerasannya baik. Butirannya yang pipih, runcing, dan tajam menguntungkan karena pengikatan material semakin baik.
Untuk beton buatan Erlina, Bagus, dan Aditya, limbah tembaga menggantikan 30 persen pasir. Material lainnya adalah batu pecah atau kerikil, Glenium C-351 sebagai bahan kimia pereduksi air, dan air. Semen dan pasir juga tetap digunakan dalam jumlah sedikit.

Dengan komposisi itu, kuat tekan setelah satu hari berkisar 58,85 MPa dan 59,42 MPa, setelah tiga hari 65,25 MPa, dan setelah tujuh hari menjadi 72,88 MPa. Dalam uji kuat tekan oleh tim juri, tiga beton sampel karya tim ini berkuat tekan 75 MPa, 76 MPa, dan 101 MPa.

Biaya pembuatan beton juga bisa ditekan. Beton reguler butuh Rp 755.000 per meter kubik, beton dari limbah batu bara dan tembaga hanya Rp 675.000 per meter kubik.

Untuk beton berbahan limbah besi, menurut Wahyu Candra, harganya juga lebih murah, berkisar Rp 700.000 per meter kubik. Limbah besi ini malah bisa menjadi pengganti pasir dan kerikil.

Limbah besi berukuran 4,76 milimeter bisa menggantikan pasir sampai 40 persen. limbah besi yang menggumpal dan lolos ayak ukuran 3/8 inci-1/4 inci bisa menggantikan kerikil sampai 50 persen. Limbah batu bara juga digunakan sebagai pengganti semen sampai 25 persen. Juga digunakan bahan kimia superplasticizer sebagai pereduksi air.

Dari komposisi itu, Wahyu Candra, Rifdia Arisandi, dan Rachmat Putra menghasilkan beton dengan kuat tekan 50 MPa setelah tiga hari dan 70 MPa setelah tujuh hari. Namun, pada pengukuran juri, hanya berkuat tekan 60 MPa.

Pembuatan beton dengan berbagai alternatif material ini, menurut Kepala Laboran Laboratorium Beton dan Bahan Bangunan ITS Soehardjo, juga bergantung pada komposisi air. Penggunaan air harus optimal dan tidak terlalu banyak.

Silika

Bahan alternatif, seperti limbah besi dan limbah tembaga, menurut Tavio, bisa dimanfaatkan menjadi pembuat beton. Sebab, umumnya limbah pabrik logam mengandung silika yang berdaya ikat. Kendati di udara bebas limbah besi dan tembaga bisa masuk saluran pernapasan dan menimbulkan penyakit, pada beton, partikel umumnya berikatan dengan semen dan air. Semestinya bahan ini tidak berbahaya untuk manusia.

Namun, menurut Tavio, masih perlu penelitian lebih lanjut untuk menguji permeabilitas atau waktu yang diperlukan udara, air, atau bahan kimia untuk meresap dalam pori beton berbahan alternatif ini. Dari uji permeabilitas ini, bisa ditentukan berapa lama usia beton.

Selain itu, perlu pula diteliti keamanan bahan-bahan ini apabila beton melapuk. Tavio menambahkan, penelitian dengan memadukan penggunaan limbah batu bara, limbah besi, dan limbah tembaga juga perlu dilakukan. Saat ini pengajar Jurusan Teknik Sipil ITS masih terus mencari bahan-bahan lain yang bisa menjadi materi alternatif pengganti semen, pasir, dan kerikil.

26 Agustus 2010
Source:http://cetak.kompas.com/read/2010/08/26/02445841/yang..limbah.yang.kuat

Tuesday, April 20, 2010

Izin Pinjam Pakai Hutan Dorong "Lifting"

Produksi minyak mentah siap jual atau lifting diperkirakan akan meningkat pada tahun 2014. Hal ini sebagai dampak kebijakan Menteri Kehutanan yang akan mempercepat proses izin pinjam pakai kawasan hutan untuk eksplorasi dan produksi migas.

Menurut Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R Priyono, Jumat (16/4) di Jakarta, percepatan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan migas membantu percepatan peningkatan produksi migas.

Selama ini banyak lapangan migas di kawasan hutan tidak bisa dieksplorasi dan berproduksi karena izin pinjam pakai untuk kegiatan migas itu tidak kunjung diberikan kementerian terkait. Padahal, potensi cadangan minyak di atas 100 juta barrel.

Kalau izin cepat terbit, kegiatan eksplorasi bisa dilakukan dalam 3-6 tahun. ”Jadi, lapangan migas di kawasan hutan bisa berproduksi paling cepat tahun 2014,” ujarnya.

Untuk menjaga kelestarian hutan yang dijadikan lokasi pengeboran, sektor hulu migas wajib menempatkan dana abandonment and site restoration (ASR) sebesar 141,45 juta dollar AS di sejumlah bank pemerintah. Dana ini adalah dana cadangan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk membongkar fasilitas operasi perminyakan sebelum meninggalkan wilayah kerja yang akan ditutup.

”Dibanding pertambangan lain, migas relatif tidak merusak lingkungan karena wilayahnya tidak luas dan kegiatan di bawah tanah,” kata Priyono.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan akan memprioritaskan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan oleh industri pertambangan untuk mendukung peningkatan target lifting minyak. Menhut juga akan menyiapkan regulasi yang mendukung percepatan investasi untuk mengeksploitasi geothermal.

”Sektor migas menjadi perhatian kami, terutama untuk mendukung kenaikan target lifting. Kami juga menyiapkan aturan tentang pemanfaatan energi di kawasan hutan untuk pembangkit listrik,” kata Menhut.

Menurut Menhut, izin pinjam pakai kawasan hutan tidak butuh waktu lama. Namun, pengusaha yang telah mendapat izin pinjam pakai tetap harus mengurus analisis manajemen dampak lingkungan (amdal) untuk mencegah kerusakan lingkungan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Menhut memegang penuh hak kawasan hutan. Karena itu, semua kegiatan yang akan memakai kawasan hutan harus melalui persetujuan Menhut. (evy/ham)

17 April 2010
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/17/03473129/izin.pinjam.pakai.hutan.dorong.lifting

Friday, April 9, 2010

Teknologi Pengolahan Limbah Sawit Tingkatkan Gizi

Teknologi biofermentasi dan penambahan enzim pada limbah sawit mampu meningkatkan kandungan gizi hasil samping industri sawit. Ini peluang besar bagi industri pakan untuk mendapat bahan baku murah, menekan biaya produksi, serta mengurangi ketergantungan impor.

Orasi ilmiah pengukuhan Dr Ir Arnold Parlindungan Sinurat sebagai profesor riset bidang nutrisi pakan dan ternak ini disampaikan pekan lalu di Bogor, Jawa Barat. Arnold membawakan orasi ilmiah berjudul Teknologi Pemanfaatan Hasil Samping Industri Sawit untuk Meningkatkan Ketersediaan Bahan Pakan Unggas Nasional.

Menurut Arnold, dari jumlah dan kandungan gizi, hasil samping industri sawit, seperti lumpur sawit, bungkil inti sawit, dan solid heavy phase sangat berpotensi digunakan sebagai bahan pakan ternak unggas dengan pemanfaatan teknologi biofermentasi dan penambahan enzim.

Fermentasi lumpur sawit paling efektif bila menggunakan Aspergillus niger dengan suhu ruang fermentasi 38 derajat celsius selama tiga hari dilanjutkan proses enzimatis selama dua hari.

Proses ini meningkatkan nilai gizi lumpur sawit seperti kandungan protein kasar naik dari 11,9 persen menjadi 22,7 persen. Kandungan protein sejati dari 10,4 persen menjadi 17,1 persen, energi metabolis dari 1.593 kilokalori per kilogram menjadi 1.717 kilokalori per kilogram, asam amino metionin dari 0,14 persen jadi 0,16 persen.

Pemanfaatan Aspergillus niger pada bungkil inti sawit mampu meningkatkan kandungan protein kasar hingga 36,4 persen, protein sejati 25,1 persen.

Hasil uji pemanfaatan menunjukkan, penggunaan lumpur sawit terfermentasi bisa dilakukan pada ayam broiler hingga 10 persen dan itik hingga 15 persen. Fermentasi bungkil inti sawit dengan Trichoderma viride bisa gantikan 50 persen jagung dan 50 persen protein bungkil kedelai pada ransum ayam petelur. Pemanfaatan hasil samping ini mampu meningkatkan nilai tambah. (MAS)

05 April 2010

Wednesday, March 10, 2010

Sawit Rawan Pelanggaran HAM

Dinilai Hambat Pemenuhan Target Emisi

Pembukaan jutaan hektar perkebunan kelapa sawit berisiko mengancam keanekaragaman hayati dan memunculkan pelanggaran hak asasi manusia. Pembukaan kebun kelapa sawit pun menyulitkan Indonesia memenuhi target reduksi emisi 26 persen pada 2020.

Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad menyatakan, pemerintah telah menyetujui pembukaan 26,7 juta hektar untuk perkebunan kelapa sawit. Hal itu disampaikannya dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (8/3), terkait sengketa lahan pasca-pembukaan lebih dari 6.140 hektar perkebunan sawit oleh sebuah perusahaan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

”Izin yang diterbitkan pemerintah itu mencakup pembukaan kawasan hutan dan lahan gambut. Dari izin itu telah dibuka 9 juta hektar kebun kelapa sawit yang tersebar di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, dan lokasi lainnya,” kata Chalid.

Ia mengingatkan, setiap hektar kelapa sawit harus dirawat dengan satu hingga tiga liter herbisida per tahun.

”Jika ada 26 juta hektar sawit, artinya setiap tahun ada 50 juta liter herbisida disiramkan di Indonesia. Itu mengancam keanekaragaman hayati. Pembukaan kebun sawit juga memperparah dampak perubahan iklim” kata Chalid.

Dia menyatakan, pembukaan perkebunan sawit secara besar-besaran juga berpotensi memunculkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Menurut dia, sengketa lahan pasca-pembukaan 6.140 hektar lebih perkebunan sawit di Kabupaten Tapanuli Tengah hanya salah satu pembukaan kebun sawit yang sarat pelanggaran HAM.

”Sawit Watch mencatat, pembukaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia memunculkan lebih dari 630 kasus sengketa tanah,” kata Chalid.

Sengketa

Pembukaan perkebunan sawit tersebut memunculkan sengketa tanah antara perusahaan tersebut dan 806 warga di lima kecamatan di Tapanuli Tengah. Pastor Martinus Rantinus Manalu Pr dari Keuskupan Sibolga selaku pendamping para warga menjelaskan, sengketa terjadi karena izin pembukaan lahan untuk perkebunan sawit tumpang tindih dengan lahan seluas 1.319,82 hektar milik warga.

”Dan, sebagian lahan warga itu sudah bersertifikat hak milik. Izin pembukaan 6.140 hektar lahan di Kecamatan Manduamas dan Sirandorung diterbitkan Bupati Tapanuli Tengah pada 9 Desember 2004. Namun, kebun kelapa sawit PT Nauli Sawit dibuka di lima kecamatan, yaitu Manduamas, Sirandorung, Andam Dewi, Sorsorgadong, dan Sorkam Barat. Pembukaan kebun sawit itu merampas tanah transmigran, pengungsi dari Nanggroe Aceh Darussalam, menyerobot tanah Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi seluas 666 hektar,” kata Manalu.

Tokoh agama setempat, Ustaz Muhammad Sodikin Lubis menuturkan, upaya para warga menuntut pengembalian tanah mereka justru berujung dengan intimidasi dari sejumlah pihak.

”Ada PNS yang dimutasi karena menuntut pengembalian tanah. Ada 10 warga divonis bersalah melakukan perbuatan tidak menyenangkan karena menuntut pengembalian tanah mereka. Ada warga ditikam, dibakar rumahnya. Kasus itu sudah diadukan kepada DPR, tetapi tidak kunjung ada penyelesaian. Seolah-olah banyak pihak kebal hukum dalam kasus itu,” kata Lubis dalam keterangan pers tersebut.

Staf Kampanye dan Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Utara, Sahat Tarida menyatakan, sengketa sebagaimana terjadi di Tapanuli Tengah akan semakin sering terjadi di Sumatera Utara. ”Rencana penataan kawasan itu hingga 2013 menunjukkan, ada lebih banyak kebun kelapa sawit yang akan dibuka,” kata Tarida.

Chalid menyatakan, pembiaran sengketa tanah sebagaimana terjadi di Tapanuli Tengah menunjukkan pembukaan kebun sawit di Indonesia berlangsung tanpa kendali. ”Itu semakin menunjukkan pemerintah tidak memiliki rencana yang jelas bagaimana memenuhi target penurunan emisi 26 persen pada 2020,” kata Chalid. (ROW)

Selasa, 9 Maret 2010 | 03:49 WIB

Jakarta, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/09/03492985/sawit.rawan.pelanggaran.ham

Monday, March 1, 2010

Indonesia Sasaran Sampah Elektronik

Indonesia Tidak Memiliki Target yang Jelas

Indonesia sebagai negara berkembang menjadi salah satu sasaran pembuangan sampah elektronik dari industri di negara-negara maju. Masuknya 9 truk peti kemas berisi monitor komputer bekas dari Massachusetts, Amerika Serikat, pada 2009, salah satu buktinya.

Jim Puckett, Koordinator Jaringan Aksi Basel (Basel Action Network), mengingatkan itu dalam konferensi pers di sela-sela acara ”Simultanous Extraordinary Conference of the Parties Basel, Roterdam, and Stockholm Conventions” di BICC, Nusa Dua, Bali, Senin (22/2).

Acara itu dihadiri 1.200 delegasi dari 192 negara. Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta membuka acara itu disaksikan Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Pertemuan akan dilanjutkan dengan Konferensi Menteri Lingkungan Hidup Dunia (Special Session of The United Nation Environment Programme Governing Council/GC-UNEP), 24-26 Februari.

Menurut Jim, ekspor sampah elektronik (e-waste) ke negara berkembang bermotif ekonomi. Namun, dalam jangka panjang dampaknya bisa mengganggu kesehatan, seperti merusak susunan saraf anak-anak. Soalnya, sampah elektronik mengandung zat-zat kimia berbahaya yang tidak bisa didaur ulang.

Tentang apakah AS sebagai pihak importir bisa dikenai sanksi atas pengiriman sampah elektronik ke negara-negara berkembang, Jim angkat bahu. ”Ada tiga negara yang tidak mau menandatangani Konvensi Basel, yaitu Afganistan, Haiti, dan Amerika. Jadi, sulit,” ujarnya.

Direktur Eksekutif UNEP Achim Steiner mengingatkan negara-negara berkembang agar bersiap menghadapi banjir sampah elektronik dari negara-negara, seperti China dan India.

Gusti, saat membuka konferensi, membenarkan bahwa Indonesia adalah wilayah sangat rawan untuk pembuangan sampah dan limbah berbahaya. ”Ada sekitar 2.000 titik berpotensi menjadi pintu masuk,” ujarnya.

Aktivitas industri pertanian dan industri lainnya di Indonesia juga menghasilkan bahan beracun dan berbahaya (persistent organic pollutants/POP).

Menurut Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengelolaan Bahan dan Limbah Berbahaya Beracun Imam Hendargo Abu Ismoyo, kasus pengiriman 9 kontainer komputer bekas dari AS sudah diproses secara hukum. ”Barangnya dipulangkan. Importirnya ditegur,” ujarnya.

Tidak jelas

Sementara itu, Minggu, sejumlah perwakilan organisasi nonpemerintah bertemu dengan Gusti. Hadir, antara lain, adalah Chalid Muhammad (Institut Hijau Indonesia), Riza Damanik (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), dan Hendro Sangkoyo (Sekolah Ekonomika Demokratik), dan beberapa orang lainnya.

Menurut siaran pers dari Teguh Surya dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), pada pertemuan itu Gusti menjelaskan tentang pertemuan akbar tersebut.

Namun, menurut pihak lembaga swadaya masyarakat, penjelasan tersebut tidak menyentuh substansi soal penggabungan tiga konvensi (Basel, Rotterdam, Stockholm) karena tak ada analisis dampak pada sisi ekologi, ekonomi, dan politik.

Menteri menjelaskan, setidaknya ada dua keuntungan bagi Indonesia sebagai penyelenggara kegiatan itu, yaitu pertama, dunia akan menilai komitmen Indonesia terhadap lingkungan besar. Kedua, Indonesia dipercaya dapat menyukseskan acara.

”Bagaimana mungkin komitmen terhadap lingkungan hanya dinilai dari penyelenggaraan even global. Seharusnya, Indonesia mesti memiliki target yang lebih berguna bagi kepentingan nasional dan keselamatan warga bukan pencitraan semata, seperti biasa dipertontonkan SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono),” tulis Teguh dalam siaran persnya. (SUT/*/ISW)

Wednesday, October 14, 2009

PROTOKOL KYOTO: Indonesia Waspadai Manuver Negara Maju

Indonesia mewaspadai manuver sejumlah negara maju yang bermaksud menghapus instrumen Protokol Kyoto pascatahun 2012. Manuver sejumlah negara maju sudah nyata pada negosiasi iklim di Bangkok, Thailand, yang berakhir empat hari lalu.

Konsekuensi penghapusan protokol itu, di antaranya, adalah bubarnya pasar karbon, skema pembiayaan reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD), serta bertambahnya emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global dan perubahan iklim.

Niat negara maju menghapus protokol dapat dirasakan delegasi-delegasi negara berkembang, termasuk Indonesia. ”Setidaknya, ada enam negara yang bermaksud menghapuskan Protokol Kyoto,” kata Ketua Delegasi RI pada pertemuan Bangkok, Agus Purnomo, kepada wartawan di Jakarta, Senin (12/10).

Empat negara, di antaranya, Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Uni Eropa. Ada juga negara-negara berkembang yang berkeinginan sama. ”Prinsipnya, mereka menginginkan instrumen baru pascatahun 2012 yang target penurunan emisinya lebih ringan dan bebas,” kata Wakil Ketua Kelompok Kerja Pascatahun 2012 Dewan Nasional Perubahan Iklim Eka Melisa.

Bahkan, Amerika Serikat jelas mengatakan hendak bermaksud mengubah Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC). Protokol Kyoto menegaskan penurunan emisi negara-negara maju (Annex 1) dalam jumlah besar dan terikat. AS mengusulkan target bersama yang jumlahnya berasal dari usulan negara pihak.

Adapun Australia mengusulkan penerapan target pengurangan emisi berdasarkan komitmen per negara. Nantinya, setiap tahun ada evaluasi bersama.

Menurut Agus, usulan-usulan itu tidak memiliki rasa keadilan bagi negara berkembang dan miskin, yang secara historis memiliki jejak karbon kecil. ”Secara jumlah, target emisi yang dihasilkan pasti jauh lebih kecil dari target di bawah hitungan ahli-ahli dunia,” kata dia.

Berdasarkan kajian Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), perubahan iklim dapat dihindari jika kenaikan suhu global tahun 2100 tidak lebih dari 2 derajat dibandingkan dengan suhu tahun 1999. Untuk itu, negara Annex 1 harus menurunkan agregat emisi gas rumah kaca hingga 40 persen. (GSA)

Wednesday, September 30, 2009

Bank Perhatikan Syarat Kelestarian

Ketaatan pada asas kelestarian hendaknya menjadi salah satu indikator bagi perbankan dalam menyalurkan kredit modal usaha ke industri kehutanan. Indikator itu terutama bagi pembiayaan hak pengelolaan hutan.

Menurut Koordinator Program Nasional Greenomics Indonesia Vanda Mutia Dewi di Jakarta, Selasa (29/9), indikator kelestarian itu bukti perbankan serius mendukung praktik pengelolaan kehutanan yang lestari.

Selain indikator taat asas lestari, bank juga harus mengawasi bahwa kredit yang dikucurkan debitor benar-benar untuk sektor kehutanan, bukan untuk usaha di sektor lain yang berpotensi memicu kredit macet.

”Upaya itu akan meningkatkan citra baik bagi sektor perbankan dalam upaya membangun sistem perbankan yang ramah lingkungan,” ujar Vanda.

Perbankan, lanjutnya, harus turut menekan dampak kerusakan akibat eksploitasi hutan yang berlebihan. Bank hanya menyalurkan kredit kepada perusahaan HPH berkinerja baik dan memiliki risiko gagal bayar rendah.

Ia menjelaskan, ada 80 perusahaan HPH yang mengandalkan kredit bank untuk mengelola konsesi seluas 5,91 juta hektar, dengan total kredit Rp 1,64 triliun dan masa pinjaman 10 tahun. (ham)

Rabu, 30 September 2009 | 04:03 WIB

Jakarta, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/04030832/bank.perhatikan.syarat.kelestarian.....

Saturday, September 26, 2009

Indonesia Berpotensi Kembangkan Bioetanol

Para peneliti mengatakan, sebagai negara yang kaya akan hasil produksi pertanian dan perkebunan, Indonesia berpotensi mengembangkan bioetanol sebagai bahan pengganti bensin.

Hal tersebut diungkapkan oleh anggota tim peneliti dari Jurusan Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Teddy Nurcahyadi, di Yogyakarta, Jumat (25/9).

"Bahkan di masa depan, konversi bahan bakar ke bioetanol dapat menjadi solusi terhadap semakin menipisnya kandungan minyak bumi," ujar Teddy.

Menurutnya, bioetanol dapat menjadi pilihan dalam mengurangi kerusakan lingkungan sebagai efek samping berkembangnya dunia industri dan transportasi. Dia mengatakan, ada beberapa kelebihan yang dimiliki bioetanol dibanding bahan bakar bensin, antara lain karena proses produksi lebih ramah lingkungan dan melibatkan penanaman tumbuhan yang menyerap karbon dioksida di atmosfer. Selain itu, pemakaian bioetanol sebagai bahan bakar kendaraan bermotor, lanjut Teddy, lebih ramah lingkungan karena menghasilkan polusi yang lebih sedikit.

"Bioetanol juga memiliki angka oktan yang lebih tinggi daripada bensin sehingga jika dicampurkan pada bensin dengan komposisi tertentu bisa memperbaiki kinerja mesin," katanya.

Dia menambahkan, tingginya angka oktan bioetanol memiliki pengaruh yang bagus terhadap emisi gas buang mesin. Angka oktan yang tinggi menyebabkan pembakaran di dalam mesin berlangsung lebih sempurna sehingga hasil pembakaran yang tidak sempurna berupa karbon monoksida dan hidrokarbon tak terbakar lainnya berkurang.

"Pencampuran bioetanol pada bensin berdasarkan hasil pengujian terbukti menyebabkan turunnya polusi karbon monoksida dan hidrokarbon tak terbakar dari mesin bensin," katanya.

Bioetanol, katanya, merupakan salah satu jenis bahan bakar terbarukan. Bahan bakar ini dapat diproduksi dari berbagai jenis produk pertanian atau perkebunan, seperti tebu, singkong, beras, gandum, sorgum, kentang, jagung, dan buah-buahan.

"Selama kita masih bisa bercocok tanam, selama itu pula kita bisa mengolah aneka produknya menjadi bioetanol," katanya.

Namun, Teddy mengakui, bioetanol memang mempunyai kelemahan yang bersifat teknis. Kelemahan itu muncul karena bahan bakar tersebut memiliki kandungan energi yang lebih rendah daripada bensin.

"Jalan keluar untuk mengatasi kelemahan itu sudah ada, tim kami tertarik melakukan penelitian dalam upaya mengatasi kelemahan teknis bioetanol agar bahan bakar itu dapat dimanfaatkan lebih maksimal di masa depan," katanya.

Monday, September 14, 2009

Ekspor CPO Terganjal Aturan Uni Eropa

Ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) Indonesia ke negara-negara Uni Eropa terancam terhenti beberapa tahun ke depan. Hal ini merupakan dampak dari aturan Uni Eropa mengenai penggunaan energi terbarukan dari sumber yang terbarukan dan isu lingkungan seputar CPO.

Karena itu, menurut Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono, Minggu (13/9) di Jakarta, Indonesia mulai melirik pasar baru CPO di Asia, Eropa Timur, dan Timur Tengah. Meskipun demikian, Uni Eropa tidak bisa ditinggalkan karena termasuk pasar potensial CPO Indonesia.

Dari data yang ada, total volume ekspor CPO Indonesia tahun 2008 mencapai 7.904.179 ton. Dari jumlah itu, sebanyak 968.205 ton di antaranya diekspor ke Uni Eropa melalui pelabuhan di Belanda.

Beberapa negara tujuan ekspor lain adalah India, China, dan Singapura. Pasar Eropa merupakan tujuan ekspor nomor dua terbesar untuk CPO Indonesia setelah India.

Untuk dapat menjual CPO ke Uni Eropa dan memperoleh insentif, menurut Ketua Komisi Sawit Indonesia Rosediana Suharto, para eksportir harus memenuhi kriteria direktif Uni Eropa tentang penggunaan energi terbarukan. Bila tidak memenuhi kriteria dalam direktif, tidak ada insentif dan tidak ada negara Uni Eropa yang mau membeli komoditas itu.

Direktif disetujui Parlemen Eropa pada 23 April 2009. Target energi terbarukan tahun 2020 adalah 20 persen dari keseluruhan negara di Uni Eropa, 20 persen perbaikan efisiensi energi, 20 persen penggunaan energi terbarukan, 10 persen penggunaan energi terbarukan dalam sektor transportasi.

Salah satu cara untuk mengantisipasi pemberlakuan aturan itu adalah memperluas pasar ekspor ke negara lain, seperti China, Pakistan, Banglades, dan negara-negara di Eropa Timur.

”Tentunya ekspansi pasar baru itu harus mendapat dukungan dari pemerintah. Pelaku usaha akan sulit berjalan sendiri,” ujarnya menambahkan. (EVY)

Monday, September 7, 2009

PERLINDUNGAN OZON: Dana Pinjaman Pergantian "Chiller" Belum Diakses

Dana pinjaman lunak penggantian pendingin ruangan skala besar (chiller) hingga kini belum dimanfaatkan penanam modal dalam negeri dan badan usaha milik negara. Dana pinjaman multilateral disediakan Bank Kredit Pembangunan Jerman akhir tahun 2007 lalu.

Sebelumnya, peluang pendanaan dijajaki bersama Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) dengan Bank Dunia.

”Kami belum tahu apa kendala penggantian chiller berbasis refrigeran tidak ramah lingkungan meskipun sudah ada akses pinjaman dana,” kata Asisten Deputi III Urusan Pengendalian Dampak Perubahan Iklim Sulistyowati di Jakarta pada akhir pekan lalu.

Chiller AC biasa digunakan di gedung-gedung, seperti hotel, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan rumah sakit. Chiller AC dengan bahan pendingin freon berbasis chlorofluorocarbon (CFC), yang dikenal sebagai refrigeran atau R-12 dan R-22, mendesak untuk diganti.

Penelitian internasional menunjukkan, molekul-molekul dalam CFC yang terpapar di angkasa menipiskan lapisan ozon dan memiliki potensi pemanasan global 3.750 hingga 10.720 kali karbon dioksida (CO). Jumlah yang sangat besar.

Menurut Kepala Bidang Pendanaan di bawah Deputi VII Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas KNLH Damayanti Ratunanda, Bank Kredit Pembangunan Jerman (KfW) bersedia menyediakan pinjaman hingga Rp 20 miliar per aplikasi kredit penggantian chiller.

Syaratnya, pinjaman hanya bisa diajukan perusahaan modal dalam negeri (PMDN) dan badan usaha milik negara (BUMN). ”Hingga kini belum ada yang memanfaatkan,” kata Damayanti Ratunanda.

Beberapa hotel di Bali dilaporkan pernah mengajukan, tetapi ditolak karena ternyata dimiliki asing (PMA). ”Saya tidak tahu, kenapa PMDN dan BUMN belum mengaksesnya,” kata Damayanti.

300 ”chiller”

Menurut Tri Widayati dari Unit Ozon Nasional, setidaknya ada 300 chiller AS berbasis freon CFC di Indonesia dengan total konsumsi CFC 150 metrik ton. Data Tim Teknis untuk Perlindungan Ozon menyebutkan, terdapat sekitar 3.500 chiller di Indonesia.

”Chiller AC berbasis freon HCFC (hydrochlorofluorocarbon) belum diwajibkan diganti,” kata Tri. Meskipun HCFC yang memiliki unsur klor, yang juga terkait pemanasan global, HCFC belum diwajibkan diganti dalam skema Protokol Montreal.

Indonesia, selaku peratifikasi Protokol Montreal di bawah Konvensi Wina, telah menghapus impor bahan perusak ozon jenis CFC per 1 Januari 2008. Konsekuensinya, refrigeran CFC, R-12 dan R-22, hanya menggunakan bahan sisa atau yang didaur ulang.

Faktanya, kebutuhan chiller AC masih saja tercukupkan. Hal tersebut diakui menimbulkan pertanyaan ketersediaan CFC di Indonesia. Tudingan diarahkan pada suplai dari penyelundupan yang beberapa kali terungkap. (GSA)

Sunday, September 6, 2009

Monumen Hidup Sisa Hutan Tropis

BERJARAK sekitar satu kilometer dari pinggir Jalan Lintas Kalimantan di Kaltim pada Poros Utara yang membelah Taman Nasional Kutai (TNK) terdapat sebuah kawasan cukup menakjubkan. Ya, karena di sana terdapat sebuah pohon ulin (Eusideroxylon zwageri) yang diperkirakan berusia 1.000 tahun. Ket.Foto: Hutan hujan tropis (tropical rain forest) di Kutai Barat, Kalimantan Timur.

Bayangan semula, pohon raksasa itu akan menjulang tinggi mencapai 50-60 meter. Ukurannya batangnya mencapai tiga atau empat kali ukuran batang pohon biasa. Namun, ternyata pohon itu hanya setinggi 25 meter. Batangnya terpotong terkena sambaran petir pada 1920-an.

Kawasan itu kini dikembangkan oleh Balai Taman Nasional Kutai sebagai kawasan obyek wisata alam. Kayu ulin tidak hanya kuat namun eksotis. Di Pulau Jawa, kayu yang dikenal dengan nama kayu besi itu biasa digunakan untuk bantalan rel kereta api.

Keberadaan pohon ulin raksasa itu sepertinya menjadi "monumen hidup" tentang nasib hutan tropis di Kalimantan Timur, khususnya kelestarian kayu besi tersebut di Indonesia. Kian langkanya kayu ulin di Kaltim khususnya, dan wilayah Kalimantan umumnya terlihat dari keberadaan di pasaran, terutama pada kios bangunan. Harga bahan bangunan untuk jenis kayu ulin di gudang kayu log nasional Kaltim sendiri sudah melangit antara Rp2 juta sampai Rp2,5 juta per meter kubik. Hal itu menandakan bahwa keberadaan kayu ulin kian langka.

Dari luas kawasan hutan/lahan Kalimantan Timur yang diperkirakan mencapai 17 juta hektare, sekitar tiga juta hektare mengalami kerusakan parah. Data Dephut yang menjadi referensi Pemprov Kaltim menyebutkan laju kerusakan hutan di Kaltim sekitar 250 ribu Ha per tahun.

Namun, data LMS yang merujuk kepada foto satelit dari lembaga peneliti asing menyebutkan angka lebih besar. Bahkan, ada LSM menunding telah terjadi "kebohongan publik" dari pihak Dephut dalam mengekspose data kerusakan hutan tropis di Kaltim dan Indonesia. Misalnya, Dephut menyebutkan laju kerusakan hutan di Indonesia sekitar dua juta hekare per tahun, sementara data Walhi (wahana Lingkungan Hidup Indonesia) merilis angka 3,5 juta hektare per tahun.

Kian langka

Terlepas dari silang pendapat itu, kenyataannya yang terjadi kayu ulin serta berbagai jenis kayu tropis ekonomis tinggi seperti kapur dan tengkawang kini kian langka dan mahal harganya.

"Salah satu faktor penyebab kerusakan hutan selain oleh industri kehutanan baik resmi maupun gelap (illegal logging) adalah kebakaran hutan, lagi-lagi faktor manusia yang dominan," kata Iman Suramanggala, pemerhati bidang kehutanan.
Pendiri LSM bidang penelitian dan pengkajian kehutanan "Pioner" itu menjelaskan bahwa perlu langkah nyata untuk menyelamatkan hutan tropis dengan melakukan pengawasan ketat terhadap tebangan liar serta rehabilitasi dan reboisasi.

"Upaya penyelamatan hutan melalui reboisasi dan rehabilitasi belum seimbang dengan kerusakan hutan. Laju kerusakan hutan mencapai jutaan hektare per tahun namun upaya pemulihan kembali hanya puluhan ribu hektare per tahun yang benar-benar berhasil," imbuh dia. Harga yang mahal serta permintaan yang tetap tinggi, menyebabkan kayu ulin terus diburu.

Khusus di TNK sendiri, kondisinya kini seperti "meregang maut" karena jumlah peladang liar serta penjarah hutan kian menjadi-jadi. Data Balai TNK menyebutkan sedikitnya 700 warga merambah kawasan yang terletak di Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Kalimantan Timur, itu.

Warga yang diduga berasal dari Kutai Barat, Samarinda, dan Kutai Kartanegara itu merambah kawasan yang diperkirakan mencapai 600 hektare. Mitra TNK yang terdiri atas sejumlah perusahaan perkayuan, migas dan batu bara sebelumnya sempat membangun pagar besi sebagai pembatas. Namun pagar besi itu tidak terlihat lagi.

Padahal selain pagar, Balai TNK bersama mitranya melakukan berbagai program untuk merehabilitasi dan mereboisasi kawasan di pinggir jalan raya yang gundul itu.
Para perambah juga membabat pohon penghijauan dan reboisasi untuk merabilitasi lahan-lahan kritis pada pinggir jalan tersebut.

Perlakuan Khusus

Keberadaan kawasan konservasi itu sudah ditetapkan sejak zaman Kesultanan Kutai, dilanjutkan sampai sekarang sesuai surat keputusan Menteri Pertanian No. 736/1982 dengan luas 200.000 Ha. Kebijakan terakhir mengenai TNK adalah SK Menteri Kehutanan No.325/1995 menjadi 198.629 Ha. Perusakan kawasan itu mulai menjadi-jadi pada masa otonomi daerah pada 2000 yang berlanjut sampai kini.

Bahkan, untuk satu tahun terakhir diperkirakan beban TNK kian berat menghadapi ulah para perambah dan peladang yang masuk ke kawasan itu. Pihak Balai TNK mengaku tidak berdaya menghadapi para perambah dan peladang tersebut karena jumlah personil terbatas sementara "pendatang haram" itu jumlahnya terus bertambah sehingga butuh sekali dukungan "political will" (kemauan politik) Pemda Kutai Timur.

Data Balai TN Kutai menyebutkan bahwa sampai 2004 kebakaran akibat kelalaian manusia telah merusak sekitar 146.080 Ha atau 80 persen dari luas kawasan itu. 

Kerusakan itu diperparah lagi oleh pembalakan liar dan perambahan, terbukti selama 2001-2004, jumlah kayu ilegal yang disita mencapai 246.082 meter kubik (M3). Balai memperkirakan kerugian negara mencapai Rp271,6 miliar. Data ini belum termasuk kasus pada 2007 dan 2008.

Padahal, pengembangbiakan kayu ulin sangat sulit dan butuh perlakukan khusus karena pohon ini tidak bisa tumbuh pada semua kawasan hutan Biasanya tumbuh pada dataran tinggi dengan tanah berpasir. Pengembangbiakan secara benih sangat sulit. Buah pohon ini sama kerasnya dengan kayu ulin sehingga untuk membelahnya hanya bisa digergaji karena mata kampak yang tajam pun akan mental. Sehingga pengembangiakannya hanya dengan cara indukan.

Apabila perusakan hutan terus terjadi tanpa diimbangi dengan upaya serius penyelamatan dari pemerintah, tampaknya ulin raksasa TNK akan menjadi "monumen hidup" satu-satunya ulin tersisa serta menjadi cermin kegagalan pelesarian hutan di Indonesia.(Iskandar Zulkarnaen).

SENIN, 6 OKTOBER 2008 | 21:19 WIB

Saturday, September 5, 2009

Emily, Meretas Ekspor Beras Organik

Tak ada yang mengira kalau dara ini salah satu sosok penting di balik suksesnya Indonesia mengekspor beras organik untuk pertama kali. Dia akrab dengan petani. Ia bersentuhan langsung dengan mereka. Dia juga bukan tipikal pengusaha yang gemar menekan petani kecil.

"Aku mau petaniku menjadi yang paling maju, paling sejahtera hidupnya, dengan menjadikan mereka sebagai pengusaha kecil,” kata Emily Sutanto, pendiri sekaligus Direktur Utama PT Bloom Agro, di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Dengan bendera PT Bloom Agro yang ia dirikan setahun lalu, Emily mengekspor beras organik bersertifikat ke Amerika Serikat. Tahap awal pengiriman sebanyak 18 ton. Pengapalan ekspor beras organik perdana ini dilakukan pada Minggu (30/8) melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Beras organik yang diekspor tak sembarang organik, tapi organik bersertifikat. Kata ”bersertifikat” sekadar membedakan produk beras organik ini dengan beras ”organik” yang ada di pasaran, tetapi sesungguhnya tak mengikuti standar produksi beras organik.

Sertifikat beras organik dikeluarkan Institute for Marketecology, lembaga sertifikasi organik internasional, berbasis di Swiss, yang terakreditasi mendunia.

Logo sertifikat yang dikeluarkan pun tak tanggung-tanggung, langsung untuk tiga negara, yakni AS dengan US Department of Agricultural National Organic Program, Uni Eropa, dan Jepang dengan Japanese Agricultural Standard.

Dengan kata lain, beras organik itu sudah mendapatkan ”paspor” untuk masuk ke negara-negara yang paling ketat memberlakukan sistem keamanan pangannya di dunia.

Beras organik ini diproduksi oleh para petani kecil di tujuh kecamatan di Tasikmalaya, Jabar. Mata rantai dalam sistem perdagangan pun mengadopsi prinsip fair trade, yang oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono disebut-sebut sebagai yang pertama dilakukan oleh pengusaha beras ekspor Indonesia.

Dengan mengadopsi prinsip fair trade atau sistem perdagangan berkeadilan, tujuan menyejahterakan petani bukan lagi omong kosong. Bila suatu kali kedapatan petani organik mengalami tekanan harga, pemutusan kontrak kerja sama ekspor terjadi.

Oleh karena alasan fair trade dan kemanusiaan itulah, Emily tak akan mau menekan harga beli beras. Usaha penggilingan padi yang dapat memberikan nilai tambah bagi petani yang dikelola Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Simpatik bantuan Departemen Pertanian ini dibiarkan tumbuh bersama.

Dia tak harus membeli beras dari petani, tetapi cukup melalui Gapoktan Simpatik agar petani mendapat nilai tambah. Gabah organik setelah diproses di penggilingan milik petani menjadi beras dibeli Emily dengan harga Rp 8.000 per kilogram.

Dengan harga beli yang tinggi, Gapoktan membeli gabah kering pungut dari petani anggotanya dengan harga Rp 3.500 per kilogram atau lebih tinggi Rp 1.500 dibandingkan gabah nonorganik. Pada tahap ini jalur perdagangan semakin pendek dan tidak ada celah bagi tengkulak.

Semakin mantap lagi posisi petani ketika model penanaman padi dengan sistem intensif membuat ada petani yang mampu meningkatkan produktivitas padinya hingga menghasilkan 10 ton gabah kering panen.

Dengan produktivitas setinggi itu, pendapatan kotor petani dalam satu musim tanam (empat bulan) bisa sekitar Rp 35 juta. Apabila dalam setahun padi bisa ditanam tiga kali, pendapatan kotor petani dengan lahan 1 hektar dapat menembus Rp 105 juta.

Mulai dari nol

Kisah perjumpaan Emily dengan beras organik terjadi secara tidak sengaja. Peraih gelar master bidang Manajemen Internasional dan Mass Communication dari Pepperdine University, Los Angeles, California, dan Bond University, Australia, ini pada awal 2008 ditawari Solihin GP, yang dia sebut sahabat keluarganya.

”Bapak Solihin GP waktu itu mengatakan, ’Mau enggak kamu bantu petani? Mereka (petani) mau ekspor beras organik, tetapi pemerintah belum bisa berbuat apa-apa’,” kata Emily mengutip permintaan Gubernur Jabar waktu itu.

Kala itu Emily masih ragu. Dia sangsi, apa benar ada beras yang benar-benar organik di Indonesia. Karena gamang, ia lalu pergi ke Tasikmalaya, dan melihat langsung proses produksi beras organik.

Emily terpana. Mengapa selama ini konsumen beras organik dunia hanya tahu beras organik Thailand saja? Padahal, di Indonesia beras organiknya jauh lebih bagus. Produk beras organik yang dihasilkan begitu orisinal. Secara fisik, beras organik itu lebih empuk dan berat, pertanda banyak kandungan serat dan vitamin.

Proses produksinya juga penuh cinta karena dilakukan secara tradisional. Makin terpikat lagi Emily ketika tahu semangat petani yang berapi-api untuk mengekspor beras organik itu. Namun, mereka tak tahu bagaimana caranya.

”Kalau beras organik dari petani bisa diekspor, ini bisa memacu semangat petani untuk lebih maju,” katanya.

Langkah selanjutnya giliran sertifikasi. Emily menjalani proses ini sampai tiga bulan. Dia memerlukan sertifikasi itu, dengan pertimbangan agar ke depan produksi beras organik bisa berkelanjutan. Di sini perlu diterapkan sistem pengawasan yang dilakukan internal dalam kelompok antarpetani. Dalam hal ini kejujuran petani benar-benar diuji.

Setelah produknya beres, mulailah ia melirik pasar ekspor. Kebetulan dari Cornell University, AS, juga sedang menggarap produk pertanian organik. Jadilah dia dipertemukan dengan calon pembeli, Lotus Foods, yang sangat mendukung program pelestarian lingkungan.

Perbedaan

Bagi Emily, merintis jalan ekspor tidak mudah. Apalagi, sejak usia sembilan tahun ia tinggal di Singapura, AS, dan Australia untuk belajar. Baru sekitar dua tahun lalu dia kembali ke Indonesia. Untuk berkomunikasi dia tak hanya terkendala budaya, tetapi juga bahasa.

Sambil merintis jalan, Emily belajar bahasa Indonesia. Tak jarang, budaya lugas dan cara mengatasi masalah yang tidak bertele-tele seperti yang kerap dia lakukan selama tinggal di luar negeri terbentur budaya petani yang kerap bersikap pasrah.

Ketika ada persoalan menyangkut hama penyakit, misalnya, Emily langsung bertanya mengapa bisa terjadi dan bagaimana solusinya. Pada awalnya petani takut-takut menjawabnya karena mengira Emily marah. Lama-kelamaan mereka bisa memahami cara kerja dia. Apalagi, ketika Emily kerap mengajak petani lesehan membicarakan masalah bersama-sama.

”Aku minta para petani memanggilku Emily saja, jangan panggil ibu karena kami mitra,” ungkap Emily yang tak suka disebut pengusaha.

Dia mengaku tidak akan meninggalkan pekerjaannya sebagai pengekspor beras organik. Dia optimistis beras organik dari Indonesia bisa bersaing di pasaran internasional. Buktinya, tambah Emily, dalam waktu dekat ini sudah ada permintaan untuk mengekspor 19 ton beras organik ke Malaysia.

Biodata

• Nama: Emily Sutanto
• Pendidikan: - Belajar di Singapura sejak berusia 9 tahun - Pepperdine University, Los Angeles, AS - Bond University, Australia

Jumat, 04 September 2009
Penulis: Hermas E Prabowo
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/04/04103897/emily.meretas.ekspor.beras.organik 

Wednesday, September 2, 2009

Serat Rami:Dari Rompi Antipeluru hingga Kaki Palsu

Memiliki sumber hayati melimpah, Indonesia juga kaya bahan serat alam. Pemanfaatannya sebagai bahan komposit yang ramah lingkungan berpotensi menggantikan logam dan plastik. Salah satu sumber serat itu adalah rami yang layak digunakan untuk rompi antipeluru, tabung gas, hingga kaki palsu.

Kembali ke alam” untuk menggunakan bahan yang ramah lingkungan kini menjadi gerakan yang meluas di dunia. Salah satu sumber hayati yang digunakan dan dikembangkan pemanfaatannya adalah serat dari tetumbuhan.

Jumlah tumbuhan yang mengandung serat atau selulosa melimpah di Indonesia dan beberapa telah dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp kertas dan dissolving pulp untuk serat rayon.

Selama ini ada sekitar 11 jenis tumbuhan yang dapat dimanfaatkan bahan selulosanya, baik yang berasal dari batang, buah, maupun daun, yaitu pisang abaka, kelapa, kapas, nanas, tami, sisal, flax (Linum usitatissimum), jute, mesta, dan jerami.

Berbagai produk

Di antara berbagai serat alam yang ditemukan di Indonesia, menurut pakar komposit dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Prof Dr Tresna P Soemardi, paling tidak dua bahan serat, yaitu pisang abaka dan rami, berpotensi dikembangkan menjadi berbagai produk yang berkualitas dan bernilai tinggi.

Serat dari batang pisang abaka (Musa textilis) adalah salah satu spesies pisang yang merupakan tumbuhan asli Filipina, tetapi juga ditemukan sebagai tumbuhan liar di Kalimantan dan Sumatera.

Di Filipina serat abaka diolah menjadi benang hingga menjadi pakaian tradisional. Namun, seratnya yang halus dan kuat ini sejak dulu digunakan sebagai bahan baku kertas uang.

Keunggulan rami

Namun, jika dibandingkan dengan tanaman rami (Boehmeria nivea), abaka tergolong rendah kandungan selulosanya.

Abaka mengandung 60-65 persen selulosa, sedangkan rami pada kulit batangnya berisi 80-85 persen selulosa. Adapun kandungan ligninnya jauh lebih rendah dibandingkan abaka, yaitu 1 : 5.

Karena keunggulannya itu, sejak zaman pendudukan Jepang, tahun 1943, rami sudah dikenal bukan hanya untuk tali tambang, tetapi juga bahan pembuatan karung goni. Karung goni kemudian dijadikan pakaian oleh penduduk Indonesia pada masa sulit itu.

Tanaman ini memang lebih banyak ditanam masyarakat Indonesia dibandingkan dengan abaka sejak dulu karena keunggulan dalam pemanfaatannya itu. Rami sangat cocok dibudidayakan di wilayah barat Indonesia yang beriklim basah karena tanaman ini memerlukan banyak curah hujan sepanjang tahun.

Menurut penelitian Lembaga Penelitian Tanaman Industri, Bogor, hasil rata-rata 1 hektar adalah sekitar 36 ton batang basah dengan rendemen antara 3,5% dan 4,0% sehingga hasil akhirnya diperkirakan sekitar 1,3 ton per hektar serat kering.

Semua berguna

Rami sebagai tanaman tahunan di daerah tropis selama ini telah banyak digunakan. Daunnya merupakan bahan kompos dan pakan temak bergizi tinggi. Pohonnya baik untuk bahan bakar, tetapi yang paling bernilai ekonomi tinggi adalah serat dari kulit kayunya. Hampir semua bagiannya dapat digunakan.

Akhir-akhir ini beberapa pengusaha, terutama swasta, tertarik dan berusaha mengembangkan rami di Indonesia untuk diambil seratnya itu, antara lain karena pasar terjamin meskipun dalam jumlah terbatas, dan produknya diminati Jepang, Korea Selatan, Hongkong, dan Amerika Serikat.

Serat rami digunakan oleh industri tekstil sebagai subsitusi kapas dan bahan baku pulp kertas. Karena memiliki serat yang panjang, rami sangat potensial untuk dikembangkan menjadi pulp putih serat panjang yang selama ini masih diimpor.

Pulp berserat panjang ini digunakan untuk kertas tulis, kertas fotokopi, kertas khusus seperti kertas saring teh celup, kertas dasar stensil, kertas rokok, hingga kertas berharga yang memerlukan ketahanan dan berdaya simpan lama, seperti kertas uang, kertas surat berharga, kertas dokumen, dan kertas peta.

Selain itu, serat rami dengan kandungan selulosa yang tinggi dapat digunakan sebagai bahan baku rayon dan/atau nitroselulosa/NC.

Bahan peledak

Menurut riset peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Industri Pertahanan, selulosa rami merupakan salah satu unsur pokok pembuat bahan peledak dan propelan.

Sejak beberapa tahun terakhir ini Tresna, yang mendalami ilmu komposit di Perancis untuk aplikasi pada badan pesawat terbang, mulai mengolah komposit dari serat alam, khususnya serat rami untuk berbagai produk. Pertama, serat rami dianyam menjadi rompi antipeluru.

Belakangan ini bahan rami yang telah diolah menjadi epoksi terbukti layak berdasarkan pengujian untuk digunakan sebagai tabung gas dan kaki palsu.

”Kaki palsu dari bahan rami, lebih lembut sehingga nyaman dipakai dibandingkan dengan serat kaca,” tutur Tresna, yang telah memperoleh paten untuk pembuatan tabung gas dari bahan rami.

Penggunaan bahan rami untuk kaki palsu diharapkan dapat menolong banyak penyandang cacat kaki, yang jumlahnya tergolong tinggi di Indonesia.

Berdasarkan survei yang dilakukan Departemen Sosial, jumlah penyandang cacat di sembilan provinsi mencapai 299.203 jiwa. Dari jumlah tersebut, kecacatan yang paling banyak penyandangnya adalah cacat kaki, yaitu 21,86 persen.

Selasa, 1 September 2009 | 04:49 WIB
Penulis: Yuni Ikawati

Thursday, August 27, 2009

Aktivitas Pertambangan Mengkhawatirkan

Aktivitas pertambangan, khususnya pertambangan rakyat di Indonesia Timur, telah menimbulkan kerusakan lingkungan hidup yang mengkhawatirkan. Pertambangan rakyat berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan lebih besar daripada pertambangan perusahaan besar.

Hal itu dinyatakan Menneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar seusai membuka Rapat Koordinasi Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sulawesi, Maluku, dan Papua di Makassar, Suawesi Selatan, Rabu (26/8).

”Di Indonesia Timur, ada banyak pertambangan skala besar, seperti Freeport, Tangguh, atau Inco. Mereka memiliki rencana pascatambang dan melakukan pertambangan sesuai amdal. Pertambangan rakyat kecil-kecil, tetapi banyak dan sangat sulit dikendalikan. Ke depan, aktivitas pertambangan harus tunduk kepada Kajian Lingkungan Hidup Strategis,” kata Rachmat.

Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sulawesi, Maluku, dan Papua, Ridwan D Tamin menyatakan, aktivitas pertambangan rakyat yang menimbulkan kerusakan lingkungan terparah terjadi di Bombana, Sulawesi Tenggara.

”Jumlah penambang begitu banyak dan tersebar luas. Aparat keamanan kesulitan mengendalikan,” kata Ridwan. Ia mengakui, jumlah izin pertambangan yang dikeluarkan bupati/wali kota sangat banyak.

Rachmat menyatakan, penanganan aktivitas pertambangan rakyat harus menggunakan pendekatan berbeda dengan penanganan aktivitas pertambangan perusahaan besar. ”Kalau perusahaan besar melanggar aturan, harus dikenai sanksi hukum tegas. Tetapi, untuk penambangan rakyat harus ditangani dengan pendekatan perbaikan kesejahteraan,” katanya.

Ia menyatakan, pengelolaan lingkungan hidup di kawasan Indonesia Timur menghadapi sejumlah tantangan, antara lain kemiskinan dan buruknya infrastruktur. ”Padahal, Indonesia timur memiliki ekosistem khas, keanekaragaman hayati yang tinggi dan harus dilindungi,” kata Rachmat.

Tidak bohong

Terkait presentasi kepada publik tentang penelitian dugaan pencemaran laut di Teluk Buyat, Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman mengatakan, ilmuwan tak mungkin bohong dalam menanggapi hasil penelitian sebuah obyek. Kesalahan dalam penelitian tak bisa dikategorikan kebohongan.

”Masyarakat diminta memahami penelitian pascatambang limbah tailing di Teluk Buyat oleh tim independen,” kata Kusmayanto di Manado, Sulawesi Utara, Rabu. Teluk Buyat merupakan lokasi pembuangan limbah tailing oleh PT Newmont Minahasa Raya.

Ketua Panel Ilmiah Independen (PII) Dr Irene Umboh mengatakan, berdasarkan kajian ilmiah dan hasil penelitian sejak September 2008 diperoleh fakta, kadar arsenik dan merkuri di Teluk Buyat di bawah ambang batas. ”Kadar arsenik di bawah 12 ppm, sedangkan logam merkuri hampir tidak terdeteksi. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata Irene.

PII merupakan gabungan para peneliti dari Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Sam Ratulangi, Manado. (ROW/ZAL)

Sunday, August 23, 2009

Rasio Mal dan Penduduk di Indonesia Masih Longgar

Asosisiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mencatat rasio pendirian mal atau pusat belanja di Indonesia dengan jumlah penduduk masih longgar. Artinya masih diperlukan banyak lagi pendirian mal-mal baru untuk mengimbangi tingkat rasionya, termasuk di Jakarta.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum APPBI Stefanus Ridwan saat dihubungi detikFinance, Minggu (23/8/2009)

"Rasio mal dengan penduduk di Indonesia masih besar, sekarang ini rasionya saja masih satu banding ratusan ribu,"katanya.

Menurutnya perkembangan pembangunan mal di Tanah Air tidak terlepas dari bisnis retail. Saat ini pertumbuhan ritel di Indonesia termasuk yang tertinggi ketiga di dunia namun masih jauh kalah dibawah China. Sehingga kata dia, tidak mengherankan kalau banyak ritel asing yang akan masuk ke Indonesia.

"Hong Kong yang kecil begitu saja sudah ada 200 mal, sedangkan kita yang negaranya besar saja jumlahnya hampir sama 200 juga. Di Hong Kong mal dibangun dengan belasan lantai," katanya.

Bahkan di negara-negara miskin seperti India, lanjut Stefanus, pusat-pusat perbelanjaan dibangun sangat apik dan mewah karena ditopang oleh pasar India dan berkembangnya segala industri disana misalnya kota Mumbai, New Delhi.

Untuk di Tanah Air mecontohkan tingkat pertumbuhan mal di setiap daerah sangat jomplang misalnya, di Bandung yang penduduknya relatif tidak terlalu padat justru rasio malnya relatif sempit dari Jakarta, bahkan di Jawa Timur termasuk Jakarta rasio pendirian mal dengan jumlah penduduk rasionya masih longgar.

"Sebenarnya rasio mal kalau pun sudah mencapai 1: 50.000 orang, itu masih bagus," katanya.
(hen/qom)

Jakarta, 23 Agustus 2009

Tuesday, August 18, 2009

PT Hijau Lestari Targetkan 3 Juta Ha Lahan Hijau

PT Bakti Usaha Menanam Nusantara Hijau Lestari (BUMN HL) menargetkan pengelolaan satu juta hektar lahan hijau di luar kawasan hutan di Provinsi Jawa Barat. Mekanisme pengelolaan lahan hijau tersebut akan dikerjasamakan dengan seluruh pihak, termasuk pemerintah daerah hingga kelompok petani.

Direktur Utama PT BUMN HL, Zufli Ramlan Pohan, Sabtu (15/8), seusai penandatanganan akta pendirian PT BUMN HL di Kantor Perum Perhutani Unit III, Bandung, mengatakan, bisnis inti perusahaan akan difokuskan pada pengelolaan lahan hijau dengan konsep konservasi alam.

PT BUMN HL merupakan anak perusahaan BUMN di bidang agroindustri yang dimodali secara konsorsium oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII, Perum Perhutani, PT Pupuk Kujang, PT Sang Hyang Seri, dan Perum Jasa Tirta II. Perusahaan patungan tersebut bergerak dalam agrobisnis dan agroindustri berbasis pelestarian lingkungan.

Hadir dalam penandatanganan tersebut lima direktur utama masing-masing BUMN pemodal, yaitu Bagas Angkasa (PTPN VIII), Upik Rosalina Wasrin (Perum Perhutani), Aas Asikin Idat (PT Pupuk Kujang), Edy Budiono (PT Sang Hyang Seri) dan Djendam Gurusinga (Perum Jasa Tirta II). Hadir pula Deputi Meneg BUMN Bidang Agroindustri dan Percetakan, Agus Pakpakan.

Secara keseluruhan, PT BUMN HL menargetkan pengelolaan lahan hijau seluas tiga juta hektar di seluruh Pulau Jawa yang direncanakan secara bertahap hingga lima tahun ke depan. Menurut Pohan, pengelolaan lahan akan dititikberatkan dalam lima bidang yakni, air, pangan dalam hal ini tepung-tepungan, pakan ternak, energi biofuel, serta lingkungan.

"Kami optimistis dengan pengembangan perusahaan ini. Terlebih, perusahaan ini menyatukan lima BUMN yang bergerak di bidang yang berlainan namun saling memiliki keterkaitan, ungkap Koordinator PT BUMNHL," Upik Rosalina.

Upik menjelaskan, untuk modal awal telah terkumpul sebesar Rp 10 miliar dari kelima BUMN tersebut. Ditargetkan, perusahaan telah mencapai titik impas atau break event point (BEP) pada tahun pertama. Sementara pencapaian laba, diharapkan dapat dicatatkan mulai tahun kedua atau ketiga.

Senin, 17 Agustus 2009 | 18:39 WIB

BANDUNG, KOMPAS.com-http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/17/18392986/pt.hijau.lestari.targetkan.3.juta.ha.lahan.hijau

Monday, August 17, 2009

Perdagangan Karbon, Menjual Kelestarian Hutan

Pelbagai kengerian tentang masa depan umat manusia, terutama bencana yang diakibatkan kerusakan lingkungan semakin menyebar. Salah satu yang membuat gencar penghembuskan wacana tersebut tentu saja film-film produksi Hollywood, Amerika Serikat (AS). Melalui film-film fiksi ilmiah maupun dokumenternya.

Bagi saya, kengerian yang disebarkan secara menghibur tersebut merupakan sebuah bentuk pelajaran mengenai lingkungan yang mudah dicerna banyak orang. Bukan tanpa alasan, salah satu prediksi ilmiah memperkirakan bahwa di tahun 2100 akan terjadi peningkatan suhu global antara 1,0 hingga 4,5 derajat Celsius, gunungan es di kutub semakin mencair dan mengakibatkan tinggi muka air laut bertambah 60 sentimeter.

Apa jadinya bila prediksi tersebut benar-benar terjadi? Kota-kota besar di dunia yang kebanyakan terletak di dataran rendah tentu saja tergenang air, sementara penduduknya tersiksa dengan panasnya suhu luar ruang. Risiko lainnya bagi Indonesia, kemungkinan hilangnya ribuan pulau saat permukaan laut meninggi.

Perubahan iklim secara global tentu saja akan mempengaruhi tanaman juga. Produktivitas dan perkembangan hama serta penyakit tanaman akan mempengarui ketersediaan air dan distribusi vektor penyakit manusia. Dalam jangka panjang ketahanan pangan dan air yang dibutuhkan makhluk hidup akan terganggu. Manusia kehilangan sumber kehidupannya.

Perubahan iklim dan peningkatan suhu secara global tersebut dikarenakan banyaknya pelepasan karbon ke udara. Karbon tersebut salah satunya berasal dari sisa pembakaran yang dihasilkan industri maupun rumah tangga. Karbon yang terdapat di udara akan menipiskan dan menggangu kemampuan atmosfir untuk memantulkan sinar ultraviolet yang dipancarkan matahari. Hal ini biasa dikenal juga dengan efek gas rumah kaca.

Dalam sebuah lokakarya yang digelar Wetlands International, dipaparkan antara tahun 1850 hingga 1998 diperkirakan 270 gigaton (Gt) karbon telah dilepaskan ke atmosfer. Bagian terbesar disumbangkan aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan industri, yaitu sebesar 67 persen.

Pembukaan lahan secara global dalam waktu 20 tahun terakhir telah mengakibatkan terlepasnya 1,65 Gt karbon per tahun. Lebih dari 80 persen berasal dari negara berkembang dan Indonesia sendiri menyumbangkan sembilan persen (0,155 Gt karbon) dengan kemampuan penyerapan 0,110 Gt karbon. Hutan memang memiliki fungsi sebagai penyerap (sink) dan penyimpan (reservoir) karbon, istilahnya carbon sink.

Dunia pun tidak tinggal diam, hal itu harus diatasi dengan cara mengurangi emisi dari sumbernya dan juga meningkatkan kemampuan penyerapan. Dalam Konvensi Perubahan Iklim Dunia (The United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) yang diperdengarkan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi 1992 di Rio de Janeiro, komitmen penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) itu telah disepakati sekitar 150 negara, termasuk Indonesia.

Komitmen itu dimatangkan dalam Konferensi Negara Pihak (COP) III UNFCCC tahun 1997 yang melahirkan Protokol Kyoto. Negara-negara maju bersepakat menekan emisi mereka ke tingkat lima persen di bawah tingkat emisi 1990. Target itu dicapai dalam periode komitmen pertama, antara 2008-2012. Gas-gas penting yang disebutkan dalam Protokol Kyoto adalah karbondioksida (CO), metana (CH), nitrogen oksida (NO), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur hexafluorida (SF6).

Sejak saat itu pulalah, berkembang tren baru, perdagangan karbon (carbon trade). Perdagangan karbon merupakan istilah untuk aktivitas penyaluran dana dari negara-negara penghasil emisi karbon kepada negara-negara yang memiliki potensi sumberdaya alam untuk mampu menyerap emisi karbon secara alami. Konservasi dimotivasi dengan imbalan dana segar melalui skema pembangunan bersih (clean mechanism development/CDM).

Hal ini merupakan peluang yang sangat baik untuk memanfaatkan potensi alam. Tentunya dengan cara lain selain menebang pohon. Karena yang dihitung dalam perdagangan karbon adalah hutan yang ada dijaga kelestariannya dan penanaman pada kawasan bukan hutan. Serta melakukan perbaikan kawasan hutan yang rusak dengan cara reboisasi.

Indonesia dengan luas hutannya, berpotensi untuk memasuki era perdagangan karbon tersebut. Berdasarkan data ADB - GEF - UNDP menunjukkan Indonesia memiliki kapasitas reduksi karbon lebih dari 686 juta ton yang berasal dari pengelolaan hutan. Jika harga rata-rata per ton karbon sebesar US$ 5, maka Indonesia berpotensi menjual sertifikat surplus karbon senilai US$ 3,430 milyar atau sekitar Rp 34 triliun.

Perhitungan tersebut memang belum menyertakan karbon yang dilepaskan oleh Indonesia sendiri. Tetapi, semakin banyak hutan lindung, semakin banyak pohon yang ditanam di setiap lahan kosong, semakin luas lahan yang direhabilitasi dan direboisasi tentunya akan meningkatkan potensi penerimaan dana.

Hal ini menjadi insentif moral bagi semangat Departemen Kehutanan dalam melakukan konservasi sumber daya alam hutan dan rehabilitasi lahan. Seperti yang sudah dilakukan selama ini melalui berbagai gerakan dan kampanye. Di antaranya Gerakan Penananam Serentak Indonesia yang memiliki tema dan target tersendiri setiap tahunnya, serta Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL).

Bagi negara, mekanisme perdagangan karbon tentunya menguntungkan. Keberhasilan dalam upaya menjaga, meningkatkan, dan mengembalikan kelestarian hutan yang dalam operasionalnya menghabiskan biaya yang tidak sedikit ternyata malah menghasilkan keuntungan dalam bentuk finansial.

Tawaran Nyata Untuk Indonesia

Jika selama ini perdagagan karbon masih dianggap sebagai wacana, tawaran yang paling nyata untuk perdagangan karbon datang belum lama dari Australia. Medio November 2008, Carbon Strategic Global (CSG) Australia menawarkan pembelian oksigen yang dihasilkan hutan di Sumatera Barat.

Oksigen yang diusulkan itu diproduksi hutan lindung dalam wilayah 10 kabupaten dan satu kota di Sumatera Barat. Seluas 865.560 ha hutan lindung itu berada di Kabupaten Solok seluas 126.600 ha, di Solok Selatan 63.879 ha, Tanah Datar 31.120 ha, Pesisir Selatan 49.720 ha, Pasaman 232.660 ha, 50 Kota 151.713 ha dan Kabupaten Agam 34.460 ha. Lalu di Kabupaten Pasaman Barat 56.829 ha, Padang Pariaman 19.894 ha, Sijunjung 85.835 ha dan hutan lindung di Kota Padang yang luasnya 12.850 ha.

CSG telah menawarkan kompensasi Rp 900 miliar per tahun untuk oksigen yang diproduksi hutan-hutan lindung di Sumatera Barat tersebut. Jika perdagangan itu terealisasi, maka dana kompensasi akan diterima juga oleh pemerintah daerah yang memiliki kawasan hutan lindung dan menghasilkan oksigen.

Dana yang cukup besar itu, selain menjadi pendapatan baru bagi daerah juga bisa dimanfaatkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan dan masyarakat adat pemilik ulayat hutan lindung. Sehingga upaya untuk menuju pemanfaatan hutan yang lestari untuk kemakmuran rakyat segera terwujud. Segala permasalahan seperti kasus pencurian kayu, pembakaran hutan, perambahan hutan dapat ditekan semaksimal mugkin, dampaknya tentu positif secara ekonomi dan sosial.


Jakarta - 13 Agustus 2009,

Penulis: MS Kaban: Menteri Kehutanan

Thursday, August 13, 2009

Wah, Sehari Cimahi Bakar 75 Ton Batu Bara

Sedikitnya 50 pabrik atau perusahaan industri di Kota Cimahi, Jawa Barat, menggunakan bahan bakar batu bara dalam proses produksinya.

"Ada sekitar 50 pabrik di Cimahi yang menggunakan bahan bakar batu bara," kata Kepala Seksi Pengendalian Pencemaran Lingkungan (Kasi PPL) Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Kota Cimahi, Ir Rachman, di Gedung Pemkot Cimahi Jalan Raden Demang Hardjakusumah Kota Cimahi.

Setiap harinya rata-rata pabrik di Kota Cimahi menggunakan 15 ton hingga 75 ton baru bara. "Dari jumlah tersebut (15- 75 ton batu bara), setidaknya 10 sampai 20 persennya menghasilkan limbah dan yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun (B3)," kata Rachman.

Dengan demikian, diperkirakan setiap pabrik per harinya membuang sekitar 300 limbah batu bara sisa pembakaran berupa limbah halus serupa debu dan limbah kasar semacam pasir, yang mengandung limbah bahan bekas berbahaya (B3).

Oleh karenanya, pihak Kantor Lingkungan Hidup Kota Cimahi telah menginstruksikan ke 50 pabrik pengguna batu bara, supaya tidak sembarang membuang limbah batu bara.

Selain itu, Kantor KLH Kota Cimahi juga memberi kesempatan kepada pihak swasta atau investor untuk memanfaatkan limbah batu bara menjadi sebuah produk barang yang bermanfaat dan bebas dari limbah B3.

"Untuk pembuangan limbah, kami telah bekerja sama dengan pihak lain untuk menyediakan tempat yang telah ditentukan, yakni Karawang dan Palimanan," katanya.

Terkait dengan pemanfaatan limbah batu bara yang melibatkan investor di Kota Cimahi, Rachman, mengatakan dari sekitar 300 ton limbah per hari yang dihasilkan 50 pabrik di Kota Cimahi, hanya 134,5 ton limbah per harinya, dimanfaatkan menjadi sesuatu yang bermanfaat seperti pembuatan batako.

"Memang sudah ada pihak swasta yang mengajukan izin pemanfaatan limbah batu bara, tapi kita tidak begitu saja terima, karena harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan," ujar Rachman.

Dikatakannya, salah satu persyaratan yang harus dipenuhi perusahaan untuk mendirikan pengelolaan imbah B3 ialah harus ada kesiapan mesin atau teknologi untuk mengolah limbah tersebut menjadi barang yang aman dari B3 dan harus ada analisa dampak lingkungan (Amdal).

Kamis, 13 Agustus 2009 | 10:02 WIB

CIMAHI, KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/12/16535719/cihui....hujan.meteor.perseid.bisa.dilihat.dari.seluruh.indonesia

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...