Monday, January 11, 2010

Kelautan: Bunaken Jangan Diusik Rehabilitasi

Kelestarian Taman Laut Nasional Bunaken, Sulawesi Utara, hendaknya tidak diusik dengan berbagai proyek rehabilitasi semu dari pemerintah maupun lembaga peneliti yang berakibat merusak rona asli taman laut tersebut.

Pakar terumbu karang Dr Yani Khusen dan pakar bioekologi kelautan Dr Winda Mingkid dari Universitas Sam Ratulangi di Manado, Sabtu (9/1), mengkhawatirkan intervensi berlebihan melalui berbagai proyek penelitian di Taman Laut Bunaken akan berakibat buruk sehingga mengganggu ekosistem yang sudah ada.

Menurut Winda, tindakan introduksi, yaitu memasukkan organisme baru ke dalam satu habitat, apabila tidak diawali dengan penelitian dengan baik bakal mengganggu ekosistem dari perairan tersebut. ”Bunaken harus dijaga dari intervensi seperti itu,” katanya.

Aktivitas gencar

Yani Khusen mensinyalir belakangan ini aktivitas rehabilitasi oleh sejumlah lembaga penelitian dan lembaga swadaya masyarakat di kawasan taman laut Bunaken cukup gencar.

Intervensi itu dimulai dengan melakukan restorasi karang dengan media keramik, kemudian diikuti dengan penanaman mangrove serta melepas penyu di sekitar Laut Bunaken.

Menurut Yani, masuknya unsur dari luar akan merusak rona asli alam dan taman laut Bunaken.

Beberapa waktu lalu dia pernah menegur sejumlah oknum LSM dari Jakarta yang melepas ikan kerapu bebek di sana. ”Itulah yang saya bilang rehabilitasi semu demi proyek,” katanya.

Ia mengatakan, restorasi karang dilakukan oleh sejumlah peneliti dari Tokyo University Marine Science and Technology sejak tahun 2006.

Ia menilai, cara restorasi karang itu kurang tepat. Semestinya karang-karang rusak di Bunaken direhabilitasi dengan program transplantasi.

Beberapa waktu lalu sejumlah ahli karang dari Jepang menemukan cara baru untuk menyelamatkan sekaligus melakukan restorasi populasi terumbu karang atau koral di sejumlah wilayah laut dunia, terutama laut Bunaken dan Manado Tua. Cara itu dengan membuat ecoreef berbentuk jari-jari dari bahan keramik.

Menurut Yani, pemerintah Provinsi Sulut mestinya mengeluarkan larangan untuk kegiatan rehabilitasi yang tidak diawali dengan penelitian terlebih dahulu. ”Jika tidak (ada larangan), Bunaken hanya menjadi obyek eksploitasi orang luar tanpa memerhatikan aspek ekosistem yang sudah ada,” katanya.(zal)

Senin, 11 Januari 2010 | 04:06 WIB

Manado, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/11/0406125/bunaken.jangan.diusik.rehabilitasi

Tuesday, January 5, 2010

PERUBAHAN IKLIM: Potensi Ikan Kita Bisa Turun

Hasil Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen sangat mengecewakan karena melenceng jauh dari harapan masyarakat dunia. Hasil Kopenhagen mengandung ketidakpastian dalam pembatasan emisi CO ke atmosfer. Hal lain yang jadi pertanyaan, mengapa isu kelautan tidak masuk dalam teks ”Copenhagen Accord”.

Jadi, laut tidak diperhitungkan dalam mitigasi perubahan iklim. Keputusan ini sebenarnya adalah hal yang wajar. Chris Sabine, peneliti National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan kawan-kawan. (2004) melaporkan, pada era sebelum industri, laut global adalah pelepas karbon ke atmosfer. Kondisi pada waktu itu adalah seimbang.

Ketika revolusi industri terjadi di Eropa, maka emisi CO di atmosfer mulai bertambah dan seiring dengan itu laut berubah menjadi penyerap CO di atmosfer. Akan tetapi, dalam 20 tahun terakhir ini, ada indikasi penurunan tingkat efisiensi penyerapan laut sehingga besar kemungkinan laut akan berbalik menjadi pelepas karbon.

Gambaran di atas menegaskan bahwa laut selalu mencari kesetimbangan baru, sebagai respons terhadap peningkatan emisi CO di atmosfer. Jadi, peranan laut untuk mitigasi tidak relevan dan tidak tepat masuk dalam mekanisme perdagangan karbon, seperti halnya hutan.

Secara sederhana, negara manakah yang berhak mendapatkan kompensasi untuk perairan samudra belahan bumi utara dan selatan yang tingkat penyerapannya sangat tinggi? Bagaimanakah kompensasi bagi negara-negara tropis yang sebagian besar wilayah lautnya berfungsi sebagai pelepas karbon?

Rekomendasi kebijakan

Saat ini, sudah saatnya kita melupakan perdagangan karbon laut apalagi memperdebatkannya. Hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana merumuskan kebijakan kelautan dalam menyikapi pasca-Kopenhagen, terutama ancaman perubahan iklim yang nyata.

Laporan terbaru dari Cheung, dkk (2009) di jurnal Global Change Biology menyebutkan, dari skenario peningkatan CO di atmosfer sampai 720 ppm (parts per million) pada tahun 2100, maka Indonesia berpotensi kehilangan 25 persen hasil tangkapan ikan. Dengan skenario yang tetap menjaga tingkat emisi pada level sekarang, Indonesia masih berpeluang kehilangan 10 persen tangkapan ikan.

Dalam hal ini, pemanasan global mendorong migrasi ikan- ikan dari perairan tropis ke subtropis sehingga negara-negara lain akan mengalami surplus tangkapan ikan. Selain itu, migrasi ikan yang semakin jauh juga akan berimplikasi kepada biaya penangkapan ikan yang semakin mahal.

Di sisi lain, kita menghadapi banyak permasalahan kerusakan ekosistem pesisir seperti mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Padahal, wilayah pesisir ini adalah daerah pemijahan dan pembesaran ikan, perlindungan pantai, sumber keanekaragaman hayati, dan banyak lagi fungsi ekologis lainnya. Hal ini semakin diperparah dengan aktivitas di daratan yang memperlakukan laut sebagai tempat sampah.

Beberapa catatan sebagai usulan dalam kebijakan adalah sebagai berikut:

1. Penyehatan ekosistem pesisir. Ini berkaitan dengan usaha untuk mengembalikan dan menjaga vegetasi mangrove, padang lamun, dan terumbu karang demi keberlangsungan fungsi ekologis dan jaminan ketahanan pangan.

2. Prioritas perikanan budidaya dan teknologi pascapanen. Dengan adanya jaminan ”kesehatan” ekosistem pesisir, maka pengembangan perikanan budidaya menjadi solusi yang menarik dalam menghadapi persoalan perubahan migrasi ikan. Nelayan-nelayan yang tadinya berorientasi perikanan tangkap, perlu memikirkan dan mempersiapkan diri untuk perikanan budidaya. Jepang adalah contoh negara yang berhasil dalam pengembangan budidaya perikanan laut, termasuk ikan-ikan pelagis besar (tuna). Budidaya juga meliputi penyebaran benih-benih ikan tertentu ke ekosistem pesisir secara bebas. Ini dikenal dengan konsep restocking. Prioritas ekspor ikan segar juga perlu dievaluasi kembali.

3. Adaptasi kenaikan permukaan laut bagi pemukiman, infrastruktur lainnya, dan dampak intrusi air laut.

4. Peninjauan konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Pendekatan yang selama ini berorientasi skala-skala kecil untuk lokasi tertentu perlu beralih pada pendekatan kepulauan Indonesia yang komprehensif.

5. Variabilitas iklim dan perubahan iklim. Hal ini membutuhkan perhatian serius pada masa mendatang dan membutuhkan data dasar yang panjang untuk melihat dampaknya terhadap perikanan. Sebagai contoh, Jonson L Gaol, dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), dan beberapa rekannya (2004) melaporkan di suatu jurnal internasional bahwa saat terjadi El Nino tahun 1997 ada peningkatan klorofil yang ekstrem di Selat Bali sampai awal 1998. Hal ini kemudian diikuti oleh produksi ikan lemuru yang ekstrem pada 1998 itu. Tetapi, produksi ikan yang melimpah mengakibatkan anjloknya harga di pasar akibat ketidaksiapan dalam menghadapi dampak variabilitas iklim ini.

6. Basis data dan peralatan standar untuk studi karbon laut. Pada kenyataannya, tidak ada peralatan standar (sesuai protokol JGOFS-Joint Global Ocean Flux Study) yang menunjang studi karbon laut di Indonesia. Peralatan yang dimaksud adalah untuk pengukuran tekanan parsial CO, total karbon dan buoy-buoy untuk pengamatan real-time fluks karbon udara-laut. Salah satu kegunaan peralatan tersebut adalah pengembangan algoritma khusus laut Indonesia untuk data satelit. Hal ini penting untuk pemantauan berkala saat audit emisi CO karena Indonesia telah berjanji untuk menurunkannya sebesar 26 persen (walaupun sebenarnya tidak diwajibkan). Jika kita tidak memiliki algoritma sendiri, penggunaan algoritma global dari data satelit mungkin saja merugikan kita dalam perhitungan capaian 26 persen. Apalagi, laut kita yang tropis cenderung melepaskan karbon sehingga algoritma dalam data satelit harus mengeluarkan faktor pelepasan laut. Hal ini perlu diantisipasi karena pelepasan laut bukan hasil antropogenik.

Senin, 4 Januari 2010 | 03:07 WIB

Penulis: Alan F Koropitan Dosen pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB

China Menuju Tiga Besar Pembangkit Tenaga Angin

China lagi-lagi menarik perhatian dunia. Setelah membukukan pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan dan menjadi salah satu negara berkembang pesat yang ”ditakuti” negara maju, China menuju negara terbesar ketiga penghasil listrik tenaga angin pada tahun 2010. Klaim itu disampaikan kantor berita pemerintah Xinhua seperti dikabarkan AFP. Pemasangan sejumlah pembangkit listrik tenaga angin dalam waktu dekat, menurut otoritas energi nasional (National Energy Administration’s New Energy Department) akan meningkatkan daya listrik tenaga angin mereka menjadi 20 gigawatt. Hal itu akan menggusur Spanyol, yang saat ini berada pada urutan ketiga di bawah Amerika Serikat dan Jerman. Menurut data Dewan Energi Angin Global (GWEC), AS menduduki posisi pertama dengan potensi produksi 25,2 gigawatt pada 2008 atau 20,8 persen total global. China pada tahun 2008 masih 12,2 gigawatt. 

Akhir tahun 2008, kemampuan energi angin di Spanyol mencapai 16,8 gigawatt. Langkah China tersebut sekaligus diharapkan mengurangi ketergantungan sumber-sumber pembangkit listrik mereka dari batu bara (saat ini diperkirakan 70 persen). Ketergantungan akan batu bara itu menjadikan China sebagai negara berkembang pesat dengan emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global, di bawah AS. Tahun 2020, China menargetkan 20 persen sumber pembangkit listriknya dari energi terbarukan, utamanya dari angin dan air. Niat China mengubah sebagian energi mereka menjadi ramah lingkungan didukung keputusan pemerintahnya mengadopsi ketentuan hukum baru, yang mewajibkan kebutuhan listrik industri-industri diperoleh dari sumber energi terbarukan. (AFP/GSA)

Senin, 04 Januari 2010

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...