Showing posts with label Green Activity. Show all posts
Showing posts with label Green Activity. Show all posts

Wednesday, January 26, 2011

"Green Job" Bisa Anda Terapkan di Mana Saja

Ketika saya menjadi senior packaging manager di Dell sejak tahun 2006 lalu, tujuan saya adalah untuk membangun tim pengemasan terbaik di dunia. Bukan hanya dalam industri komputer, melainkan juga di industri lainnya. Pencapaian ini tidaklah mudah, tetapi juga bukan tidak mungkin. Tidak ada peringkat internasional untuk tim packaging terbaik. Jadi, kita mendefinisikan apa yang dimaksud terbaik oleh kita sendiri.

Hal ini dapat dijabarkan dalam tiga hal. Pertama, untuk menciptakan kemasan yang sangat inovatif. Kedua, menggunakan sumber daya minimal dan berkelanjutan. Ketiga, membantu mengurangi kerumitan untuk konsumen dan biaya untuk perusahaan.

Saat saya menerapkan prinsip-prinsip ini, banyak kejutan yang saya temui. Kata-kata lingkungan, hijau, atau berkelanjutan mungkin tidak tertera di titel pekerjaan saya, tetapi parameter-parameter inilah yang telah mengubah posisi saya di Dell menjadi sesuatu yang dapat Anda sebut, green job. Setelah mempraktikkannya sendiri, saya percaya bahwa dengan tujuan yang tepat dan fokus, semua orang dapat melakukan hal yang sama, apa pun posisi Anda dan industri tempat Anda bekerja.

Ketika tim kami meletakkan kacamata lingkungan dalam melakukan pekerjaan kami, hal ini membawa pada tiga strategi baru yang kami sebut 3C. Cube, seberapa besar kemasannya? Content, terbuat dari apakah kemasan itu? Ada materi yang lebih baik untuk membuatnya? Curb, apakah bahan baku kemasannya dapat dengan mudah didaur ulang oleh konsumen?

Strategi tersebut ternyata menuai kesuksesan, memberikan hasil yang menarik untuk Dell, konsumen kami, dan planet yang kita sebut rumah ini. Semua strategi di atas berakar kembali ke semboyan hijau yang terkenal, reduce, reuse, recycle.

Selama dua tahun terakhir, kami berhasil mengurangi penggunaan bahan baku kemasan hingga lebih dari 8,2 juta kilogram. Pada saat yang bersamaan kami juga semakin banyak menggunakannya kembali. Dalam dua tahun, kami menambah kadar daur ulang (seperti plastik dari bungkus susu) dalam kemasan kami hingga 32 persen. Perusahaan telah mengintegrasikan lebih dari 9,5 juta setengah galon botol susu ke dalam kemasannya. Jumlah ini sama dengan jarak yang terbentang dari Florida hingga Maine, lebih dari 1.500 mil (sekitar 2.400 km).

Kami pun membuat proses daur ulang lebih mudah. Lebih dari setengah bahan baku kemasan kami sekarang dapat didaur ulang dengan mudah oleh konsumen dengan menggunakan program Local Curbside Pick-Up. Kami menargetkan angka ini mencapai 75 persen hingga akhir tahun 2012.

Fondasi 3C telah mengubah tim saya dari insinyur kemasan yang hebat menjadi juara lingkungan yang menginspirasi dalam perusahaan. Saya juga senang melihat industri lain mengambil pendekatan serupa. Baik itu dengan menciptakan kemasan baru yang berkelanjutan untuk yoghurt atau keripik kentang, mendesain garasi parkir, hingga menciptakan sebuah kendaraan elektrik. Perubahan ini juga dapat berupa ide sederhana seperti meminimalkan atau menghilangkan konsumsi kertas dan mengubah kantor menjadi paperless office. Hal ini menunjukkan masyarakat telah mengubah cara pandang mereka mengenai dampak dari pekerjaan mereka.

Saya rasa Anda juga dapat melakukan hal yang sama. Lihatlah bahan mentah dan sumber daya alam yang Anda konsumsi sehari-hari dalam pekerjaan, seperti kertas, listrik, air, dan bensin. Mengonsumsi lebih sedikit dapat mengurangi baik ongkos yang dikeluarkan perusahaan maupun dampak yang ditimbulkan di planet. Apabila Anda memimpin sebuah tim atau seluruh divisi dalam perusahaan Anda, strategi atau perubahan apa yang dapat Anda implementasikan untuk mengurangi konsumsi tersebut?

Cobalah mengawinkan tujuan keberlangsungan lingkungan dengan kebutuhan bisnis Anda. Kami menemukan fakta bahwa banyak dari perubahan yang terjadi telah membuat bisnis kami berjalan lebih baik dari yang terdahulu dan kami pun belum mengorbankan kualitas produk atau kemasan demi lingkungan. Misalnya kemasan bambu kami, insinyur kami menggunakan bahan lokal dengan bambu yang cepat tumbuh untuk menciptakan bantalan produk laptop yang kami produksi di China. Kemasan bambu ini lebih kuat dari bantalan kertas dan lebih aman melindungi produk konsumen kami saat transit. Dengan memilih bahan baku yang lebih berkesinambungan, kami memberikan pelayanan yang lebih baik ke konsumen dan planet kami.

Tindakan yang paling nyata adalah mendaur ulang, entah itu menggunakan100 persen kertas daur ulang di printer kantor atau menggunakan alat daur ulang di area kantor. Utamakan untuk memilih segala sesuatu yang dapat didaur ulang dan lakukan proses ini kapan pun memungkinkan. Di Dell, kami telah mengatur zero-waste goal dalam sistem operasi kami. Walaupun rumit, sangat patut diterapkan untuk membantu pegawai tetap waspada dalam pengawasan lingkungan.

Ketika Anda memikirkannya, pekerjaan apa pun dapat menjadi sebuah green job. Anda hanya harus meletakkan sudut pandang tentang lingkungan dalam setiap pekerjaan yang Anda lakukan setiap harinya dan mulai berpikir tentang efek dari perubahan yang dapat terjadi. Satu hal yang pasti, planet ini dapat menggunakan beberapa pegawai lagi di sisinya.

Penulis: Oliver Campbell, Dell Senior Packaging Manager

26 Januari 2011
Source:http://tekno.kompas.com/read/2011/01/26/11400984/Green.Job.Bisa.Anda.Terapkan.di.Mana.Saja

Thursday, October 14, 2010

Greenpeace Perlu "Diusir" dari Indonesia?

Kredibilitas Greenpeace sebagai LSM internasional di bidang lingkungan hidup kian memudar. Berbagai kalangan mempertanyakan motivasi keberadaan LSM tersebut di Indonesia karena dinilai justru merusak perekonomian nasional.

Seperti diketahui, Greenpeace dituding menggunakan data bohong setelah International Trade Strategies Asia Pasific Global (Asia Global) melakukan audit investigasi. Lembaga audit independen yang berbasis di Melbourne, Australia itu menemukan fakta bahwa selama ini Greenpeace sering melakukan kebohongan public.

Sekjen Prodem Andri menegaskan adanya dugaan data palsu Greenpeace tentu sangat merusak kepentingan nasional. Faktanya, sambung Andri, Greenpeace sudah mengancam perekonomian nasional. Ini membuktikan bahwa pengaruh neokolonialisme masih tertancap kuat di seluruh dunia terutama negara berkembang. Itulah sebabnya, Andri mendesak pemerintah mengkaji ulang kehadiran Greenpeace.

"Greenpeace sama sekali tidak menguntungkan bagi Indonesia, lalu untuk apa dipertahankan?" tandas Andri kepada wartawan di Jakarta, Kamis (7/10).

Andri menjelaskan, dibutuhkan tanggungjawab dan nasionalisme semua pihak untuk mengusir Greenpeace dari Indonesia. Selain pemerintah, Andri meminta agar DPR juga segera turun tangan.

"Ada sesuatu yang tidak fair dalam kegiatan Greenpeace. Untuk itu, Ketua DPR harus memberikan pernyataan tentang adanya upaya destruktif dari pihak asing," katanya.

Sementara pengamat ekonomi Drajad Wibowo mengatakan Greenpeace harus mampu membuktikan bahwa data yang digunakan Greenpeace selama ini adalah akurat. Jika tidak, kredibilitas Greenpeace akan rusak.

"Data harus akurat, informasinya valid, dan dari sumber yang memang bisa dipertanggungjawabkan," katanya. Drajad juga menambahkan, campur tangan pemerintah saat ini sangat mendesak karena menyangkut kepentingan nasional. "Pemerintah harus pro aktif mengungkapkan fakta sebenarnya," tukas dia.

Drajad menegaskan, Greenpeace bisa dikenai pidana maupun perdata jika memang terbukti menggunakan data palsu. "Pidana maupun perdata bisa ditempuh jika terbukti. Pemerintah mulai sekarang sudah harus proaktif. Karena itu, Greenpeace wajib membuktikan keabsahan datanya secepat mungkin. Kalau tidak, bisa panjang urusannya," tegasnya.

Beberapa waktu lalu Direktur ITS Global, Alan Oxley, mengungkapkan, pihaknya
telah mengkaji dokumen bulan Juli 2010 bertajuk "Bagaimana Sinar Mas Meluluhkan Bumi," sebuah laporan yang memfokuskan sebagian besar perhatiannya pada
praktik-praktik kehutanan yang berkelanjutan dari Asia Pulp & Paper (APP) yang berbasis di Jakarta. Menurut Oxley, audit tersebut secara sistematis menganalisis 72 klaim Greenpeace terhadap APP yang mencakup lebih dari 300 catatan kaki dan sekitar 100 referensi.

"Pemeriksaan yang cermat atas bukti tersebut menunjukkan bahwa laporan Greenpeace tersebut sangat menyesatkan dan sama sekali tidak dapat dipertahankan. Klaim tentang ekspansi perusahaan besar-besaran secara rahasia di Indonesia didasarkan pada informasi fiktif. Dan informasi yang mendukung dugaan bahwa perusahaan terlibat dalam praktik kehutanan ilegal pada lahan gambut adalah tidak berdasar maupun merupakan kesalahan yang sangat serius," tegas Oxley. (*/X-11)

07 Okt 2010
Source:http://www.mediaindonesia.com/read/2010/10/07/173691/89/14/Greenpeace-Perlu-Diusir-dari-Indonesia

Tuesday, August 10, 2010

Sinar Mas dan Greenpeace Beda Pendapat Soal Hasil Verifikasi

Hasil verifikasi tim independen yang disusun oleh lembaga verifikasi Control Union Certification (CUC) dan BSI Group terhadap PT Sinar Mas Agro Research and Technology Tbk (Smart) dan induk perusahaan Smart yaitu Golden Agri Resources sudah tuntas.

Pihak Smart mengaku tudingan LSM Greenpeace tidak terbukti berdasarkan hasil verifikasi tersebut, sementara pihak Greenpeace menilai sebagian temuan terhadap Smart terbukti.

"Tuduhan-tuduhan Greenpeace terlalu dibesar-besarkan atau keliru," kata Direktur Utama PT Smart Daud Dharsono dalam acara konferensi pers di Grand Hyatt, Jakarta, Selasa (10/8/2010).

Hal berbeda disampaikan juru bicara Greenpeace untuk Asia Tenggara Bustar Maitar yang menilai sebagian temuan Greenpeace atas Smart terbukti.

"Hasil audit Sinar Mas secara garis besar mengkonfirmasi temuan Greenpeace. Laporan ini menunjukkan Sinar Mas telah menghancurkan hutan dan habibat binatan. Juga mengkonfirmasi menunjukkan perusahaan beroperasi tanpa izin-izin yang diperlukan dan telah memusnahkan lahan gambut," jelas Bustar dalam siaran persnya.

Berikut hasil verifikasi independen melakukan pemeriksaan atas 11 konsesi lahan dengan luasan 182.528 hektar atau lebih dari 40% yang dimiliki oleh Golden Agri dan Smart.

1. Tuduhan Pembukaan Hutan tanpa Izin

Smart telah memenuhi izin pengembangan lahan yang telah ditentukan antara lain izin pemanfaatan kayu (IPK) dan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) sebelum dilakukan pengembangan lahan di seluruh area konsesi di Kalbar.

Khusus untuk Amdal di 6 area konsesi Kalteng, baru selesai setelah dilakukan pembukaan lahan. Hal ini merupakan suatu hal yang keliru terkait masalah ketaatan meski saat ini Amdal di enam konsesi itu sudah selesai.

2. Tuduhan Terhadap Penanaman Lahan Gambut

Telah diidentifikasi bahwa sebanyak 98% areal konsesi tidak ditanam diatas lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter. Meski ditemukan adanya penanaman d iatas lahan gambut diatas 3 meter karena ada beberapa luasan lahan gambut diatas 3 meter yang kedalamannya sporadik dan dalam spot kecil-kecil.

3. Tuduhan deforestasi dan kerusakan habitat orang hutan

Tim verifikasi menyebutkan seluruh lahan yang ada dalam 11 konsesi yang diperiksa mencakup hutan sekunder, lahan terdegradasi dan semak blukar, serta yang telah beralih dari hutan primer jauh sebelum Smart memulai persiapan dan penanaman.

Tim verifikasi juga menyebutkan bahwa proses degradasi area hutan yang menjadi habitat orangutan terjadi jauh sebelum Smart memulai persiapan lahan dan penanaman.

4. Tuduhan pembakaran hutan

Tidak ditemukan buktinya adanya pembakaran dalam proses persiapan dan pembukaan lahan. Sebagian besar titik api dan pembakaran di dalam atau di sekitar area konsesi Smart terjadi sebelum lahan dibebaskan dan dibuka.

5. Tuduhan menyebabkan konflik sosial

Tidak ditemukan bukti adanya dampak sosial yang negatif dari kegiatan kelapa sawit di areal konsesi Smart.

6. Tuduhan dalam upaya keanggotaan selektif RSPO

Golden Agri memiliki 53 perusahaan dibawah kepemilikan yang melakukan kegiatan usaha budidaya kelapa sawit. Smart dan Ivo Mas Tunggal telah menjadi anggota RSPO dan dalam proses memperoleh sertifikasi RSPO. Golden Agri sebagai induk Smart sedang mempertimbangkan pengajuan kenggotaam RSPO.

Daud menilai Greenpeace telah melakukan kekeliruan terkait kampanyenya dan dianggap membesar-besarkan tudingannya. Pihak Smart dinyatakan tak bertanggung jawab atas perusakan hutan primer dan kerusakan habitat Orang Utan yang dialamatkan pada  anak usaha Golden Agri tersebut.

Selain itu hasil tim independen menunjukan bahwa Smart beroperasi secara bertanggung jawab dan dalam koridor hukum serta peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Daud mengatakan hasil tim independen ini bukan lah audit perkebunan seluruh areal perkebunan sawit yang dimiliki Smart dan Golden Agri. Verifikasi ini hanya memverifikasi hasil laporan dari Greenpeace mencakup 11 konsesi yang meliputi 5 konsesi di Kalbar dan 6 konsesi di Kalteng.

Hasil tim verifikasi independen ini dilakukan melalui penelusuran dokumen, penelusuran kronologi, tinjauan lapangan, penelitian, wawancara, audit lapangan yang dilakukan selama 2 bulan.

Sebelumnya dalam tudingan Greenpeace yang dialamatkan kepada Smart meliputi yaitu tuduhan deforestasi hutan primer dan kerusakan habitat Orang Utan, membuka lahan tanpa izin, melakukan pembakaran hutan, membuka lahan gambut lebih dari 3 meter, menyebabkan konflik sosial dan terlibat dalam upaya keanggotaan selektif dalam RSPO.

"Pemutarbalikan Sinar Mas adalah upaya buruk untuk melindungi brand yang tidak berarti untuk menandingi temuan Greenpeace. Kami telah berulang-ulang menunjukkan Sinar Mas mengatakan satu hal dan melakukan hal lainnya. Mereka menghancurkan habitat dan mengatakannya itu adalah manajemen air. Mereka menghancurkan hutan tropis dan mengatakan mereka mengembangkan lahan rusak," kritik Bustar. (hen/qom)

10 Agustus 2010
Source:http://us.detikfinance.com/read/2010/08/10/142535/1417354/4/sinar-mas-dan-greenpeace-beda-pendapat-soal-hasil-verifikasi

 

Saturday, June 26, 2010

1,9 Juta Ha Hutan Dikonversi

Walhi: Usulan Itu Lemah

Provinsi Kalimantan Barat mengajukan alih fungsi hutan alam menjadi nonhutan seluas 1,968 juta hektar dalam revisi tata ruang wilayah kehutanan. Sebagian besar usulan alih fungsi itu dilakukan dengan alasan untuk keperluan permukiman.

Direktur Perencanaan Kawasan Hutan Direktorat Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan Basoeki Karia Atmadja mengatakan itu di Pontianak, Senin (21/6), seusai menghadiri rapat koordinasi revisi rencana tata ruang wilayah kehutanan di Kantor Gubernur Kalimantan Barat.

”Usulan itu akan ditindaklanjuti dengan kunjungan ke lapangan, untuk melihat langsung kondisi kawasan hutan yang akan dialihfungsikan,” katanya.

Alih fungsi (konversi) hutan menjadi nonhutan tersebut merupakan bagian dari usulan revisi kawasan kehutanan seluas 3,2 juta hektar di Kalbar. Selain usulan alih fungsi dari kawasan hutan menjadi nonhutan, ada pula usulan dari satu jenis hutan ke jenis hutan yang lain.

Kendati mengajukan usul alih fungsi kawasan hutan, Kalbar juga mengajukan usul alih fungsi area penggunaan lain menjadi kawasan hutan. Luas kawasan yang diusulkan menjadi hutan mencapai 238.000 hektar. ”Usulan itu juga akan kami tindak lanjuti dengan melihat langsung ke lapangan,” ujar Basoeki.

Tim terpadu yang, antara lain, terdiri atas pegawai Kementerian Kehutanan, akademisi, dan pegawai di instansi kehutanan provinsi akan memulai pengecekan lapangan di Kalbar pada Selasa ini. Mereka akan mencocokkan usulan dengan kondisi lapangan kawasan kehutanan. Hasil dari lapangan itu akan menjadi bahan untuk rapat pleno semua anggota tim.

Basoeki menambahkan, revisi rencana tata ruang wilayah kehutanan adalah hal biasa. ”Tata ruang dan wilayah pasti memerlukan revisi dan usulan itu akan menjadi dasar untuk melakukan revisi,” katanya.

Hutan lindung

Terkait hal itu, Bupati Kapuas Hulu Tambul Husin mengatakan, sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan lindung sehingga pengembangan kawasan amat terbatas. ”Lima puluh enam persen wilayah Kabupaten Kapuas Hulu adalah kawasan lindung sehingga masyarakat kami selama ini seperti rombongan pencuri karena sedikit-sedikit menabrak kawasan lindung itu. Kalau tidak ada revisi, sulit mengembangkan kawasan kami,” ujarnya.

Selain Kalbar, 24 provinsi lain juga mengajukan revisi rencana tata ruang dan wilayah. ”Sebanyak 10 provinsi sudah selesai diproses, sedangkan 15 provinsi masih dalam proses. Dengan demikian, tinggal delapan provinsi yang belum mengajukan usul revisi rencana tata ruang dan wilayah kehutanan,” ujar Basoeki.

Usulan lemah

Kepala Divisi Riset dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Hendrikus Adam menyebutkan, tim terpadu harus jeli dalam mengkaji usulan alih fungsi kawasan hutan menjadi nonhutan.

”Pemerintah sedang berkomitmen untuk menjaga hutan dalam rangka mengurangi emisi karbon. Kalau di lain pihak justru ada usulan untuk mengalihfungsikan hutan menjadi nonhutan, tim terpadu harus sangat hati- hati,” kata Adam.

Di Kalimantan Timur, pemerintah provinsi juga mengajukan hal serupa, yakni mengajukan usulan mengonversi hutan seluas 1,3 juta hektar menjadi nonhutan. Namun, Walhi Kaltim menilai, usulan konversi hutan itu sangat lemah. Sebab, kondisi lahan kritis yang saat ini ada di Kaltim mencapai 6 juta hektar, dengan laju kerusakan mencapai 500.000 hektar per tahun.

”Kami menilai, upaya untuk mengonversi hutan secara besar- besaran ini bukti masih besarnya para kepala di daerah berhasrat merusak lingkungan. Lebih memprihatinkan lagi, belum usulan itu disetujui Menteri Kehutanan, sebagian hutan itu sudah dibuka tanpa izin untuk berbagai kegiatan, seperti perkebunan, jalan, dan tambang,” kata Direktur Eksekutif Walhi Kaltim Isal Wardhana. (AHA/FUL)

Selasa, 22 Juni 2010 | 04:21 WIB

Pontianak, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/22/0421294/19.juta.ha.hutan.dikonversi

Monday, March 1, 2010

Ancol Bangun "Ecopark"

Lapangan golf seluas 33,6 hektar di kawasan wisata Ancol, Jakarta Utara, Rabu (24/2) pagi, berubah total. Ratusan murid kelas IV dan V dari 10 sekolah dasar di sekitar Ancol sibuk menggali lapangan berumput itu. Di setiap lubang ditanam bibit pohon.

Targetnya, akan ada 10.000 pohon bakal mengisi lapangan golf itu. Tindakan para murid SD itu bukan aksi anarki, melainkan mendapatkan restu penuh dari manajemen Ancol Taman Impian.

”Di bekas lapangan golf ini, segera dibangun wahana baru, ecopark yang berbasis edutainment. Ecopark akan dilengkapi berbagai sarana yang bisa dimanfaatkan bagi pendidikan lingkungan hidup, seperti taman flora, fauna, dan fasilitas multifungsi untuk permainan petualangan di lahan terbuka,” kata Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Budikarya Sumadi.

Devan Ramadhan (10), murid kelas V SD Raudhatul Janatin Na’im di Pademangan, Jakarta Utara, menjadi salah satu peserta penanaman pohon di lahan yang dirintis menjadi ecopark Ancol. Bagi Devan, berada di lapangan golf, menggali, dan menanam pohon menjadi pengalaman istimewa. ”Masuk lapangan golf saja belum pernah. Waktu masuk, boleh gali-gali, asyik. Bisa nanam pohon lagi,” kata Devan.

Dadang Zarkoni, Kepala Sekolah SD Raudhatul Janatin Na’im, menambahkan, selama ini golf terkesan eksklusif hanya terbuka untuk kalangan berpunya. Kini, setelah disulap menjadi ecopark, ia dan para muridnya berpeluang beraktivitas di sana.

”Saya rasa ecopark ini akan lebih bermanfaat bagi warga sekitar, juga Jakarta secara umum, dan tentu saja anak-anak. Mudah-mudahan program ini berhasil. Saya berencana sering mengajak anak murid beraktivitas di sini. Mereka bisa belajar langsung di lapangan soal lingkungan,” kata Dadang.

Bagi Ancol sendiri, ambisi untuk mewujudkan ecopark adalah bagian dari impian menjadikan kawasan wisata terbesar di Asia Tenggara. Wahana itu tidak hanya menyajikan berbagai wahana menarik, tetapi juga turut mengajak pengunjung beraktivitas serta memahami arti pentingnya membangun lingkungan yang sehat. Ancol berhasrat menata kawasannya dengan memperkaya elemen natural pada daratan dan pantai yang disebut konsep ”Ancol Hijau (Green Ancol)” dan ”Ancol Biru (Blue Ancol)”.

Selain dihijaukan, taman ini juga akan dilengkapi kanal air. Fungsi kanal adalah menambah tempat tampungan air dan drainase. Kanal itu diharapkan bisa mengantisipasi air pasang, gelombang laut, dan curah hujan tinggi. Selain itu, kanal juga bisa sebagai saluran transportasi air yang bakal menghubungkan berbagai unit wahana di Ancol.

Dalam upaya mewujudkan impian Green Ancol dan Blue Ancol, Ancol didukung Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati). Saat peresmian pembangunan ecopark kemarin, Direktur Kehati MS Sembiring menyumbangkan buku terbaru yang belum resmi diluncurkan untuk umum berjudul ”Keanekaragaman Hayati: Hutan Kota dan Jenis Pohon di Jabodetabek”. Buku itu ditulis Ismayadi Samsoedin, Tarsoen Waryono, dan Latipah Hendarti.(nel)

Kamis, 25 Februari 2010 | 03:21 WIB

Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/25/03211897/ancol.bangun.ecopark

Wednesday, November 25, 2009

Ikat Diri ke "Crane", Enam Aktivis Greenpeace Dibawa Polisi



Sebanyak enam relawan Greenpeace, lima di antaranya warga asing, dibawa ke Polda Riau di Pekanbaru, menyusul aksi lembaga pemerhati lingkungan hidup itu di areal pelabuhan PT Indah Kiat Pulp and Paper, Rabu (25/11) pagi di Perawang, Kabupaten Siak, Riau. Ket.Foto: GREENPEACE/JOHN NOVIS
Sebanyak enam relawan Greenpeace, lima di antaranya warga asing, dibawa ke Polda Riau di Pekanbaru, menyusul aksi lembaga pemerhati lingkungan hidup itu di areal pelabuhan PT Indah Kiat Pulp and Paper, Rabu (25/11) pagi di Perawang, Kabupaten Siak, Riau.

Aksi Greenpeace itu melibatkan 12 aktivis dengan cara mengikatkan diri pada empat alat pengangkat (crane) peti kemas di pelabuhan anak perusahaan Sinar Mas Group itu sehingga seluruh kegiatan bongkar muat menjadi terhenti.

Menurut Hikmat Soerya Tanuwijaya, juru bicara Greenpeace Indonesia, enam relawan Greenpeace yang dibawa ke Polda Riau itu masing-masing adalah Asish Fernandes dari India, Asti Rowesley dari Swiss, Valerie Philip dari Australia, Benoit Calvi dari Belgia, Stepanie Goodwin dari Kanada, dan Bustar Maitar, juru kampanye Greenpeace Indonesia dan Asia Tenggara.

Bustar Maitar yang dihubungi lewat telepon genggamnya mengatakan sedang berada di Markas Polsek Perawang bersama lima aktivis Greenpeace asing lainnya. "Kami masih belum tahu ditangkap polisi atas tuduhan apa. Katanya kami akan dibawa ke Polda Riau di Pekanbaru," ujar Bustar Maitar yang dihubungi lewat telepon genggamnya.

Bustar mengatakan, aksi Greenpeace di lokasi pabrik PT Indah Kiat merupakan protes terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak tegas terhadap komitmen menjaga emisi rumah kaca. Faktanya, Grup Sinar Mas masih juga memakai kayu alam untuk keperluan industrinya dan merusak hutan gambut untuk dijadikan hutan tanaman industri. "Kami meminta SBY mendengar dan melihat protes kami," ujar Bustar.

Komitmen


Humas Sinar Mas, Nurul Huda, yang dihubungi secara terpisah mengatakan mengerti tuduhan Greenpeace terkait aksi yang dilakukan di Perawang. Namun, menurutnya, Sinar Mas sudah mencoba untuk mengurangi dampak rumah kaca dari kegiatan operasional pabrik.

"Kami bukan mau membela diri. Namun, kami juga memiliki komitmen untuk menjaga lingkungan. Faktanya kami sudah menyediakan 72.000 hektar lahan Giam Siak Kecil untuk dijadikan kawasan konservasi yang diakui oleh Badan PBB UNESCO dengan nama Cagar Biosfer Giam Siak Kecil," katanya.

"Kami juga menyediakan 16.000 hektar lahan gambut di Semenanjung Kampar untuk dijadikan kawasan konservasi permanen. Kalau tuduhan tentang penggunaan kayu alam, sejak tahun lalu kami tidak pernah lagi menebang kayu alam. Kalaupun masih ada kayu alam, itu merupakan sisa terakhir kayu tahun 2007 yang sempat berperkara hukum," kata Nurul lagi.

Sampai pukul 11.00 tadi, tiga aktivis Greenpeace masih belum dapat diturunkan dari Crane pelabuhan PT Indah Kiat. Meski sudah dibujuk untuk turun, mereka memilih untuk bertahan.

Sejak awal November 2009, Greenpeace memang getol mengampanyekan pelestarian alam untuk iklim dunia yang lebih baik di masa depan. Lebih dari setengah bulan, Greenpeace melakukan aksi di hutan gambut Semenanjung Kampar, Pelalawan, Riau, yang dirusak oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper.

Sedikitnya, 15 aktivis Greenpeace asing dan dua wartawan asing yang ikut aksi di Semenanjung Kampar dideportasi dari Riau untuk dipulangkan ke negara masing-masing.

RABU, 25 NOVEMBER 2009 | 11:26 WIB

Laporan wartawan KOMPAS Sahnan Rangkuti



Friday, November 20, 2009

HUTAN Di Brasil: Wilayah Kontestasi Politik Terpanas


Menteri Lingkungan Brasil Carlos Minc menuduh lembaga pemerintah lain yang tidak mematuhi hukum-hukum lingkungan demi proyek-proyek pembangunan Amazon. Kondisi itu pula yang, menurut Reuters dan Associated Press (1/6), menyebabkan mundurnya Menteri Lingkungan Marina Silva setahun sebelumnya. Ket.Foto: Hamparan luas lahan tanaman kedelai terlihat di dekat kota Santarem,Para, Brasil, Desember 2004. Menurut para aktivisling kungan, pertanian kedelaimembuat harga lahanhasil penggundulan hutan membubung tinggi.

Jalan raya itu konon akan memudahkan dan mengefisienkan akses transportasi petani dan peternak ke pasar. Namun, Minc mengingatkan, pengaspalan jalan raya BR-319 yang menembus jantung Amazon dari kota Manaus dan Porto Velho itu adalah bencana lingkungan karena melewati wilayah preservasi terbaik dari Amazon. Karena proses yang bertubi-tubi, pemerintah menunda sementara kontrak pembangunan BR-319, sampai 13 wilayah konservasi dibentuk.

Minc juga mengeluhkan usulan perubahan regulasi kehutanan yang melonggarkan upaya-upaya perlindungan lingkungan. Hal itu termasuk penambahan area untuk perubahan tata guna lahan dan mengurangi persyaratan untuk menghutankan kembali wilayah-wilayah hutan yang telah gundul.

Politik-ekonomi

Terkait dengan itu, Koordinator Kebijakan Publik Greenpeace di Brasilia, Rabu (4/11), mengatakan, kabar baik tentang menurunnya tingkat deforestasi tiga tahun terakhir ini tampaknya tak akan bertahan lama,
seiring dengan meningkatnya harga agrokomoditas, seperti kedelai dan daging sapi, yang membuat lesunya ekonomi dalam negeri.

”Deforestasi di Amazon berkelindan dengan siklus ekonomi. Kalau pertumbuhan turun, kegiatan deforestasi juga menurun, pun sebaliknya,” ujar Sergio Leitao, Direktur Kampanye Greenpeace, di Sao Paulo, Selasa (3/11).

Situasi itu digunakan Kongres Brasil yang dipengaruhi oleh sektor agrobisnis dan agroenergi untuk mencuri kesempatan mengubah peraturan dalam Forest Code.

Proposal yang diusulkan itu menambah persentase penggundulan dari 20 persen menjadi 50 persen di properti hutan yang menjadi otoritas petani di Amazon dan mengizinkan Legal Reserve—yakni kawasan yang menurut hukum boleh digunakan untuk kegiatan ekonomi, tetapi spesies lokalnya harus dilindungi—ditanami spesies asing, seperti pohon sawit untuk produksi bahan bakar dan eucalyptus untuk industri bubur kertas (pulp) dan arang.

Wilayah yang sudah kehilangan hampir 18 persen kawasan hutannya karena penebangan dan kebakaran hutan 40 tahun terakhir—lebih besar dari luas Perancis—mengalami kerusakan karena pembalakan dan kegiatan yang bersifat saling memangsa.

”Perubahan yang sedang didiskusikan kongres akan melegalisasi deforestasi 36 persen di tangan sektor swasta,” ujar Nilo.

Situasi itu berpotensi mendorong migrasi lebih besar, perampasan tanah, dan konflik hak-hak atas tanah di Amazon. Jutaan hektar hutan akan dilegalkan untuk ditebang dan dibakar demi kepentingan-kepentingan jangka pendek.

Forest Code 1965

Forest Code yang merupakan produk hukum tahun 1965 telah mengalami amandemen beberapa kali terkait perubahan arah politik-ekonomi di negeri itu. Forest Code mengatur wilayah yang membutuhkan perlindungan penuh (Permanent Protected Areas) di hutan publik maupun swasta untuk melindungi kawasan penyimpan air.

Wilayah yang tersisa boleh digunakan untuk kepentingan ekonomi, termasuk penebangan selektif, tetapi tak boleh dibabat bersih dan diubah tata guna lahannya (land clearing). Izin dari pemerintah dibutuhkan untuk penebangan selektif maupun land clearing di lahan milik swasta. Sampai tahun 1996, regulasi itu menetapkan bahwa Legal Reserve di Amazon sedikitnya meliputi 50 persen dari seluruh properti di pedalaman.

Setelah deforestasi di Amazon mencapai puncaknya tahun 1996, Presiden Hernando Cardoso menambah amandemen Forest Code dengan dekrit yang meningkatkan Legal Reserve sampai 80 persen. Dekrit MP 2166 itu merupakan ketetapan yang seharusnya didukung kongres agar menjadi definitif dan terintegrasi penuh dalam Forest Code.

”Namun, itu tak pernah terjadi,” ungkap Nilo. ”Perlindungan Amazon dan ekosistem lain di Brasil terus dilanggar.”

Hal itu disebabkan insentif pemerintah tidak kompatibel dengan Forest Code dan reforma lahan. Kesulitan lain adalah implementasi hak atas tanah karena banyaknya pendudukan tanah oleh pendatang dan kemungkinan pengambilalihan sehingga pemilik lahan memilih mengabaikan Forest Code.

Forest Code terus menghadapi tantangan dari sektor agribisnis yang punya lobi kuat di parlemen. ”Tahun 2001 muncul versi baru Dekrit MP 2166 yang merekonfirmasi Legal Reserve 80 persen di hutan-hutan Amazon dan 20 persen di ekosistem hutan lainnya di Brasil,” sambung Nilo.

Untuk mengakomodasi kebutuhan lobi pedesaan, MP 2166 mendefinisikan Legal Reserve di sabana-sabana (padang rumput tanpa pohon yang sangat luas) di Amazon boleh 35 persen (sebelumnya 50 persen sampai tahun 1996). Sabana terluas terdapat di Mato Grosso, meliputi sekitar 50 persen wilayah itu. Mato Grosso merupakan penghasil kedelai dan produk daging sapi terbesar di Brasil.

”Praktik peternakan sangat tidak produktif,” ujar Penasihat Senior The Nature Conservacy Bidang Kebijakan Konservasi di Kawasan Amerika Selatan Fernanda Viana de Carvalho. ”Di Negara Bagian Para rata-rata 0,9 kawanan ternak per hektar, rata-rata nasional 1,6.”

Sampai hari Rabu (4/11), kongres membatalkan pembahasan usulan perubahan Forest Code itu. ”Untuk sementara, kita merasa lega,” ujar Nilo.

Namun, Mario Manthovani dari SOS Atlantic Forest mengingatkan kemungkinan pembalasan dari kelompok yang menghendaki perubahan Forest Code. ”Di sini, orang bisa dibunuh karena persoalan ini. Pengusiran suku asli dari hutan mereka juga selalu menggunakan kekerasan,” ujar Mario.

Konflik kepentingan

”Pandangan menteri lingkungan tak bisa sejalan dengan menteri-menteri pembangunan (ekonomi),” ujar Osvaldo Stella Martins, Koordinator Peneliti dari Amazon Environmental Research Institute (IPAM), di Brasilia, Kamis (5/11).

Data resmi Lembaga Penelitian Ruang (INPE) pun bisa digunakan secara berbeda. ”Datanya sangat ilmiah, tetapi kebijakan yang dihasilkan bergantung pada kepentingan politik masing-masing,” ujar Jean Pierre Ometto, peneliti INPE.

Tajamnya konflik kepentingan di antara lembaga-lembaga memperlihatkan terkotak-kotaknya pemahaman tentang masalah hutan dan lingkungan. Hal itu terlihat jelas saat berbincang dengan para pejabat bidang komunikasi Departemen Pertanian, Edit Silva; dari Kementerian Pertambangan dan Energi, Fernando Henrique C Teixertrense; dan dari Kementerian Lingkungan, Ronie Lima.

Edit tidak menyangkal bahwa sektor pertanian (dan peternakan) sebagai penyumbang terbesar deforestasi. Akan tetapi, lapangan kerja dan pemenuhan kebutuhan pangan adalah soal serius dan rumit karena tekanan kependudukan. ”Sekitar 25 juta orang hidup dari hutan. Bagaimana mereka harus hidup,” tanya Edit.

”Memang kebutuhan pangan penting,” tukas Ronie. ”Namun, selama pola konsumsi dan produksi tak berubah, semua upaya menahan laju emisi karbon dioksida (CO) dengan mengurangi deforestasi sampai 80 persen tak ada artinya.”

Fernando mengungkapkan, kebutuhan lahan untuk perkebunan tebu, bahan dasar produksi etanol untuk energi bersih. Namun, disadari, hal itu akan berkonflik dengan kebutuhan lahan untuk pangan manusia dan ternak. ”Namun, dengan teknologi baru, produksi tebu bisa efektif di lahan kecil,” ujar Fernando.

Marina vs Dilma

Persoalan lingkungan tampaknya akan menajam dalam pemilu tahun 2010. Menteri Lingkungan Marina Osmarina da Silva yang mundur dari Partai Buruh akan menjadi calon presiden dari Partai Hijau.

Sementara itu, Presiden Luiz Inácio ”Lula” da Silva yang memenangi dua kali pemilu—menurut konstitusi, tak boleh ikut pemilu lagi—memilih Dilma Rousseff, Head of Staff lembaga kepresidenan, sebagai calon penggantinya dari Partai Buruh.

”Dilma bertanggung jawab atas revolusi pembangunan dengan konsep primitif,” ujar Osvaldo. ”Masalah lingkungan selalu ia pandang dalam perspektif ekonomi,” sambung Cláudio Angelo, editor sains harian terbesar di Sao Paulo, Folha de São Paulo.

Namun, perseteruan dua perempuan itu tampaknya tak akan lama. Menurut Gabriela Goes, mahasiswa tingkat akhir Jurusan Politik Universitas Brasilia,

Marina yang didukung kelompok lingkungan dan Dilma yang didukung partai-partai beraliran kiri tengah akan berkoalisi menghadapi lawan yang tangguh, José Serra, yang didukung partai-partai beraliran kanan tengah.

(MARIA HARTININGSIH)

Jumat, 20 November 2009 | 04:50 WIB

Di Rimba Beton Amazon


”Katanya mau ke Amazon?” Pertanyaan itu akhirnya dilontarkan di Belem pada hari terakhir tugas kami (Jumat, 6/11) setelah berdiskusi dengan 17 narasumber di tempat-tempat terpisah di Sao Paulo, Brasilia, dan Belem di Brasil, untuk mengetahui lebih jauh masalah deforestasi di Amazon dalam kaitannya dengan perubahan iklim.

Kami bahkan sudah siap dengan perlengkapan untuk masuk ke kelebatan hutan hujan tropis terbesar di dunia itu, sesuai dengan penjelasan pejabat bidang komunikasi dan media Kedutaan Besar Inggris di Jakarta sebagai pihak pengundang.

”Anda sedang berada di tengah hutan Amazon,” tukas Bruno Cabral (30) di tengah kekecewaan. Bruno masih kuliah di jurusan hukum universitas swasta di Belem dan penerjemah Portugis-Inggris paruh waktu.

Obrolan yang terpotong-potong itu—karena harus menemui berbagai narasumber yang sudah ditentukan—justru memberikan gambaran yang mengaitkan antara deforestasi di Amazon dengan pengalaman subyektif Bruno sebagai warga Belem.

”Daerah ini,” ia menunjuk wilayah jalan utama di Belem yang sedang kami lewati dalam perjalanan ke lembaga riset Imazon, ”sekitar 20 tahun lalu adalah sungai dengan hutan bakau yang tebal. Saya sering memancing ikan di situ.”

Sebagai warga, Bruno pun takjub melihat perubahan yang begitu cepat di Belem. ”Inilah Amazon, lengkap dengan McDonald’s-nya,” ujar Bruno, terdengar sarkastis, ketika menyebut restoran cepat saji asal Amerika Serikat yang menu utamanya burger daging sapi itu.

Secara sepintas, Bruno menceritakan tentang empat keluarga tuan tanah yang berpengaruh besar pada perkembangan ekonomi dan politik di Belem, termasuk pengembangan kota yang rakus dan tidak terencana.

”Hutan yang paling dekat kota sudah rusak. Yang di seberang sungai hutannya masih jauh lebih bagus,” Bruno menunjuk hutan lebat di seberang Sungai Para, salah satu cabang Sungai Amazon, dari 8-The Heron Mangrove.

Kota Belem yang berdiri tahun 1616 adalah koloni bangsa Eropa pertama di Amazon. Ibu kota Negara Bagian Para—gerbang Amazon—itu kini berpenduduk sekitar 2,09 juta orang. Belem berada di tepi muara Amazon, di bagian utara Brasil, terletak sekitar 100 kilometer di hulu Laut Atlantik.

Gambar besar

Sekilas kisah Bruno memperlihatkan gambaran besar deforestasi di Amazon, yang tampaknya senantiasa terkait dengan politik kekuasaan. Belem hanya salah satu dalam sejarah kota di Brasil yang dibangun dengan cara ”memakan” hutan.

”Sebelum dibangun sekitar 50 tahun lalu, kota Brasilia adalah bagian dari hutan Amazon,” ujar Arnaldo Carneiro Filho, peneliti pada Socio-Environmental Institute (ISA), di Brasilia, Rabu (4/11) siang.

Kata Arnaldo, antara tahun 1945 dan tahun 2000, hutan di Amazon telah memberikan ”bagian-bagian tubuhnya” bagi pembangunan ratusan kota di Brasil. Jalan besar dan kecil sepanjang 300.000 kilometer yang menerabas Amazon mulai dibangun sejak akhir tahun 1960-an.

”Brasil adalah juara utama deforestasi di Amerika Latin. Selain Amazon, hutan Atlantik di Brasil pun hanya tersisa 5-6 persen,” ujar Arnaldo. ”Padahal, 60 persen penduduk bermukim di kawasan itu,” sambung Mario Manthovani dari organisasi nonpemerintah, SOS Atlantic Forest, di gedung parlemen di Brasilia, Rabu (4/11) pagi.

Selama 15 tahun terakhir, Mario dan kawan-kawannya bekerja menyelamatkan sisa hutan yang merupakan pemasok air bersih dan sumber keragaman hayati.

Hutan Atlantik atau Mata Atlaantica membujur di sepanjang pantai Atlantik Brasil dari Rio Grande utara ke selatan terus sampai ke bagian timur Uruguay dan Provinsi Misiones di timur laut Argentina.

Adapun luas seluruh hutan Amazon mencakup Brasil, Peru, Bolivia, Kolombia, Ekuador, Guyana, Suriname, dan Venezuela. Luasnya sekitar 6,7 juta kilometer persegi, hampir dua kali luas Uni Eropa, dengan 60-65 persennya berada di Brasil. Menurut Kiko Brito dari Greenpeace di Sao Paulo, luas Amazon di Brasil sekitar 72 persen dari 8,51 juta kilometer persegi luas negeri itu.

Hutan Amazon sangat penting dalam ekosistem dunia karena sepertiga dari seluruh spesies di dunia terdapat di hutan rimba Amazon. Berbagai obat kanker berasal dari spesies tumbuhan yang hanya terdapat di Amazon.

Hutan hujan tropis terbesar di dunia itu menghasilkan 15-20 persen air bersih dunia, berasal dari Sungai Amazon yang panjangnya sekitar 6.400 kilometer, terbesar kedua di dunia, meliuk dari Pegunungan Andes terus turun sampai ke Samudra Atlantik.

Sejarah kerusakan

”Peternakan, pertanian, khususnya kedelai, dan pembalakan adalah ancaman terbesar di Amazon di samping kegiatan pertambangan,” ujar Dr Jean Pierre Ometto, peneliti pada Lembaga Nasional Penelitian Ruang (INPE). ”Sekitar 70 persen wilayah hutan yang gundul berwujud padang rumput peternakan sapi.”

Brasil adalah pengekspor produk daging sapi (termasuk produk susu dan kulit) terbesar di dunia, khususnya setelah kasus penyakit sapi gila di negara maju. Begitu dikemukakan Kiko Bruno dari Greenpeace, Sao Paulo. Empat korporasi besar dalam negeri, JBS, Bertin, Marfrig, dan Minerva, menguasai 70 persen pangsa pasar produk daging dunia.

”Antara tahun 1990 dan 2003, pertumbuhan produksi daging meningkat 7 persen setahun. Itu sangat tinggi,” ujar Paulo Bareto, peneliti senior dari Imazon.

Hutan yang dihancurkan sejak tahun 1970-an berjumlah 700.000-750.000 kilometer persegi. ”Tekanan terhadap Amazon juga berasal dari pembangunan dam untuk pusat listrik tenaga air yang merupakan 90 persen sumber listrik Brasil. Jumlahnya sekitar 205, termasuk yang masih rencana,” papar Arnaldo.

Menurut Jean Pierre, persoalan terbesar adalah soal kepemilikan lahan. Ini juga terkait dengan spekulasi lahan yang, menurut Penasihat Senior TNC Bidang Kebijakan Konservasi di Kawasan Amerika Selatan Fernanda Viana de Carvalho, nilainya mencapai 1,3 miliar reis per tahun atau sekitar 450 juta dollar AS. Hutan yang masih bagus pun, seperti di Xingu, terancam segala bentuk kegiatan eksploitatif.

Mario menambahkan, sekitar 70 persen lahan hutan dikuasai orang-orang yang punya ”hak istimewa” meskipun secara teori itu adalah hutan publik. Sedangkan menurut Paulo, 50-80 persen properti di hutan dikuasai swasta.

”Sekitar 94 persen deforestasi adalah ilegal dan menginvasi hutan suku asli yang luasnya hanya sekitar 6 persen,” sambung Arnaldo, yang bersama ISA melakukan pemantauan demi hak-hak suku asli yang populasinya tinggal sekitar 700.000.

Penggundulan hutan di Amazon punya sejarah panjang, dimulai tahun 1940-an ketika Presiden Getúlio Vargas meluncurkan program nasional pembangunan di lembah Sungai Amazon.

”Sebagian besar deforestasi terjadi pada akhir tahun 1960-an ketika pemerintah militer Brasil mulai melakukan pembangunan besar-besaran, termasuk pembangunan kota, dam, dan trans- Amazon, serta mengembangkan agribisnis karena mulai awal tahun 1970-an itu Brasil mulai mendekat ke Amerika,” ungkap Arnaldo.

Pembangunan membutuhkan banyak tenaga kerja. Migrasi besar-besaran dari berbagai wilayah meruyak. Pembangunan trans- Amazon telah membuka kesempatan lebih besar bagi perambah untuk merangsek ke bagian hutan yang makin dalam.

Konflik perebutan lahan memanas, khususnya oleh kaum migran dari selatan. Mereka adalah pemodal, yang punya akses ke lembaga-lembaga keuangan, untuk mengembangkan agribisnis.

”Mereka adalah agen penting dalam perubahan tata guna lahan di wilayah selatan Brasil, khususnya di Mato Grosso,” ungkap Arnaldo.

Para petani besar itu merespons pasar komoditas dunia yang secara politik didorong menjadi infrastruktur baru pembangunan. Mereka difasilitasi untuk melakukan perluasan kegiatan pertanian (dan peternakan) serta deforestasi sampai saat ini.

”Mulai tahun 1969, rezim militer membuka hutan Amazon di Manaus untuk asembling produk-produk korporasi transnasional, seperti Honda, CD, dan lain-lain,” sambung Arnaldo. Kegiatan ekonomi di Manaus memberi sumbangan terbesar kelima pada produk domestik bruto (PDB) Brasil.

Dalam ”The Roles and Movements of Actors in the Deforestation of Brazilian Amazonia” pada jurnal Ecology and Society Vol 13 (Juni 2008), Dr Philip M Fearnside dari National Institute for Research in the Amazon (INPA) mengungkapkan sembilan aktor deforestasi terkait bagaimana mereka membalak hutan, di mana wilayah kegiatannya, dan bagaimana interaksi satu sama lain.

Para aktor itu mencakup dari yang paling miskin (migran tanpa lahan dan migrasi yang disponsori negara) sampai yang kaya (petani dan peternak bermodal besar), mulai dari kelompok oportunis (pemodal besar penambang emas) hingga mereka yang tanpa harapan (penyerobot tanah), dari kapitalis pasar bebas (pedagang lintas batas narkotika dan obat terlarang, para operator penggergajian kayu dan pembalak) sampai mereka yang hanya punya sedikit alternatif hidup (para budak utang).

Kelompok-kelompok itu adalah produk dari migrasi yang, menurut Fearnside, ”melibatkan tak hanya pergerakan manusia, tetapi juga pergerakan investasi.”

Jumat, 20 November 2009 | 04:53 WIB

Oleh Maria Hartiningsih

KONSERVASI: Brasil, Pelopor Pemantauan Deforestasi

”Deforestasi di Amazon adalah urusan orang Brasil. Rakyat tak boleh membiarkan pemerintah minta uang dari luar negeri, apalagi utang, untuk perlindungan dan konservasi hutan.”

Pernyataan keras itu datang dari Sérgio Leitão, Direktur Kebijakan Politik Greenpeace, di Sao Paulo, Selasa (3/11), tentang mekanisme pendanaan di dalam negeri, khususnya Amazon Fund, sebagai upaya mengurangi deforestasi.

Amazon Fund, prakarsa Pemerintah Brasil untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan, merupakan alternatif Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Begitu dinyatakan Sergio Wergellin, Kepala Divisi Lingkungan Bank Nasional untuk Ekonomi dan Pembangunan Sosial Brasil (BNDES), di Sao Paulo, Selasa (3/11) petang.

Sasaran utama Amazon Fund adalah penggalangan dana untuk proyek-proyek melawan deforestasi dan mendorong konservasi serta penggunaan yang berkelanjutan dari ekosistem Amazon. ”Sekitar 20 persen dari Amazon Fund digunakan untuk mendukung pengembangan dari pengawasan hutan dan sistem pemantauan di ekosistem Brasil lainnya serta di hutan-hutan tropis di negara lain,” ujar Sergio.

Diyakini, hutan tropis di dunia diperkirakan mampu menyerap sekitar 100 miliar ton karbon, setara dua kali jumlah karbon di atmosfer. Pengurangan deforestasi karena konservasi dan pengelolaan hutan berkelanjutan diyakini membawa manfaat klimatik.

Namun, laju deforestasi tampaknya harus diimbangi dengan penurunan emisi di sektor lain. Inter Press Service (13/11) melaporkan, antara 1994 dan 2007, emisi karbon dioksida (CO) di Brasil meningkat 40 persen, berasal dari kenaikan emisi di sektor industri sebesar 56 persen dan energi 54 persen.

”Kita seharusnya punya target penurunan emisi, tetapi dasarnya harus konkret. Harus ada transformasi di sektor ekonomi, perubahan pola konsumsi dan produksi, serta riset mendalam untuk masalah lapangan kerja,” ujar Paulo Barreto dari Imazon, Belem.

Tak sepi kritik

Usulan Amazon Fund pertama kali dipaparkan dalam Konferensi Para Pihak Ke-12 (COP-12) Kerangka Kerja Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim di Nairobi dan diumumkan dalam COP-13 di Bali.

Amazon Fund merupakan dana privat, dikelola BNDES yang memiliki divisi lingkungan dan menjadi anggota Prakarsa Finansial (FI)—Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP).

Pemerintah Norwegia telah memberikan dukungan dengan sumbangan satu miliar dollar AS dalam tujuh tahun (sampai tahun 2015). ”Bulan April sudah dicairkan 120 juta dollar,” ujar Sergio. Selain itu, Greenpeace, menurut Sérgio Leitão, juga menyumbang 500.000 dollar AS. Target sumbangan diharapkan mencapai 20 miliar dollar AS tahun 2020.

Namun, Amazon Fund tak sepi kritik. ”Amazon Fund tak mampu menyelesaikan semua masalah di Amazon,” ujar Sérgio Leitão. Deforestasi tak hanya menyangkut soal teknis konservasi, tetapi juga mencakup persoalan ekonomi, sosial, dan politik.

Penurunan laju deforestasi di Brasil terkait dengan tiga hal penting, antara lain, larangan menjual produk pertanian (dan peternakan) yang berasal dari kawasan deforestasi di Amazon.

Menurut Kiko Bruno, Greenpeace melakukan advokasi pada masyarakat, korporasi pengguna produk kedelai dan daging (juga produk susu dan kulit sapi), produsen, dan pemerintah sejak tahun 2002. Advokasi itu memberi tekanan pada pasar global untuk menolak produk-produk yang berasal dari deforestasi ilegal di hutan hujan.

Dua hal lain yang menyumbang pada penurunan deforestasi adalah larangan pemberian pinjaman bagi produsen yang melanggar hukum lingkungan dan tindakan keras pemerintah terhadap praktik-praktik deforestasi di 43 kotamadya.

Osvaldo Stella Martins dari Amazon Environmental Research Institute (IPAM) juga merasa kecewa. ”Kami mengajukan proposal, tetapi tampaknya para analisnya lebih tahu pasar modal dibandingkan soal lingkungan. Tak ada transparansi.”

Proposal itu menyangkut peningkatan produktivitas dari 270 lahan kecil (di bawah 200 hektar) yang melibatkan sekitar 300.000 orang. ”Menteri Lingkungan Carlos Minc mengumumkan, proposal IPAM disetujui, tetapi kami tidak diberi tahu. Kabarnya, ada dua proposal disetujui dan akan diumumkan dalam COP-15 Kopenhagen,” ujarnya.

IPAM banyak dikritik karena menerima uang untuk proyek-proyek deforestasi dari korporasi yang dikenal sebagai ”juara pencemar”. Misalnya kelompok Hotel Marriott untuk proyek di Surui dan Proyek Juma yang melibatkan Coca-Cola.

Pionir pemantauan

Brasil adalah satu-satunya negara yang melakukan pemantauan deforestasi secara mendetail berbasis bulanan. ”Brasil adalah pionir dalam pemantauan deforestasi. Datanya menjadi dasar bagi banyak organisasi untuk riset-riset lebih mendalam,” ujar Paulo.

Badan yang berperan penting dalam pemantauan (dan modelling) adalah Lembaga Nasional Penelitian Ruang (INPE), berdiri tahun 1971, di bawah koordinasi Kementerian Sains dan Teknologi.

”Kegiatan ini penting untuk mengetahui berapa banyak perubahan tata guna lahan yang sedang terjadi, di mana, penyebabnya, apa dampak kebijakan publik, dan perkiraan masa depan,” ujar Jean-Pierre bOmetto, peneliti di INPE.

INPE mengembangkan aplikasi pemantauan untuk mendeteksi deforestasi dengan tingkat ketepatan yang tinggi, real time deforestation monitoring system (DETER).Gambar dari satelit dengan resolusi tinggi sangat dibutuhkan untuk memperkirakan total area deforestasi dan mengidentifikasi pembabatan bersih di lahan-lahan kecil (di bawah 100 hektar).

”Kondisi iklim regional banyak bergantung pada apa yang terjadi di Amazon,” sambung Jean-Pierre. Ia menambahkan, INPE mulai mengembangkan program-program prioritas pada tahun 1980-an, khususnya China-Brazil Earth Resources Satellite Program (CBERS), Amazon Research Program (AMZ), dan Center for Weather Forecast and Climatic Studies (CPTEC).

”Lembaga ini mencoba menjadi jembatan antara sains dan pemerintah dalam pembuatan kebijakan,” ujar Carlos Nobre, Direktur CPTEC-INPE.

Ia mengatakan, mekanisme Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD) sangat membutuhkan data akurat, membutuhkan sistem seperti yang dikembangkan INPE. ”Identifikasi butuh sistem, supaya tahu persis, misalnya berapa kandungan karbon dalam lahan gambut,” sambung Carlos.

Data INPE sangat penting bagi IBAMA, Lembaga Pemerintah untuk Masalah Lingkungan dan Sumber Daya Alam Terbarukan, yang tahun ini berusia 20 tahun. IBAMA mengurus semua hal terkait dengan hutan, termasuk menangkap para kriminal hutan dan lingkungan.

”Tidak ada pengampunan bagi mereka,” ujar Pedro Ferraz Cruz, analis lingkungan IBAMA.

Dengan dana lebih dari 20 juta reis atau sekitar 6,5 juta dollar AS dan anggaran 900 juta reis per tahun untuk semua kegiatannya, IBAMA cukup efektif.

Pada tahun 2007, IBAMA memenangi kasus pertama di pengadilan untuk menghentikan ekspor kayu mahoni. IBAMA berperan dalam menghentikan pabrik proses kedelai oleh Cargill, korporasi multinasional bidang benih asal Amerika Serikat.

IBAMA menangkap pembalak dan menghentikan rencana pembangunan pusat listrik tenaga air di kawasan sensitif. Karena itu, banyak upaya dilakukan untuk melemahkan IBAMA. ”Ancaman tak pernah berhenti,” kata Pedro.

Melengkapi semua kegiatan itu, dibentuk Forestry Service yang bertanggung jawab atas Pengelolaan Hutan Berkelanjutan dan Registrasi Nasional Hutan Publik (CNFP) untuk kepentingan Konsesi Kehutanan.

”Sampai Juli 2009, sekitar 211 juta hektar hutan diregistrasi, 93 persennya di Amazon” ujar Marco Conde.

Hanya hutan publik yang diseleksi dalam Perencanaan Tahunan Konsesi Hutan, dapat ditawarkan dalam konsesi.

Persyaratan mendapatkan kontrak penggunaan selama lima sampai 40 tahun sangat ketat, khususnya tahu prosedur Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. Konsesi ini tak memberikan hak kepemilikan, menambang, penggunaan sumber air, perdagangan ikan dan satwa liar, atau perdagangan karbon.

Undang-undang tahun 2006 menguatkan kompetensi Forest Service dalam menciptakan dan bertanggung jawab atas Sistem Informasi Hutan Nasional (SNIF) untuk mengumpulkan, menghasilkan, mengorganisasikan, menyimpan, memproses dan menyebarkan data, informasi, serta pengetahuan tentang hutan dan kehutanan.

Semua itu penting untuk ”mendamaikan” penggunaan hutan dan konservasi, begitu dinyatakan Johan C Zweede, Direktur Eksekutif Institut Hutan Tropis yang melatih prosedur Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. (MH)

Jumat, 20 November 2009 | 04:51 WIB

Tuesday, November 17, 2009

Prihatin! Lahan Kritis Indonesia Capai 51,03 Juta Hektar

Kondisi lahan kritis Indonesia saat ini sangat memprihatinkan, dengan jumlah total mencapai 51,03 juta hektar. 31,53 juta hektar dalam kondisi agak kritis, 14,72 juta hektar kritis, dan seluas 4,78 juta hektar yang tergolong sangat kritis.

Hal tersebut disampaikan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan saat membuka Rapat Koordinasi dan Konsultasi Penyuluhan Kehutanan di Gedung Manggala Wana Bakti, Senin (16/11).

Menurut Zulkifli, illegal logging merupakan salah satu faktor yang memperburuk kondisi lahan kritis, selain pembakaran hasil hutan dan sampah yang juga menimbulkan emisi. “Membakar hasil hutan dan sampah dapat menimbulkan emisi dan merusak lingkungan,” ujar Zulkifli.

Lebih lanjut ia mengimbau masyarakat untuk menghentikan budaya membakar hutan untuk pembukaan lahan baru. “Kebiasaan masyarakat untuk membakar hutan harus diubah,” jelasnya.

Untuk mengatasi illegal logging menurutnya harus dilakukan upaya membangun hubungan yang bagus, sinergi yang positif dengan lembaga terkait seperti dengan angkatan laut, gubernur, dan bupati. “Harus ada harmonisasi hubungan,” jelasnya.

Selain itu ia juga berupaya memperkuat Lembaga Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di daerah-daerah. “Kita hanya akan mendidik dan mengawasinya,” tambahnya.

Thursday, October 29, 2009

TAMAN LAUT: Terumbu Karang Takabonerate Telah Mati

Ekspedisi Takabonerate 2009 pada Sabtu-Minggu (25/10) malam menyimpulkan bahwa terumbu karang di sejumlah titik penyelaman Taman Nasional Laut Takabonerate, Sulawesi Selatan, umumnya telah mati akibat penggunaan bom ikan. Pendataan Balai Taman Nasional Laut Takabonerate pada tahun 2009 juga memperkirakan, luasan kondisi dan luasan terumbu karang lima tahun terakhir ini berkurang.

Survei tahun 2004 menunjukkan, tutupan terumbu karang di Takabonerate masih sekitar 78 persen. Namun, hasil sementara survei tahun 2009 menunjukkan, tutupan terumbu karang di kawasan itu tinggal 60-70 persen.

Ratusan penyelam peserta ekspedisi diberi waktu sekitar tiga jam untuk melakukan penyelaman di perairan Takabonerate. Waktu penyelaman tak sebanding dengan waktu tempuh pelayaran dari Benteng, ibu kota Kabupaten Kepulauan Selayar, menuju Takabonerate, lebih dari enam jam.

Salah satu penyelam, Kapten Jhonny Silalahi (45), menuturkan, tutupan terumbu karang di lokasi penyelaman pertama sudah jarang.

”Masih ada terumbu karang yang hidup, tetapi kerapatannya jarang. Di lokasi penyelaman kedua banyak karang mati karena bom ikan. Itu terlihat dari banyak karang berukuran besar yang roboh dan pecah. Kerusakan itu membuat penyelam sulit mendapatkan pemandangan bawah laut yang indah,” kata Silalahi di KRI Makassar, Minggu malam.

Pengendali Ekosistem Hutan Taman Nasional Laut Takabonerate, Ahmadi, menjelaskan, terumbu karang rusak karena proses alam dan ulah manusia.

Takabonerate memiliki potensi besar dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata, mengingat daerah itu adalah kawasan konservasi dengan karang atol terbesar ketiga di dunia.

Data situs Departemen Kehutanan menunjukkan, sedikitnya ditemukan 261 jenis terumbu karang dari 17 famili. Sejumlah 15 pulau gosong karang di taman nasional itu dikitari titik penyelaman yang memikat. (row)

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...