Monday, February 28, 2011

"Margin Perbankan RI Nomor 1 di Dunia"

 Bank Indonesia (BI) mengklaim bahwa margin perbankan Indonesia adalah yang paling tinggi di dunia. Hal ini disebabkan tidak adanya aturan yang secara jelas mengatur margin wajar perbankan.

"Margin perbankan kita paling tinggi di dunia," ujar Peneliti Utama Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Suhaedi dalam acara workshop Wartawan Ekonomi di Hotel Mansion Pine di Padalarang, Bandung, Sabtu (19/2/2011).


Lebih lanjut dia menjelaskan kalau perolehan laba yang diperoleh secara wajar atau berlebihan itu memang tidak ada aturan nya di Bank Indonesia. Hal itu menyebabkan perbankan dapat dengan bebas menentukan besaran margin yang diinginkan.

"Laba yang diperoleh wajar atau berlebihan, maksimalnya seperti apa itu tidak atur" tambahnya.

Lebih lanjut dia menambahkan bahwa nanti BI akan meluncurkan prime landing rate atau suku bunga dasar yang akan memberikan sosial responsibility (tanggung jawab sosial) serta menuntut transparansi perbankan. "Prime landing rate nanti akan akan memunculkan transparansi dan juga akan menimbulkan sosial responsibility (perbankan)," tandasnya.

Sekedar informasi, Bank Indonesia (BI) menyatakan kesiapan penuh untuk menerapkan peraturan base landing rate atau tingkat suku bunga dasar. Adapun peraturan base landing rate akan diterapkan hanya pada tingkat suku bunga dasar perbankan dan bukan pada tingkat suku bunga kredit.

"Saya menegaskan base landing rate itu bukan tingkat suku bunga kredit, tapi tingkat suku bunga dasar," ungkap Deputi Bank Indonesia Muliaman Hadad saat konferensi pers dengan wartawan di Gedung BI, Jakarta, Jumat (18/2/2010).

Lebih lanjut dia berharap semoga peraturan ini tidak menjadi momok yang menakutkan untuk perbankan tetapi memotivasi perbankan tersebut dan meningkatkan efisiensi perbankan

"Mudah-mudahan ini tidak menjadi suatu yang menakutkan, tapi menjadi motivasi buat bank-bank dan juga dengan maksud kebijakan ini mendorong efisiensi perbankan, dan sistem pengawasan oleh Bank Indonesia," tambahnya.(adn)(rhs)


19 Feb 2011
Source:http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2011/02/19/20/426517/margin-perbankan-ri-nomor-1-di-dunia

"Bunuh Diri" dengan Moratorium Hutan

Terbitnya Letter of Intent RI-Norwegia yang menjanjikan dana hibah 1 miliar dollar AS tahun 2010 membuat masalah moratorium hutan (dan gambut) menjadi topik perdebatan berkepanjangan.
Bukan karena obyek moratorium yang hanya hutan alam primer, atau lahan gambut yang akan ditutup total tanpa pertimbangan teknologi sekalipun, perdebatan kini juga menyangkut efektif tidaknya moratorium. Pengusul moratorium seakan ditempatkan sebagai pihak konservasif, yang jadi pahlawan lingkungan. Pihak lainnya dianggap anti-kelestarian lingkungan kalau ngotot memanfaatkan lahan hutan alam rusak sekalipun.

Moratorium pun diyakini sebagai obat mujarab menjaga hutan dan kelestarian ekosistem. Pemahaman yang tak sepenuhnya benar, bahkan dalam kondisi sosial-ekonomi saat ini bisa jadi sangat keliru dan akan merusak hutan dan ekosistem. Sebuah kontroversi kebijakan yang harus ditetapkan sangat hati-hati.
Moratorium secara permanen, aman gangguan, dan jangka lama memberikan kesempatan kepada hutan bernapas. Plasma nutfah terjaga. Kehidupan satwa dan tumbuhan langka terjamin pengembangannya. Namun, langkah moratorium tak boleh latah. Lapar lahan di lapangan, kebutuhan bahan baku industri perkayuan yang kelebihan kapasitas, lemahnya penegakan hukum, dan anarkisme sosial cenderung berakibat fatal bagi hutan dan keselamatan lingkungan justru jika moratorium diberlakukan.
Wacana moratorium seluruh hutan Jawa yang disuarakan Menneg LH tahun 2004 jelas dianggap mengada-ada tanpa solusi terhadap kemungkinan munculnya problematik yang berat. Apalagi penyebab bencana lingkungan Jawa 75 persen ada di lahan milik di luar kawasan hutan. Sebelumnya, Pemprov Jatim juga membuat rancangan perda moratorium hutan setelah terjadi banjir di Jombang, tetapi dicabut kembali (2003).
Megawati juga menjanjikan kebijakan moratorium jika terpilih saat mencalonkan diri jadi presiden dalam kampanye di Kalteng (Kompas, 16/6/2009). Usulan Walhi memberlakukan moratorium tebangan hutan setelah kecewa dengan terbitnya SP3 Kepolisian RI terhadap kasus pembalakan liar di Riau 2009 hanya dianggap usulan emosional yang tak dipenuhi pemerintah.
Pengalaman moratorium hutan yang telah dilakukan selama hampir tiga tahun terakhir di Provinsi NAD justru terbukti mengakibatkan hutan Aceh rusak berat akibat penebangan liar. Kayu ilegal mengalir ke wilayah Sumatera Utara. Konon, ratusan kilang kayu ilegal di daerah Pidie tetap beroperasi tanpa diusik aparat. Pengalaman moratorium hutan Jawa di awal abad ke-20 oleh pemerintah kolonial Belanda juga menuai keributan para perajin kayu yang tak memperoleh bahan baku, serta protes dari para bupati dan wedana. Hutan jati justru mengalami penjarahan berat, dan Belanda akhirnya mencabut kebijakan itu.
Adakah praktik moratorium hutan yang efektif menjaga kelestarian sumber daya hutan? Vietnam telah melakukan moratorium tebangan hutan alamnya 1997 dengan sukses. Namun, tentu dengan kondisi sosial dan kebutuhan kayu bulat yang sangat berbeda. Pasokan bahan baku kayu bulatnya dipenuhi dari Kamboja, Laos yang kayunya melimpah dan belum diatur dengan baik. Hutan Vietnam terbukti aman, tetapi dengan merusak hutan negara tetangganya itu.
Moratorium selektif
Hutan punya aneka fungsi. Konteks silvikultur hutan menempatkan tebangan kayu sebagai rantai penting yang akan membuat hutan berfungsi maksimum. Tak terkecuali bagi hutan alam produksi. Struktur un-even forest harus diubah jadi even forest. Saat suksesi hutan mencapai klimaks, penyerapan karbon relatif terhenti. Peremajaan hutan jadi solusi agar hutan berperan kembali jadi absorber karbon lima kali lipat dari hutan alam dan efektif mengendalikan pemanasan global. Hutan alam sekunder yang telah rusak dan terbuka tentu tak haram diremajakan.
Moratorium tebangan hutan harus dilakukan secara hati-hati melalui kajian komprehensif yang faktual. Salah satu bahan pertimbangan paling penting adalah adanya peta lahan penyebab bencana (land position map/LPM). Kawasan hutan yang paling layak tak dijamah umumnya merupakan lahan penyebab bencana sesuai LPM wilayah terkait, bukan hutan produksi di dataran rendah. Di samping juga hutan lain untuk kepentingan tertentu, secara selektif.
Moratorium hutan yang tak tepat dan menjauhkannya dari sistem pengorganisasian pemangkuan hutan jelas tak menjamin pemulihan ekosistem dan menyelesaikan masalah lingkungan, bahkan lebih sering berpotensi membangkitkan masalah sosial dan ekonomi serius akibat kondisi hutan yang jadi ”tak bertuan”. Ini juga akan terjadi pada lahan gambut yang tak boleh disentuh di luar kawasan hutan, yang kian berpotensi menimbulkan perambahan hebat dan pembakaran lahan yang menghasilkan bahaya asap. Moratorium hutan dan lahan gambut berpotensi jadi kebijakan ”bunuh diri”.
Kebijakan moratorium hutan (dan lahan gambut) dapat dilakukan jika batasan sosial-ekonomi kebutuhan pengamanan ekosistem lingkungan dan syarat pengamanan hutan dipenuhi. Moratorium seharusnya bukan momok bagi industri pengusahaan kehutanan, tetapi juga bukan sesuatu yang secara latah harus dilakukan pemerintah tanpa kajian mendalam, apalagi hanya untuk jangka pendek yang tidak efektif seperti syarat LoI RI-Norwegia di atas. Moratorium hutan selektif paling mudah diterima semua pihak.
Penulis: TRANSTOTO HANDADHARI Rimbawan Senior; Ketua Umum Yayasan GreenNET Indonesia

Internet Crime Trends 2011

Non-delivery of payment or merchandise. Scams impersonating the FBI. Identity theft.
These were the top three most common complaints made to the joint FBI/National White Collar Crime Center’s Internet Crime Complaint Center (IC3) last year, according to its just-released 2010 Internet Crime Report. The report also includes a state-by-state breakdown of complaints.
In May 2010, the IC3 marked its 10th anniversary, and by November, it had received its two millionth complaint since opening for business.
Last year, the IC3 received more than 300,000 complaints, averaging just over 25,000 a month. About 170,000 complaints that met specific investigative criteria—such as certain financial thresholds—were referred to the appropriate local, state, or federal law enforcement agencies. But even the complaints not referred to law enforcement, including those where no financial losses had occurred, were valuable pieces of information analyzed and used for intelligence reports and to help identify emerging fraud trends.
So even if you think an Internet scammer was targeting you and you didn’t fall for it, file a complaint with the IC3. Whether or not it’s referred to law enforcement, your information is vital in helping the IC3 paint a fuller picture of Internet crime.
Additional highlights from the report:
  • Most victims filing complaints were from the U.S., male, between 40 and 59 years old, and residents of California, Florida, Texas, or New York. Most international complainants were from Canada, the United Kingdom, Australia, or India.
  • In cases where perpetrator information was available, nearly 75 percent were men and more than half resided in California, Florida, New York, Texas, the District of Columbia, or Washington state. The highest numbers of perpetrators outside this country were from the United Kingdom, Nigeria, and Canada.
  • After non-delivery of payment/merchandise, scams impersonating the FBI, and identity theft, rounding out the top 10 crime types were: computer crimes, miscellaneous fraud, advance fee fraud, spam, auction fraud, credit card fraud, and overpayment fraud. 
The report also contained information on some of the alerts sent out by the IC3 during 2010 in response to new scams or to an increase in established scams, including those involving:
  • Telephone calls claiming victims are delinquent on payday loans. More
  • Online apartment and house rental and real estate scams used to swindle consumers out of thousands of dollars. More
  • Denial-of-service attacks on cell phones and landlines used as a ruse to access victims’ bank accounts. More
  • Fake e-mails seeking donations to disaster relief efforts after last year’s earthquake in Haiti. More
Over the past few years, the IC3 has enhanced the way it processes, analyzes, and refers victim complaints to law enforcement. Technology has automated the search process, so IC3 analysts as well as local, state, and federal analysts and investigators can look for similar complaints to build cases. Technology also allows law enforcement users who may be working on the same or similar cases to communicate and share information. 
Because there are so many variations of Internet scams out there, we can’t possibly warn against every single one. But we do recommend this: practice good security—make sure your computer is outfitted with the latest security software, protect your personal identification information, and be highly suspicious if someone offers you an online deal that’s too good to be true.
Resources:
IC3 website

24 Februari 2011

Friday, February 25, 2011

Energi Panas Bumi Dilirik Jerman

Potensi panas bumi Indonesia yang mencapai 40 persen dari potensi panas bumi dunia dilirik investor Jerman. Selama ini, Indonesia belum maksimal menggunakan potensi energi panas bumi, yakni baru sekitar 1.189 megawatt atau 4,2 persen dari potensi yang ada.

Duta Besar Indonesia untuk Jerman Eddy Pratomo mengatakan, riset panas bumi atau geotermal Jerman sangat maju. Namun, negara tersebut terbatas potensinya. Oleh karena itu, berlimpahnya potensi panas bumi Indonesia mempunyai daya tarik tersendiri bagi Jerman.

”Sejak tahun 2010 sudah ada rencana-rencana untuk bekerja sama dan berinvestasi dalam bidang tersebut. Lokasi yang dilirik antara lain Papua dan Aceh,” kata Eddy seperti dilaporkan wartawan Kompas, Indira Permanasari, dari Berlin, Jerman, Sabtu (19/2).

Indonesia menargetkan pada tahun 2005 sekitar 5 persen dari total kebutuhan energi nasional akan dipenuhi dari energi panas bumi.

Saat ini Eslandia adalah negara percontohan pengembangan energi panas bumi di dunia. Pemanfaatan energi panas bumi Indonesia yang baru 1.189 MW menempatkan Indonesia di bawah Filipina (2.000 MW) dan Amerika Serikat (2.700 MW). Padahal, potensi panas bumi Indonesia mencapai sekitar 28.000 MW.

Makky Sandra Jaya, ilmuwan Indonesia yang bekerja sebagai Project Coordinator di International Center for Geothermal Research di GeoForschungs Zentrum (GFZ/German Research Center for Geoscience), mengatakan, panas bumi yang dimanfaatkan Indonesia sangat kecil jika dibandingkan dengan potensi yang ada karena beragam faktor. Salah satu faktornya adalah investasi di sektor panas bumi sangat besar.

Di sisi lain, Jerman sedang berusaha menukar sumber energi mereka ke arah energi yang terbarukan dan ramah lingkungan agar komposisinya lebih dari 30 persen dari total energi guna mengurangi emisi. Panas bumi yang ramah lingkungan menjadi salah satu perhatian.

Jerman aktif meneliti dan mengembangkan sumber panas bumi karena sumber energinya terbatas dan kondisinya lebih sulit dimanfaatkan, Jerman mengembangkan teknologi stimulasi panas bumi (enhanced geothermal). Teknologi itu membuat panas bumi dapat distimulasi sehingga jauh lebih besar hasilnya dan pemanfaatannya lebih efisien.

Kendala
Namun, menurut Eddy, masih terdapat keluhan untuk pemanfaatan panas bumi, antara lain iklim investasi, stabilitas ekonomi, dan politik. Selain itu juga penyelarasan pengembangan energi panas bumi dengan upaya konservasi hutan mengingat panas bumi sebagian besar kemungkinannya berada pada lokasi yang sama dengan hutan konservasi.

”Karena pertimbangan ini, Jerman menjadi sangat hati-hati,” kata Eddy.

Makky mengatakan, investasi energi panas bumi berteknologi tinggi tersebut sangat mahal sehingga mereka juga menginginkan adanya jaminan, seperti adanya harga tetap dan energi yang dihasilkan nantinya dibeli Pemerintah Indonesia. Selain itu, biaya eksplorasi ditanggung bersama.

”Di Jerman yang ingin menukar sumber energi mereka ke arah energi terbarukan dan ramah lihgkungan, pemerintah federal dan negara bagian ikut menanggung risiko investasi eksplorasi yang dilakukan sektor privat. Itu semacam insentif untuk mendorong pengembangan ke arah sumber energi ramah lingkungan,” ujarnya.

Secara umum, kerja sama Indonesia dan Jerman yang tahun depan memasuki tahun ke-60 memiliki tiga fokus kerja sama, yakni perubahan iklim, pengembangan sektor privat, dan pemerintahan yang baik.


21 Feb 2011

Tuesday, February 15, 2011

"Green Finance" Solusi Perubahan Iklim

Konsep green finance atau pengucuran modal dengan menggunakan prinsip ramah lingkungan bisa menjadi solusi dari sektor finansial untuk mengatasi dampak perubahan iklim global.

"Ada dua ancaman serius, yaitu masalah penggunaan energi dan lingkungan hidup yang bisa diatasi dengan green finance," kata Special Advisor Head Environment Finance Japan Bank for International Cooperation (JBIC) Takashi Hongo dalam diskusi yang digelar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) di Jakarta, Kamis (28/1/2011).

Namun, menurut Hongo, untuk menerapkan konsep green finance secara nyata dibutuhkan tekad dari badan finansial, baik swasta maupun pemerintah, untuk mengeluarkan investasi dalam jumlah yang besar. Selain itu, penerapan green finance membutuhkan kemajuan teknologi yang dapat mengurangi dampak perubahan iklim.

Ia mencontohkan, sejumlah nelayan di Jepang beberapa tahun lalu memutuskan untuk menggunakan teknologi LED (light emitting diode) akibat mahalnya harga bahan bakar yang biasa dipakai untuk melaut.

Hongo memaparkan, pada awalnya memang dibutuhkan biaya yang besar untuk membeli dan melengkapi kapal penangkap ikan dengan LED, tetapi setelah digunakan mereka dapat menghemat biaya operasional. "Mereka (para nelayan) meminjam uang dari bank," katanya.

Untuk itu, menurut dia, pembiayaan dan dorongan untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan merupakan kunci yang dibutuhkan dalam penerapan green finance.

Sementara itu, pembicara lainnya, Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Suseno Sukoyono mengatakan, sebenarnya terdapat banyak peluang bisnis atau finansial yang dapat dikembangkan akibat perubahan iklim, termasuk salah satunya green finance.

Apalagi, ujar dia, Indonesia sebenarnya bukanlah merupakan penyumbang emisi terbesar tetapi perubahan iklim telah mengakibatkan sejumlah masalah seperti kenaikan suhu dan naiknya permukaan air laut yang tampak seperti fenomena rob yang akhir-akhir ini kerap terjadi di kawasan Muara Baru, Jakarta Utara.

"Indonesia menghasilkan 1,7 emisi per kapita, sedangkan Amerika Serikat 20,6 dan Australia 16,2," katanya.

Ia juga mengingatkan, krisis energi seperti kenaikan harga minyak yang kini telah mencapai sekitar 100 dolar AS seharusnya juga bisa menjadikan salah satu aspek untuk mendorong penerapan green finance.

Ketua MPN Muhammad Taufiq mengharapkan terbangun jaringan baik di dalam maupun luar negeri atau organisasi internasional dalam menciptakan sumber peluang pembangunan berkelanjutan melaluigreen finance.

"Skema pendanaan green finance dengan dilandasi lingkungan investasi yang kondusif dengan memasukkan aspek perubahan iklim menjadi salah satu solusi penting dalam membangun Indonesia secara berkelanjutan," katanya.

Berdasarkan data MPN, terdapat potensi total ekonomi kelautan Indonesia yang mencapai 800 miliar dolar AS per tahun yang belum sepenuhnya bisa dimanfaatkan antara lain karena kendala biaya.

28 Januari 2011

Wednesday, February 9, 2011

Sejahtera di Negeri Bahari

Nasib sebagian besar nelayan di Tanah Air seperti kata pepatah: bagai ayam mati di lumbung padi. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas daratan 1,8 juta kilometer persegi dan lautan 6,1 juta kilometer persegi, kenyataan menunjukkan, justru para nelayanlah yang berada pada strata kemiskinan paling bawah.

Di Indonesia, yang pernah begitu jaya di laut, sudah lama sekali ekonomi kelautannya terpuruk ditelan ekonomi daratan. Bahkan, pepatah untuk menggambarkan ketidakmampuan mengeksplorasi kekayaan bahari ini pun sangat kental bernuansa pertanian.

Meski sejarah menunjukkan bahwa Nusantara pernah jaya di samudra dengan kerajaan-kerajaan maritim yang terkenal—sebutlah Sriwijaya dan Majapahit di antaranya, kepentingan dagang Portugis, Inggris, dan Belanda pada abad ke-16-18 pelan-pelan melumpuhkan kekuatan bahari ini. Warisannya kemudian adalah disorientasi sosial budaya bangsa yang berkelanjutan. Ini terbukti dari rezim pemerintahan Orde Lama dan terutama Orde Baru, yang lalai membangun kembali kesejahteraan dari laut.

Maka, makin terpinggirkanlah masyarakat nelayan. Pascareformasi, upaya membangkitkan kembali kejayaan di laut dimulai, tetapi ketertinggalan yang sedemikian parah membuat empat periode menteri kelautan dan perikanan belum bisa mengangkat nasib nelayan secara signifikan.

Situasi nelayan

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010 menunjukkan, jumlah nelayan di Indonesia hingga 2008 mencapai 2.240.067 nelayan. Dari jumlah itu, dua juta di antaranya bergantung pada perikanan tradisional: menggunakan peralatan dan pengetahuan yang serba terbatas untuk menangkap ikan.

Dengan menggunakan nilai tukar nelayan, bisa diketahui bagaimana tingkat kesejahteraan nelayan. Angka ini dihitung dari indeks harga yang diterima nelayan dibagi indeks harga yang dibayarkan nelayan.

Bila angka mencapai 100, berarti harga ikan sebanding dengan biaya konsumsi ataupun produksi. Dengan demikian, semakin tinggi nilai tukar, semakin sejahteralah kehidupan nelayan.

Ternyata, dari 33 provinsi, sebanyak 20 provinsi memiliki nilai tukar nelayan di atas 100. Nilai tertinggi dicapai Maluku (123,54), diikuti Nusa Tenggara Timur (121,43), Lampung (114,58), Daerah Istimewa Yogyakarta (113,54), dan Sumatera Selatan (113,31).

Pada 13 provinsi sisanya, nilai tukar nelayan masih di bawah 100. Terendah adalah Papua (86,13), Bangka Belitung (86,07), Kalimantan Selatan (88,62), Jambi (91,24), dan Bali (91,41).

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri yang hadir dalam diskusi mengingatkan, jumlah nelayan di satu kawasan yang terlalu banyak bisa mengurangi pendapatan nelayan di kawasan tersebut.

Dengan menggunakan estimasi jumlah nelayan optimal di setiap kawasan pesisir, tampaklah bahwa tingkat kesejahteraan nelayan di Bangka Belitung rendah karena jumlah nelayan di kawasan Selat Malaka sudah melebihi kapasitas. Menurut Rokhmin, pada tahun 2002 di Selat Malaka hanya butuh 99.579 nelayan, sedangkan jumlah yang ada 224.766.

Namun, masih banyak faktor lain yang memengaruhi tingkat kesejahteraan nelayan. Misalnya, potensi produksi dan tingkat pemanfaatan sumber daya di setiap kawasan, tingkat pengetahuan dan peralatan nelayan, serta keberlanjutan rantai produksi pascapenangkapan. Jalinan persoalan inilah yang melilit para nelayan di Indonesia sehingga menimbulkan disparitas kesejahteraan yang demikian besar.

Memberdayakan nelayan

Harus diakui, pemerintah memang belum sepenuhnya mampu memenuhi hak-hak nelayan dan petambak tradisional. Mulai dari belum dilindunginya wilayah tangkap tradisional sampai belum diakomodasinya keluarga nelayan sebagai satu kesatuan unit produksi.

Riza Damanik mencontohkan, kerja pemerintah yang sering bersifat sektoral membuat pencemaran laut tak juga selesai ditangani. Padahal, justru di daerah yang tercemar itulah sebagian besar nelayan menangkap ikan karena wilayah tangkapan mereka paling jauh hanya mencapai 5,4 kilometer.

Di sisi lain, masih banyak praktik penangkapan ikan dengan kapal besar di wilayah yang sama. Akibatnya, meski data penangkapan ikan sudah mencapai 5,6 juta ton per tahun—mendekati potensi produksi tahun 2010 yang diperkirakan 6,5 juta ton per tahun, masih sedikit sekali yang bisa dinikmati para nelayan dan keluarganya.

Hasil diskusi kelompok terbatas yang dilakukan Kiara di Desa Morodemak, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa waktu istri beraktivitas dibanding suami dalam suatu keluarga nelayan hampir tidak jauh beda. Selain kegiatan domestik, istri nelayan juga membuat kerupuk, menjual ikan, dan pergi ke pelelangan. Total istri bekerja 16 jam sehari, sedangkan suami 15 jam sehari, itu sudah termasuk melaut dan memperbaiki jaring.

Dengan demikian, pemerintah harus mengembangkan nelayan sebagai kesatuan keluarga. Insentif tidak hanya menyangkut penangkapan, tetapi pada keseluruhan kegiatan produksi, termasuk pascatangkap. Tanpa intervensi luar biasa pada kelompok perempuan, mustahil kegiatan perikanan rakyat bisa bangkit.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah berkurangnya masa tangkap karena cuaca ekstrem. Frekuensi melaut nelayan kini tinggal 160-180 hari dalam setahun, padahal sebelumnya bisa 260-300 hari, sehingga otomatis terjadi penurunan pendapatan.

Maka, agar Revolusi Biru menjadi solusi yang menyejahterakan rakyat, ada tiga model yang bisa menjadi pilihan: teknokratik, populis, dan teknopopulis.

Teknokratik yang berorientasi pada peningkatan produksi, padat modal, dan mengandalkan pelaku besar sudah dipraktikkan di Peru, China, dan Vietnam. Produksi perikanan tangkap Peru pernah menjadi nomor satu dunia dan kini menempati urutan kedua (7,4 juta ton) setelah China (14,8 juta ton).

Model populis berorientasi pada penanggulangan kemiskinan dan mengandalkan pelaku-pelaku kecil, seperti di Filipina. Investasi besar tidak bermain di sektor hulu, tetapi di hilir. Pilihan ini sangat pronelayan, tetapi tidak menghasilkan angka produksi dan ekspor yang spektakuler.

Model ketiga yang merupakan perpaduan teknokratik dan populis dipraktikkan di Jepang dan Norwegia. Model ini melindungi nelayan kecil, tetapi pada saat yang sama mengembangkan industri skala besar dengan mendorong nelayan-nelayan yang kuat beroperasi di perairan internasional. Nelayan kecil sejahtera, tetapi produksi tetap tinggi.

Bila amanat konstitusi menjadi pertimbangan, maka perpaduan model teknokratik dengan populis atau teknopopulis menjadi pilihan tepat untuk mengembangkan industri bahari di negeri ini. Jumlah nelayan tradisional yang masih 90 persen akan terlindungi dan masih ada ruang untuk mengembangkan industri perikanan, termasuk pengolahannya.

Ini berarti optimalisasi informasi baik iklim maupun kawasan potensi ikan ke komunitas nelayan, peningkatan sumber daya manusia, penyediaan asuransi iklim dan modal usaha bagi nelayan, infrastruktur yang memadai, serta terbukanya kawasan investasi perikanan yang efisien dan bebas pungutan liar.

Semua itu sungguh bukan pekerjaan yang mudah di tengah euforia otonomi. Akan tetapi, justru di sinilah peran Kementerian Kelautan dan Perikanan diuji.

09 Februari 2011
Source:http://cetak.kompas.com/read/2011/02/08/04332498/.sejahtera.di..negeri.bahari

Mengembalikan Keberpihakan Perbankan

Kesadaran akan pentingnya keberpihakan perbankan terhadap sektor perikanan sudah muncul sejak Indonesia merdeka. Salah satu buktinya, selain Bank Negara Indonesia Tahun 1946, negara mendirikan pula Bank Tani dan Nelayan.

”Waktu itu sudah disadari petani dan nelayan miskin,” ujar Sri-Edi Swasono, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dengan demikian, diperlukan bank khusus tani dan nelayan untuk membantu pembiayaan.

Namun, dalam perkembangannya, bank untuk tani dan nelayan itu akhirnya tertelan sejarah, melebur ke bank lain. Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 41 Tahun 1960, Bank Rakyat Indonesia (BRI) serta Bank Tani dan Nelayan melebur ke dalam Bank Koperasi, Tani, dan Nelayan (BKTN). Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) juga melebur ke dalam BKTN.

Dalam catatan sejarah BRI, lebih lanjut disebutkan bahwa lima tahun kemudian, berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 9 Tahun 1965, BKTN diintegrasikan ke dalam Bank Indonesia dengan nama Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani, dan Nelayan.

Setelah berjalan selama satu bulan, keluar Penpres Nomor 17 Tahun 1965 tentang Pembentukan Bank Tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI). Dalam ketentuan baru itu, Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani, dan Nelayan (eks BKTN) diintegrasikan dengan nama BNI Unit II Bidang Rural, sedangkan NHM menjadi BNI Unit II Bidang Ekspor Impor.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Perbankan dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Undang-Undang Bank Sentral akhirnya mengembalikan fungsi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Selain itu, BNI Unit II Bidang Rural dan Ekspor Impor dipisahkan masing-masing menjadi dua bank, yaitu BRI dan Bank Ekspor Impor Indonesia. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1968 menetapkan kembali tugas-tugas pokok BRI sebagai bank umum.

”Sejak itu, kredit-kredit besar tidak lagi diberikan bagi kepentingan petani dan nelayan,” kata Sri-Edi. Padahal, kredit perbankan ini sangat diperlukan untuk investasi mengembangkan perikanan tangkap yang tangguh dan membangun industri pengolahan perikanan.

Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa dalam kurun 2005-2009 alokasi kredit untuk perikanan hanya naik dari 0,22 persen menjadi 0,23 persen. Selama tahun 2009, misalnya, penyaluran kredit perikanan Rp 3,33 triliun (0,23 persen) dari total kredit perbankan. Kredit itu meliputi usaha kecil dan menengah Rp 2,1 triliun, sisanya Rp 1,2 triliun untuk usaha besar.

Kredit bermasalah

Meski alokasi kredit minim, tingkat kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) di sektor perikanan tergolong tinggi. Tahun 2009, NPL perikanan mencapai 11,76 persen dari total kredit. Penyebab kredit macet itu, di antaranya, nelayan yang telah mendapat kredit dari bank tidak mampu membayar atau pindah wilayah tinggal tanpa pemberitahuan sehingga sulit dilacak oleh perbankan. ”Perikanan masih menjadi sektor yang menakutkan bagi perbankan,” ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Rochadi (Kompas, 23/4/2010).

Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Arif Satria juga mengakui perbankan masih menilai NPL perikanan menjadi momok, baik terhadap perusahaan perikanan besar maupun terhadap nelayan kecil. Terkait masalah ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan pernah berdebat panjang dengan direksi Bank Indonesia dan direksi BRI tentang alokasi kredit untuk sektor perikanan.

Bank Indonesia sebetulnya tidak tinggal diam. Bank Indonesia telah menandatangani nota kesepakatan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 22 April 2010. Salah satu butir kesepakatan itu adalah membentuk kluster di daerah-daerah guna mempertemukan pengusaha besar, kelompok nelayan, pembudidaya, pemerintah daerah, dan perbankan guna mengatasi masalah permodalan usaha perikanan. Namun, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Bambang Suboko menilai, BI telah gagal mendorong fungsi intermediasi perbankan di sektor perikanan.

Dengan gagalnya fungsi intermediasi itu, sekadar ilustrasi, ikan patin Indonesia tidak mungkin akan bersaing dengan ikan patin Myanmar atau Vietnam. Petani yang memelihara ikan patin di Myanmar dan Vietnam mendapat diskon kredit, sedangkan suku bunga kredit di Indonesia sulit bergerak pada kisaran 14 persen. ”Dengan suku bunga semacam ini, saya kira kita tidak bisa bergerak sama sekali,” ujar Bambang.

Terlebih lagi jika nanti tahun 2015 Indonesia masuk menjadi bagian dari komunitas negara-negara Asia Tenggara (ASEAN Community), Indonesia akan kembali ”dimakan” negara-negara ASEAN lain karena kalah dalam insentif suku bunga.

Untuk itu, Bambang Suboko menyarankan kepada perbankan untuk mengambil peran dalam pengembangan sektor perikanan ini. Pertama, memperbaiki peranan intermediasi. Kedua, menurunkan suku bunga kredit konsumsi yang sekarang 16,63 persen dan kredit investasi yang sekarang sebesar 13,78 persen, menurunkan bunga surat utang negara yang sekarang 9-10 persen, serta meninjau kembali giro wajib minimum. Selain itu, memperbaiki persepsi pada sektor riil yang berisiko besar. Ketiga, memperbaiki fasilitas pembiayaan ekspor seperti kredit modal kerja ekspor, pembiayaan letter of credit, dan asuransi ekspor.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri sepakat dengan Bambang Suboko bahwa sesuai data Bank Dunia, suku bunga kredit tertinggi di seluruh dunia ada di Indonesia, yaitu sekitar 14 persen. Padahal di Thailand, suku bunga kredit hanya 2,8 persen. Inti masalahnya, kata Rokhmin, kalau dari sisi pembiayaan Indonesia sudah kalah kompetitif dibandingkan negara lain, maka lupakan sektor perikanan bisa kompetitif.

”Oleh karena itu, perlu terobosan dari sisi pembiayaan,” tambah Arif Satria.

Perlu instrumen nonbank

Arif Satria menilai, selama sektor perikanan bergantung pada bank, sektor ini selalu akan berbenturan dengan kepentingan bank yang mengacu pada UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Bank tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan karena ada prinsip kehati-hatian yang harus ditaati perbankan.

Salah seorang peserta diskusi, Son Diamar, menyarankan agar diadakan perubahan Undang-Undang Bank Indonesia agar fungsi intermediasi perbankan bisa lebih berjalan.

Pemerintah juga mempunyai program kredit usaha rakyat (KUR) perikanan untuk membantu pembiayaan. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah pula menjalin kerja sama dengan sejumlah bank. Kerja sama dengan BNI, misalnya, ditandatangani pada 27 September 2010. Kerja sama itu, seperti dikutip dalam siaran pers BNI, langsung diwujudkan dengan penandatanganan persetujuan pemberian fasilitas kredit senilai Rp 70 miliar.

Namun, praktik di lapangan, seperti diamati Rokhmin Dahuri, tidak selalu mulus. ”KUR perikanan itu susah sekali didapatkannya. Selain bunganya tinggi sekali, rakyat kecil enggak bisa pinjam ke bank,” tuturnya.

Arif Satria mengusulkan perlunya menciptakan instrumen lain nonbank. Kalau sekarang Kementerian Pertanian membuat RUU Pembiayaan Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga perlu mengusulkan RUU Pembiayaan Perikanan. Dengan demikian, nanti ada Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di lapangan yang tidak kaku seperti bank.

”LKM harus fleksibel dan adaptif terhadap kepentingan nelayan,” katanya.

Namun, kembalinya perbankan berpihak pada kepentingan tani dan nelayan—sebagaimana tercatat dalam sejarah terbentuknya Republik Indonesia— tetap menjadi harapan.

09 Februari 2011
Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/02/08/04340062/.mengembalikan.keberpihakan.perbankan

Monday, February 7, 2011

Bukti-bukti Bing Menjiplak Google

Amit Singhal dari Google menulis bukti-bukti kalau Bing, mesin search engine Microsoft, menjiplak data pencarian Google secara membabi buta. Kedua bukti merupakan hasil eksperimen yang dilakukan para insinyurnya setelah curiga dengan kemampuan Bing selama ini.
Bukti pertama bahwa Bing menjiplak Google adalah dalam pencarian kata "tarsorrhaphy", prosedur bedah kelopak mata yang sangat jarang dilakukan. Pada pertengahan tahun 2010, Google mengamati hasil pencarian yang unik yang menghasilkan pencarian dengan kata kunci tersebut. Pengguna saat itu memasukkan pencarian dengan kata kunci yang salah, yakni "torsoraphy". Namun, mesin Google akan merekomendasikan istilah yang benar berikut hasil pencariannya.
"Saat itu, Bing tidak memberikan hasil pencarian dengan istilah yang salah itu. Kemudian, pada akhir musim panas, Bing mulai memberikan hasil pencarian kami kepada pengunjungnya tanpa menyatakan istilah yang benar. Hal tersebut sangat janggal," tulis Singhal.
Menurutnya, bagaimana mungkin mesin memberikan hasil pencarian dengan kata kunci yang bukan diminta pengunjung tanpa tahu istilah yang benar itu. Kalau memang tahu istilah yang benar, hasil pencarian dengan kata kunci yang benar tentu lebih banyak. Kenyataannya, hasil dengan istilah yang benar ternyata hanya satu alamat dan bercampur dengan kata kunci yang salah.
Ia mengatakan, beberapa bulan kemudian, Google pun mencatat bahwa jumlah alamat situs hasil pencarian di Google yang dijiplak Bing makin bertambah, baik dengan kata kunci yang populer maupun istilah yang salah ketik. Bahkan, kata dia, hasil pencarian yang menurut insinyur Google tak benar karena salah algoritme pun muncul di Bing.
"Kami sadari sesuatu tengah terjadi dan rasa penasaran kami makin kuat pada akhir Oktober 2010 saat betapa banyaknya hasil pencarian tertinggi di Google banyak yang sama dengan Bing. Pola statistik itu sulit sekali dikesampingkan. Untuk menguji hipotesis ini, kami butuh eksperimen untuk memastikan apakah Microsoft benar-benar menggunakan hasil pencarian Google di pemeringkatan Bing," ungkap Singhal.
Untuk membuktikan hipotesis tersebut, para insinyur Google pun melakukan eksperimen dengan membuat 100 hasil pencarian sintetis. Mereka menggunakan kata-kata kunci yang kecil kemungkinan digunakan pengguna, contohnya "hiybbprqag". Dalam eksperimen ini, Google menambahkan alamat situs tambahan dalam hasil pencarian yang tidak ada kaitannya dengan kata kunci tersebut.
"Kepada 20 insinyur kami berikan laptop yang sudah dipasangi Microsoft Windows baru dengan Internet Explorer 8 (IE8) yang dilengkapi Bing Toolbar. Selama proses instalasi, kami memilih fitur "Suggested Sites" di IE8 dan kami memilih pengaturan standar Bing Toolbar," ucap Singhal.
Kemudian, setiap orang diminta melakukan pencarian dengan kata kunci yang aneh-aneh tersebut di mesin pencarian Google lalu mengeklik alamat situs yang telah disisipkan sebelumnya. Dalam beberapa minggu kemudian, alamat situs yang khusus ditambahkan Google ternyata muncul di hasil pencarian Bing untuk kata kunci yang sama. Padahal, itulah satu-satunya alamat situs yang muncul di hasil pencarian Google dan sengaja ditambahkan.
Kata kunci yang dijadikan eksperimen Google antara lain hiybbprqaq yang diberi hasil pencarian pemesanan tiket di sebuah teater di Los Angeles. Kata kunci lainnyadelhipublicschool40 chdjob yang diberi hasil pencarian alamat web Credit Union. Adapun kata kunci juegosdeben1ogrande diberi hasil pencarian alamat web penjual perhiasan.
Dengan temuan itu, ia menyimpukan bahwa Microsoft memanfaatkan fitur Suggested Sites di IE8 dan Customer Experience Improvement Program di Bing Toolbar untuk mengirim data-data hasil pencarian pengguna di Google ke Microsoft. Bisa juga menggunakan metode lainnya agar hasil pencarian pengguna di Google bisa dijiplak Bing.
"Kami menantikan kompetisi dengan algoritme search engine yang asli, algoritme yang dibangun di inovasi intinya dan bukan hasil pencarian daur ulang dari kompetitor," tandas Singhal. Menurutnya, apa yang dilakukan Microsoft hanya akan menghasilkan pencarian murahan, yang tidak lengkap alias versi imitasi Google.
02 Februari 2011

Waspadai Belanja Via Internet

MARAK toko di dunia maya yang menawarkan harga menggiurkan tak langsung berarti kemudahan. Kanit Cyber Crime Direktorat II Ekonomi Khusus Mabes Polri, Kombes Sulistyo mengingatkan, penipuan toko-toko tersebut bukan terjadi hanya satu-dua kali. Polri menerima aduan semacam ini hingga ratusan dalam setahun, mulai dari tertipu Rp4 juta-Rp200 juta, bahkan hingga mancanegara. 

"Ini cyber fraud, penipuan lewat internet. Yang benar itu kan kalau transaksi lewat internet, kirim uang lewat rekening, kemudian barang dikirim sesuai permintaan, itu yang benar. Tapi kalau yang penipu, kirim uang langsung goodbye, selesai, jangan harap," papar Sulistyo ditemuiMedia Indonesia di ruang kantornya di Mabes Polri belum lama ini. "Modusnya pintar. Dia kasih harga lebih murah. Otomatis orang lebih tertarik, padahal nggak dapat apa-apa, uang itu hilang." 

Modus website toko-toko palsu ini, kata Sulistyo, ada dua. Modus yang pertama ialah bahwa toko tersebut benar-benar rekaan semata. "Satu lagi dia benar-benar aspal. Jadi perusahaan itu terdaftar di Departemen Perdagangan, tapi dia nggak produksi. Dia buka di internet, ini lho perusahaan saya lengkap izinnya semuanya macam-macam, kan tertarik orang. Nanti kalau misalnya kirim barang ke luar negeri, pake ini lho trontonnya apa, kapalnya apa. sesudah orang tertarik, kirim uang, begitu dicek, tokonya ada, tapi nggak usaha di bidang itu. Duit ilang," ujarnya. 

Mabes Polri sebagai kantor tertinggi Kepolisian Indonesia sengaja mengkhususkan diri dalam laporan aduan penipuan dengan korban luar negeri dan antar wilayah Polda. Sepanjang 2010, Mabes Polri menerima 210 laporan semacam itu. Angka tersebut sebenarnya sudah sedikit lebih baik daripada 2009, yakni 225 kasus. 

Di 2010, yang berhasil menjadi laporan (LP) hanya 18 saja. Yang berhasil berkasnya dilengkapi sehingga menunggu sidang di pengadilan berjumlah tujuh, namun awal bulan ini berhasil ditambahkan empat lagi. Sementara itu, yang berkasnya berhasil dilimpahkan tahap dua baru lima. Namun, tak banyak kasus yang dapat diselesaikan dalam setahun. 

"Setahun ini segini laporanya di gudang, tapi paling berapa yang bisa kita jadikan LP," kata Sulistyo sambil mencontohkan tumpukan berkas setinggi sekitar setengah mter. "Di 2010 yang selesai empat (karena) minimnya personel. Kita juga banyak (tangani) yang lain lagi." 

Selain minimnya personel, Sulistyo juga megeluhkan repotnya menangani kejahatan lintas negara. "Korban mengadunya ke KBRI-KBRI kita di sana (luar negeri). KBRI hubungi (Divisi) Hubinter, NCB (National Crime Bureau Interpol), NCB terusin ke kami. Kami bikin laporan informasi, sidik. Sudah diduga ini tersangkanya dari nomor rekening dan lain-lain, baru kita hubungi korban di luar negeri. Susah banget nih modalnya gede. Mereka kan cuma bikin laporan pengaduan. Kalau pun misalnya kita sudah tahu tersangkanya siapa, kita nggak bisa tangkap langsung soalnya LP (laporan) belum ada, berita acara pemeriksaan saksi korban belum ada, terpaksa harus terbang ke sana," ungkapnya. 

Kesulitan soal jarak dan biaya pun belum seberapa. Pasalnya, mengatasi kejahatan cyber juga perlu kerja sama berbagai instansi. Tentu jadi hal mudah jika semua bekerja sama. Tapi bagaimana jika tidak? Sulistyo mengatakan, salah satu yang sulit ditembus merupakan server Blackberry di Kanada. 

"Kita kan harus punya partner kerja, koordinasi yang baik, dengan provider, dengan Telkom untuk bisa pembelanjaan handphone ini milik siapa, kemudian website, IP addressnya milik siapa, ini semuanya kan dengan mereka-mereka itu," jelasnya. "Tapi kalau Blackberry, kita hubungan ke Amerika. Mereka cuma cepat untuk kasus teroris, pornografi, dan narkoba. Cepat itu hitungan bulan ya, sebulan lah. Soalnya kan harus ada surat, biasanya mesti dari Kabareskrim dulu." 

Yang sulit lagi, lanjut Sulistyo, kalau IP Address yang digunakan sang penipu bodong alias tak jelas atas nama siapa. KTP yang dipakai untuk mendaftarkan IP Address tersebut merupakan KTP palsu untuk membuat rekening. 

"Kita pernah ada laporan. Begitu lihat ini atas nama siapa, KTPnya dikejar, dia bilang 'Saya nggak tahu Pak, ini saya kemarin KTP dipinjam orang saya dikasih sejuta.' Ditanya, kenal orangnya atau ngga, 'Nggak kenal.' Selesai," ungkapnya. 

Kasus cyber crime seperti ini, menurut Sulistyo, makan waktu ketika proses penyelidikan. Penyelidikan paling cepat ditempuh satu setengah bulan. Setelah itu, proses berikutnya akan berlangsung lebih cepat. Pasalnya, kejahatan semacam ini biasanya hanya melibatkan seorang tersangka, "Dia bekerja sendiri, manajemen tukang baso. Semuanya dia olah sendiri. paling dia minta suruhan pegawainya untuk mengambil uang di bank. Tapi, semua tersangka ini ahli IT." 

Salah satu kasus yang menarik yang saat ini sedang ditangani pihaknya merupakan kasus pembelian kertas dari Qatar. Seorang penipu yang sampai saat ini belum tertangkap menjual kertas dengan harga miring, menipu calon pembeli hingga Rp200 juta. 

"Tapi pintar, sampel kertasnya dikirim satu rim, jadi korbannya percaya dong. Kan pakai modal juga dia kirim satu rim sampel. Begitu korban percaya, dia bilang kurang, minta dikirim lagi Rp 200 juta. Setelah itu orangnya menghilang," kata Sulistyo. 

Oleh karena itu, Sulistyo menghimbau agar calon pembeli toko online tidak mudah percaya terhadap harga menggiurkan. "Ya jangan mudah percaya dulu. Mungkin bisa cari dulu orang yang sudah beli di sana, benar ada apa tidak. Jangankan beli jauh-jauh, sudah kenal saja masih bisa ketipu," pungkasnya.(*/X-12)


04 Februari 2011
Source:http://www.mediaindonesia.com/read/2011/02/02/200898/270/115/Waspadai-Belanja-Via-Internet

Alamat Internet Habis, Bagaimana Selanjutnya?

 Isu akan habisnya IPv4 sudah bergaung di kalangan pelaku internet beberapa tahun terakhir ini. Berbagai kalkulasi dilakukan, dan hingga pertengahan tahun lalu, habisnya freepool IPv4 di IANA (Internet Assigned Numbers Authority) diperkirakan pada sekitar pertengahan tahun 2011 ini.
Alokasi IP Address di dunia diatur oleh IANA, dan di bawahnya ada pembagian lima wilayah berdasarkan geografi. Indonesia bernaung di bawah Asia Pacific Network Information Centre (APNIC) yang berpusat di Australia.
1 Februari 2011, IANA mengabulkan permintaan APNIC dan memberikan 2 blok /8 terakhirnya. Dan, inilah saat habisnya freepool IPv4 di IANA. Memang, masih ada 5 blok /8 lagi yang disimpan IANA, tetapi blok tersebut segera dibagikan secara merata ke setiap wilayah: Asia Pasifik, Amerika Utara, Amerika Latin, Afrika, dan Eropa. Lima blok terakhir ini juga akan dialokasikan ke pengguna dengan tata cara yang jauh lebih ketat dari sebelumnya dan jumlah maksimal yang jauh lebih kecil.
"Ini adalah sejarah besar dalam perkembangan internet di dunia meskipun telah diantisipasi jauh hari sebelumnya," ucap Raúl Echeberría, Direktur Number Resource Organization (NRO), yang merupakan perwakilan resmi lembaga pengelola IP Address di tiap wilayah. "Masa depan internet adalah IPv6. Semua komponen yang terkait harus melakukan langkah nyata untuk segera menggunakan IPv6," ujarnya.
Habisnya IPv4 ini memang merupakan pukulan yang cukup berat untuk sebagian besar negara di kawasan Asia Pasifik. "Kawasan ini merupakan wilayah dengan populasi terbesar di dunia dan memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat. Hampir semua negara sedang mengembangkan infrastruktur internetnya dengan pesat." kilah Geoff Huston, Chief Scientist APNIC.
Kendala yang dihadapi
Ada beberapa kendala yang akan dihadapi dengan habisnya freepool IPv4 ini.
Pertama, penyedia infrastruktur dan jaringan akan sulit untuk memberikan alokasi IP publik ke pelanggan baru. Terpaksa dilakukan penggunaan IP private dengan proses penerjemahan alamat. Secara umum memang pelanggan bisa mengakses internet, tetapi ada beberapa aplikasi khusus yang menuntut adanya koneksi langsung menjadi tidak bekerja. Membuat ISP baru akan menjadi hal yang hampir mustahil dilakukan jika tidak tersedia alokasi IPv4 yang baru.
Kedua, di sisi penyedia server, adanya penambahan IP publik adalah syarat mutlak untuk menambahkan server. Server konten yang bertujuan untuk diakses banyak pengunjung dari internet membutuhkan IP publik. Tidak tersedianya IP publik secara langsung akan menghambat perkembangan industri konten.
Lakukan sekarang
Bagi penyedia konten, pemilik jaringan yang besar, kampus, bank, dan berbagai institusi yang memiliki jaringan serta konten internet, masih ada sedikit waktu untuk segera meminta alokasi IPv4 sekaligus langsung menjalankan IPv6.
Ada banyak keuntungan apabila kita memiliki IPv4 sendiri. Kita bisa berlangganan ke lebih dari satu ISP dan melakukan load balance serta sekaligus fail over untuk beberapa tautan upstreamtersebut. Kita juga lebih fleksibel untuk berpindah ISP karena tidak perlu mengubah alamat IP karena alamat IP yang kita gunakan memang dialokasikan secara permanen ke kita, tidak tergantung pada pinjaman IP dari ISP.
Untuk penyedia konten seperti perbankan, memiliki IP sendiri juga lebih baik dari sisi keamanan. Jika dilakukan whois pada alamat IP tersebut, data yang tercantum adalah identitas institusi kita sendiri, bukan ISP tempat kita berlangganan.
Institusi yang ingin mendapatkan alokasi IPv4 bisa menghubungi Indonesia Network Information Center (IDNIC) di web www.idnic.net atau e-mail hostmaster@idnic.net
Migrasi ke IPv6
Di masa depan, IPv6 adalah jawaban pasti atas masalah habisnya IPv4 ini. IPv6 menjanjikan jumlah yang jauh lebih banyak. Jika IPv4 hanya berjumlah 4,3 milyar IP, IPv6 berjumlah 4 triliun triliun triliun triliun IP. Sungguh perbedaan jumlah yang sangat signifikan.
Selain itu, IPv6 juga menjanjikan protokol keamanan yang lebih baik karena protokol keamanannya bersifat bawaan, tidak seperti IPv4 yang bersifat opsional.
Semua pihak yang terkait dengan penggunaan jaringan dan IP Address diharapkan saat ini juga mulai melakukan migrasi ke IPv6. Dalam beberapa waktu mendatang, IPv4 dan IPv6 berjalan bersamaan (dual-stack) hingga satu saat nanti kita bisa sepenuhnya menikmati penggunaan IPv6.
Penulis: Valens Riyadi, Kabid National Internet Registry Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia

Friday, February 4, 2011

BI belum akan perketat beleid cashback

Bank Indonesia (BI) belum berencana mengetatkan aturan pemberian cashback oleh perbankan. Alasannya, ketentuan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tentang tidak masuknya cashback tunai dalam jenis simpanan yang dijamin, sudah cukup tegas.

Menurut BI, penegasan LPS bisa menjadi rambu bagi perbankan agar menciptakan produk simpanan yang sesuai dengan aturan penjaminan, namun tetap menarik untuk nasabah. Difi A. Johansyah, Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Humas) BI berkeyakinan, perbankan tetap mengindahkan aturan tersebut tanpa menunggu penegasan aturan dari BI selalu pengawas langsung bank.

Alih-alih mengetatkan pengawasan bank yang merupakan wewenangnya, otoritas perbankan ini menilai, aturan LPS tersebut sejatinya lebih ditujukan ke masyarakat. "Agar nasabah bank tidak lagi terbiasa menuntut bunga tinggi atau fasilitas lebih dari bank ketika menyimpan uang," ujar Difi, Senin (31/1).

Difi menceritakan, dari pengalaman beberapa bank selama ini, kebanyakan nasabah sendiri yang memaksa bank tersebut agar memberikan berbagai macam insentif, mulai dari suku bunga tinggi hingga pemberian hadiah-hadiah sebagai imbalan penyimpanan uang mereka. Dus, persoalannya tidak hanya terletak pada bank.

Bankir tak keberatan

BI sendiri memilih menggiring bank agar meningkatkan efisiensi dalam operasional mereka dengan aturan-aturan yang telah disiapkan. Seperti aturan pengumuman suku bunga dasar kredit bank (prime lending rate).

Selain itu, menurut Gubernur BI Darmin Nasution, BI juga masih mengkaji langkah lanjutan termasuk pemberian hadiah bagi nasabah dan pelaksanaan benchmarking. Sayang, BI masih belum memberikan bentuk aturannya.

Sumber KONTAN di perbankan menuturkan, BI tidak akan berani melarang bank memberikan hadiah, termasuk pelarangan cashback tunai kepada nasabah. Pasalnya, otoritas perbankan ini berkepentingan menjaga industri perbankan. "Makanya, BI tidak mau mencampuri urusan bank terlalu jauh," ujarnya.

Jika cashback tunai dan hadiah sampai dilarang maka akan sulit bagi bank kelas menengah juga kecil bersaing menjaring dana pihak ketiga (DPK). Maklum, sudah menjadi rahasia umum, trik utama bank kecil membetot DPK adalah dengan cara ini. Adapun bank besar dengan jaringan infrastruktur lebih kuat, akan unggul menarik DPK, tanpa terlalu jorjoran memberi insentif.

Direktur Utama Bank Bukopin Glen Glenardi menilai, penegasan aturan dari BI diperlukan agar bank tidak semakin jorjoran berebut dana dengan cara tidak sehat. "Pemberian hadiah dan cashback itu yang memulai adalah bank-bank besar. Diatur saja agar persaingan bisa lebih fair," ungkapnya.

Ketua Umum Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono juga senada. "Kalau mau dibatasi, ya kami ikuti saja," katanya.

01 Februari 2010
Source:http://keuangan.kontan.co.id/v2/read/keuangan/57909/BI-belum-akan-perketat-beleid-cashback

LPS tak menjamin simpanan plus cashback tunai

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akhirnya menegaskan, status nasabah yang menerima hadiah atau cashback dari perbankan. LPS tetap menjamin simpanan milik nasabah, asalkan hadiah yang diterima bukan uang tunai. Atau, jika berupa barang atau voucher, si nasabah tidak menerimanya secara rutin.

Penegasan ini tertuang dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan Nomor 2/PLPS/2010 tentang program penjaminan simpanan. Lewat beleid yang dirilis pada Desember 2010 lalu ini, LPS hendak mengakhiri kesimpangsiuran status nasabah yang menerima hadiah secara tidak wajar dari bank. Yang dimaksud tidak wajar, nilai hadiah yang diterima melebihi bunga penjaminan LPS.

 Pada aturan lama, kategori simpanan tak layak bayar masih bersifat umum. LPS hanya menetapkan simpanan tidak layak bayar apabila menerima bunga di atas LPS rate atau menerima keuntungan tidak wajar, sehingga ikut menyebabkan bank menjadi tidak sehat. Apa definisi menerima keuntungan tidak wajar, tidak terlalu jelas.

Kesimpangsiuran itu menimbulkan persoalan hukum. Contoh terakhir, kasus nasabah Bank IFI. LPS menolak membayar sebagian rekening karena menilai nasabah menerima hadiah secara berlebihan.

Di sisi lain, nasabah merasa tidak tahu bahwa menerima hadiah bisa menyebabkan simpanan menjadi tak layak bayar. Kasus itu hingga kini bergulir di pengadilan.

Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Firdaus Djaelani menerangkan, cashback berupa uang tunai tidak dijamin karena LPS memperhitungkannya sebagai bunga. Sementara hadiah dari program penghimpunan dana, LPS menilainya sebagai biaya promosi, bukan bunga. "Kami akan mempersoalkan jika cashback berupa barang diberikan sebulan sekali," ujarnya, Rabu (26/1).

Direktur Ritel Banking Bank Mega Kostaman Thayib mengatakan, kebijakan ini tidak menyentuh akar persoalan. Pasalnya, permasalahan perbankan dalam pemberian cashback adalah tingginya biaya dana untuk mendapatkan dana masyarakat. "Harusnya yang diatur berapa besaran maksimal dari cost of fund," ujarnya. Tentu ini menjadi kewenangan BI.

Kostaman menilai, bila besaran cost of fund tak diatur, mungkin saja ada bank yang melakukan undian dalam jumlah besar sehingga membuat biaya membengkak. "Aturan ini sifatnya mengatur bagaimana cara bank berpromosi," tambahnya.

Wakil Direktur Utama Bank Jasa Jakarta Lisawati sependapat dengan Firdaus. Menurutnya, pemberian cashback dalam uang tunai harus dilarang karena mempengaruhi biaya dana secara langsung. Sementara, undian tidak akan memberatkan bank karena tidak semua nasabah akan memperoleh hadiah.

27 Januari 2011
Source:http://keuangan.kontan.co.id/v2/read/keuangan/57515/LPS-tak-menjamin-simpanan-plus-cashback-tunai

Wednesday, February 2, 2011

Sistem Transaksi Menggunakan Handphone dengan Teknologi Near Field Communications (NFC): Keluar ke Pasar Tahun 2011

Kalau kita lihat sejarah transaksi pembayaran, awalnya dulu sebelum ada kemudahan elektronika seseorang harus mengambil uang dahulu ke bank dengan mengantri di loket sehingga sebaiknya mengambil uang untuk pemakaian selama jangka waktu tertentu mengingat usaha yang lumayan untuk mengambil sejumlah uang. Dengan adanya anjungan tunai mandiri (ATM) dimana-mana usaha untuk mengambil uang menjadi ringan sehingga seseorang cukup mengambil uang untuk jangka waktu pendek. Selain itu ATM mengurangi resiko pemegang uang dari kejahatan pencurian/perampokan/dan lain-lain karena uang yang diambil biasanya lebih sedikit jika dibandingkan dengan mengambil uang di loket bank.

Dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK), munculah alat pembayaran baru elektronika yang menjadi popular di Indonesia seperti kartu kredit dan kartu debit. Kedua jenis pembayaran tersebut menggunakan kartu pintar yang digosokkan ke terminal pembayaran di toko-toko ketika membayar. Kartu pintar dapat menggantikan uang fisik yang biasanya disimpan di dompet sehingga pengguna kartu pintar dapat terhindar dari tindak kejahatan dan juga pengguna mendapatkan kemudahan, yaitu tidak perlu mengambil uang ke bank atau ATM dan menyimpan di dompet. Tentunya sistem pembayaran dengan kartu pintar tersebut harus memiliki sistem keamanan yang menjamin uang pengguna tidak diambil oleh pihak yang tidak berhak dan juga tidak ada pihak yang mengklaim pembayaran yang tidak pernah dilakukan pengguna. Tanpa adanya penjaminan sistem keamanan pada sistem pembayaran dengan kartu pintar, pengguna tidak akan berminat untuk menggunakannya.

Pada saat ini, selain dompet wajib hukumnya membawa handphone dalam berpergian. Ini memberikan ide bagi inovator untuk menggabungkan dompet dan handphone. Sudah ada layanan inovatif dari mobile provider untuk melakukan pembayaran menggunakan sms maupun mobile Web. Sebuah konsorsium dari produsen-produsen raksasa handphone di dunia akhirnya bekerja sama untuk membuat produk baru untuk menggabungkan dompet dengan handphone dengan nama Near Field Communications (NFC).

Sebenarnya NFC adalah pengembangan dari teknologi kartu Radio Frequency IDentification (RFID). RFID ini memiliki bentuk dan fungsi yang sama seperti kartu ATM bedanya adalah kartu RFID tidak perlu digosok (contactless) sehingga kartu RFID tidak perlu dikeluarkan dari dompet dalam proses pembayaran, pengguna cukup mendekatkan dompetnya ke terminal pembayaran (atau disebut reader). Di Indonesia kartu RFID sudah banyak digunakan, contohnya: e-Toll untuk pembayaran otomatis gerbang toll, gelang (RFID tag, bukan berbentuk kartu) yang digunakan sebagai pengganti tiket di taman-taman hiburan.

Teknologi NFC pada handphone selangkah lebih maju daripada teknologi RFID dimana pada handphone ditanamkan NFC chip yang dapat bertindak sebagai kartu RFID dan juga sebagai reader sekaligus dengan radius jangkauan pendek (kurang dari 10cm). Teknologi NFC pada handphone betul-betul dapat menggantikan dompet dimana dapat mengeluarkan uang dan juga menerima uang dari dan ke sesama pengguna NFC. Selain untuk pembayaran teknologi NFC dapat digunakan sebagai pengganti KTP, SIM, kartu mahasiswa, dan lain-lain, kartu absen, dan lain-lain.

Direncanakan tahun 2011 ini akan muncul berbagai produk handphone ternama yang dilengkapi teknologi NFC. Produk handphone pertama dengan teknologi NFC yang sudah dipasarkan di Eropa dan Amerika adalah Samsung Nexus S, dilengkai NFC controller chip produk NXP (Philips) yaitu PN544. Dimana Philips adalah produsen ternama untuk kartu RFID. Samsung Nexus S menggunakan operating system Android versi Gingerbread yang didukung oleh Google. Google sendiri sudah mempersiapkan berbagai aplikasi untuk teknologi NFC pada handphone.

Banyak lelucon tentang mesin cetak yang bekerja keras 24 jam penuh untuk memproduksi jumlah uang yang sangat banyak untuk mendanai pengeluaran yang sangat besar. Namun di sisi lain, penggunaan uang tunai secara fisik sedang menurun di seluruh dunia, karena pembayaran non-tunai sedang meningkat popularitasnya. Meskipun menurut para ekonom jumlah uang meningkat, jumlah uang kertas yang disimpan orang di dompet, cenderung menurun. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah transaksi kartu kredit dan debit di seluruh dunia. Para analis meramalkan bahwa tiga wilayah teratas dalam pembayaran mobile adalah Timur Jauh termasuk Cina, Eropa Barat dan Amerika Serikat, yang secara keseluruhan akan menguasai lebih dari 70 persen pangsa pasar pembayaran mobile dalam basis transaksi kotor di tahun 2013.

Kami dari NFC research group di School of Electrical Engineering & Informatics, Institut Teknologi Bandung sedang giat-giatnya melakukan penelitian untuk membangun Sistem Transaksi Menggunakan Mobile Phone dan Teknologi NFC dengan bantuan dana dari Program Insentif, Kementrian Negara Riset dan Teknologi. Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan sistem transaksi dengan teknologi NFC pada handphone untuk micropayment (pembayaran dengan jumlah kecil, contohnya: angkot, warung, kantin, dan lain-lain) dan macropayment (pembayaran dengan jumlah lebih besar, contohnya: supermarket, minimarket, restoran, berbagai toko, dan lain-lain). Sistem transaksi ini haruslah sangat aman untuk pengguna, penjual, dan industri keuangan sehingga uang pengguna tidak dapat berkurang/bertambah tidak semestinya; penjual mendapatkan uang pembayarannya yang seharusnya; dan industri keuangan tidak kehilangan uangnya dan tidak harus membayar yang tidak semestinya.

Penulis: Emir Husni, Dosen School of Electrical Engineering & Informatics, Institut Teknologi Bandung


Source:http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2011/01/27/sistem-transaksi-menggunakan-handphone-dengan-teknologi-near-field-communications-nfc-keluar-ke-pasar-tahun-2011/

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...