Showing posts with label Economy. Show all posts
Showing posts with label Economy. Show all posts

Monday, April 4, 2011

Ancaman Ledakan Penduduk

LAJU pertumbuhan penduduk negeri ini telah sampai pada titik amat mengkhawatirkan. Ironisnya, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dibiarkan ‘bertempur’ sendirian. Jika laju pertambahan penduduk yang rata-rata 3,5 juta-4 juta per tahun tidak segera ditekan, diprediksi pada 2045 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 450 juta jiwa. Dengan asumsi populasi bumi 9 miliar jiwa pada saat itu, berarti 1 dari 20 penduduk dunia adalah orang Indonesia. 
Upaya menekan laju pertumbuhan penduduk dari 1,49% saat ini menuju angka ideal 0,5% masih jauh panggang dari api. Lebih-lebih lagi, hasil survei BKKBN menunjukkan umumnya pasangan usia subur menginginkan anak lebih dari tiga. Pertumbuhan penduduk yang tergolong tinggi itu pun tidak disertai dengan peningkatan kualitas. Itu terlihat dari indeks pembangunan manusia Indonesia yang masih tercecer di peringkat 108 dari 169 negara. Di ASEAN, Indonesia berada di peringkat 6 dari 10 negara, atau lebih rendah daripada Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Bertambah penduduk bertambah pula mulut yang harus diberi makan. Saat ini saja Badan Ketahanan Pangan Nasional menyebut 27,5% penduduk Indonesia terkena rawan pangan.

Dengan rata-rata konsumsi beras per kapita di Indonesia sekitar 130 kilogram dan jumlah penduduk 237,6 juta jiwa, saat ini dibutuhkan sedikitnya 34 juta ton beras per tahun. Padahal, produksi beras dalam negeri sekitar 38 juta ton sehingga hanya surplus 4 juta ton beras atau kurang untuk kebutuhan dua bulan. Jika tingkat kegagalan panen meluas dan produksi terpangkas, kebutuhan pangan pun pasti tidak tercukupi. Dapat dipastikan, Indonesia akan menjadi pengimpor beras nomor wahid di dunia. Sekarang saja, ketika produksi beras di negeri ini masih disebut surplus, negeri ini sudah mengimpor 1,9 juta ton beras hingga akhir Maret. Angka itu telah meletakkan Indonesia sebagai importir beras kedua terbesar di dunia setelah Nigeria.

Apakah yang terjadi dengan Indonesia pada 2045, ketika 1 dari 20 penduduk dunia adalah orang Indonesia? Jawabnya Indonesia akan menjadi negeri kelaparan. Karena itu, saat ini juga dibutuhkan kemampuan luar biasa untuk mengendalikan jumlah penduduk agar Indonesia di masa depan tidak bernasib buruk seperti negara-negara di Afrika yang dilanda kurang pangan.

Sumber: Editorial Media Indonesia, Senin 04 April 2011

Wednesday, December 22, 2010

RI Tidak Perlu Takut Mencontoh China

”Belajarlah hingga ke negeri China.” Ungkapan ini sudah lama diketahui masyarakat. Namun, sebagian kalangan di Indonesia juga masih melihat China sebagai negara sosialis komunis yang kaku dan kurang bersahabat. Padahal, sekarang China sudah berubah dan pembangunan ekonominya maju pesat.
Perubahan cara berpikir masyarakat China setelah transformasi ekonomi yang dilakukan Deng Xiao Ping tahun 1978 merupakan tahapan penting dari keberhasilan ekonomi China sekarang.

Perubahan pola pikir masyarakat China yang penting di antaranya adalah ”menjadi kaya merupakan hak kaum sosialis dan kemiskinan bukan bagian dari sosialisme”.
Oleh karena itu, tahun 1980, saat China mengembangkan wilayah Shenzhen sebagai Kawasan Ekonomi Khusus, poster- poster untuk memotivasi masyarakat sekaligus mengubah cara berpikir mereka disebar di mana-mana yang berbunyi: Time is Money, Efficiency is Life.
Sama seperti di Indonesia, China pun sebelumnya memiliki penyakit kronis, yakni praktik korupsi. Namun, hal itu secara perlahan bisa diatasi dengan memberikan shock therapy melalui penerapan hukuman mati bagi koruptor berat.
”Cara lain yang ditempuh China, menempatkan para pejabat pemerintah yang sudah gaek dan berpotensi melakukan korupsi ke posisi yang ’mulia’, tetapi tidak strategis. Posisinya, kemudian digantikan oleh orang-orang muda yang energik dan inovatif,” kata Prof Xue Weng dari Tshinghua University di Beijing.
Sejak reformasi ekonomi tahun 1997, China mengalami kemajuan pesat. Dari negara yang relatif miskin, China mampu menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata dua digit per tahun dan terpesat di dunia. Selain menjadi eksportir terbesar, China juga menjadi raksasa ekonomi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat dengan total produk domestik bruto (PDB) nominal 5,7 triliun dollar AS sampai Oktober 2010.
China juga memiliki cadangan devisa terbesar di dunia, yakni 2,65 triliun dollar AS atau sekitar 30 persen dari total cadangan devisa dunia. Padahal, tahun 2007, cadangan devisanya masih 1,53 triliun dollar AS.
Industrialisasi di China telah berhasil mengentaskan orang miskin secara signifikan, sementara pendapatan per kapita rata-rata penduduk China saat ini 3.800 dollar AS dengan jumlah penduduk 1,3 miliar jiwa.
Sedangkan pendapatan per kapita rata-rata penduduk Indonesia saat ini 3.000 dollar AS dengan jumlah penduduk 238 juta jiwa, sementara cadangan devisa 91,8 miliar dollar AS.
”Sebenarnya kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih cepat lagi, pendapatan per kapita penduduk kita bisa lebih besar,” kata Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Chairul Tanjung ketika berkunjung ke Beijing, China, 12-15 Desember 2010.
Proses modernisasi di China terus berlangsung hingga saat ini, bahkan ketika sebagian besar negara di dunia dilanda krisis keuangan global pada tahun 2008-2009, pertumbuhan ekonomi China tercatat paling tinggi, yakni 8,7 persen.
Saat ini pertumbuhan ekonomi China sudah mencapai 11 persen. Selama 17 tahun terakhir, China merupakan negara penerima investasi asing langsung (FDI) terbesar di dunia.
Tahun 2009, jumlah FDI di China 96 miliar dollar AS. FDI dimaksimalkan pemanfaatannya untuk menopang strategi pengembangan masing-masing wilayah provinsi/daerah khusus dengan penekanan pada produksi dan ekspor, dimulai dari pesisir pantai timur, dan secara bertahap menjangkau wilayah tengah dan barat yang secara ekonomi masih tertinggal.
Kunci keberhasilan pembangunan ekonomi China paling tidak karena tiga aspek. Pertama, visi dan perencanaan pembangunan jangka panjang yang solid melalui program Rencana Pembangunan Lima Tahun yang berkesinambungan.
Kedua, strategi pengembangan pengetahuan dasar. Ketiga, kemajuan ekonomi China antara lain karena ditopang birokrasi yang kuat dan efektif yang dimotori Partai Komunis China (PKC).
Selain itu, produktivitas sumber daya manusia di China sangat tinggi yang berakar pada nilai-nilai utama bangsa China yang menekankan pada ketekunan, kerajinan, hemat, inovatif, disiplin yang tinggi, serta peran warga negara asing keturunan China (huakio). Hal itu semua menjadi faktor pendukung yang sangat positif majunya pembangunan China.
”Tiga kunci pembangunan itu bisa dimiliki dan diterapkan setiap negara tanpa membedakan sistem politik dan pemerintahannya,” kata Wang Huisheng, Chairman of State Development and Investment Corporation, lembaga yang mengelola perusahaan BUMN di China.
Sistem politik dan Pemerintah China lebih mengedepankan state capitalism ketimbang market capitalism yang dilandasi secara kuat oleh semangat pragmatisme dalam mewujudkan tujuan pembangunannya.
Sedangkan negara atau pemerintah serta PKC sangat dominan dalam pengembangan, pengalokasian, serta pengelolaan sumber-sumber alam dan keuangan dalam kegiatan perekonomian nasional ataupun internasional. BUMN China merupakan tulang punggung berbagai aktivitas ekonomi tersebut.
Di Indonesia, sistem ekonomi yang dianut adalah sistem ekonomi Pancasila, tetapi praktik riil aktivitas ekonomi lebih liberal dibandingkan China karena di Indonesia pasar bebas dibiarkan bergerak secara liar.
Di China, produk komoditas utama tetap diproteksi negara meskipun ada tuntutan agar patuh pada ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Hal yang sama juga dilakukan beberapa negara besar lainnya, seperti di antaranya Jepang.
China terapkan Repelita
Sejak tahun 1953-1957, China telah merumuskan strategi pembangunan lima tahunan. Pola pembangunan seperti itu pernah diterapkan Indonesia ketika pemerintah dikendalikan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Di China, strategi pembangunan selalu dibahas, dievaluasi, dan diperkokoh setiap tahun dalam Kongres Nasional Partai Komunis dengan memerhatikan dinamika dan tantangan perkembangan domestik dan dunia.
Tahun 2010, merupakan akhir dari pelaksanaan Repelita ke-11 China. Repelita itu dijalankan dengan tetap bertumpu dan diarahkan pada pencapaian visi dan tujuan pembangunan tahun 2050 di mana China sudah harus menjadi negara maju.
Perencanaan pembangunan nasional China tak bisa dilepaskan dari peran Komisi Nasional Pembangunan dan Reformasi (National Development and Reform Commission/NDRC).
NDRC adalah lembaga superministry yang diberi kewenangan menjabarkan visi, misi, dan kebijakan PKC ke dalam perencanaan pembangunan nasional sekaligus memberikan petunjuk/arah bagi berbagai program dan strategi pembangunan ekonomi China, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang.
Perencanaan dan program kementerian-kementerian lain serta pemerintah daerah harus mengacu pada perencanaan NDRC tersebut.
Hal tersebut juga ditopang kebijakan penempatan para pejabat PKC (komisaris) di beberapa jenjang manajemen, baik di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah, BUMN, ataupun universitas pemerintah. Hal itu dilakukan untuk menjamin dan mengawasi visi dan program pembangunan nasional agar tidak menyimpang dari garis grand strategy nasional.
Pola tersebut agak mirip dengan yang dilakukan Soeharto saat berkuasa selama 32 tahun. Ketika itu, jaringan dan hubungan tiga jalur antara ABRI, birokrasi, dan Golkar (ABG) sangat kuat sehingga pelaksanaan pembangunan yang tecermin dalam Repelita bisa dikontrol.
Waktu itu banyak di antara petinggi ABRI yang ditempatkan sebagai inspektur jenderal atau komisaris di sejumlah departemen dan BUMN.
Upaya KEN yang jauh-jauh datang ke China dalam rangka penyusunan masterplan ekonomi Indonesia akan menjadi sia-sia jika tidak mendapat dukungan dari semua pemangku kepentingan di Indonesia.
Sekarang saatnya semua kalangan di pemerintah, para politisi di DPR, para pengusaha, serta para tokoh masyarakat bersatu padu mendorong percepatan pembangunan ekonomi di Indonesia. Kalau kita masih saling curiga, apalagi saling menjatuhkan, momentum pertumbuhan ekonomi akan lepas begitu saja.
Penulis: Tjahja Gunawan Diredja
21 Desember 2010

Thursday, September 16, 2010

Ekonomi Kian Kehilangan Arah dan Daya Saing

Para ekonom mengingatkan indikasi berkembangnya patronasi politik dan penguatan oligarki ekonomi. Patronasi politik ini melahirkan semacam mafia dan kolusi baru antara penguasa dan pengusaha.

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia juga makin kehilangan arah dan daya saing. Jantung ekonomi tidak pernah berfungsi prima karena sistem kelembagaan tak responsif. Penyebabnya, desain yang salah dan ketidakjelasan paradigma kebijakan. Sejak krisis 1997, terjadi perubahan pendulum tajam dari sistem pasar ke negara dan kemudian kembali ke pasar lagi. Semua itu tidak dijalani konsisten sehingga mempersulit desain dan arah kebijakan.

Peringatan para ekonom terungkap dalam Diskusi Panel Ahli Ekonomi Kompas dan kajian The Harvard Kennedy School Indonesia. ”Kita tidak tahu titik pijak kita di mana. Paradigma negara enggak. Paradigma pasar juga tidak utuh,” kata seorang panelis.


Mengenai patronasi politik dan oligarki ekonomi, ia melihat dalam beberapa kasus, transaksi politik dan janji kampanye di pasar politik telah membelenggu perekonomian. Tidak ada batas tegas antara negara dan swasta. ”Tak jelas, apakah sesuatu itu ada di ranah publik atau state,” ujarnya.

Ia mencontohkan sejumlah petinggi atau pejabat tinggi negara yang ke mana-mana naik pesawat milik pengusaha tertentu. ”Saya tanya ke KPK, apakah ini masuk gratifikasi, mereka bilang aturannya enggak jelas,” tambahnya. Ketidakjelasan aturan juga menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan jalinan kepentingan kelompok tertentu melahirkan mafia dan faksionalisme serta korupsi yang terorganisasi dan sistemik.

Beberapa kebijakan bahkan terkesan direkayasa, untuk memberi keleluasaan konsolidasi kerajaan bisnis pengusaha. Salah satunya, amanat undang- undang dalam rangka penciptaan iklim persaingan lebih sehat tak kunjung dilaksanakan. Contohnya, peraturan pemerintah (PP) untuk menghindari kembalinya monopoli seharusnya ada peraturan pemerintah tentang merger dan akuisisi.

”Sampai sekarang, sudah 10 tahun, PP enggak ada. Kesan saya, sadar atau enggak, ini disengaja untuk memberi ruang gerak kepada kelompok usaha tertentu melakukan konsolidasi cepat tanpa aturan. Kesimpulannya, ada lack of institution, weak institution,” ujarnya.

Ketidakjelasan juga terlihat dalam fungsi layanan publik. Di negara maju pun ada batasan tegas sektor yang boleh diprivatisasi dan tidak. Itu tidak terjadi di Indonesia. Beda Indonesia dengan negara welfare state adalah ketika mereka melangkah ke ekonomi pasar, pemerintah telah mempersiapkan jaring pengaman sosial untuk melindungi kelompok marjinal dan terpinggirkan. Di Indonesia, pascakrisis semua cenderung diserahkan kepada pasar, tanpa perlindungan bagi masyarakat yang berada pada asimetris posisi tawar dengan pengusaha. ”Kita lupa membangun tiga pilar lain, yaitu market stabilizing, market regulating, dan market legitimating,” ujarnya.

Bahkan, diakui panelis lain, ada kecenderungan negara mengalihkan beban kegagalan mereka kepada kelompok yang memiliki posisi tawar paling lemah dalam perekonomian, yakni rakyat kecil. Salah satu contoh, kasus kenaikan harga BBM, listrik, atau harga barang akibat ekonomi biaya tinggi.

”Kalaupun (jaringan pengaman) ada, tidak dilaksanakan. Persoalannya lebih pada ada atau tidaknya political will,” tandasnya. Alasan tidak ada anggaran dinilai tak masuk akal. Pascakrisis, birokrasi praktis hanya mengerjakan yang disuruh IMF. ”Gagasan sendiri tidak ada. Bahkan, amanat undang-undang pun tak dilaksanakan. Dalam Jaring Pengaman Sosial Nasional (JPSN), bukannya menyelesaikan masalah, malah sibuk bikin kajian-kajian,” katanya.

Horizon berpikir jangka pendek bukan hanya terlihat dalam kasus JPSN. Panelis lain mengatakan, negara pun tak punya perlindungan. Ia mencontohkan ketidaksiapan Indonesia menghadapi kemungkinan krisis baru karena absennya protokol payung penanganan krisis. ”Kita membuka diri, tetapi tidak men-secure diri kita sendiri. Ekonomi dibiarkan unhedged. Kalau ada shock, mereka cuma bilang, ’Wah, ada shock ya?’ Harga minyak naik, ya sudah, naikkan saja harga BBM. Jadi, beban di-pass on kepada rakyat kecil,” tambahnya.

Terjadi kegagalan kepemimpinan yang menjalar ke fungsi birokrasi, kegagalan institusi, sistem, serta kebijakan dan implementasinya. Ditegaskan, redefinisi peran negara dan transformasi birokrasi tak bisa ditawar lagi. Sebagai bagian dari reformasi dan transformasi kelembagaan, negara didesak mentransformasi diri dari perilaku sebagai kendaraan yang lebih banyak melayani kelompok kaya dan berkuasa menjadi melayani rakyat banyak.

Kehilangan arah

Gugatan lain dari diskusi adalah mengapa negara seperti China dan India bisa tumbuh dua digit atau mendekati, sementara Indonesia yang relatif selamat dari dampak krisis global 2008 kini seakan tak bergerak dan tak mampu membebaskan diri dari perangkap pertumbuhan ekonomi rendah tak berkualitas.

Indikasinya, pertumbuhan tak mampu menciptakan banyak lapangan kerja dan kian mengandalkan pada eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan serta sektor manufaktur berbasis upah murah. Pembangunan ekonomi juga ditandai kian tajamnya ketimpangan antarwilayah, antarkelompok pendapatan, antarsektor. Indonesia secara fatal juga mengabaikan investasi penting ke depan, yakni sumber daya manusia, baik kesehatan maupun pendidikan.

Indonesia dihadapkan pada ”beban warisan problem kelembagaan” yang membuat sulit bergerak lincah dan birokrasi tak responsif. Energi bangsa terkuras untuk persoalan yang tak produktif.

Reformasi birokrasi yang sudah dimulai diakui berjalan sangat lambat. ”Namanya reformasi birokrasi, seharusnya presiden yang memimpin. Kalau enggak, akan ada rasa ewuh pekewuh antarmenteri, siapa melakukan apa? Reformasi sangat bergantung pada pimpinan operasional. Kalau pimpinannya tidak tegas, tak mampu memimpin, reformasi pasti gagal. Silakan mengartikan sendiri,” ujar seorang panelis. (Sri Hartati Samhadi)

30 Juli 2010
Source:http://cetak.kompas.com/read/2010/07/30/02401074/ekonomi.kian.kehilangan.arah.dan.daya.saing

Sunday, August 8, 2010

Kinerja RI: Ekonomi Semester I Tumbuh 5,9 Persen

Perekonomian Indonesia selama semester I-2010 tumbuh 5,9 persen dibandingkan dengan semester I-2009. Pertumbuhan itu antara lain ditopang kenaikan produk domestik bruto pada triwulan II-2010 sebesar 2,8 persen jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Jika kinerja perekonomian triwulan II-2010 dibandingkan dengan triwulan II-2009, terjadi pertumbuhan 6,9 persen (year on year).
Demikian dikemukakan Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik Slamet Sutomo kepada pers di Jakarta, Kamis (5/8).
Nominal produk domestik bruto (PDB) atau total transaksi seluruh perekonomian Indonesia pada triwulan II-2010 adalah Rp 1.572,4 triliun atas dasar harga berlaku saat ini. PDB nominal itu naik daripada triwulan I-2010 sebesar Rp 1.496,2 triliun.
”Pertumbuhan ekonomi nasional didorong oleh peningkatan kinerja pada semua sektor ekonomi,” ujar Slamet.
Faktor pendorong utama pertumbuhan ekonomi selama triwulan II-2010 adalah sektor pengangkutan dan komunikasi yang tumbuh sebesar 5 persen; sektor listrik, gas, dan air bersih sebesar 4,8 persen; serta sektor jasa 3,7 persen. Adapun industri pengolahan tumbuh 2 persen.
”Pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi dipengaruhi oleh musim liburan sekolah sehingga arus transportasi dan penggunaan telepon meningkat,” ujar Slamet.
Pihaknya memprediksi, secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi nasional hingga akhir tahun 2010 dapat melampaui 6 persen. Kenaikan tertinggi kemungkinan terjadi pada triwulan III-2010.
Dari sisi penggunaannya, perekonomian triwulan II-2010 didominasi pengeluaran konsumsi rumah tangga secara riil sebesar Rp 324,2 triliun atau naik 1,2 persen dibandingkan dengan triwulan I-2010.
Pengamat ekonomi dari Econit, Hendri Saparini, mengingatkan agar Indonesia mendorong pertumbuhan investasi dan ekspor agar lebih berdaya saing dan tidak semata pada konsumsi rumah tangga. Itu karena selama ini pertumbuhan industri masih dangkal dan ekspor masih didominasi produk bahan mentah.
”Tanpa mendorong industri pengolahan, ekonomi Indonesia sulit berdaya saing dan lapangan kerja terserap sulit optimal,” ujarnya. (lkt)
06 Agustus 2010

Wednesday, April 7, 2010

XL Bangun 120 Titik Jaringan Kereta Api

Operator telekomunikasi XL Axiata memperluas kerja samanya dengan PT Kereta Api (KA) dengan menyediakan 120 titik jaringan Multi Protocol Label Switching (MPLS) di sepanjang pulau Jawa dan Sumatera.

Perluasan kerja sama ini ditandatangani oleh Direktur Network XL Dian Siswarini dan Direktur Komersial PT KA Sulistyo Wimbo Hardjito, dan disaksikan oleh Presiden Direktur XL Hasnul Suhaimi dan Direktur Utama PT KA Ignasius Jonan.

"Dengan layanan solusi korporat dari XL ini, PT KA bisa segera mengembangkan jaringan online antarstasiun dan kantor cabang, yang antara lain dapat dimanfaatkan bagi penyediaan layanan pemesanan dan pembayaran tiket secara elektonik," kata Dian dalam keterangannya, Rabu (7/4/2010).

Baik XL dan PT KA telah cukup lama menjalin kerja sama. Sejak 1996, XL membangun jaringan menara telekomunikasi dan infrastruktur kabel optik di sepanjang jalur milik PT KA. Kerja sama ini juga terus ditingkatkan sejalan dengan meningkatnya kebutuhan kedua belah pihak.



07 April 2010
source:http://www.detikinet.com/read/2010/04/07/181217/1334123/328/xl-bangun-120-titik-jaringan-kereta-api

Bisnis UKM Bisa Triliunan Rupiah Berkat TIK

Perputaran bisnis di kalangan para pelaku usaha skala kecil dan menengah (UKM), nilainya bisa melonjak triliunan rupiah jika saja mereka menerapkan solusi teknologi komunikasi informasi (TIK) yang tepat.

Executive General Manager Telkom Divisi Business Service Slamet Riyadi menuturkan, prospek bisnis UKM melalui TIK akan mencapai Rp 18,6 triliun di tahun 2014 mendatang. Melonjak 60,3% dari nilai bisnis di 2010 yang diperkirakan berjumlah Rp 11,6 triliun.

"Dengan solusi TIK yang tepat, bisnis UKM per tahunnya bisa tumbuh 12,83% jika dilihat dari Compound Annual Growth Rate atau CAGR," jelasnya melalui surat elektronik yang dikutip detikINET, Senin (29/3/2010).

Melalui dukungan solusi TIK yang sesuai kebutuhan para pebisnis UKM, Slamet bahkan optimistis nilai bisnis di kalangan pengusaha kelas small medium enterprise (SME) ini akan mulai meningkat 10,9% menjadi Rp 12,87 triliun di tahun 2011 mendatang.

Menurut Slamet, komunitas UKM atau SME yang melek TIK, mulai tumbuh dan membutuhkan solusi serta mobilitas yang bisa menunjang kelancaran bisnisnya. Kebutuhan akan TIK di segmen UKM ini, sayangnya, selama ini belum dilayani secara serius.

"Itu sebabnya, Telkom membentuk Divisi Business Service atau DBS untuk melayani para pelaku bisnis UKM ini. Posisi kami di sini tidak hanya sekadar memberikan solusi TIK saja, namun juga untuk membantu masyarakat memberdayakan ekonominya," papar Slamet.

DBS sendiri dibentuk khusus oleh Telkom untuk mengelola pelanggan bisnis yang sebagian besar merupakan segmen UKM. Pada segmen ini, Telkom akan menawarkan beragam solusi untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan bisnis melalui penerapan TIK yang tepat.

"Beberapa aplikasi cloud computing berbasis platform as as services (PAAS) sudah disiapkan Telkom, di antaranya e-UKM, aplikasi untuk BPR (Bank Perkreditan Rakyat), aplikasi untuk pengelolaan koperasi, pendidikan, dan lainnya," papar Slamet.

Berdasarkan catatan Kementerian Koperasi, hingga Juni 2009 lalu jumlah koperasi di Indonesia telah mencapai 166.155 unit, dengan permodalan koperasi aktif yang terdiri dari modal sendiri Rp 27,27 triliun dan modal luar Rp 36,25 triliun dengan nilai volume usaha Rp 55,26 triliun.

Badan Pusat Statistik (BPS) tahun lalu juga mencatat jumlah UKM di Indonesia sebanyak 520.220 unit. Diperkirakan akan ada 600.000 pelaku UKM baru pada 2010 ini. Sementara dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disalurkan sejak Januari 2008-Januari 2010 sekitar Rp 17,541 triliun untuk 2,4 juta debitur.

Sektor tertinggi investasi yang dilakukan kalangan SME atau UKM adalah pada bidang jasa (57%), perdagangan (20%), dan manufaktur (23%). SME atau UKM bahkan ditengarai memberi kontribusi terhadap Pendapatan Domestik Bruto nasional sebesar 54%. ( rou / rou )



29 maret 2010
source:http://www.detikinet.com/read/2010/03/29/083242/1327349/319/bisnis-ukm-bisa-triliunan-rupiah-berkat-tik 

Monday, November 2, 2009

Ekspor Indonesia Januari-September 2009 Turun 25,57%

Jakarta - Ekspor Indonesia periode Januari-September 2009 mencapai US$ 80,13 miliar atau turun 25,57% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2008. Sementara ekspor nonmigas mencapai US$ 68,11 miliar atau menurun 18,21 persen.

Demikian disampaikan oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan dalam jumpa pers di kantornya, Jalan DR Sutomo, Jakarta, Senin (2/11/2009).

Nilai ekspor Indonesia selama September 2009 saja tercatat US$9,83 miliar atau mengalami penurunan sebesar 6,75 persen dibanding ekspor Agustus 2009. Sementara bila dibanding September 2008 mengalami penurunan sebesar 19,92 persen.

"Penurunan kegiatan ekspor pada September karena Lebaran dan puasa. mungkin karena banyak hari liburnya sehingga kegiatan ekspor impor turun," ujar Rusman.

Ekspor nonmigas ke Jepang September 2009 mencapai angka terbesar yaitu US$1,09 miliar, disusul Amerika Serikat US$850,4 juta dan Cina US$704,3 juta, dengan kontribusi ketiganya mencapai 32,51 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa ( 27 negara ) sebesar US$1,11 miliar.

Sementara itu, selama Januari-September 2009 nilai impor mencapai US$68,33 miliar atau menurun 32,80 persen dibanding periode yang sama tahun 2008.

Nilai impor September 2009 mencapai US$8,56 miliar atau menurun 11,79 persen dibanding Agustus 2009 yang besarnya US$9,71 miliar.

Impor nonmigas September 2009 mencapai US$6,19 miliar atau menurun 24,37 persen dibanding impor Agustus 2009, sedangkan selama Januari-September 2009 mencapai US$55,19 miliar atau menurun 26,88 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Impor migas September 2009 mencapai US$2,37 miliar atau meningkat 56,02 persen dibanding impor Agustus 2009, sedangkan selama Januari-September 2009 mencapai US$13,14 miliar atau menurun 49,86 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Nilai impor nonmigas terbesar September 2009 masih sama seperti Agustus 2009 yaitu golongan barang mesin/pesawat mekanik dengan nilai US$1,15 miliar, yang menurun sebesar 13,63 persen dibanding bulan sebelumnya.

Negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari-September 2009 masih ditempati oleh Cina dengan nilai US$9,48 miliar dengan pangsa 17,18 persen, diikuti Jepang US$6,89 miliar (12,48 persen) dan Singapura US$6,85 miliar (12,40 persen). Sementara impor nonmigas dari ASEAN mencapai 23,58 persen dan Uni Eropa sebesar 11,37 persen.

Impor menurut golongan penggunaan barang selama Januari-September 2009 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya mengalami penurunan untuk semua golongan, yaitu impor barang konsumsi sebesar 28,17 persen, bahan baku/penolong sebesar 38,73 persen, dan barang modal sebesar 4,08 persen.

Dengan demikian, selama Januari-September 2009, Indonesia mengumpulkan surplus perdagangan sebesar US$ 11,8 miliar.
(dnl/qom)
Source:http://www.detikfinance.com/read/2009/11/02/150152/1233399/4/ekspor-indonesia-januari-september-2009-turun-2557 

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...